Share

BAB 4

"M-mas," ucapnya setelah berhasil mengambil ponselnya dari genggamanku. 

Aku menatapnya tajam, memastikan ia terintimidasi oleh tatapanku. Berhasil, ia ketakutan sekarang. 

"Siapa itu?" tanyaku sambil mendekatinya. 

"Oh, dia? Dia ini Rohim, sepupuku." 

"Oh, ya? Lantas, kenapa hanya diberi nama titik?"

"Ke-kemarin, aku buru-buru Mas pas menyimpan nama dia."

"Bukan karena kamu main-main sama dia, kan?" 

"Nggak, Mas! Aku hanya setia dan cinta padamu. Tak ada orang lain lagi," ucapnya sambil berusaha meraih tanganku. 

Aku mengamgguk, kemudian berlalu dari kamarnya. Kamila dan Fikri sudah pulang karena besok harus kerja. Aku pun akan menghubungi kantor dan menerima penawaran pindah ke kantor pusat kembali, meskipun bonusnya dikurangi. 

"Halo, Pak. Maaf mengganggu hari libur anda. Tapi, saya ingin menerima tawaran untuk pindah dari kantor cabang ke kantor pusat," ucapku pada Pak Andi. 

"Baik, nanti akan saya hubungkan langsung ke pimpinan." 

"Terima kasih." 

Akhirnya aku bisa tenang. Merawat dan menjaga Ibu, lalu mengumpulkan bukti-bukti agar aku bisa menggugat cerai Zahra. Memang ada bukti luka memar di tubuh Ibu, tapi tak ada bukti siapa yang melakukannya. Maka dari itu, aku akan memasang kamera pengintai atau cctv, supaya bisa melihat, bagaimana Zahra berbuat. 

--

Esok harinya. 

Aku belum masuk kerja, karena perpindahanku masih diproses. Semua berkasku di Semarang, aku meminta Tobi, temanku, untuk mengirimkannya via expedisi. 

"Mas, kamu nggak berangkat ke Semarang?" tanya Zahra pagi ini. 

"Oh, iya, lupa. Aku pindah lagi ke sini, Zah." 

Mata Zahra membeliak. Ia terkejut karena aku pindah, atau terkejut karena aku tak memberitahunya?

"Kok nggak ngomong aku dulu sih, Mas?" 

"Loh, kamu ini. Bukannya seneng kalau aku di sini, malah mempermasalahkan aku tak memberitahumu duluan."

"Ya, bukan gitu, Mas." 

Aku hanya diam saja, lalu sarapan dengan nasi uduk yang Zahra beli. Sikapnya selama aku di rumah tak ada yang mencurigakan. Ia berlagak seperti istri penurut dan setia, namun jika aku pergi, ia akan menjadi liar. 

Aku berpikir, siapa lelaki itu, ya? Ia mengenakan masker, sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Pun dengan Mila yang setelah kutanyai, ia juga tak melihatnya dengan jelas. Hanya terlihat dari gaya dan juga perawakan  saja. 

"Kok melamun, Mas?" 

"Nggak." 

Aku pun menghabiskan makan. Rencananya hari ini akan ke rumah Om Sastro, adik Ibu, yang tinggalnya di desa sebelah. Setelahnya, aku akan pergi ke toko elektronik. 

--

"Kamu bukannya di Semarang, Gan?" tanya Tante Marini saat aku sampai di rumah Om Sastro. 

"Lagi ngurus untuk pindah ke sini, Tan." 

"Oh, bagus lah. Tante jadi nggak khawatir lagi."

"Khawatir kenapa, Tan?" 

"Oh, nggak. Namanya hidup sama menantu, pasti ada nggak sregnya. Takutnya, Mbak Ari ada yang nggak disuka dari Zahra. Kalau ada kamu, Tante jadi tenang." 

"Oh, iya, Tan." 

Ada yang aneh dari jawaban Tante Marini. Padahal rumah kami tak begitu jauh, hanya butuh waktu sepuluh menit jika naik motor. Kenapa beliau merasa khawatir? 

Setelah bertemu Om Sastro dan membicarakan soal rumah peninggalan Ayah akan kujual, beliau kurang setuju. Karena rumah itu adalah bagian Fikri, sebagai anak bungsu. Aku dan Mila memang sudah mendapat bagian masing-masing. Aku dan Mila mendapatkan tanah, sudah tentu beda-beda ukurannya. 

"Tapi, Om, maksud Gani, bukan mau menguasai hasilnya. Gani melakukan ini, karena mau mengajak Fikri dan Mila tinggal bersama." 

"Rumahmu sekarang, adalah rumah bersama istri, Gan. Meskipun dibangun menggunakan uangmu, tapi ada hak istrimu di dalamnya." 

Aku berpikir lagi. Benar juga yang dikatakan oleh Om Sastro. Aku memang berencana menceraikan Zahra, dia pasti nanti akan mengajukan pembagian gono-gini. 

--

Pulang dari rumah Om Sastro, aku segera ke toko elektronik. Tak tenang meninggalkan Ibu hanya berdua dengan Zahra di rumah. 

"Mas, saya mau membeli cctv dengan ukuran paling kecil." 

"Oh, baik, Pak, ke sebelah sini, ya." 

Aku pun mengikutinya hingga akhirnya menemukannya. Setelah selesai, aku berjalan menuju mobil. Saat itu, aku melihat Mama, tengah naik motor dibonceng oleh lelaki yang kemarin lalu membonceng Zahra. Ya, aku mengenalinya dari motor dan platnya. 

Apa benar, lelaki itu adalah saudaranya Zahra?

___

Segera aku masuk ke mobil dan mengikuti mereka. Meskipun aku sempat kehilangan jejak mereka, namun akhirnya dapat juga setelah di persimpangan. Tunggu, bukankah ini jalan menuju rumah? 

Setelah sepuluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai di halaman rumahku. Aku jadi ragu sendiri, benarkah dia saudaranya Zahra? Tapi, kenapa aku tak pernah dikenalin sama dia? 

Mobil sengaja aku parkir di seberang rumah, lalu berjalan pelan menuju jendela yang memang biasa dibuka. Di sana, kulihat Mama dan juga lelaki itu ngobrol dengan Zahra. Tampak istriku itu tertawa dan juga tersenyum sinis. Kenapa aku malah ngeri melihat ekspresinya?

Tak tahan, akhirnya aku berjalan ke depan, lalu masuk ke dalam rumah, seolah-olah baru datang. Mama langsung berdiri dan tersenyum menyambutku. 

"Dari mana, Gan?" tanya Mama. 

"Habis dari rumah Om Sastro, Ma." 

"Oh, adik almarhum ayahmu itu, kan? Oh iya, kenalin. Ini Rohim, saudara sepupu Zahra."

"Oh, iya, Ma. Tapi kok Gani nggak pernah melihatnya, ya?" 

"O-oh, iya. Dia ini saudara jauh. Jadi baru kali ini kalian ketemu." 

Aku hanya mengangguk saja. Selama ini, aku tahu Mama orangnya baik. Sehingga berpikir bahwa Mama nggak mungkin mendukung perbuatan anaknya. Yah, mungkin aku dan Mila hanya salah paham saja. 

"Oh, iya, Ma. Gani mau ke dalam dulu." 

"Iya." 

Setelahnya aku masuk ke kamar Ibu, memastikan beliau baik-baik saja setelah kutinggal. 

"Ibu, nggak kenapa-napa, kan?" 

"Iya, Gan." 

Ada kesedihan di mata Ibu. Apa yang baru dilakukan oleh Zahra sama beliau? Sepertinya, keputusanku untuk memasang cctv memang benar adanya. 

"Zahra, nggak macem-macem, kan?" 

Ibu menggeleng. Tapi, kenapa rasanya aku tak percaya? Kenapa? 

--

"Zah, kamu ajak Mama belanja, gih. Ini uangnya," ucapku pada Zahra dan menyerahkan uang senilai delapan ratus ribu.

"Wah, serius, Mas?" 

"Iya. Ajak juga Rohim. Nih, Mas tambahin." 

Setelah selesai bersiap, Zahra pergi bersama Rohim dan juga Mama. Saatnya beraksi. Aku memasang sesuai panduan, kuletakkan cctv itu di ruang tamu, kamarku, dapur, depan kamar ibu, dan juga di dalam kamar ibu. 

Aku bernapas lega setelah semua terpasang dan sudah terhubung ke ponselku. Jika begini, aku tak begitu cemas seandainya meninggalkan Ibu di rumah sendiri. 

"Kamu pasang cctv, Gan?" tanya Ibu. 

"Iya, Bu. Supaya Ibu aman. Tenang, Gani bakal menceraikan Zahra. Tapi, bukan sekarang. Gani harus mendapatkan bukti dulu, Bu, supaya persidangan lancar dan tak lama." 

Ibu mengangguk seraya tersenyum. Sepertinya, beliau senang dengan keputusanku yang akan menceraikan Zahra. 

Habis magrib, Zahra belum pulang juga. Padahal hanya kuberi satu juga lima ratus ribu, tapi belanja sampai tiga jam begini? 

"Assalamu'alaikum, Mas." 

"Wa'alaikum salam. Eh, Mila. Fikri mana?" 

"Fikri belum pulang, Bang. Nanti mungkin akan nyusul." 

Aku mengangguk, lalu menceritakan semua yang terjadi hari ini. Ia setuju. 

"Tapi, masa iya itu saudaranya, Bang? Kok aku gak yakin, ya?" 

"Yah, mungkin selama ini kita salah paham." 

Mila mengangguk kemudian ke kamar Ibu. Sejak kejadian dua hari lalu, Mila memang mendiamkan Zahra. Termasuk saat istriku itu sudah pulang dari belanja. Ia menanyai Mila, namun hanya ditanggapi seperlunya oleh adik perempuanku itu. 

"Mas, Mila kenapa, sih?" 

"Kenapa apanya?" 

"Kok, kaya nggak suka gitu sama aku? Aku ada salah?" 

"Ah, perasaanmu aja. Oh iya, kata kamu, anaknya Mbak Sinta mau ulang tahun, kan?" Mbak Sinta adalah kakak kandung Zahra.

"Iya, Mas. Besok. Kita datang, ya?" 

"Iya. Ah, andai kamu tak keguguran saat itu, mungkin anak kita sudah seusia Amel, anak Mbak Sinta." 

"Maaf, ya, Mas. Aku belum hamil juga sampai sekarang," ucap Zahra dengan murung. 

Aku hanya tersenyum saja. Padahal, aku tak bermaksud untuk menyalahkannya, atau pun menghiburnya. Karena ini, adalah awal dari rencanaku, untuk menjebaknya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status