Share

BAB 5

"Nggak papa. Maaf juga kalo aku menyinggungmu, Zah," ucapku. 

Lalu aku merebahkan tubuh, dan tidur menyamping. Aku bisa mendengar helaan napas panjangnya, lalu ikut merebahkan diri. Aku tak bisa tertidur lelap, hingga akhirnya beberapa menit kemudian, terasa gerakan dari ranjang. Benar, Zahra bangun diam-diam, dan berdiri di depanku. Aku bisa merasakan itu. 

Lalu, saat ia berbalik, aku membuka mata sedikit. Melihat ia berjalan dengan berjinjit, membuatku mengerutkan kening. Kenapa ia jalannya seperti itu? Mencurigakan.

Setelah ia menutup pintu, gegas aku pun bangun. Mengikutinya dengan langkah perlahan. Ke mana ia? Kenapa nggak keliatan? Aku melihat pintu kamar Ibu terbuka. Saat mengintip, terlihat Zahra ada di sana. Aku pun berdiri di belakang pintu. 

"Bu, coba bilangin sama anak Ibu, jangan suka ngungkit aku yang nggak punya anak!" ucap Zahra, suaranya tak terlalu kencang, mungkin takut aku mendengar. 

"Tapi, Zah, wajar kalau Gani ingin punya anak. Kalian sudah menikah tiga tahun lebih, sejak keguguranmu, kamu belum pernah isi lagi." 

"Oh, jadi Ibu nyalahin Zahra? Iya?" 

Plak! 

Aku terperanjat mendengar suara pukulan dari dalam. Ibu merintih, aku mendengarnya dengan jelas. Namun, aku harus tahan itu semua, agar ada bukti lebih banyak. Ya Allah, Bu, maafkan Gani! 

"Ingat ya, Bu. Kalau sampai Mas Gani menyakiti atau menyinggungku lagi, Ibu yang akan aku siksa!" 

Deg! 

Astaghfirullah! 

Apakah selama ini aku beristrikan setan? Kenapa ia begitu kejam bahkan pada mertuanya sendiri? 

Aku sembunyi di balik dinding pembatas, saat kulihat Zahra keluar. Setelah menguatkan hati, aku masuk ke dalam kamar Ibu. Kulihat beliau tengah menangis. 

"Bu," ucapku seraya masuk ke dalam kamar. 

"Ga-Gani." 

"Jadi, begini perlakuan Zahra pada Ibu? Memar itu, ia apakan ibu saat itu?" tanyaku. 

Masih terlihat jelas saat Ibu menunjukkan luka memarnya. Apakah aku harus visum semua itu? Agar ia dipenjara? 

"Dia ..."

"Mas?" Aku menoleh, terlihat Zahra sudah pucat pasi melihatku di sini. 

"Iya." 

"Mas, ngapain di sini?" 

"Zahra, kamu bisa jelaskan ini semua?" 

"M-mas." 

"Apa yang sudah kamu lakukan pada Ibu?" 

"A-aku... Aku bisa jelaskan ini semua, Mas!" 

"Ya sudah, jelaskan."

"Aku ... Aku ..."

Kurasakan sebuah tangan menyentuh lenganku. Ibu, beliau menggeleng. 

"Sudah, Ibu bisa memaklumi. Kamu maafkan saja dia."

"Kenapa? Ibu takut dia menyiksa Ibu karena habis kumarahi?" 

"Maafkan aku, Mas!" 

Zahra memeluk kakiku seraya menangis. Ia meminta maaf, bahkan mengaku khilaf. Khilaf apa namanya sampai ia berbuat sejauh ini? Aku, anak kandungnya saja tak pernah berbuat begitu. 

"Ikut Mas ke kamar." 

Aku pun keluar. Sambil berjalan, tak lupa aku terus beristighfar. Jangan sampai, setan menguasaiku yang tengah marah ini. 

"Sejak kapan?" 

"Ya?" 

"Sejak kapan kamu menyiksa Ibu begitu?" 

"Maaf, Mas. Aku kesal karena Ibu susah diurus dan diaturnya. Aku suruh makan, maunya disuapi," keluh Zahra. 

"Ya Allah, Zahra! Kamu kan tahu Ibu terkena stroke. Apa salahnya membantu Ibu?" 

"Tapi aku ga mau, Mas! Apalagi Ibu suka buang air besar di celana. Aku jijik!" 

"Selama ini aku kirim uang, kamu ke mana kan?" 

"Itu ..." 

"Apa?" 

"Aku minta maaf, Mas. Aku janji, tak akan mengulangi semuanya." 

"Apa jaminannya?" 

"Maksudnya?" 

"Apa jaminan kamu tak akan menyiksa Ibu lagi?" 

"Aku bersedia diceraikan." 

"Oke." 

Akhirnya malam itu, aku tidur di luar. Malas sekali rasanya harus melihat wajahnya. Andai dia bilang tak mau mengurus Ibu, aku pun bersedia menyewa suster. Tapi, dari awal dia sudah menolak dan mengaku mau mengurus beliau. 

--

Aku sudah mulai kerja. Siang ini, ada kunjungan dari pimpinan serta rapat besar. Aku pun sibuk seharian sehingga tak sempat menelepon Mila untuk datang ke rumah. Terpaksa, aku pun pulang malam untuk lembur. 

Setelah semua pekerjaan selesai, aku iseng mengecek rekaman cctv. Pagi, kulihat Zahra biasa saja memperlakukan Ibu. Apakah ia takut Ibu mengadu, atau memang telah benar berubah? 

Masuk ke sore hari. 

Kulihat seorang lelaki datang, menggunakam sepeda motor yang dipakai oleh Rohim. Sayangnya, ia memakai topi sehingga tak kelihatan wajahnya. 

Mataku membeliak, saat kulihat Zahra mengunci kamar Ibu dari luar dan mengajak lelaki itu masuk ke dalam kamar. 

Ini waktunya bagiku, untuk menggerebek mereka!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status