Share

6. Mencari Silvi

Part 6

"Silviii ...! Silviiii ...!" teriak Reno memanggil putrinya. Ia berharap Silvi keluar dari persembunyiannya. Sudah hampir jam 9 malam, Silvi belum juga pulang. Reno sudah berkeliling ke gang-gang di desanya, tapi tak menemukan gadis kecil itu dimanapun.

"Aaaarrrgghh! Kalau Silvi gak ketemu bisa gawat! Devi bisa marah dan menuntutku," gerutu Reno. Ia masih berjalan dalam gelapnya malam, hanya lampu penerang jalan yang menerangi langkahnya.

Para anak kecil sudah tak terlihat bermain di jalan lagi. Sepi.

"Jangan-jangan Silvi diculik, Ren!" ucapan ibunya tadi membuatnya tak berhenti memikirkan Silvi. Segala kemungkinan bisa terjadi.

"Aaarghhh!" teriaknya lagi sembari menendang batu kerikil di hadapannya. "Anak kecil menyusahkan saja!"

Reno masih berjalan sembari matanya mencari keberadaan Silvi. Entah kenapa langkah kaki justru membawanya ke rumah Sinta. Tanpa dinyana, Sinta tengah berbincang dengan seorang pria di teras rumahnya.

"Sin," sapa Reno, ia sedikit cemburu melihat Sinta bersama laki-laki itu dan berpakaian seksi.

"Eh, Mas sini," sahut wanita itu dengan sumringah. Sinta menarik tangan Reno dan langsung menggamitnya.

"Oh ya Mas, kenalin ini calon suamiku, namanya Reno. Dan Mas Reno, ini Mas Akbar, teman SMPku dulu," ucap Sinta.

Kedua pria itu saling berjabat tangan dan tersenyum kaku.

"Sin, kalau gitu aku permisi dulu ya."

"Oke, Mas."

Pria bernama Akbar itu pergi meninggalkan mereka. Reno memandang calon istrinya. Tatapannya seolah menuntut jawaban, siapa sebenarnya pria yang tadi.

"Mas, ayo duduk. Kenapa malam-malam kesini?"

"Kalau gak kesini pasti kamu sedang asyik berduaan dengan pria itu!" sahut Reno ketus, ada gurat cemburu tergambar jelas di wajahnya.

"Cieee yang cemburu!"

"Aku gak cemburu, Sin. Tapi kurang etis, kamu sudah mau menikah denganku tapi masih menerima tamu laki-laki lain."

"Ya ampun Mas, dia kan cuma teman SMP aku. Dia main aja, kami gak ngapa-ngapain lho, karena udah lama gak ketemu. Lagian ini kan rumah orang tuaku, dia juga gak bakal macem-macem lah. Kan ngobrolnya juga di teras. Aku juga dah ngenalin kamu ke dia kan, kalau kamu calon suami aku. Jangan cemberut dong, gak ganteng ih!"

Reno tersenyum kecil sambil menatap wanita di hadapannya. "Cium dulu dong, nanti janji gak bakal cemberut lagi," tukas Reno.

"Ealaaah modus! Dasar ada maunya!" cebik Sinta. Sejeda kemudian, Sinta mengecup pipi Reno, hingga meninggalkan bekas bibir bertanda merah.

"Yang ini belum," ucap Reno seraya menyentuh mulutnya sendiri.

"Gak mau lah. Ada orang, nanti malah ketahuan, malu!" jawab Sinta dengan genit. "Mas, gimana persiapan pernikahan kita? Semuanya sudah beres kan?"

"Hmmm."

"Besok bawa uangnya ya 10 juta, buat belanja dan masak-masak di hari pernikahan kita."

"Pakai uangmu dulu ya, sayang."

"Lho, kok gitu? Masa pihak laki-laki gak ngasih uang buat keluargaku?"

"Hei, jangan bilang gitu, nanti uangnya aku ganti," kilah Reno. Dia makin bingung apa yang harus dia lakukan. Hari pernikahan semakin dekat, bahkan dia tak pegang uang sepeserpun.

Wajah Sinta cemberut, karena ia tak berhasil meminta uang pada Reno lagi.

"Mas, tolong diusahakan ada uangnya agar acara pernikahan kita lancar."

"Iya, pasti. Ya sudah aku pulang dulu."

Perasaan Reno makin kacau. Ia teringat kata-kata Devi, mungkin benar solusi satu-satunya adalah menggadaikan sertifikat rumah ibu. Ia akan meminjam 200 juta. 150 juta untuk ikut investasi, 20 juta untuk ibu, 10 juta untuk Sinta dan 20 juta lagi untuk uang pegangannya sendiri.

"Aku harus membujuk ibu, agar menyetujui usulanku ini," gumam Reno.

*

"Bu, ibu! Silvi udah pulang?" teriak Reno. Bu Witi keluar dari rumahnya.

"Belum Ren, kamu gak ketemu sama dia?"

"Enggak, Bu. Aku udah cari kemana-mana tapi gak ada."

"Duh kemana itu bocah! Kalau ada apa-apa dengan Silvi gimana Ren?"

"Devi mau menuntutku, Bu."

"Lah gimana caranya? Dia kan di luar negeri."

Reno mengendikkan bahunya. Galau, bimbang, cemas, semuanya berkecamuk dalam hati.

"Oh iya Bu, Reno mau pinjam sertifikat rumah ibu. Mau digadaikan ke bank."

"Lho buat apa?"

"Buat investasi."

"Inpesti?"

"Investasi, Bu. Nanam modal. Jadi kita nanti investasi 150 juta bakalan balik jadi 450 juta."

"Hah? Serius Ren? Kamu kata siapa?"

"Kata Devi Bu. Tapi lumayan lho Bu, kita menang banyak. Bisa cepat kaya Bu!" ucap Reno dengan girang. Dia sudah terhipnotis dengan kata-kata Devi.

"Beneran? Bukan tipu-tipu kan?"

"Devi sudah menjamin kalau itu bukan penipuan. Soalnya temannya sendiri yang pegang. Kalau ibu setuju besok Reno mau pinjam ke bank, 200 juta."

"Lho, banyak amat, katanya 150 juta."

"Iya dong Bu, 150 juta buat investasi, 10 juta buat biaya pernikahanku dengan Sinta. 10 juta buat ibu buat gantiin emas ibu yang kemarin aku jual. Yang 25 juta buat nebus motor di Bang Andi, lima juta buat peganganku, Bu. Gimana, ibu setuju gak?"

"Setuju sih. Tapi setorannya gimana?"

"Tenang aja, kan ada Devi, Bu. Kalau Devi transfer, aku bakal langsung setorin uang ke Bank."

"Beneran lho ya, ibu gak mau kalau rumah ibu sampai disita oleh bank."

"Iya, tenang aja, Bu. Masalah itu mah beres, bisa diatur."

"Kalau uang inpestinya--"

"Investasi, Bu."

"Iya, maksudnya itu. Kalau uang itu cair, ibu dibagi separuhnya ya."

"Oke, bereeess Bu. Kita bakalan jadi kaya, Bu!"

Keduanya tertawa membayangkan keluarganya akan bertambah kaya dalam sekejap. Hingga melupakan sejenak masalah tentang Silvi.

***

Pagi-pagi sekali Devi, Rita dan Silvi sudah bersiap-siap. Rencananya hari ini mereka akan pergi ke toko grosir serta pusat perbelanjaan, untuk membeli aneka perlengkapan yang ia butuhkan untuk tinggal di ruko.

"Wow speechless, polesan makeup-mu amazing banget Dev, mukaku jadi lebih cantik," puji Rita saat dirinya berkaca di depan cermin.

Devi tersenyum simpul.

"Kamu juga cantik banget Dev, pangling ih," lanjutnya lagi.

"Haha kamu bisa aja."

"Ya udah yuk berangkat."

"Ayo, sayang."

Silvi mengangguk senang. Ketiganya melangkah keluar dari rumah. Sampai di depan pintu, ia bertemu dengan Reyhan yang baru saja datang.

"Oh kak, kebetulan. Aku izin gak masuk kerja lagi. Mau anterin Devi," tukas Rita.

Reyhan hanya menaikkan satu alisnya.

"Eh kebetulan, sini pinjem kunci mobilnya dulu, Kak!" Riska menyambar kunci mobil di tangan Reyhan lalu berlari kecil menuju mobil.

"Dasar ya, usil! Awas aja, gaji kamu kakak potong!" ancam Reyhan.

"Biarin!" sahut Rita. "Devi, Silvi, ayo sini masuk, kita naik mobil!" lanjut Rita, ia langsung masuk ke dalam mobil di belakang kemudi.

Devi tersenyum melihat kehangatan kakak beradik itu.

"Mari Mas, saya permisi dulu," ucap Devi sembari menggandeng tangan putrinya.

"Iya," sahut Reyhan singkat.

*

Rita mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di dalam mobil, Silvi bernyanyi-nyanyi riang.

"Ibu, Tante, Silvi hari ini senang banget soalnya diajak jalan-jalan."

"Iya, sayang."

Sesampainya di pusat perbelanjaan, ketiganya langsung masuk ke dalam, mereka melihat-lihat barang yang tampak begitu banyak berjejer di rak.

"Rita, titip Silvi ya sebentar, aku mau lihat-lihat dulu kesana," ucap Devi.

"Bereeeeess," sahut Rita sambil tersenyum. "Silvi sama Tante dulu ya, sambil tungguin ibu belanja.

Sementara, wanita itu masuk berjalan berlenggak-lenggok. Bibir merah merona dan kaca mata hitam serta dress mini yang begitu seksi membalut tubuhnya. Ia berjalan pelan sambil memilih barang yang akan di belinya. Matanya terbelalak kaget saat melihat Silvi tengah berdiri dengan seorang wanita. Ia berjalan menghampiriny, siapa gerangan wanita itu, kenapa dia bisa bersama dengan anak dari calon suaminya.

"Silvi!" panggil wanita itu sambil menepuk pundaknya. Keduanya menoleh. Silvi tampak gemetar saat melihat wanita itu. "Rita?" pekiknya lagi usai melihat wanita yang berdiri bersama Silvi ternyata mantan sahabatnya sendiri.

"Sinta?"

"Rita, Silvi kenapa bisa ada sama kamu? Aku harus hubungi Mas Reno kalau ternyata anaknya ada sama kamu!"

.

.

.

.

Jeng jeng jeng .... Kira-kira mereka bakalan ketemu sama Devi gak ya? Pantengin terus ya, dan jangan lupa di subscribe. Terima kasih

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status