Home / Romansa / KELAMBU MERAH JAMBU / Menenangkan Diri

Share

Menenangkan Diri

last update Last Updated: 2021-02-26 17:58:56

Sumpah, meskipun sudah membaca Pippi Longstocking karya Astrid Anna Emilia Lindgren---secara acak---dan Love, Star Girl karya Jerry Spinelli---juga secara acak---nyatanya perasaanku belum membaik juga. Rasanya seperti selembar kertas yang disobek dengan kasar oleh seseorang karena berulang kali typo, diremas-remas hingga membentuk bola lalu dilemparkan begitu saja ke tempat sampah. Plung dan hilang. Tenggelam di antara sekeranjang sampah yang lain. 

Yeaaahhh, andai selembar kertas memiliki perasaan, sih! 

Ummm, sepertinya aku membutuhkan sesuatu selain buku, deh?  Itu, untuk menghapus jejak dan bayangan Marcella dari ingatan yang mulai over loaded. Saloon and Spa, shopping, gardening atau berjemur di pantai?  Tapi, masa sendiri, sih? Ahaaa, aku tahu, aku tahu! Es krim. Titik. 

Segera, aku mengemasi tiga novel berbahasa Inggris yang mau kupinjam ke dalam keranjang sewa. Menyiapkan Bibliothek Kaart (Kartu Perpustakaan) dan melangkah gontai menuju meja peminjaman. Entahlah, rasanya pertanyaan tentang Marcella semakin padat di benakku. Siapa dia, siapanya Kenzy? Mengapa matanya langsung berkaca-kaca, nyaris meneteskan air, ketika tahu Kenzy nggak ada di rumah? Normalkah itu untuk ukuran seorang teman? Hei, tadi itu Kenzy membuat janji dengannya, ya atau apa? 

Bukan hanya itu, bahkan  bayangannya pun berani membuat keributan denganku. Semakin kuat aku mengusirnya, semakin kuat pula ia berdiri di sana. Dengan angkuhnya membelah diri menjadi puluhan Marcella. Nah, seperti kepingan puzzle yang terlepas dari papannya. Berserakan di pelataran hati. 

Rambut yang kuning mengkilat, bentuk wajah bulat telur, lesung pipit di pipi kiri, senyum miring sehingga dahunya terlihat membengkok ke kanan ... Semuanya, terutama matanya yang sebiru mata boneka bayi bule. Mengganggu, tentu saja. Sangat menganggu, kalau aku boleh mengakuinya dengan jujur. 

"Do you speak in English or Dutch, Miss Anye Anyelir?" Petugas perpustakaan itu menyapaku dengan keramahan level sepuluh yang kujawab dengan sangat singkat, "English." 

Nggak adil sebenarnya, jika dibandingkan dengan segala keramahannya, tapi bagaimana lagi? Aku sedang nggak mood bahkan untuk sekadar berbasa-basi. Sepertinya, pilihanku tadi pagi salah besar. Perpustakaan dengan ribuan buku yang tersusun rapi itu justru membuatku terjajah oleh Marcella. Bukan salah perpustakaannya, tentu saja.

Dia, yang di badge-nya tertulis nama Ariane itu tersenyum lebar kepadaku, "Hellooo, Miss Anyelir, what can I do for you?" 

Seperti sebelumnya, aku hanya menjawab, "May I borrow these books, please?"

Tanpa menunggu jawaban, aku mengangsurkan tiga buku yang sudah sejak lama ingin kupinjam kepadanya. S.O.B It karya Sarah Week dan dua buku yang tadi kubaca secara acak di ruang baca. Oh my God, aku sampai lupa, apakah tadi sempat mengulas senyum atau tidak. Kaku sekali, rasanya. 

"Thanks," ungkapku, begitu Ariane selesai mencatat buku-buku yang mau kupinjam di komputer dan mengangsurkannya kembali padaku, "See you, Ariane!" 

"You are welcome, Miss Anye Anyelir!" sahutnya masih di level sepuluh untuk keramahannya, "See you soon and have a nice day!" 

Tanpa berkata-kata, aku meletakkan keranjang buku di sisi sebelah kanan meja peminjaman. Memasukkan buku-buku yang tersampul plastik dengan rapi itu ke dalam tas kain yang bertuliskan I Love Malioboro dan melangkah ke luar. 

Byuuutttzzz!

Angin musim semi menerpa wajahku dengan sempurna begitu sampai di trotoar yang menghubungkan perpustakaan dengan speltuin (taman bermain) yang ramai dikunjungi oleh anak-anak. Beberapa orang dewasa, kulihat, duduk-duduk santai di bangku kayu. Memandang ke arah mereka dengan wajah cerah ceria. Melambaikan tangan atau tertawa bahagia, mendukung kegiatan bermain mereka. Ah, senangnya jadi anak-anak?  Bebas. Menangis dan tertawa dengan lepas. 

Kecuali aku, sih. Masa kanak-kanakku, tentu saja nggak seceria mereka. Nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Mama nggak pernah mengajakku jalan-jalan atau semacamnya. Dia lebih mementingkan bisnis perhiasan dan sosialitanya, tentu saja. Bisnis, arisan. Bisnis, arisan ... Aku? Jelas, nggak tersisih satu bangku pun untukku di hatinya. Sampai akhirnya aku tumbuh menjadi remaja dan trararaaa ... Hik, hiks, hiiiksss noktah hitam itu tertera jelas dan jahat di buku diary-ku. Mama meninggal karena heart attack, perusahaan Papa bangkrut parah. 

Bruuukkk! 

Tanpa kusadari, aku menabrak seseorang di depan pintu masuk speltuin, hingga sama-sama terjatuh. Sakitnya nggak seberapa, malunya luar biasa. Bagaimana nggak, aku menindih tubuhnya? 

"Oooh, sorry ...?" pintaku sambil berusaha bangkit, "Sorry, ooohhh?"

Laki-laki yang kutaksir umurnya sepantaran dengan Galih itu meringis kesakitan, "My head, my head!" 

"Aaauuuhhh, where sick?" tanyaku diiringi dengan perasaan bodoh, "Are you OK?"

Sekian detik kemudian, dia bangkit dan berdiri di depanku. Wajahnya masih merah, begitu juga dengan matanya yang berair. Oh my God, apa yang telah keperbuat?  Sepertinya orang ini serius. Ohhh, please, jangan sampai dia cidera gara-gara aku!

"I am so sorry, ummm ...?" katanya sambil mengulurkan tangan yang kuterim dengan perasaan khawatir dan takut, "My name is William. May I have your name, please?" 

"Anya," sebutku berusaha untuk ramah lalu melepaskan jabatan tangannya yang dingin, sambil memastikan smartphone tersayang nggak lecet sedikit pun, "I am really sorry, William. I didn't ...?"

Ya ampuuun, aku meletakkannya di tas bagian depan! Ah, semoga dia baik-baik saja. Gemetar, aku merogoh ke dalam tas dan menggapai-gapai. Itu dia, kalau dari sentuhannya sih, masih utuh seperti sedia kala. 

"Sorry?" kata William mengejutkan sekaligus mengutuhkan kesadaranku, "What is your name?" 

"Oooh, sorry. My name is Anya, Anyelir." jawabku sambil mengolak-alik smartphone dan tersenyum lega, karena apa yang kekhawatiran tadi nggak terjadi sama sekali. 

"Anya, Anyelir? What a beautiful name!" 

Aku diam, nggak menjawab. Sebenarnya sempat tergelitik juga untuk menjelaskan kalau Anya itu nama panggilan, tapi kuurungkan. Nggak terlalu penting juga. Ya ampuuun, kami kan hanya kebetulan bertubrukan dan sama-sama terjatuh. Mungkin, sama-sama sedang bad mood? I don't know. 

"How do you feel?" aku mengamati seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung rambut, "Are you OK?" 

Sepertinya sih, sudah lebih baik. Sudah nggak meringis-meringis kesakitan lagi. Lihatlah, bahkan dia tersenyum manis ke arahku. Iya, aku yakin kalau dia seumuran dengan Galih. By the way, kok bisa kebetulan begini, ya? Aaahhh, tapi kan Kenzy sudah kehilangan seluruh perasaannya. Masa dia cemburu hanya karena melihat aku bersama William, sih? Hellooo, aku kan nggak mau bertubrukan juga. Sakit lho, malu juga. Sangat malu. 

William menyodorkan semacam kartu nama padaku, "Would you like to save it, Anyelir? My all social media are written there. Contact me for your best friend, please?"

Atas nama kemanusiaan perilaku baik, aku menerimanya dengan memasang wajah senang. Yeaaahhh, andai saja rasa senang itu bukan sekedar khayalan untuk saat ini, betapa ringannya jalan napasku. 'Marcella, who are you exactly?'

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Heru Jatmiko
good........, ..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Nyaaa Anyeliiirrr!

    De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Good Bye, Kenzy!

    Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me

  • KELAMBU MERAH JAMBU    The Final Decision

    "Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Waiting For Kenzy's Smile

    Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk

  • KELAMBU MERAH JAMBU    In Peace and Love

    Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Luka di Atas Luka

    Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Anak Pungut Yang Malang

    Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong

  • KELAMBU MERAH JAMBU    What Will Be Will Be

    Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn

  • KELAMBU MERAH JAMBU    Harapan Hidup Kenzy

    Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status