Part 7"Rita, Silvi kenapa bisa ada sama kamu? Aku harus hubungi Mas Reno kalau ternyata anaknya ada sama kamu!" ketus Sinta. Wanita itu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi calon suaminya. Sementara Rita dan Silvi saling berpandangan. Jantung Rita berdebar-debar, takut kalau nanti Devi dan Sinta bertemu. Bisa gawat kalau rencana Devi tak bisa berjalan. Dengan mulus."Halo, Mas." Sinta tampak berbicara di telepon, ia berjalan menjauh dari keduanya. "Silvi, jangan bilang kalau kamu kesini sama ibumu juga ya, sayang. Kamu gak usah ngomong apa-apa sama mereka, biar Tante yang jelasin. Kamu mengerti kan?" bisik Rita di telinga Silvi.Gadis kecil itu mengangguk. Rita segera mengeluarkan handphone-nya agar Devi membaca dan lekas bersembunyi.[Dev, kamu sembunyi dulu biar aman. Ada Sinta disini. Masalah Silvi biar aku yang beresin]Sudah sepuluh menit, tapi pesan WhatsAppnya belum dibaca. Devi tengah sibuk memilih barang belanjaannya.[Ok] balas Devi. Ia tak menyangka dalam situasi sepe
Part 8Devi dan Rita tengah bersiap-siap, ia memakai kemeja formal. Tangan Devi sudah sibuk menari-nari diatas wajah Rita."Sempurna!" ucap Rita saat melihat hasil riasan sahabatnya itu. "Aku benar-benar seperti orang yang berbeda, amazing tanganmu itu, Dev! Dah macam MUA terkenal aja!""Hahaha bisa aja kamu.""Aku bakal promosi ke orang-orang kalau hasil riasanmu itu, oke banget," ucap Rita lagi sembari mengarahkan handphonenya untuk foto selfie. Kali ini dia menyamarkan penampilannya dengan berhijab."Ternyata aku cantik juga ya pakai jilbab.""Kamu memang cantik, Rita. Hatimu juga baik. Terima kasih karena kamu sudah membantuku.""Tentu saja, kita kan teman."Devi pun tengah melukis wajahnya sendiri, hingga membuat penampilannya berbeda. Ia sengaja menambahkan tanda lahir di bawah matanya sebelah kiri. Hijab pashmina berwarna pink membalut rambutnya, kemeja pink dan blazer warna hitam serta celana bahan warna hitam. Tak lupa sepatu pantofel warna hitam juga. Penampilannya saat ini
Part 9"Lebih baik kucel jadi pembantu, Pak. Dari pada kinclong tapi jadi benalu." "Tunggu-tunggu, kenapa suaramu mirip Devi ya?" tukas Reno. Lelaki itu berjalan mendekat. Ia melihat perempuan itu dari atas ke bawah."Benar, kamu ini mirip Devi. Postur tubuhmu, suaramu, atau jangan-jangan--""Maaf, Pak. Tolong jangan seperti ini, sikap anda membuat saya tidak nyaman," sahut Devi alias Aura sembari mundur beberapa langkah.Jantungnya berdegup kencang, takut jikalau dirinya ketahuan. Ia sudah menyusun rencana ini dengan matang, dirinya gak mau gagal lagi dan terperdaya oleh lelaki tak berhati ini. Rita pun ikut bingung bagaimana caranya agar Devi tak terpojok. "Maaf Pak, kami permisi dulu ya, pekerjaan kami masih banyak. Harus berkeliling menemui para calon investor yang lain," tukas Rita sembari menarik tangan Devi. Keduanya langsung berlalu masuk ke dalam mobil milik Reyhan.Reno hanya menatapnya tanpa berkedip, ia merasa wanita-wanita tadi seperti tak asing lagi baginya. Tapi siapa
Part 10"Eh anu Mas, ini---""Ini sudah zaman modern, kenapa paket kemenyan segala?" tanya Reno lagi."Biar aku jelaskan, Mas. Win, tolong bunganya taruh belakang saja ya.""Baik, Mbak."Reno masih ingin mendengar jawaban dari Sinta. "Mas, bunga-bunga itu buat ritualku mandi. Biar tubuhku wangi, jadi saat malam pengantin nanti kamu gak bakalan kecewa," sahut Sinta sembari memainkan netranya genit. Ia membenarkan krah kemeja Reno yang baik-baik saja.Reno tersenyum."Kalau kemenyan, aku gak tau persis mas, itu disuruh sesepuh disini, katanya sih biar gak ada yang ganggu kita saat pernikahan nanti.""Walah, kirain buat apaan. Zaman udah modern begini masih ada begituan.""Ya kita kan gak mungkin ngilangin adat begitu aja."Reno mengangguk, kemudian mencium pipi Sinta. "Ya sudah Sin, aku pulang dulu ya.""Iya, Masku sayang--"Reno pergi meninggalkan rumah Sinta. Wanita itu bisa bernafas lega, hampir saja topengnya terbongkar, beruntung ia bisa memberikan alibi yang pas untuk calon suamin
Part 11"De-devi?" "Iya, ini aku. Kenapa? Kaget ya?""Kok kamu ada disini, Dev? Kapan kamu pulang dari Taiwan? Bukannya semalam kamu telepon dan--" Ucapan Reno mengambang di udara saat melihat mimik wajah Devi. Ia terkesima, lama tak bertemu istrinya itu bertambah cantik. Wajahnya putih bersih dan begitu terawat. Sayangnya kini penampilannya berbeda, ada hijab pashmina yang membalut rambutnya. Bila dipandang sekilas, ia tak nampak seperti Devi yang dulu. Kali ini istrinya itu tampil begitu sempurna. Naluri kelelakiannya seketika muncul. Ia hendak memeluk Devi, tapi Devi menghindar."Jangan peluk aku!" seru Devi."Tapi, kenapa? Aku kan suamimu, Dev. Kita sudah lama gak ketemu. Masa kamu gak kangen?""Kangen?""Ya. Aku aja rindu sekali padamu, Dev.""Oh ya?"Reno mengangguk. Sementara Devi tersenyum masam, ia berjalan mengitari Reno. Tubuh Reno begitu tegang, apalagi dia belum mandi dan masih bertelanjang dada, hanya celana sebatas lutut yang membalut tubuhnya. Ekor matanya yang berge
Part 12"Memangnya mau kau bawa kemana, Dev? Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang.""Sayang? Hahaha, telingaku sampai gatal saat kamu memanggilku sayang!" Devi justru menimpali dengan nada mengejek. Sementara wajah Sinta sudah merah padam, baru saja semalam dia mereguk manisnya cinta bersama Mas Reno, tapi kini suaminya justru memanggil sayang pada wanita lain. Sinta yang awalnya hanya ingin bermain-main dengan Reno, tapi dia justru jatuh hati padanya."Dev, tolong jangan lakukan ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev. Tolonglah Dev, kita bisa hidup damai bertiga di rumah ini.""Hidup damai bertiga di rumah ini? Serius kamu ngomy gitu, Mas? Kamu suruh aku tinggal seatap dengan wanita itu? Gak level lah yaw! Aku ini bukan perebut suami orang, aku juga bukan benalu. Tidak seperti kalian-kalian ini! Aku yang sibuk bekerja membanting tulang, justru kalian yang menikmati hasilnya! Ckckck!""Cukup bicaramu, Devi!" teriak Bu Witi."Emang gitu kenyataannya kan, Bu? Kenapa gak terima
Part 13 "Bukankah ini tak adil bagiku dan juga bagimu, Dev?" Ini rumah kita! Kita bisa tinggal sama-sama di rumah kita! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Dev! Tolong hentikan ini, Dev. Jangan lakukan ini, aku mohon."Devi bergeming, ia tetap teguh pada pendiriannya. Tak sekalipun terlintas rasa kasihan padanya atau membatalkan pembongkaran rumah ini. Tidak. Amarah dan benci sudah menguasai hatinya. Baginya, dia sudah dikhianati, hatinya sudah hancur. Kalau dia tak bisa memiliki haknya sendiri, maka Reno pun tak bisa memilikinya. Kalau dia hancur, maka suaminya pun harus ikut hancur. Bara api dendam di hati Devi sudah terlanjur menyala dan tak bisa dipadamkan lagi."Kita bisa hidup damai bertiga, Dev. Aku janji akan bersikap adil pada kalian. Tolonglah jangan keras seperti batu. Kita perbaiki ini sama-sama ya, Dev. Jangan hancurkan rumah ini, Dev. Rumah ini tak ada hubungannya dengan masalah kita," lanjut Reno berusaha merayu Devi."Tidak!" sahut Devi singkat, padat dan jelas.Reno m
Part 14"Iya. Aku hutang di bank dengan menggadaikan sertifikat rumah ibu.""Apaaa?""Maka dari itu aku tak mungkin menceraikan Devi. Dia sumber uangku, Sinta.""Berapa, Mas?" "Dua ratus juta. Dengan bunga delapan persen.""Hah? Sebanyak itu? Untuk apa aja, Mas?""Untuk pernikahan kita kemarin dan juga investasi.""Memangnya kamu gak punya tabungan?""Tabunganku habis Sinta, makanya hutang di bank."Sinta tampak shock. Ia tak percaya, kalau ternyata lelaki yang ia nikahi punya banyak hutang bukannya tabungan."Terus itu investasi, investasi apaan? Berapa?""Seratus lima puluh juta, nanti akan kembali jadi tiga kali lipat dari modal awal.""Banyak amat, Mas. Apa kamu yakin? Itu bukan tipu-tipu atau investasi bodong?""Gak mungkin tipu-tipu lah, orang Devi yang merekomendasikan itu semua.""Apa kamu sudah pastikan sendiri Mas, kantornya dimana?""Belum sih, tapi aku percaya, mereka itu temannya Devi.""Teman?""Ya, teman SMP-nya.""Siapa namanya, Mas? Kalau teman SMP seharusnya aku j