Aku yakin, saat ini wajahku sudah seperti kertas putih polos yang diarsir dengan warna merah bata. Bagaimana nggak? Sungguh, kupikir itu tadi Tante Martinna. Itulah mengapa aku menyapa dengan ramah, "Yes, please, wait for a moment!"
Bukan untuk menyapa Kenzy!
Tapi namanya iuga Kenzy ya, kan? Dia langsung memasang wajah sumringah kuadrat, begitu aku membuka separuh pintu. Hueeekkk, rasanya seperti tersedak dosa. Dalam hati aku memaki dan merutuki diri sendiri, banyak sekali. Sebanyak butiran daging sapi cacah yang ada di dalam pizza sayuran yang sudah tersimpan manis di kantong kertas, di tanganku. Ah, lebih, aku yakin. Salah satunya, 'Makanya, lain waktu dilihat dulu, siapa yang datang. Jangan langsung greetings dan bera
Sebenarnya, perasaanku masih seperti istana pasir diterjang ombak ketika Zio mengajakku turun dari mobil dan duduk di bangku kayu speltuin. Tapi aku harus kuat, kan? Harus siap untuk mendengarkan apapun yang akan dikatakan Zio tentang Elize. Tentang Kenzy atau apapun … Ya, yaaahhh, mungkin itu pahit dan menyakitkan. Tapi mengetahuinya, jauh lebih baik, kan? Dari pada terus-menerus berada dalam kemanisan yang semu. Ah, mendadak jantungku korslet!"Zio?""Oooh, sorry, Anyelir?"Aku terdiam lagi, seolah-olah ada sesuatu yang mengikat ujung lidahku. Aaahhh, Kenzy! Untuk apa coba, dia meminta maaf. Memohon-mohon, mengemis … Sampai bersi
Apa yang membuatku nggak rela kehilangan Kenzy?Aku nggak mau Papa sedihAku nggak mau Papa sakitAku nggak mau CKA olengAku nggak mau Papa broken heartAku nggak mau kehilangan Papa
It's must be impossible to do!Walaupun bumi dan langit menyatu lalu seluruh dunia ini hancur lebur, aku nggak mungkin membiarkan Kenzy menikahi Elize. Nggak mungkin, kecuali tiba-tiba napasku terhenti dan nggak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegahnya. Nggak, nggak mungkin, kecuali Kenzy mau semuanya hancur dan berakhir. Semuanya, tanpa kecuali. Terutama status suami isteri kami yang sebatas di atas kertas. Yeaaahhh, di atas kertas yang efek ledakannya lebih dahsyat dari pada bom nuklir. Tentu saja Kenzy lupa. Iya, kan?Bagaimana dengan Papa Snoek dan juga Papa, kalau sampai itu terjadi? Okeee, okeee. Kesampingkan saja dulu tentang perasaanku yang sudah lebih halus dari pada daging cacah. Lantas, apa arti dari semua ini? W
De swiiing!Betapa hebohnya aku ketika menatap layar Tulip dan ternyata ada dua puluh satu voice calls, tujuh missed calls dan tiga video calls dari Papa. Wuaaahhhh, pasti Papa sedang menderita kuadrat di Yogyakarta Hadiningrat sana, gara-gara puteri semata wayangnya ini nggak mengangkat semua panggilan darinya. Well, kalau begitu aku harus segera menghubungi Papa, sekarang juga. By the way, Elize di mana? Kok, nggak kelihatan, disembunyikan Kenzy di mana? Hehe. Kasihan deh, boneka Kenzy yang satu itu. Harus rela disembunyikan dari radar Papa dan Papa Snoek.Aku sih, merdeka!Ternyata, Papa sedang sibuk di kantor. Katanya ada
Om Dirga, Kenzy dan Zio mengelilingi tempat tidurku di kamar. Masih terlalu lemah rasanya untuk sekadar duduk bersandar, jadi aku hanya meninggikan susunan bantal. Om Dirga menyingkap 'pintu' kelambu dan mengaitkannya. Kerincingan boneka yang tersenggol menimbulkan suara kerincing, kerincing, kerinciiing …! Zio menyeret kursi belajar dan duduk di kaki tempat tidur sedangkan Kenzy duduk di tepi tempat tidur, sejajar dengan perutku. Om Dirga, berdiri bersedekap di samping jendela. Suasana menjadi seperti kibaran bendera setengah tiang.Aku sudah mulai menangis---entah mengapa, padahal sudah lebih baik, nggak terlalu sakit lagi---ketika Om Dirga membuat intro dengan berbasa-basi menanyakan kondisiku. Rasanya, ooohhh, rasanya seperti terjatuh dari ketinggian. Bagaimana dengan Elize sekarang? Benarkah bayi yang dikandungnya itu anak Kenzy? Kalau bukan, mengapa keluarganya menuntut Ken
So fresh!Sejujur-jujurnya kukatakan, bersepeda bersama Zio membuatku merasa segar kembali. Segar, seperti baru saja menyantap semangkok es campur di puncak kegerahan. Ummm, atau semangkok soda gembira setelah seharian sibuk dengan segudang aktifitas yang memeras keringat. Sayang sekali, perasaan segar itu hanya berlangsung selama beberapa menit, sebelum akhirnya sampai di rumah. Eh, bukan! Bukan berarti aku nggak suka berada di rumah atau semacamnya. Suka, kok. Kan, ini rumahku? Rumah pemberian Papa Snoek.So sweet nggak, sih? Papa Snoek sudah mengganti hak kepemilikan rumah ini atas nama aku, Anyelir Nuansa Asmara. Sssttt, it is secret. Jangan sampai Kenzy tahu, oke? Kata Papa Snoek, "Papa nggak mau Kenzy terus-menerus berga
De swiiing, duaaarrr!Ternyata pertempuran antara Kenzy dan Elize masih berlangsung seru, ketika aku turun. Elize merangsek masuk dari pintu belakang sedangkan Kenzy justru menghalanginya dengan mengganjal pintunya. Ya ampuuun! Bagaimana bisa dia menyeret rak buku super besar itu ke sana? O'ooo, meja teleponnya sudah seperti kapal Titanic menabrak karang es. Hanya bisa berharap, semoga teleponnya nggak rusak.Sebenarnya, aku ingin melerai tapi nggak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya, karena bingung dan semakin panik, aku menelepon Zio untuk meminta bantuannya. Sayang sekali, dia sedang ada acara bersama Gymnastics Community di Utrecht. Jadi, baru bisa ke sini setelah acaranya selesai.
Time flies so fast!Sudah Selasa lagi, Hari Sampah lagi. Oke, dimulai dari lantai paling atas dulu, hehe. Walaupun bisa dikatakan sangat sangat sangaaat jarang menginjakkan kaki di lantai tiga plus balkonnya, aku ingin membersihkan rumah secara total hari ini. Yeaaahhh, aku kan, ibu rumah tangga yang baik? Rapi, bersih dan wangi. Hehe. Siapa dulu dong, papanya? Palung Segara Asmara gitu, looohhh!Tap, tap, tap!Perlahan-lahan namun pasti, aku menaiki tangga. Langsung menuju lantai tiga tanpa ada niat sedikit pun untuk berhenti di lantai dua. Untuk apa? Mengintip Kenzy yang masih terlelap di alam mimpi? Oh, wait a moment, please! Kenzy di