"Nggak papa. Maaf juga kalo aku menyinggungmu, Zah," ucapku. Lalu aku merebahkan tubuh, dan tidur menyamping. Aku bisa mendengar helaan napas panjangnya, lalu ikut merebahkan diri. Aku tak bisa tertidur lelap, hingga akhirnya beberapa menit kemudian, terasa gerakan dari ranjang. Benar, Zahra bangun diam-diam, dan berdiri di depanku. Aku bisa merasakan itu. Lalu, saat ia berbalik, aku membuka mata sedikit. Melihat ia berjalan dengan berjinjit, membuatku mengerutkan kening. Kenapa ia jalannya seperti itu? Mencurigakan.Setelah ia menutup pintu, gegas aku pun bangun. Mengikutinya dengan langkah perlahan. Ke mana ia? Kenapa nggak keliatan? Aku melihat pintu kamar Ibu terbuka. Saat mengintip, terlihat Zahra ada di sana. Aku pun berdiri di belakang pintu. "Bu, coba bilangin sama anak Ibu, jangan suka ngungkit aku yang nggak punya anak!" ucap Zahra, suaranya tak terlalu kencang, mungkin takut aku mendengar. "Tapi, Zah, wajar kalau Gani ingin punya anak. Kalian sudah menikah tiga tahun le
Segera aku bergegas, membereskan berkas yang masih berserakan di atas meja. Setelah beres, aku pun turun ke bawah dan masuk ke dalam mobil.Beruntung, malam ini tampak sepi. Mungkin karena baru selesai hujan sehingga banyak orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.Untuk langkah pertama, aku membawa dua orang satpam komplek ke rumah Pak RT. Di sana, kuceritakan semua. Awalnya mereka tak percaya, namun setelah kutunjukkan bukti, mereka pun mendukung.Kulihat Pak RT mulai menghubungi warga lain, tentu saja melalui ponsel. Setelah dirasa siap, kami pun berjalan pelan menuju rumahku yang berjarak lima rumah dari tempat Pak RT."Yang tabah ya, Pak Gani," ucap Bu RT, yang diangguki oleh ibu-ibu lain."Aamiin. Makasih banyak ya, Ibu-ibu. Saya juga nggak menyangka, kalau tindakan saya yang tiba-tiba ingin memasang cctv ini, justru malah membongkar perselingkuhan istri saya," jawabku berbohong, padahal aku sudah curiga dari lama. Biarlah mereka menganggap bahwa aku ini suami bodoh, kare
Klek!Kunyalakan lampu kamar. Zahra terlihat panik dan menutupi wajahnya. Saat ia bergeser, baru aku bisa melihat wajah selingkuhannya itu."Mas Beni?!" teriakku tak percaya.Mas Beni, adalah suami dari Mbak Sinta, alias kakak kandung Zahra sendiri. Hatiku mencelos saat melihat mereka dalam keadaan t*lanj*ng bulat. Sesak, sakit, kurasakan bersama.Aku merangsek maju, memberi bogem mentah pada laki-laki yang telah menodai pernikahannya dan juga merusak rumah tanggaku."Br*ngsek!"Kutarik ia untuk turun, lalu memukulinya. Ibu-ibu menjerit, bukan karena melihatku menghajar kakak iparku sendiri. Melainkan karena mereka melihat Mas Beni tanpa b*sana.Bug!Bug!Kupukuli ia dengan membabi buta, tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Kutumpahkan semua kekesalan padanya."Sudah, Pak Gani! Berhenti!"Pak RT dan dua satpam tadi memisahkanku dengan Mas Beni, begitupun warga lain. Teriakan Zahra terasa menggema, memek
Mas!""Gani!"Zahra dan Mas Gani kompak teriak, sementara aku tersenyum pada mereka."Kenapa?""Mas, tolong jangan lakukan itu!" pinta Zahra."Kenapa?""Aku malu, Mas.""Iya, Gan. Apalagi, banyak temanku di area ini. Tolong, selamatkan harga diriku. Jangan arak kami," pinta Mas Beni dengan melas.Aku tertawa. Lucu. Mereka sungguh lucu."Untuk apa malu, Mas? Zah? Bukannya kalian sudah tak memilikinya lagi? Bahkan berzina saja kalian tak malu pada Allah. Ini cuma dilihat makhluknya Allah saja, kalian malu?""Mas, tolong.""Jangan mau enaknya saja kamu, Zah. Kamu menyakiti Ibu dan aku, kamu juga harus menerima konsekwensinya. Arak saja mereka!""Aku janji nggak akan melakukannya lagi, Mas. Aku khilaf.""Aku tak peduli nantinya mau kamu lakuin apa nggak, karena itu sudah bukan urusanku.""Mas, jangan begitu.""Sejak kapan?" tanyaku."Ya? Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku dan Mbak Sinta?" tanyaku sambil menatap tajam Zahra, dan juga Mas Beni."E-empat tahun."Mataku membeliak se
Pagi hari.Aku berangkat kerja dengan tidak semangat. Semalam, Zahra ternyata sudah dibawa pulang oleh orang tuanya. Terbukti saat aku keluar dari kamar Ibu dan hendak masuk ke kamarku, sudah tak ada lagi dia. Hanya ada Om Ahmad dan Pak RT yang menungguku."Wei, lemes amat?" Aku terkejut saat Leman, teman kerjaku, memegang bahu."Eh, Lu.""Kenapa, sih? Kok kaya nggak bersemangat gitu? Abis tempur, ya?""Tempur gundulmu peyang! Gue, cerai sama Zahra," jawabku."Apaaa? Cerai?" Teriakan Leman sontak membuat beberapa karyawan satu divisi denganku, menoleh.Aku menunduk, meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu. Kuseret Leman menuju ruanganku."Jangan berisik, b*go! Ngapain lu teriak? Sekalian aja lu pake toa biar seluruh kantor tau kalau gue cerai sama Zahra!" sungutku."Wah, boleh tuh. Lu mau diobral?"Bug!Kulemparkan map kosong ke wajahnya. Ia tertawa lebar. Begitulah, Leman. Sahabat semasa SMAku. Ia paling senang jika aku tersiksa, tapi memang ini persahabatan, kan?"Kok bisa,
Segera aku berlari menuju tempat berdiri Mila dan juga Ibu yang terletak jauh di halaman. Tadi memang sengaja aku menyuruh mereka berdiri di sana. "M-mas Gani?" "Iya." Zahra langsung salah tingkah dan merapikan bajunya. Entah, kenapa ia keluar dari tempat gelap dengan baju acak-acakan? "Kenapa, Mas? Kamu mau mengajak aku balikan, kan?" tanyanya dengan tingkat kepedean di atas rata-rata. "Nggak usah ngawur. Aku mau balikin baju kamu yang ketinggalan. Juga tas-tasnya. Masih kurang baik apa aku? Seharusnya kubakar saja semua ini," ucapku padanya. Lama-lama, aku malah jadi keliatan lebay. "Bilang aja kamu kangen, Mas," ucapnya sambil memeluk lenganku.Aku bergidik ngeri, lalu melangkah maju bersama Mila, meninggalkan karung tempat tas tadi yang tengah dibuat senderan tubuh Zahra. Begitu melangkah, ia otomatis terjatuh. "Mas, tega banget, sih?" Aku hanya m
@Mbak Sinta:[Suruh istrimu untuk tak mengganggu suamiku lagi, Gan.] Aku diamkan saja, malas menanggapinya. Namun, beberapa pesan pun masuk kembali. @Mbak Sinta:[Gani!] Akhirnya, dengan setelah malas kubalas juga pesannya. [Mbak, aku ini sudah bercerai secara agama sama Zahra. Jadi kalau mau, bilangin saja sendiri.] [Tapi, Gan. Tadi pagi mereka datang ke sini. Mereka, meminta izin untuk menikah.?] G*la! Apa katanya? Mereka bakal menikah? Bahkan secara negara, Zahra masih istriku. Aku tak cemburu, hanya saja terkejut jika mereka senekat itu. Padahal, Mbak Sinta sangat baik orangnya. Hanya saja, salah menemukan seorang suami. Sudah pengangguran, juga kelakuannya yang astaghfirullah. Aku jadi teringat lagi sama rencana mereka yang kudengar waktu hari rabu malam, tepat saat aku sekeluarga datang untuk mengantarkan barang-barangnya Zahra. Flasbac
Loh, temenku pernah nemu kaya gini di kos-kos-an pacarnya, Bang," ucap Mila, saat sore hari kutunjukan penemuanku ini pada Ibu dan juga dia."Oh, ya? Terus kata temenmu, ini apa?" "Setelah tanya ke orang pintar, katanya ini adalah pelet." Mataku membeliak. Pelet? Aku jadi teringat sama balasan Leman. Ia juga mengatakan ini pelet, karena pernah menggunakannya. Dih, jadi ketahuan belangnya dia. "Pantes, selama ina Abang kaya bucin sama dia. Ga peduli apapun yang dia lakukan, dia minta, abang pasti akan mengangguk dan mengatakan iya." "Emang Abang kaya gitu, ya?" "Lah, gitu lah, kalau orang dipelet. Gak sadar. Iya kan, Bu?" tanya Mila pada Ibu yang dijawab dengan anggukan. Pantas saja. Terkadang aku merasa aneh pada diriku sendiri. Kadang ingin menolak, tapi mulut selalu mengatakan iya, kepala selalu mengangguk, pada setiap omongannya. Aku pun masuk ke dalam kamar, membaca pesan yang Leman kirimkan tadi dan membalasnya. [Jadi, selama ini gue beneran dipelet sama dia.] [Wih, mant