Share

KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG
KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG
Penulis: Jingga Rinjani

BAB 1

KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG

"Dasar mertua cacat! Masa makan yang benar saja tak bisa?!" 

Langkah kakiku terhenti saat mendengar lengkingan suara Zahra-istriku, ketika aku memasuki rumah. 

Hari ini aku memang pulang tanpa memberitahu pada Zahra atau anggota keluargaku yang lain. Kejutan, niatnya. Namun, melihat keadaan kini, kenapa malah jadi aku yang terkejut? 

"Tapi, Zah, tangan Ibu kan belum sembuh betul," ucap Ibu dengan nada sedih pada menantunya itu. 

"Ya nggak mau tahu, nanti mau aku foto biar Mas Gani tahu, aku mengurusmu dengan baik, Bu," ucap Zahra. 

Aku masuk dengan mengendap-endap, lalu mengintip dari kaca celah pintu kamar Ibu. Hatiku teriris melihat pemandangan di depan sana. Ibu, wanita yang paling kucinta, kini tengah terduduk di kursi dengan tumpahan makanan di atas tubuhnya. 

Ibu memang mengalami stroke ringan. Beliau masih bisa berbicara, bisa jalan juga setelah melakukan terapi. 

Zahra tidak tahu aku pulang, ia tahunya aku masih ada di Semarang, tempat kerjaku setelah dimutasi. Kugenggam paperbag yang berisi berlian untuknya. Ternyata, selama ini, aku mempercayakan ibu pada penjahat? 

"Habiskan itu, aku mau keluar dulu. Ibu jangan macam-macam, ya!" 

Aku segera berjalan ke luar, bersembunyi di samping rumah yang merupakan kebun. Melihat Zahra keluar rumah, aku segera masuk ke dalam. 

"Bu," panggilku sambil masuk ke dalam kamar Ibu. 

"Ga-Gani? Ya Allah, kamu pulang, Nak?" Aku memang sudah dua bulan ini tak pulang. Alasannya hanya satu, mengumpulkan uang untuk membelikan berlian yang tengah dipinta oleh Zahra beberapa bulan yang lalu. 

"Iya, Bu, Gani pulang," ucapku dengan nada bergetar, tak tega melihat Ibu dengan keadaan begini. 

"I-ini, Ibu tadi ngambil dan makan sendiri. Soalnya kasihan Zahra, dia betul-betul merawat Ibu. Pasti capek kalau terus direpotkan." 

Aku hanya diam. Bahkan di saat berdua pun, Ibu masih membelanya. Lihat lah, Zahra. Betapa orang tuaku menyayangimu. 

"Bu, Gani sudah tahu semua. Sekarang, ayo kita pergi dari sini," ucapku. 

Ibu terdiam tak merespon. Aku segera membuka lemari, lebih miris lagi setelah melihat bajunya. Bukankah, setiap bulan aku rutin mengirimkan uang untuk Ibu juga? Bukankah, Zahra selalu bilang habis membelikan Ibu baju? Tapi, apa ini? 

Kuambil daster yang masih layak pakai, lalu memasukkannya ke dalam tasku. Segera kutuntun Ibu setelah berhasil mendapatkan taksi online. Aku harus bergegas sebelum Zahra pulang. 

Benar saja, begitu aku naik ke taksi online, Zahra pulang dengan diantarkan oleh seorang lelaki. Yang lebih mengejutkan lagi, mereka masuk ke dalam rumahku. Siapa dia? Ingin kutanyai Ibu, namun sepertinya tak memungkinkan. 

---

Aku turun lebih dulu, lalu membantu Ibu berjalan. Kubawa beliau ke hotel agar Zahra tak bisa menemukan kami untuk sementara ini. Setelah mendapatkan kamar, dengan dibantu karyawan hotel, kami menemukan kamar dengan nomor yang sama dengan kartu. 

"Bu, sementara waktu, kita tidur di sini, ya?" 

"Tapi, bagaimana Zahra, Gan?"

"Kenapa Ibu masih memikirkannya? Ia bahkan sudah bersikap tak sopan pada Ibu, dan juga, Gani lihat tadi ia membawa laki-laki pulang. Siapa dia, Bu?" 

Ibu hanya diam. Sudah kuduga, beliau tak mau buka suara. Aku memutuskan untuk masuk ke kamar mandi, mendinginkan kepala dan hati yang terasa panas di bawah guyuran air. Tak terasa, air mataku menetes perlahan. 

Di mana Kamila, adik perempuanku, dan juga  Fikri, adik bungsuku? Kenapa mereka membiarkan Ibu melalui ini semua? Selesai mandi, kuputuskan untuk menghubungi mereka. Anehnya, tak tersambung. Segera kutelepon melalui telepon biasa, terhubung. Tak berapa lama kemudian, diangkat oleh Kamila. 

"Apa?" tanyanya ketus. 

"Loh, Abang telepon kok jawabnya gitu?" 

"Bukankah Abang sendiri yang memutuskan tali silaturahmi kita?" 

"Loh, kapan Abang bilang gitu? Jangan mengada-ada, Mil," ucapku. 

"Siapa yang mengada-ada? Sudah lah, Bang. Bahagiakan saja istri Abang itu, gak usah pedulikan aku dan Fikri yang susah ini." 

"Tunggu, Abang benar-benar tak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan. Sebaiknya, kamu ajak Fikri ke sini." 

"Ke Semarang? Abang ngeledek? Punya uang juga nggak." Aku menepuk dahi, lupa jika belum memberitahu kalau aku sudah pulang. 

Setelah memberi alamat pada Kamila, aku mendekati Ibu. Pokoknya, aku akan mendapat kejelasan dari ini semua. 

___

"Jadi, kalian tak pernah mengunjungi Ibu?" tanyaku setengah tak percaya saat mendengar ucapan Kamila serta Fikri. 

"Bagaimana mau mengunjungi, Bang? Kami baru datang ke depan pintu saja sudah diusir. Terakhir ketemu, pas Ibu jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke itu." 

Aku mengelus dada. Tak menyangka kelakuan istri sebegini keterlaluannya. Apa kurangnya perlakuanku padanya? Uang kukasih hampir 80% pendapatan dan lemburanku. Belum lagi jika ada bonus karena memenangkan proyek. 

Untuk keluarganya, aku pun tak pernah lupa menyisihkan untuk mereka. Jadi, aku tak habis pikir. Kenapa ia bisa tega berbuat begini? 

"Bu, tolong jujur sama Abang. Ibu tak mau kan, hidup dengan menantu seperti itu terus?" cecar Mila. 

"I-ibu..." 

Aku menghela napas, sepertinya Ibu belum bisa kutanyai lebih banyak. Kusuruh beliau untuk istirahat, sementara aku, Kamila dan juga Fikri pergi ke cafe bawah. 

"Sebenarnya, beberapa hari lalu, aku melihat Mbak Zahra dibonceng laki-laki, Mas. Masih muda, kayaknya seumuran sama aku. Masuknya berondong bukan, sih? Secara aku aja usianya dua puluh lima, Mbak Zahra dua puluh delapan tahun." 

Aku menghela napas. Zahra memang keterlaluan. Selain memperlakukan ibuku dengan buruk, ia juga diam-diam mengkhianatiku. 

"Jadi, ini alasan kalian tak pernah bisa kuhubungi? Karena Abang pernah menyuruh kalian untuk tak menghubungi lagi, sehingga kalian memblokir Abang?" tanyaku pada Fikri, juga Kamila. 

"Iya, aku masih simpan chat abang enam bulan yang lalu."

Fikri menyerahkan ponselnya, lalu kubaca perlahan. Aku tak pernah mengirimkan pesan seperti ini, namun kenapa bisa ada? Pikiranku langsung tertuju pada Zahra, apakah dia dalang dari semua ini? 

Lamunanku tersadar saat sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari Zahra. Kenapa dia? Bukankah ia tengah bersenang-senang dengan brondong simpanannya? 

"Halo," ucapku, setelah memberi kode pada dua adikku untuk diam. 

"Halo, Bang? Aku minta uang dong, Bang. Ibu nih, pengen beli mukena baru. Adek dah nanya ke teman, ada yang kualitasnya bagus banget. Tapi ya gitu, harganya delapan ratus ribu," ucapnya. 

"Bukankah minggu lalu Abang sudah mengirimkan uang, Dek? Kenapa sudah habis? Abang kirim lima juta, loh," ucapku dengan amarah yang tertahan. 

"Ih, Abang kok perhitungan?" 

"Ya sudah, mana Ibu? Abang mau ngobrol." 

"Ng ... A-anu, Bang. I-ibu lagi tidur. Kayaknya kecapekan karena habis nonton tivi tadi." 

"Nonton tivi bisa capek juga? Emang Ibu nonton tivinya sambil apa? Olahraga?" tanyaku ketus. 

"Kok Abang ketus gitu? Abang nggak percaya sama Adek?" tanyanya dengan suara manja dibuat-buat. 

Selama ini, aku paham. Aku yang lalai terhadap Ibu. Jika aku menelepon dan berkata ingin berbicara dengan Ibu, Zahra selalu bilang Ibu sedang capek, tidur, ataupun makan. Apakah ini hanya alasannya saja, supaya aku tak bisa melihat keadaan Ibu? 

"Oh, ya sudah. Nanti Abang kirim." 

Panggilan pun terputus. Mila melotot padaku, mungkin ia mengira aku akan benar-benar mengirimkan uang lagi untuk wanita itu. 

"Tenang saja, Abang nggak akan kirim. Kayaknya, dia belum tahu kalau Ibu gak ada di rumah."

"Kenapa, Bang?" tanya Kamila. 

"Karena tadi pas kami naik taksi online, Zahra pulang sama lelaki muda, seperti yang kamu ucapkan." 

"Nah, betul kan, Bang? Aku tak bohong," ucap Mila. 

"Bang, coba suruh Ibu untuk jujur, aku cemas sendiri," pinta adik bungsuku itu. 

"Iya, Abang pun sudah penasaran banget." 

Kami memutuskan untuk naik ke atas. Melihat Ibu yang tengah tertidur pulas, membuatku tak tega untuk membangunkannya. 

Mila mendekat ke arah Ibu, lalu memeluknya. Aku bisa melihat, anak perempuan satu-satunya itu begitu merindukan Ibu. Saat Mila tak sengaja membuka baju Ibu, mataku membeliak melihat sesuatu di sana. Aku pun mendekat, untuk memastikan.

Luka memar apa ini? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status