KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG
"Dasar mertua cacat! Masa makan yang benar saja tak bisa?!" Langkah kakiku terhenti saat mendengar lengkingan suara Zahra-istriku, ketika aku memasuki rumah. Hari ini aku memang pulang tanpa memberitahu pada Zahra atau anggota keluargaku yang lain. Kejutan, niatnya. Namun, melihat keadaan kini, kenapa malah jadi aku yang terkejut? "Tapi, Zah, tangan Ibu kan belum sembuh betul," ucap Ibu dengan nada sedih pada menantunya itu. "Ya nggak mau tahu, nanti mau aku foto biar Mas Gani tahu, aku mengurusmu dengan baik, Bu," ucap Zahra. Aku masuk dengan mengendap-endap, lalu mengintip dari kaca celah pintu kamar Ibu. Hatiku teriris melihat pemandangan di depan sana. Ibu, wanita yang paling kucinta, kini tengah terduduk di kursi dengan tumpahan makanan di atas tubuhnya. Ibu memang mengalami stroke ringan. Beliau masih bisa berbicara, bisa jalan juga setelah melakukan terapi. Zahra tidak tahu aku pulang, ia tahunya aku masih ada di Semarang, tempat kerjaku setelah dimutasi. Kugenggam paperbag yang berisi berlian untuknya. Ternyata, selama ini, aku mempercayakan ibu pada penjahat? "Habiskan itu, aku mau keluar dulu. Ibu jangan macam-macam, ya!" Aku segera berjalan ke luar, bersembunyi di samping rumah yang merupakan kebun. Melihat Zahra keluar rumah, aku segera masuk ke dalam. "Bu," panggilku sambil masuk ke dalam kamar Ibu. "Ga-Gani? Ya Allah, kamu pulang, Nak?" Aku memang sudah dua bulan ini tak pulang. Alasannya hanya satu, mengumpulkan uang untuk membelikan berlian yang tengah dipinta oleh Zahra beberapa bulan yang lalu. "Iya, Bu, Gani pulang," ucapku dengan nada bergetar, tak tega melihat Ibu dengan keadaan begini. "I-ini, Ibu tadi ngambil dan makan sendiri. Soalnya kasihan Zahra, dia betul-betul merawat Ibu. Pasti capek kalau terus direpotkan." Aku hanya diam. Bahkan di saat berdua pun, Ibu masih membelanya. Lihat lah, Zahra. Betapa orang tuaku menyayangimu. "Bu, Gani sudah tahu semua. Sekarang, ayo kita pergi dari sini," ucapku. Ibu terdiam tak merespon. Aku segera membuka lemari, lebih miris lagi setelah melihat bajunya. Bukankah, setiap bulan aku rutin mengirimkan uang untuk Ibu juga? Bukankah, Zahra selalu bilang habis membelikan Ibu baju? Tapi, apa ini? Kuambil daster yang masih layak pakai, lalu memasukkannya ke dalam tasku. Segera kutuntun Ibu setelah berhasil mendapatkan taksi online. Aku harus bergegas sebelum Zahra pulang. Benar saja, begitu aku naik ke taksi online, Zahra pulang dengan diantarkan oleh seorang lelaki. Yang lebih mengejutkan lagi, mereka masuk ke dalam rumahku. Siapa dia? Ingin kutanyai Ibu, namun sepertinya tak memungkinkan. ---Aku turun lebih dulu, lalu membantu Ibu berjalan. Kubawa beliau ke hotel agar Zahra tak bisa menemukan kami untuk sementara ini. Setelah mendapatkan kamar, dengan dibantu karyawan hotel, kami menemukan kamar dengan nomor yang sama dengan kartu. "Bu, sementara waktu, kita tidur di sini, ya?" "Tapi, bagaimana Zahra, Gan?""Kenapa Ibu masih memikirkannya? Ia bahkan sudah bersikap tak sopan pada Ibu, dan juga, Gani lihat tadi ia membawa laki-laki pulang. Siapa dia, Bu?" Ibu hanya diam. Sudah kuduga, beliau tak mau buka suara. Aku memutuskan untuk masuk ke kamar mandi, mendinginkan kepala dan hati yang terasa panas di bawah guyuran air. Tak terasa, air mataku menetes perlahan. Di mana Kamila, adik perempuanku, dan juga Fikri, adik bungsuku? Kenapa mereka membiarkan Ibu melalui ini semua? Selesai mandi, kuputuskan untuk menghubungi mereka. Anehnya, tak tersambung. Segera kutelepon melalui telepon biasa, terhubung. Tak berapa lama kemudian, diangkat oleh Kamila. "Apa?" tanyanya ketus. "Loh, Abang telepon kok jawabnya gitu?" "Bukankah Abang sendiri yang memutuskan tali silaturahmi kita?" "Loh, kapan Abang bilang gitu? Jangan mengada-ada, Mil," ucapku. "Siapa yang mengada-ada? Sudah lah, Bang. Bahagiakan saja istri Abang itu, gak usah pedulikan aku dan Fikri yang susah ini." "Tunggu, Abang benar-benar tak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan. Sebaiknya, kamu ajak Fikri ke sini." "Ke Semarang? Abang ngeledek? Punya uang juga nggak." Aku menepuk dahi, lupa jika belum memberitahu kalau aku sudah pulang. Setelah memberi alamat pada Kamila, aku mendekati Ibu. Pokoknya, aku akan mendapat kejelasan dari ini semua. ___"Jadi, kalian tak pernah mengunjungi Ibu?" tanyaku setengah tak percaya saat mendengar ucapan Kamila serta Fikri. "Bagaimana mau mengunjungi, Bang? Kami baru datang ke depan pintu saja sudah diusir. Terakhir ketemu, pas Ibu jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke itu." Aku mengelus dada. Tak menyangka kelakuan istri sebegini keterlaluannya. Apa kurangnya perlakuanku padanya? Uang kukasih hampir 80% pendapatan dan lemburanku. Belum lagi jika ada bonus karena memenangkan proyek. Untuk keluarganya, aku pun tak pernah lupa menyisihkan untuk mereka. Jadi, aku tak habis pikir. Kenapa ia bisa tega berbuat begini? "Bu, tolong jujur sama Abang. Ibu tak mau kan, hidup dengan menantu seperti itu terus?" cecar Mila. "I-ibu..." Aku menghela napas, sepertinya Ibu belum bisa kutanyai lebih banyak. Kusuruh beliau untuk istirahat, sementara aku, Kamila dan juga Fikri pergi ke cafe bawah. "Sebenarnya, beberapa hari lalu, aku melihat Mbak Zahra dibonceng laki-laki, Mas. Masih muda, kayaknya seumuran sama aku. Masuknya berondong bukan, sih? Secara aku aja usianya dua puluh lima, Mbak Zahra dua puluh delapan tahun." Aku menghela napas. Zahra memang keterlaluan. Selain memperlakukan ibuku dengan buruk, ia juga diam-diam mengkhianatiku. "Jadi, ini alasan kalian tak pernah bisa kuhubungi? Karena Abang pernah menyuruh kalian untuk tak menghubungi lagi, sehingga kalian memblokir Abang?" tanyaku pada Fikri, juga Kamila. "Iya, aku masih simpan chat abang enam bulan yang lalu."Fikri menyerahkan ponselnya, lalu kubaca perlahan. Aku tak pernah mengirimkan pesan seperti ini, namun kenapa bisa ada? Pikiranku langsung tertuju pada Zahra, apakah dia dalang dari semua ini? Lamunanku tersadar saat sebuah panggilan masuk ke ponselku. Dari Zahra. Kenapa dia? Bukankah ia tengah bersenang-senang dengan brondong simpanannya? "Halo," ucapku, setelah memberi kode pada dua adikku untuk diam. "Halo, Bang? Aku minta uang dong, Bang. Ibu nih, pengen beli mukena baru. Adek dah nanya ke teman, ada yang kualitasnya bagus banget. Tapi ya gitu, harganya delapan ratus ribu," ucapnya. "Bukankah minggu lalu Abang sudah mengirimkan uang, Dek? Kenapa sudah habis? Abang kirim lima juta, loh," ucapku dengan amarah yang tertahan. "Ih, Abang kok perhitungan?" "Ya sudah, mana Ibu? Abang mau ngobrol." "Ng ... A-anu, Bang. I-ibu lagi tidur. Kayaknya kecapekan karena habis nonton tivi tadi." "Nonton tivi bisa capek juga? Emang Ibu nonton tivinya sambil apa? Olahraga?" tanyaku ketus. "Kok Abang ketus gitu? Abang nggak percaya sama Adek?" tanyanya dengan suara manja dibuat-buat. Selama ini, aku paham. Aku yang lalai terhadap Ibu. Jika aku menelepon dan berkata ingin berbicara dengan Ibu, Zahra selalu bilang Ibu sedang capek, tidur, ataupun makan. Apakah ini hanya alasannya saja, supaya aku tak bisa melihat keadaan Ibu? "Oh, ya sudah. Nanti Abang kirim." Panggilan pun terputus. Mila melotot padaku, mungkin ia mengira aku akan benar-benar mengirimkan uang lagi untuk wanita itu. "Tenang saja, Abang nggak akan kirim. Kayaknya, dia belum tahu kalau Ibu gak ada di rumah.""Kenapa, Bang?" tanya Kamila. "Karena tadi pas kami naik taksi online, Zahra pulang sama lelaki muda, seperti yang kamu ucapkan." "Nah, betul kan, Bang? Aku tak bohong," ucap Mila. "Bang, coba suruh Ibu untuk jujur, aku cemas sendiri," pinta adik bungsuku itu. "Iya, Abang pun sudah penasaran banget." Kami memutuskan untuk naik ke atas. Melihat Ibu yang tengah tertidur pulas, membuatku tak tega untuk membangunkannya. Mila mendekat ke arah Ibu, lalu memeluknya. Aku bisa melihat, anak perempuan satu-satunya itu begitu merindukan Ibu. Saat Mila tak sengaja membuka baju Ibu, mataku membeliak melihat sesuatu di sana. Aku pun mendekat, untuk memastikan.Luka memar apa ini?"Luka memang apa ini, Bang?" tanya Mila. Mungkin karena mendengar suara Mila, Ibu terbangun. Beliau terkejut karena baju bagian punggungnya terangkat. Ibu langsung duduk dengn susah payah. Aku sudah tak bisa menahan ini semua. "Bu, jujur lah sama Gani. Apa ini semua perbuatan Zahra?" Akhirnya, Ibu mengangguk. Air mataku langsung menetes, membayangkan kesakitan yang setiap hari dirasakan oleh ibu. Biarlah aku dianggap melow, daripada dianggap durhaka karena tak mementingkan ibu kandungku sendiri. "Bu, selama ini, Mbak Zahra melarang Ibu menemui kami?" tanya Fikri. Lagi-lagi, Ibu mengangguk. "Tapi kenapa, Bu?" "Ibu nggak tahu, Fik. Ibu juga kangen sama anak-anak Ibu. Tapi, Zahra justru menyiksa Ibu tiap Ibu bilang ingin bertemu dengan kalian. Bukan hanya punggung saja, tapi ini juga..." Ibu mengangkat baju bagian depannya, lalu terbuka lah semua luka itu. Aku memejamkan mata, tak tega melihat orang tua satu-satunya mengalami kesakitan itu, juga merasa bersalah karena Ibu mengala
"Kamu sudah pulang, Mas?" Suara Zahra terdengar di belakangku. Aku berbalik, tampak ia dan keluarganya sudah berdiri di belakang kami. Aku mengerutkan kening, jadi Zahra habis menjemput orang tuanya? "Iya." Aku menyalami Bapak dan Mama, lalu menyuruh mereka duduk di ruang tamu bersama Ibu dan juga kedua adikku. Kubawa Zahra ke kamar, aku yakin, saat ini ia hanya ingin aku bersikap baik padanya, makanya mengundang kedua orang tuanya. "Kenapa, Mas? Kamu pasti kangen, kan, sama aku?" tanyanya sambil mencoba memeluk tubuh ini. Aku mundur beberapa langkah, membuatnya mengerutkan kening karena sikapku. Bayangan ia yang bermesraan dengan lelaki lain, membuatku enggan bersentuhan dengannya. "Loh, kenapa, Mas?" "Kamu kenapa bawa Bapak dan Mama?" tanyaku. "Lah, emang kenapa? Kan biasanya juga, setiap kamu pulang, Bapak dan Mama pasti ke sini." Memang benar. Setiap aku pulang, mereka akan ke sini. Menemuiku dengan dalih lama tak bersua, namun nanti pulangnya menyuruh Zahra untuk meminta
"M-mas," ucapnya setelah berhasil mengambil ponselnya dari genggamanku. Aku menatapnya tajam, memastikan ia terintimidasi oleh tatapanku. Berhasil, ia ketakutan sekarang. "Siapa itu?" tanyaku sambil mendekatinya. "Oh, dia? Dia ini Rohim, sepupuku." "Oh, ya? Lantas, kenapa hanya diberi nama titik?""Ke-kemarin, aku buru-buru Mas pas menyimpan nama dia.""Bukan karena kamu main-main sama dia, kan?" "Nggak, Mas! Aku hanya setia dan cinta padamu. Tak ada orang lain lagi," ucapnya sambil berusaha meraih tanganku. Aku mengamgguk, kemudian berlalu dari kamarnya. Kamila dan Fikri sudah pulang karena besok harus kerja. Aku pun akan menghubungi kantor dan menerima penawaran pindah ke kantor pusat kembali, meskipun bonusnya dikurangi. "Halo, Pak. Maaf mengganggu hari libur anda. Tapi, saya ingin menerima tawaran untuk pindah dari kantor cabang ke kantor pusat," ucapku pada Pak Andi. "Baik, nanti akan saya hubungkan langsung ke pimpinan." "Terima kasih." Akhirnya aku bisa tenang. Merawa
"Nggak papa. Maaf juga kalo aku menyinggungmu, Zah," ucapku. Lalu aku merebahkan tubuh, dan tidur menyamping. Aku bisa mendengar helaan napas panjangnya, lalu ikut merebahkan diri. Aku tak bisa tertidur lelap, hingga akhirnya beberapa menit kemudian, terasa gerakan dari ranjang. Benar, Zahra bangun diam-diam, dan berdiri di depanku. Aku bisa merasakan itu. Lalu, saat ia berbalik, aku membuka mata sedikit. Melihat ia berjalan dengan berjinjit, membuatku mengerutkan kening. Kenapa ia jalannya seperti itu? Mencurigakan.Setelah ia menutup pintu, gegas aku pun bangun. Mengikutinya dengan langkah perlahan. Ke mana ia? Kenapa nggak keliatan? Aku melihat pintu kamar Ibu terbuka. Saat mengintip, terlihat Zahra ada di sana. Aku pun berdiri di belakang pintu. "Bu, coba bilangin sama anak Ibu, jangan suka ngungkit aku yang nggak punya anak!" ucap Zahra, suaranya tak terlalu kencang, mungkin takut aku mendengar. "Tapi, Zah, wajar kalau Gani ingin punya anak. Kalian sudah menikah tiga tahun le
Segera aku bergegas, membereskan berkas yang masih berserakan di atas meja. Setelah beres, aku pun turun ke bawah dan masuk ke dalam mobil.Beruntung, malam ini tampak sepi. Mungkin karena baru selesai hujan sehingga banyak orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.Untuk langkah pertama, aku membawa dua orang satpam komplek ke rumah Pak RT. Di sana, kuceritakan semua. Awalnya mereka tak percaya, namun setelah kutunjukkan bukti, mereka pun mendukung.Kulihat Pak RT mulai menghubungi warga lain, tentu saja melalui ponsel. Setelah dirasa siap, kami pun berjalan pelan menuju rumahku yang berjarak lima rumah dari tempat Pak RT."Yang tabah ya, Pak Gani," ucap Bu RT, yang diangguki oleh ibu-ibu lain."Aamiin. Makasih banyak ya, Ibu-ibu. Saya juga nggak menyangka, kalau tindakan saya yang tiba-tiba ingin memasang cctv ini, justru malah membongkar perselingkuhan istri saya," jawabku berbohong, padahal aku sudah curiga dari lama. Biarlah mereka menganggap bahwa aku ini suami bodoh, kare
Klek!Kunyalakan lampu kamar. Zahra terlihat panik dan menutupi wajahnya. Saat ia bergeser, baru aku bisa melihat wajah selingkuhannya itu."Mas Beni?!" teriakku tak percaya.Mas Beni, adalah suami dari Mbak Sinta, alias kakak kandung Zahra sendiri. Hatiku mencelos saat melihat mereka dalam keadaan t*lanj*ng bulat. Sesak, sakit, kurasakan bersama.Aku merangsek maju, memberi bogem mentah pada laki-laki yang telah menodai pernikahannya dan juga merusak rumah tanggaku."Br*ngsek!"Kutarik ia untuk turun, lalu memukulinya. Ibu-ibu menjerit, bukan karena melihatku menghajar kakak iparku sendiri. Melainkan karena mereka melihat Mas Beni tanpa b*sana.Bug!Bug!Kupukuli ia dengan membabi buta, tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Kutumpahkan semua kekesalan padanya."Sudah, Pak Gani! Berhenti!"Pak RT dan dua satpam tadi memisahkanku dengan Mas Beni, begitupun warga lain. Teriakan Zahra terasa menggema, memek
Mas!""Gani!"Zahra dan Mas Gani kompak teriak, sementara aku tersenyum pada mereka."Kenapa?""Mas, tolong jangan lakukan itu!" pinta Zahra."Kenapa?""Aku malu, Mas.""Iya, Gan. Apalagi, banyak temanku di area ini. Tolong, selamatkan harga diriku. Jangan arak kami," pinta Mas Beni dengan melas.Aku tertawa. Lucu. Mereka sungguh lucu."Untuk apa malu, Mas? Zah? Bukannya kalian sudah tak memilikinya lagi? Bahkan berzina saja kalian tak malu pada Allah. Ini cuma dilihat makhluknya Allah saja, kalian malu?""Mas, tolong.""Jangan mau enaknya saja kamu, Zah. Kamu menyakiti Ibu dan aku, kamu juga harus menerima konsekwensinya. Arak saja mereka!""Aku janji nggak akan melakukannya lagi, Mas. Aku khilaf.""Aku tak peduli nantinya mau kamu lakuin apa nggak, karena itu sudah bukan urusanku.""Mas, jangan begitu.""Sejak kapan?" tanyaku."Ya? Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku dan Mbak Sinta?" tanyaku sambil menatap tajam Zahra, dan juga Mas Beni."E-empat tahun."Mataku membeliak se
Pagi hari.Aku berangkat kerja dengan tidak semangat. Semalam, Zahra ternyata sudah dibawa pulang oleh orang tuanya. Terbukti saat aku keluar dari kamar Ibu dan hendak masuk ke kamarku, sudah tak ada lagi dia. Hanya ada Om Ahmad dan Pak RT yang menungguku."Wei, lemes amat?" Aku terkejut saat Leman, teman kerjaku, memegang bahu."Eh, Lu.""Kenapa, sih? Kok kaya nggak bersemangat gitu? Abis tempur, ya?""Tempur gundulmu peyang! Gue, cerai sama Zahra," jawabku."Apaaa? Cerai?" Teriakan Leman sontak membuat beberapa karyawan satu divisi denganku, menoleh.Aku menunduk, meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu. Kuseret Leman menuju ruanganku."Jangan berisik, b*go! Ngapain lu teriak? Sekalian aja lu pake toa biar seluruh kantor tau kalau gue cerai sama Zahra!" sungutku."Wah, boleh tuh. Lu mau diobral?"Bug!Kulemparkan map kosong ke wajahnya. Ia tertawa lebar. Begitulah, Leman. Sahabat semasa SMAku. Ia paling senang jika aku tersiksa, tapi memang ini persahabatan, kan?"Kok bisa,