Share

BAB 4

last update Last Updated: 2023-03-10 06:06:24

"M-mas," ucapnya setelah berhasil mengambil ponselnya dari genggamanku. 

Aku menatapnya tajam, memastikan ia terintimidasi oleh tatapanku. Berhasil, ia ketakutan sekarang. 

"Siapa itu?" tanyaku sambil mendekatinya. 

"Oh, dia? Dia ini Rohim, sepupuku." 

"Oh, ya? Lantas, kenapa hanya diberi nama titik?"

"Ke-kemarin, aku buru-buru Mas pas menyimpan nama dia."

"Bukan karena kamu main-main sama dia, kan?" 

"Nggak, Mas! Aku hanya setia dan cinta padamu. Tak ada orang lain lagi," ucapnya sambil berusaha meraih tanganku. 

Aku mengamgguk, kemudian berlalu dari kamarnya. Kamila dan Fikri sudah pulang karena besok harus kerja. Aku pun akan menghubungi kantor dan menerima penawaran pindah ke kantor pusat kembali, meskipun bonusnya dikurangi. 

"Halo, Pak. Maaf mengganggu hari libur anda. Tapi, saya ingin menerima tawaran untuk pindah dari kantor cabang ke kantor pusat," ucapku pada Pak Andi. 

"Baik, nanti akan saya hubungkan langsung ke pimpinan." 

"Terima kasih." 

Akhirnya aku bisa tenang. Merawat dan menjaga Ibu, lalu mengumpulkan bukti-bukti agar aku bisa menggugat cerai Zahra. Memang ada bukti luka memar di tubuh Ibu, tapi tak ada bukti siapa yang melakukannya. Maka dari itu, aku akan memasang kamera pengintai atau cctv, supaya bisa melihat, bagaimana Zahra berbuat. 

--

Esok harinya. 

Aku belum masuk kerja, karena perpindahanku masih diproses. Semua berkasku di Semarang, aku meminta Tobi, temanku, untuk mengirimkannya via expedisi. 

"Mas, kamu nggak berangkat ke Semarang?" tanya Zahra pagi ini. 

"Oh, iya, lupa. Aku pindah lagi ke sini, Zah." 

Mata Zahra membeliak. Ia terkejut karena aku pindah, atau terkejut karena aku tak memberitahunya?

"Kok nggak ngomong aku dulu sih, Mas?" 

"Loh, kamu ini. Bukannya seneng kalau aku di sini, malah mempermasalahkan aku tak memberitahumu duluan."

"Ya, bukan gitu, Mas." 

Aku hanya diam saja, lalu sarapan dengan nasi uduk yang Zahra beli. Sikapnya selama aku di rumah tak ada yang mencurigakan. Ia berlagak seperti istri penurut dan setia, namun jika aku pergi, ia akan menjadi liar. 

Aku berpikir, siapa lelaki itu, ya? Ia mengenakan masker, sehingga aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Pun dengan Mila yang setelah kutanyai, ia juga tak melihatnya dengan jelas. Hanya terlihat dari gaya dan juga perawakan  saja. 

"Kok melamun, Mas?" 

"Nggak." 

Aku pun menghabiskan makan. Rencananya hari ini akan ke rumah Om Sastro, adik Ibu, yang tinggalnya di desa sebelah. Setelahnya, aku akan pergi ke toko elektronik. 

--

"Kamu bukannya di Semarang, Gan?" tanya Tante Marini saat aku sampai di rumah Om Sastro. 

"Lagi ngurus untuk pindah ke sini, Tan." 

"Oh, bagus lah. Tante jadi nggak khawatir lagi."

"Khawatir kenapa, Tan?" 

"Oh, nggak. Namanya hidup sama menantu, pasti ada nggak sregnya. Takutnya, Mbak Ari ada yang nggak disuka dari Zahra. Kalau ada kamu, Tante jadi tenang." 

"Oh, iya, Tan." 

Ada yang aneh dari jawaban Tante Marini. Padahal rumah kami tak begitu jauh, hanya butuh waktu sepuluh menit jika naik motor. Kenapa beliau merasa khawatir? 

Setelah bertemu Om Sastro dan membicarakan soal rumah peninggalan Ayah akan kujual, beliau kurang setuju. Karena rumah itu adalah bagian Fikri, sebagai anak bungsu. Aku dan Mila memang sudah mendapat bagian masing-masing. Aku dan Mila mendapatkan tanah, sudah tentu beda-beda ukurannya. 

"Tapi, Om, maksud Gani, bukan mau menguasai hasilnya. Gani melakukan ini, karena mau mengajak Fikri dan Mila tinggal bersama." 

"Rumahmu sekarang, adalah rumah bersama istri, Gan. Meskipun dibangun menggunakan uangmu, tapi ada hak istrimu di dalamnya." 

Aku berpikir lagi. Benar juga yang dikatakan oleh Om Sastro. Aku memang berencana menceraikan Zahra, dia pasti nanti akan mengajukan pembagian gono-gini. 

--

Pulang dari rumah Om Sastro, aku segera ke toko elektronik. Tak tenang meninggalkan Ibu hanya berdua dengan Zahra di rumah. 

"Mas, saya mau membeli cctv dengan ukuran paling kecil." 

"Oh, baik, Pak, ke sebelah sini, ya." 

Aku pun mengikutinya hingga akhirnya menemukannya. Setelah selesai, aku berjalan menuju mobil. Saat itu, aku melihat Mama, tengah naik motor dibonceng oleh lelaki yang kemarin lalu membonceng Zahra. Ya, aku mengenalinya dari motor dan platnya. 

Apa benar, lelaki itu adalah saudaranya Zahra?

___

Segera aku masuk ke mobil dan mengikuti mereka. Meskipun aku sempat kehilangan jejak mereka, namun akhirnya dapat juga setelah di persimpangan. Tunggu, bukankah ini jalan menuju rumah? 

Setelah sepuluh menit berlalu, akhirnya mereka sampai di halaman rumahku. Aku jadi ragu sendiri, benarkah dia saudaranya Zahra? Tapi, kenapa aku tak pernah dikenalin sama dia? 

Mobil sengaja aku parkir di seberang rumah, lalu berjalan pelan menuju jendela yang memang biasa dibuka. Di sana, kulihat Mama dan juga lelaki itu ngobrol dengan Zahra. Tampak istriku itu tertawa dan juga tersenyum sinis. Kenapa aku malah ngeri melihat ekspresinya?

Tak tahan, akhirnya aku berjalan ke depan, lalu masuk ke dalam rumah, seolah-olah baru datang. Mama langsung berdiri dan tersenyum menyambutku. 

"Dari mana, Gan?" tanya Mama. 

"Habis dari rumah Om Sastro, Ma." 

"Oh, adik almarhum ayahmu itu, kan? Oh iya, kenalin. Ini Rohim, saudara sepupu Zahra."

"Oh, iya, Ma. Tapi kok Gani nggak pernah melihatnya, ya?" 

"O-oh, iya. Dia ini saudara jauh. Jadi baru kali ini kalian ketemu." 

Aku hanya mengangguk saja. Selama ini, aku tahu Mama orangnya baik. Sehingga berpikir bahwa Mama nggak mungkin mendukung perbuatan anaknya. Yah, mungkin aku dan Mila hanya salah paham saja. 

"Oh, iya, Ma. Gani mau ke dalam dulu." 

"Iya." 

Setelahnya aku masuk ke kamar Ibu, memastikan beliau baik-baik saja setelah kutinggal. 

"Ibu, nggak kenapa-napa, kan?" 

"Iya, Gan." 

Ada kesedihan di mata Ibu. Apa yang baru dilakukan oleh Zahra sama beliau? Sepertinya, keputusanku untuk memasang cctv memang benar adanya. 

"Zahra, nggak macem-macem, kan?" 

Ibu menggeleng. Tapi, kenapa rasanya aku tak percaya? Kenapa? 

--

"Zah, kamu ajak Mama belanja, gih. Ini uangnya," ucapku pada Zahra dan menyerahkan uang senilai delapan ratus ribu.

"Wah, serius, Mas?" 

"Iya. Ajak juga Rohim. Nih, Mas tambahin." 

Setelah selesai bersiap, Zahra pergi bersama Rohim dan juga Mama. Saatnya beraksi. Aku memasang sesuai panduan, kuletakkan cctv itu di ruang tamu, kamarku, dapur, depan kamar ibu, dan juga di dalam kamar ibu. 

Aku bernapas lega setelah semua terpasang dan sudah terhubung ke ponselku. Jika begini, aku tak begitu cemas seandainya meninggalkan Ibu di rumah sendiri. 

"Kamu pasang cctv, Gan?" tanya Ibu. 

"Iya, Bu. Supaya Ibu aman. Tenang, Gani bakal menceraikan Zahra. Tapi, bukan sekarang. Gani harus mendapatkan bukti dulu, Bu, supaya persidangan lancar dan tak lama." 

Ibu mengangguk seraya tersenyum. Sepertinya, beliau senang dengan keputusanku yang akan menceraikan Zahra. 

Habis magrib, Zahra belum pulang juga. Padahal hanya kuberi satu juga lima ratus ribu, tapi belanja sampai tiga jam begini? 

"Assalamu'alaikum, Mas." 

"Wa'alaikum salam. Eh, Mila. Fikri mana?" 

"Fikri belum pulang, Bang. Nanti mungkin akan nyusul." 

Aku mengangguk, lalu menceritakan semua yang terjadi hari ini. Ia setuju. 

"Tapi, masa iya itu saudaranya, Bang? Kok aku gak yakin, ya?" 

"Yah, mungkin selama ini kita salah paham." 

Mila mengangguk kemudian ke kamar Ibu. Sejak kejadian dua hari lalu, Mila memang mendiamkan Zahra. Termasuk saat istriku itu sudah pulang dari belanja. Ia menanyai Mila, namun hanya ditanggapi seperlunya oleh adik perempuanku itu. 

"Mas, Mila kenapa, sih?" 

"Kenapa apanya?" 

"Kok, kaya nggak suka gitu sama aku? Aku ada salah?" 

"Ah, perasaanmu aja. Oh iya, kata kamu, anaknya Mbak Sinta mau ulang tahun, kan?" Mbak Sinta adalah kakak kandung Zahra.

"Iya, Mas. Besok. Kita datang, ya?" 

"Iya. Ah, andai kamu tak keguguran saat itu, mungkin anak kita sudah seusia Amel, anak Mbak Sinta." 

"Maaf, ya, Mas. Aku belum hamil juga sampai sekarang," ucap Zahra dengan murung. 

Aku hanya tersenyum saja. Padahal, aku tak bermaksud untuk menyalahkannya, atau pun menghiburnya. Karena ini, adalah awal dari rencanaku, untuk menjebaknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 33

    EXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 32

    EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 31

    "Jadi, kalian hendak menikah, Nak?" tanya Ibu, saat kuminta pendapat setelah dua tahun kami menjalin hubungan kembali. Ya, ini tahun kedua setelah kejadian di terminal itu. Sudah berbagai jalan kami lalui, dan memang aku belum benar-benar move on dari Intan. Wanita itu, memang memiliki ruang terbesar di hatiku. "Iya, Bu. Menurut Ibu bagaimana?" tanyaku. Ibu tampak bepikir, kenapa Ibu malah ragu juga? Aku membuang napas panjang, jika memang beliau tak ingin, maka aku takkan menikah juga. "Apa Ibu nggak merestui Intan dan Gani?" tanyaku pelan. "Bukan begitu. Ibu hanya trauma," jawabku. "Bukankah Ibu menyukai Intan?" "Memang. Tapi untuk ke jenjang pernikahan, Ibu masih takut, Nak. Takut pada masalah yang sama." Aku mengangguk. Wajar jika Ibu begitu. Apalagi saat dulu stroke, Zahra pernah menyiksanya. Aku memaklumi, dan semoga saja Intan mau mengerti juga. "Ya sudah, Bu. Biar nanti Gani bicarakan dengan Intan." Ibu mengangguk. Memang, sulit untuk melupakan kejadian yang begitu m

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 30

    "Cerah banget tu muka," ledek Leman saat aku masuk kantor. Ia memang paling rajin, karena rumahnya tergolong jauh, dia berangkat habis subuh dan selalu datang yang pertama. "Akhirnya, setelah sekian lama, urusan gue dengan Zahra selesai juga," ucapku. "Iya, tapi urusan lu dan Intan belum selesai-selesai," cibir Leman. "Lu laki-laki bibirnya lemes amat sih elah. Gue sama dia juga masalalu, kali," ucapku sambil meletakkan tas dan menyalakan komputer. "Tu anak mengundurkan diri." Tangan yang sedang beraktivitas ini pun berhenti. Apa katanya? Mengundurkan diri? "Kenapa?" tanyaku. "Nah, kan, kepo juga lu? Mungkin dia malu. Apalagi semua orang tahu kalau kalian pernah ada hubungan, ditambah kemarin Zahra kan sumpah serapah ke dia. Kasihan sih, kalau gue lihat. Dia segitu sukanya sama elu, sampai diam aja pas Zahra permalukan kemarin." 

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 29

    Aku segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel dan memperlihatkan history cctv pada tanggal sebelum mereka ketahuan selingkuh olehku. Di sana, terlihat Mas Beni memegang sebuah kertas dan membicarakannya dengan Zahra. Beruntung, aku memasang cctv dengan model terbaru. Yang bisa terdengar suaranya, sehingga kali ini Mas Beni tak bisa mengelak. "Di sini terdengar kan, kalau kamu menyuruh Zahra untuk meminta uang dariku karena ingin membeli motor baru? Bahkan, tak segan-segan kamu menyuruhnya seperti menyuruh anak membeli garam. Aku curiga, jangan-jangan Mas Beni menggunakan ilmu pelet juga untuk Zahra?" "Apa? Pelet?" Om Ade sedikit terkejut, karena menantu adiknya itu ternyata menggunakan hal begituan demi menggaet Zahra. "Tidak, Om! Jangan percaya dia. Dia hanya sedang berhalusinasi. Masa iya, aku pakai pelet, Om? Nggak mungkin, kan? Tolong percaya padaku, Om." 

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 28

    Setelah berkutat dengan pekerjaan seharian, aku pulang dan melihat Intan tengah bermain ponsel di loby kantor. Melihatnya, membuatku teringat dengan kejadian kemarin. Aku pun memberhentikan mobil di depannya, dan menyuruhnya masuk. "Masuk!" perintahku. "Aku, Mas?" tanya Intan, wajahnya sudah tak sepucat tadi pagi. "Ya iya, siapa lagi?" Dengan tersenyum, Intan masuk ke dalam mobil, dan aku melajukannya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan apapun. Hanya dia yang terus menoleh memperhatikanku. "Maaf ya," ucapku pada akhirnya. "Untuk apa, Mas? Yang tadi pagi?" tanya Intan. "Semuanya. Termasuk karena kemarin aku membiarkanmu ujan-ujanan tanpa menawarkan payung. Andai kupinjamkn, mungkin kamu takkan sakit," ucapku sedikit menyesal. "Oh, nggak papa kok, Mas," ucapnya sambil tersenyum. Membuatku sedikit terpana. Namun aku segera meng

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 27

    Breee, itu mantan bini lu ngamuk!" ujar Leman yang ternyata sedari tadi sudah di dalam. "Ngapain dia?" tanyaku. "Masih nanya lu, ye! Lerai dulu itu. Dia ngamukin si Intan. Mana baru sembuh tu bocah," ucap Leman. Mataku seketika membeliak mendengar ucapan Leman. "Itu, Intan?" tanyaku. "Iyeee." Aku pun berlari ke dalam, dan benar saja. Zahra tengah menjambak rambut Intan, sementara mantan kekasihku itu hanya diam sambil berteriak. Banyak orang yang malah hanya menonton dan mengabadikan momennya. "Stoooooop!" teriakku. Mendengar suaraku, Zahra berhenti melakukan kegiatannya. Napas keduanya masih ngos-ngosab. Apalagi aku? Mau ditaruh di mana muka ini? Astaga! Aku pun menyuruh yang lain bubar, dengan terpaksa mereka pergi meninggalkan loby satu persatu. Kubawa dua wanita itu ke luar. Memalukan! 

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 26

    Pov Gani Setelah menginterogasi Ibu, besoknya badanku demam. Mungkin karena terkejut dengan fakta baru mengenai aku sendiri. Bahwa aku dan kedua adikku tidak bernasab pada orang yang sama. "Bang, nggak kerja? Ini sudah jam tujuh, loh." Suara Mila membuatku membuka mata. Jangankan untuk bekerja, sekedar membuka mata saja rasanya berat. "Bang, aku masuk, ya?" Mila membuka pintu, dan menggoyang tubuhku. Tangannya meraba dahi dan langsung mengangkatnya kembali. "Panas sekali, Bang. Sebentar, Mila ambilkan kompres dulu." Tak lama kemudian, Mila datang kembali, namun kali ini bersama Ibu. Beliau mengompres dahiku dan memijat tubuhku sebentar. Meski beliau salah telah menyembunyikan semuanya dariku, namun aku tak bisa marah. Aku tahu, Ibu pasti memiliki banyak alasan untuk itu. "Maafkan Ibu ya, Gan. Gara-gara kemarin, kamu jadi saki

  • KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG    BAB 25

    Sudah, kamu nggak usah pikirkan ucapan si Sinta itu. Dia hanya iri karena Beni menyukaimu," ucap Mama.Makin ke sini, rasa tidak suka Mama pada Mbak Sinta semakin terlihat jelas. Di jalan, aku bertemu Mas Beni, namun ia terlihat biasa saja. Apa karena tak ingin kurepotkan soal hutang? Sampai di rumah, aku mencari cara. Bagaimana caranya membuat Mbak  Sinta mau membantuku. Meminta bantuan Mas Gani sudah tak memungkinkan lagi karena laki-laki itu sudah tak mungkin mau membantuku. Kuremas rambut. Aaargh! Semua ini karena Ibu! Andai dia tetap tutup mulut, pasti sampai sekarang aku dan Mas Gani tetap bersama. Meski aku tak mencintainya, namun uangnya bisa kukeruk. Selama ini, uang kiriman Mas Gani memang kuhabiskan dengan Mas Beni. Masih teringat jelas saat kakak ipar dan juga kekasihku itu menyarankanku untuk mendekati Mas Gani kala kami belum menikah. Flashback-"Dia seperti

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status