Share

BAB 2

last update Last Updated: 2023-03-10 06:02:50

"Luka memang apa ini, Bang?" tanya Mila. 

Mungkin karena mendengar suara Mila, Ibu terbangun. Beliau terkejut karena baju bagian punggungnya terangkat. Ibu langsung duduk dengn susah payah. Aku sudah tak bisa menahan ini semua. 

"Bu, jujur lah sama Gani. Apa ini semua perbuatan Zahra?" 

Akhirnya, Ibu mengangguk. Air mataku langsung menetes, membayangkan kesakitan yang setiap hari dirasakan oleh ibu. Biarlah aku dianggap melow, daripada dianggap durhaka karena tak mementingkan ibu kandungku sendiri. 

"Bu, selama ini, Mbak Zahra melarang Ibu menemui kami?" tanya Fikri. 

Lagi-lagi, Ibu mengangguk. 

"Tapi kenapa, Bu?" 

"Ibu nggak tahu, Fik. Ibu juga kangen sama anak-anak Ibu. Tapi, Zahra justru menyiksa Ibu tiap Ibu bilang ingin bertemu dengan kalian. Bukan hanya punggung saja, tapi ini juga..." 

Ibu mengangkat baju bagian depannya, lalu terbuka lah semua luka itu. Aku memejamkan mata, tak tega melihat orang tua satu-satunya mengalami kesakitan itu, juga merasa bersalah karena Ibu mengalaminya karena kelalaianku. 

"Maafkan Gani, Bu. Seandainya saja Gani lebih memperhatikan, mungkin semua ini takkan terjadi," ucapku penuh penyesalan. 

"Tak apa, Nak. Ini sudah takdirnya. Yang terpenting sekarang, Ibu sudah bertemu kalian." 

"Bu, apakah Zahra suka membawa pulang laki-laki?" 

Ibu terdiam. Aku langsung tahu jawabannya. Jadi tadi siang bukan kali pertama Zahra membawa pulang lelaki itu. Padahal, semuanya telah kuberi untuknya. Kenapa ia masih jahat padaku dan juga keluargaku? 

Ting! 

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Saat kulihat, itu dari Zahra. 

[Bang, kok uangnya belum dikirim?] 

Aku mengembuskan napas panjang. Jika dipikir-pikir, selama aku kerja di luar kota, ia tak pernah sekedar menanyakan kabarku. Ia menghubungi hanya ketika meminta uang saja. Selain itu, harus aku yang menghubungi terlebih dahulu. 

"Selama ini, Gani selalu menjatah Ibu setiap bulan, apa Zahra memberinya?" tanyaku, meski sudah tahu jawabannya. 

Ibu menggeleng, membuat Kamila dan Fikri beristigfar. Kedua adikku memang tak kuperbolehkan untuk memberi Ibu uang, karena hidup mereka pun pas-pasan karena harus membayar asisten rumah tangga juga. Keduanya tinggal di rumah lama kami, bertiga dengan seorang asisten rumah tangga. 

"Jadi, Ibu tak pernah membeli baju selama ini?" 

Aku berjalan menuju tas, lalu mengeluarkan baju ibu yang masih masuk dalam kategori layak pakai, karena yang lainnya sudah robek dan beberapa ada tambalan. 

"Ya Allah, Bu. Kalau tahu Ibu begini, mending tinggal sama Mila dan Fikri saja. Daripada tersiksa bersama menantu serakah itu," ucap Mila dengan nafas memburu. 

Ting!

Sebuah pesan masuk kembali, dari Zahra. 

[Kok cuma dibaca, Bang?] 

Segera kuketik balasan untuknya. 

[Kirimkan poto Ibu dulu, aku kangen.] 

Lama tak menjawab, pesanku hanya dibaca saja. Mungkin, di rumah sana Zahra tengah kelabakan karena Ibu tak ada di rumah. Aku tersenyum, memikirkan ia panik dan mencari jawaban atas pertanyaanku. 

[Ibu lagi tidur, Bang. Aku nggak enak mau ganggu. Tau sendiri, nanti Ibu marah.] 

Selalu begini. Ia selalu mengatakan ibu pemarah, padahal jelas-jelas aku sendiri tahu, bagaimana ibuku sebenarnya. 

[Nggak papa. Nanti kalau marah, biar aku nasehati.] 

Lama tak ada balasan, kutekan tombol video untuk menghubungkan kami melalui panggilan video. 

"Ha-halo, Bang," ucapnya menyapaku. Matanya melirik ke sudut, mungkin lelaki itu masih di sana. 

"Mana Ibu, Dek?" 

"Kan kata adek tadi, Ibu lagi tidur, Bang. Kalau Ibu marah karena Adek masuk kamar tanpa izin bagaimana?"

"Abang yang akan tanggung jawab," ucapku. 

"Tapi, Bang." 

"Kenapa? Karena Ibu ada sama aku?" tanyaku sambil mengarahkan kamera ke wajah Ibu. 

Sontak, Zahra berteriak. Ia terkejut sampai ponselnya terjatuh. Terbukti kini aku melihatnya dari bawah. 

"Ba-bang, kok Ibu sama Abang?" 

"Harusnya Abang yang tanya. Apa yang sudah kamu perbuat, Zahra Ahnatulissa?"

__

"I-ibu? Kok ibu sama Bang Gani ga bilang-bilang? Abang kapan pulang? Kenapa ga bagi tahu? Lalu, kalian di mana?" tanya Zahra dengan panik. 

"Ibu sama Abang lagi sama kami, Mbak," ucap Kamila sambil nyengir di layar. 

"Mi-mila." 

"Iya, kenapa, Mbak? Akhirnya, aku ketemu juga sama ibuku yang kamu kurung, Mbak!" 

Zahra terlihat gelagapan saat mendengar ucapan Mila. Ia pasti takut aku akan melakukan sesuatu terhadapnya karena telat memperlakukan Ibu dengan demikian kejamnya. 

"Bang, adek bisa jelaskan." 

"Ya, coba jelaskan." 

"Eh? Ma-maksud Abang?" 

"Kok maksud Abang? Bukankah tadi kamu bilang mau menjelaskan, Zah?" tanyaku lagi. 

"I-iya, Bang." 

"Tadi Abang pulang, Ibu sendirian di rumah. Kamu ke mana?" tanyaku. 

"A-aku ada di warung, Bang. Lagian, kok Ibu malah Abang bawa pergi? Kan habis makan tadi, bajunya kotor," ucapnya, seolah perhatian dengan Ibu. 

Aku terdiam. Apakah Zahra masih berpikir bahwa aku tak mengetahui semuanya? Benar-benar bod*h atau hanya berpura-pura saja? 

"Ya sudah, nanti Abang pulang." 

Setelah kumatikan telepon, Fikri dan Kamila memasang wajah cemberut. Aku tahu, mereka mungkin gemas padaku. Namun, bagaimana lagi? Aku perlu bukti untuk semua ini. Bagaimana Ibu yang tersakiti, ibu yang tak diurusnya dengan baik, agar mudah bagiku mengajukan tuntutan nantinya. Dipikirnya, aku ini lelaki bucin? Oh, tidak! Aku hanya bucin pada orang tuaku. 

"Bang, kok malah mau pulang, sih?" tanya Fikri.

"Iya, Abang kalo pulang, pasti luluh lagi sama dia. Udah deh, Bang, mending Abang cuekin aja dia. Lagian, udah kebukti semuanya. Ibu pun sudah ngaku. Memangnya, Abang mau Ibu tersiksa lagi?" 

"Tenang, itu tak akan terjadi. Abang, akan mengajukan pindah tempat kerja ke sini lagi. Insya Allah bisa karena beberapa hari lalu, kantor pusat menelepon dan menyuruh Abang kembali. Itu sebabnya, Abang pulang untuk mendiskusikan ini semua dengan Zahra dan juga Ibu. Tapi yang aku dapat malah..." Tak sanggup aku meneruskan ucapan, air mataku mengalir dengan derasnya. 

Ibu mengelus lenganku, kupeluk beliau. Tubuh Ibu yang dulu gemuk, sekarang malah menjadi kurus begini. Aku menjadi tak kuat, rasa bersalah semakin menjadi. 

"Sudah, tak apa, Nak. Yang terpenting sekarang kamu sudah pulang. Ibu seneng. Bisa ketemu kamu dan juga Kamila serta Fikri."

"Iya, Bu. Untuk ke depannya, Gani mau melakukan sesuatu demi mendapatkan bukti. Gani nggak mau, melihatnya senang begitu saja."

"Jadi, Abang mau pura-pura tak tahu dulu?" tanya Fikri. 

"Iya, Fik. Mungkin nanti Abang akan butuh bantuanmu." 

"Siap, Bang. Hubungi Fikri saja." 

Jadilah, malam itu mereka pun menginap di hotel ini juga. Ibu dengan Kamila, dan aku dengan Fikri. Sepanjang malam, mata ini tak mau tertutup untuk tidur. Memikirkan rencana-rencana yang harus kususun dengan matang. 

Zahra tak hentinya meneleponku. Apalagi bahasannya jika bukan uang. Ia tak menyuruhku pulang, mungkin bersyukur karena ia bisa menghabiskan waktu dengan lelaki simpanannya itu. Tak apa, puaskan dulu saja. Hingga nanti aku membuatmu menangis darah karena meminta maaf dariku. 

--

Pagi hari. 

Kami keluar dari hotel setelah sarapan. Entah dapat dari mana, tapi Mila mengganti baju Ibu dengan yang lebih baik lagi. Aku tersenyum, kemudian menggandeng surgaku menuju taksi online. Kemarin aku berniat membawa mobil di rumah, tapi pasti Zahra akan curiga lebih dulu. Aku ingin, ia merasa panik karena Ibu tak ada di rumah. Dan itu, sudah terlaksana. 

"Bang, sebaiknya Ibu ke rumah kita dulu," ucap Fikri. 

"Nggak papa, Fik. Abang jamin keselamatan Ibu. Kamu tenang saja, mulai sekarang, kalian bebas bertemu dengan Ibu." 

Wajar jika kasih sayang kami pada Ibu begitu banyak. Ayah sudah meninggal sedari Fikri kecil dan saat itu aku masih SMP. Semenjak saat itu, Ibu yang banting tulang berjualan lauk matang di depan rumah. Hingga mampu menyekolahkanku sampai sarjana. Meskipun menggunakan beasiswa, tetap saja Ibu keluar uang untuk sekedar pulang pergi dan kebutuhan lainnya. 

Sampai rumah, kulihat pintu tertutup. Saat kubuka, hening.  Tak ada sesiapapun. Ke mana Zahra?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 33

    EXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 32

    EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 31

    "Jadi, kalian hendak menikah, Nak?" tanya Ibu, saat kuminta pendapat setelah dua tahun kami menjalin hubungan kembali. Ya, ini tahun kedua setelah kejadian di terminal itu. Sudah berbagai jalan kami lalui, dan memang aku belum benar-benar move on dari Intan. Wanita itu, memang memiliki ruang terbesar di hatiku. "Iya, Bu. Menurut Ibu bagaimana?" tanyaku. Ibu tampak bepikir, kenapa Ibu malah ragu juga? Aku membuang napas panjang, jika memang beliau tak ingin, maka aku takkan menikah juga. "Apa Ibu nggak merestui Intan dan Gani?" tanyaku pelan. "Bukan begitu. Ibu hanya trauma," jawabku. "Bukankah Ibu menyukai Intan?" "Memang. Tapi untuk ke jenjang pernikahan, Ibu masih takut, Nak. Takut pada masalah yang sama." Aku mengangguk. Wajar jika Ibu begitu. Apalagi saat dulu stroke, Zahra pernah menyiksanya. Aku memaklumi, dan semoga saja Intan mau mengerti juga. "Ya sudah, Bu. Biar nanti Gani bicarakan dengan Intan." Ibu mengangguk. Memang, sulit untuk melupakan kejadian yang begitu m

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 30

    "Cerah banget tu muka," ledek Leman saat aku masuk kantor. Ia memang paling rajin, karena rumahnya tergolong jauh, dia berangkat habis subuh dan selalu datang yang pertama. "Akhirnya, setelah sekian lama, urusan gue dengan Zahra selesai juga," ucapku. "Iya, tapi urusan lu dan Intan belum selesai-selesai," cibir Leman. "Lu laki-laki bibirnya lemes amat sih elah. Gue sama dia juga masalalu, kali," ucapku sambil meletakkan tas dan menyalakan komputer. "Tu anak mengundurkan diri." Tangan yang sedang beraktivitas ini pun berhenti. Apa katanya? Mengundurkan diri? "Kenapa?" tanyaku. "Nah, kan, kepo juga lu? Mungkin dia malu. Apalagi semua orang tahu kalau kalian pernah ada hubungan, ditambah kemarin Zahra kan sumpah serapah ke dia. Kasihan sih, kalau gue lihat. Dia segitu sukanya sama elu, sampai diam aja pas Zahra permalukan kemarin." 

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 29

    Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan memperlihatkan history cctv pada tanggal sebelum mereka ketahuan selingkuh olehku. Di sana, terlihat Mas Beni memegang sebuah kertas dan membicarakannya dengan Zahra. Beruntung, aku memasang cctv dengan model terbaru. Yang bisa terdengar suaranya, sehingga kali ini Mas Beni tak bisa mengelak. "Di sini terdengar kan, kalau kamu menyuruh Zahra untuk meminta uang dariku karena ingin membeli motor baru? Bahkan, tak segan-segan kamu menyuruhnya seperti menyuruh anak membeli garam. Aku curiga, jangan-jangan Mas Beni menggunakan ilmu pelet juga untuk Zahra?" "Apa? Pelet?" Om Ade sedikit terkejut, karena menantu adiknya itu ternyata menggunakan hal begituan demi menggaet Zahra. "Tidak, Om! Jangan percaya dia. Dia hanya sedang berhalusinasi. Masa iya, aku pakai pelet, Om? Nggak mungkin, kan? Tolong percaya padaku, Om." 

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 28

    Setelah berkutat dengan pekerjaan seharian, aku pulang dan melihat Intan tengah bermain ponsel di loby kantor. Melihatnya, membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Aku pun memberhentikan mobil di depannya, dan menyuruhnya masuk. "Masuk!" perintahku. "Aku, Mas?" tanya Intan, wajahnya sudah tak sepucat tadi pagi. "Ya iya, siapa lagi?" Dengan tersenyum, Intan masuk ke dalam mobil, dan aku melajukannya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun. Hanya dia yang terus menoleh memperhatikanku. "Maaf ya," ucapku pada akhirnya. "Untuk apa, Mas? Yang tadi pagi?" tanya Intan. "Semuanya. Termasuk karena kemarin aku membiarkanmu ujan-ujanan tanpa menawarkan payung. Andai kupinjamkn, mungkin kamu takkan sakit," ucapku sedikit menyesal. "Oh, nggak papa kok, Mas," ucapnya sambil tersenyum. Membuatku sedikit terpana. Namun aku segera meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status