Share

BAB 2

"Luka memang apa ini, Bang?" tanya Mila. 

Mungkin karena mendengar suara Mila, Ibu terbangun. Beliau terkejut karena baju bagian punggungnya terangkat. Ibu langsung duduk dengn susah payah. Aku sudah tak bisa menahan ini semua. 

"Bu, jujur lah sama Gani. Apa ini semua perbuatan Zahra?" 

Akhirnya, Ibu mengangguk. Air mataku langsung menetes, membayangkan kesakitan yang setiap hari dirasakan oleh ibu. Biarlah aku dianggap melow, daripada dianggap durhaka karena tak mementingkan ibu kandungku sendiri. 

"Bu, selama ini, Mbak Zahra melarang Ibu menemui kami?" tanya Fikri. 

Lagi-lagi, Ibu mengangguk. 

"Tapi kenapa, Bu?" 

"Ibu nggak tahu, Fik. Ibu juga kangen sama anak-anak Ibu. Tapi, Zahra justru menyiksa Ibu tiap Ibu bilang ingin bertemu dengan kalian. Bukan hanya punggung saja, tapi ini juga..." 

Ibu mengangkat baju bagian depannya, lalu terbuka lah semua luka itu. Aku memejamkan mata, tak tega melihat orang tua satu-satunya mengalami kesakitan itu, juga merasa bersalah karena Ibu mengalaminya karena kelalaianku. 

"Maafkan Gani, Bu. Seandainya saja Gani lebih memperhatikan, mungkin semua ini takkan terjadi," ucapku penuh penyesalan. 

"Tak apa, Nak. Ini sudah takdirnya. Yang terpenting sekarang, Ibu sudah bertemu kalian." 

"Bu, apakah Zahra suka membawa pulang laki-laki?" 

Ibu terdiam. Aku langsung tahu jawabannya. Jadi tadi siang bukan kali pertama Zahra membawa pulang lelaki itu. Padahal, semuanya telah kuberi untuknya. Kenapa ia masih jahat padaku dan juga keluargaku? 

Ting! 

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Saat kulihat, itu dari Zahra. 

[Bang, kok uangnya belum dikirim?] 

Aku mengembuskan napas panjang. Jika dipikir-pikir, selama aku kerja di luar kota, ia tak pernah sekedar menanyakan kabarku. Ia menghubungi hanya ketika meminta uang saja. Selain itu, harus aku yang menghubungi terlebih dahulu. 

"Selama ini, Gani selalu menjatah Ibu setiap bulan, apa Zahra memberinya?" tanyaku, meski sudah tahu jawabannya. 

Ibu menggeleng, membuat Kamila dan Fikri beristigfar. Kedua adikku memang tak kuperbolehkan untuk memberi Ibu uang, karena hidup mereka pun pas-pasan karena harus membayar asisten rumah tangga juga. Keduanya tinggal di rumah lama kami, bertiga dengan seorang asisten rumah tangga. 

"Jadi, Ibu tak pernah membeli baju selama ini?" 

Aku berjalan menuju tas, lalu mengeluarkan baju ibu yang masih masuk dalam kategori layak pakai, karena yang lainnya sudah robek dan beberapa ada tambalan. 

"Ya Allah, Bu. Kalau tahu Ibu begini, mending tinggal sama Mila dan Fikri saja. Daripada tersiksa bersama menantu serakah itu," ucap Mila dengan nafas memburu. 

Ting!

Sebuah pesan masuk kembali, dari Zahra. 

[Kok cuma dibaca, Bang?] 

Segera kuketik balasan untuknya. 

[Kirimkan poto Ibu dulu, aku kangen.] 

Lama tak menjawab, pesanku hanya dibaca saja. Mungkin, di rumah sana Zahra tengah kelabakan karena Ibu tak ada di rumah. Aku tersenyum, memikirkan ia panik dan mencari jawaban atas pertanyaanku. 

[Ibu lagi tidur, Bang. Aku nggak enak mau ganggu. Tau sendiri, nanti Ibu marah.] 

Selalu begini. Ia selalu mengatakan ibu pemarah, padahal jelas-jelas aku sendiri tahu, bagaimana ibuku sebenarnya. 

[Nggak papa. Nanti kalau marah, biar aku nasehati.] 

Lama tak ada balasan, kutekan tombol video untuk menghubungkan kami melalui panggilan video. 

"Ha-halo, Bang," ucapnya menyapaku. Matanya melirik ke sudut, mungkin lelaki itu masih di sana. 

"Mana Ibu, Dek?" 

"Kan kata adek tadi, Ibu lagi tidur, Bang. Kalau Ibu marah karena Adek masuk kamar tanpa izin bagaimana?"

"Abang yang akan tanggung jawab," ucapku. 

"Tapi, Bang." 

"Kenapa? Karena Ibu ada sama aku?" tanyaku sambil mengarahkan kamera ke wajah Ibu. 

Sontak, Zahra berteriak. Ia terkejut sampai ponselnya terjatuh. Terbukti kini aku melihatnya dari bawah. 

"Ba-bang, kok Ibu sama Abang?" 

"Harusnya Abang yang tanya. Apa yang sudah kamu perbuat, Zahra Ahnatulissa?"

__

"I-ibu? Kok ibu sama Bang Gani ga bilang-bilang? Abang kapan pulang? Kenapa ga bagi tahu? Lalu, kalian di mana?" tanya Zahra dengan panik. 

"Ibu sama Abang lagi sama kami, Mbak," ucap Kamila sambil nyengir di layar. 

"Mi-mila." 

"Iya, kenapa, Mbak? Akhirnya, aku ketemu juga sama ibuku yang kamu kurung, Mbak!" 

Zahra terlihat gelagapan saat mendengar ucapan Mila. Ia pasti takut aku akan melakukan sesuatu terhadapnya karena telat memperlakukan Ibu dengan demikian kejamnya. 

"Bang, adek bisa jelaskan." 

"Ya, coba jelaskan." 

"Eh? Ma-maksud Abang?" 

"Kok maksud Abang? Bukankah tadi kamu bilang mau menjelaskan, Zah?" tanyaku lagi. 

"I-iya, Bang." 

"Tadi Abang pulang, Ibu sendirian di rumah. Kamu ke mana?" tanyaku. 

"A-aku ada di warung, Bang. Lagian, kok Ibu malah Abang bawa pergi? Kan habis makan tadi, bajunya kotor," ucapnya, seolah perhatian dengan Ibu. 

Aku terdiam. Apakah Zahra masih berpikir bahwa aku tak mengetahui semuanya? Benar-benar bod*h atau hanya berpura-pura saja? 

"Ya sudah, nanti Abang pulang." 

Setelah kumatikan telepon, Fikri dan Kamila memasang wajah cemberut. Aku tahu, mereka mungkin gemas padaku. Namun, bagaimana lagi? Aku perlu bukti untuk semua ini. Bagaimana Ibu yang tersakiti, ibu yang tak diurusnya dengan baik, agar mudah bagiku mengajukan tuntutan nantinya. Dipikirnya, aku ini lelaki bucin? Oh, tidak! Aku hanya bucin pada orang tuaku. 

"Bang, kok malah mau pulang, sih?" tanya Fikri.

"Iya, Abang kalo pulang, pasti luluh lagi sama dia. Udah deh, Bang, mending Abang cuekin aja dia. Lagian, udah kebukti semuanya. Ibu pun sudah ngaku. Memangnya, Abang mau Ibu tersiksa lagi?" 

"Tenang, itu tak akan terjadi. Abang, akan mengajukan pindah tempat kerja ke sini lagi. Insya Allah bisa karena beberapa hari lalu, kantor pusat menelepon dan menyuruh Abang kembali. Itu sebabnya, Abang pulang untuk mendiskusikan ini semua dengan Zahra dan juga Ibu. Tapi yang aku dapat malah..." Tak sanggup aku meneruskan ucapan, air mataku mengalir dengan derasnya. 

Ibu mengelus lenganku, kupeluk beliau. Tubuh Ibu yang dulu gemuk, sekarang malah menjadi kurus begini. Aku menjadi tak kuat, rasa bersalah semakin menjadi. 

"Sudah, tak apa, Nak. Yang terpenting sekarang kamu sudah pulang. Ibu seneng. Bisa ketemu kamu dan juga Kamila serta Fikri."

"Iya, Bu. Untuk ke depannya, Gani mau melakukan sesuatu demi mendapatkan bukti. Gani nggak mau, melihatnya senang begitu saja."

"Jadi, Abang mau pura-pura tak tahu dulu?" tanya Fikri. 

"Iya, Fik. Mungkin nanti Abang akan butuh bantuanmu." 

"Siap, Bang. Hubungi Fikri saja." 

Jadilah, malam itu mereka pun menginap di hotel ini juga. Ibu dengan Kamila, dan aku dengan Fikri. Sepanjang malam, mata ini tak mau tertutup untuk tidur. Memikirkan rencana-rencana yang harus kususun dengan matang. 

Zahra tak hentinya meneleponku. Apalagi bahasannya jika bukan uang. Ia tak menyuruhku pulang, mungkin bersyukur karena ia bisa menghabiskan waktu dengan lelaki simpanannya itu. Tak apa, puaskan dulu saja. Hingga nanti aku membuatmu menangis darah karena meminta maaf dariku. 

--

Pagi hari. 

Kami keluar dari hotel setelah sarapan. Entah dapat dari mana, tapi Mila mengganti baju Ibu dengan yang lebih baik lagi. Aku tersenyum, kemudian menggandeng surgaku menuju taksi online. Kemarin aku berniat membawa mobil di rumah, tapi pasti Zahra akan curiga lebih dulu. Aku ingin, ia merasa panik karena Ibu tak ada di rumah. Dan itu, sudah terlaksana. 

"Bang, sebaiknya Ibu ke rumah kita dulu," ucap Fikri. 

"Nggak papa, Fik. Abang jamin keselamatan Ibu. Kamu tenang saja, mulai sekarang, kalian bebas bertemu dengan Ibu." 

Wajar jika kasih sayang kami pada Ibu begitu banyak. Ayah sudah meninggal sedari Fikri kecil dan saat itu aku masih SMP. Semenjak saat itu, Ibu yang banting tulang berjualan lauk matang di depan rumah. Hingga mampu menyekolahkanku sampai sarjana. Meskipun menggunakan beasiswa, tetap saja Ibu keluar uang untuk sekedar pulang pergi dan kebutuhan lainnya. 

Sampai rumah, kulihat pintu tertutup. Saat kubuka, hening.  Tak ada sesiapapun. Ke mana Zahra?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status