Seven months seven days.
Itu usia pernikahan kami. Pernikahan yang terikat kuat meskipun berdasarkan sebuah kata pusaka, terpaksa. Bukan hanya aku yang terpaksa, tetapi Kenzy juga. Kami sama. Sama-sama terpojok oleh pahit dan sakitnya keadaan.
Meskipun tetap nggak adil, menurutku. Iya, nggak adil, karena harus berdampingan dengan Kenzy yang sudah rusak ... Malu untuk mengakuinya, sebenarnya. Takut juga. Sebelum menikah denganku, Kenzy sudah sering terlibat dengan kasus obat-obatan terlarang. Sebelum menikah denganku, sudah beberapa kali keluar masuk hotel prodeo.
Terapi di Rumah Sakit Jiwa pun sudah dijalaninya beberapa kali namun belum membuahkan hasil. Entah bagaimana, papanya yang rekan bisnis Papa, tiba-tiba punya pemikiran ajaib. Menurut pendapatku, papanya bukan mendapatkan wangsit secara misterius seperti yang diutarakannya. Aku yakin, dia hanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Well, sebagai rekan bisnis, pasti dia tahu kalau perusahaan Papa sedang kritis. Nyaris koma dan barter itu pun terjadi.
Kenzy yang menurutnya model pria penyayang, akan sembuh kalau menikah denganku yang masih imut-imut dan lucu. Karena dia akan menghabiskan seluruh waktunya untuk menyayangi aku.
Hellooo, any body home?
Pria dewasa berumur tiga puluh lima tahun, menikahi gadis manis berumur dua puluh tahun. Lihatlah, kami sudah seperti om dan keponakan. Oh, yeaaah, kakak sulung dan adik bungsunya.
Memang benar, Kenzy seorang pria yang penyayang. Tapi sayangnya, bukan terhadap manusia, terutama aku. Sungguh, Kenzy jauh lebih menyayangi Sweetie, kucingnya dari pada aku. Baginya, Sweetie adalah segala-galanya. Buktinya? Dia lebih tenang dan bahagia melihat toples camilanku kosong dari pada toples camilan Sweetie. Terlepas dari komitmen bahwa kami nggak boleh saling menyentuh, Kenzy memang blank.
Tring, trooong!
Bell pintu berdering nyaring, mengejutkan sekaligus menapakkanku di atas selasar kenyataan. Segera, aku mengenakan slipper dan setengah berlari menuju pintu, melewati gaang yang dingin dan gelap. Bagian yang paling aku takuti di rumah ini, jujur.
"Halooo, Ik ben Marcella!" sapa seorang gadis manis di depan pintu, "Kunt Ik met Kenzy praten?"
"Anyaaa," sahutku, memperkenalkan diri, "Oh sorry, Kenzy is not at home, now." terangku sejujurnya, "You'd better come here more in the afternoon, Marcella!"
Gadis Belanda yang kutaksir umurnya sepantaran denganku itu terlihat kecewa. Kuperhatikan, ada kaca-kaca bening di matanya yang langsung menyentuh hati terdalamku dengan sebuah rasa aneh ... Cemburu? Hahahaha, benarkah aku cemburu? Untuk alasan apa?
Marcella tinggi semampai, cantik dan sexy. Oh, senyumnya manis sekali. Apalagi jika dipadukan dengan lesung pipit di pipi kirinya. Oooh my God, She is beautiful, really. Ya, yaaa kecuali rambut panjangnya yang berwarna kuning alami, sih. Eh, sorry. Sorry. Aku nggak bermaksud body shaming, kok. Marcella cantik, serasi dengan Kenzy.
By the way, mengapa ada sebentuk rasa pedih mengisi hatiku, ya? Padahal kan, ummm, We made the commitment.
"Oh, oke Anna. Thanks, I'll come back later!" katanya setelah mengangsurkan sekotak kue yang diletakkan dalam kantong kertas bertuliskan Tulip Bakery, "Please, my regard to Kenzy?"
Canggung, aku menerima kantong kertas itu dan mengoreksi caranya memanggilku, "Sorry, my name is Anya, Anyelir. Not Anna!"
Marcella menyapu wajah pucatnya dengan tangan kiri, "Oooh, yeees ... Anyelir!"
Oooh, my God!
Who is Marcella?Dia benar-benar membawa perubahan besar dalam hidupku. Sungguh, rasanya seperti istana pasir yang tersapu ombak. Oh, nooo! Nggak, aku nggak boleh seremuk itu. Memangnya Kenzy Van Snoek itu siapaku?
***
Sekuat mungkin aku menekan bell pintu rumah Elize. Melihat dari lampu ruang makan yang menyala terang, mereka ada di rumah. Eh, semoga Elize juga ada di rumah, bukan hanya Tante Theodora saja, maksudku. Ya ampuuun, aku kan ingin bertemu dengan Elize, bukannya ingin menghibur Tante Theodora atau bagaimana?
Diiing, dooong!
"Hai, Anyaaa!" Elize menyapaku ramah dan hangat begitu dirinya terlihat tepat di tengah-tengah pintu, "Come in, please?"
Sebenarnya, aku hanya ingin memberi tahu Elize kalau ada emergency chat di 2 Amazing Girls. Elize sama sekali belum membukanya, membuat intensitas kekhawatiran dan kegelisahanku tentang Marcella meningkat pesat.
"Ummm," gumamku lirih tanpa kusadari yang mengundang gumaman empatik Elize, "Ummm?"
Rasa khawatir dan gelisah itu kini telah menjelma kecamuk di dalam dada, jadi aku to the point. Kukatakan padanya, kalau ada emergency chat di 2 Amazing Girls, "Please, read and respond, right?"
Elize mengangguk mengerti, menyahut panggilan Tante Theodora yang terdengar memprihatinkan lalu mengucapkan, "Sorry, I've to go. Mommy is unhappy today ...?"
"Oooh, all right." bisikku sebelum berpamitan, "See you later, Elize!"
Elize berseru dengan suara seraknya yang khas, "See you later, Anya ... Yes Mommy, wait a moment, please?"
Gleng!
Suara pintu yang ditutup dengan keras itu sedikit menyentakku. Mengutuhkan kesadaran, Kenzy bukan milikku. Aku juga bukan miliknya. Hanya di atas kertas yang itu---Buku Nikah---kami boleh saling memiliki. Jadi, mengapa aku harus pening dengan Marcella yang tadi? Well, atau mungkin sebenarnya ada banyak Marcella di luar sana yang aku nggak tahu. Nggak boleh tahu, sama seperti aku menyimpan Galih dan segala cerita tentangnya hanya untukku.
Marcella sebagai teman. Marcella sebagai sahabat. Marcella sebagai pacar. Marcella, Marcella ... Marcella sebagai teman tapi mesra. Bisa jadi, kan? Who knows? Ada seratus Marcella dalam hidup Kenzy berdasarkan kepentingan hidupnya.
Ingin rasanya memaki dan merutuki kebodohan diri sendiri. Karena kebodohan itulah aku terjebak dalam mimpi buruk yang berkepanjangan. Yeaaahhh, tak ada seorang pun di dunia ini yang tahu, kapan seseorang (orang lain maupun dirinya sendiri) akan meninggal, kan? Sayang seribu sayang, komitmen sialan itu berlaku sampai papaku dan papanya meninggal dunia. Sama-sama meninggal, bukan hanya salah satunya.
Apakah itu bukan kebodohan yang hakiki?
Apakah itu bukan kelemahan yang pantas untuk mendapatkan penopang?Dooong, dooong, dooong!
Group Chat: 2 Amazing Girls
[Hei, Anya!][I am so sorry to know that][BTW had Kenzy told you about Her?]Aku menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan Elize ada di depanku. Namun, tetap saja aku mengobrak-abrik ingatan, barangkali benar seperti apa yang ditanyakan Elize. Tapi, walaupun sudah kuobrak-abrik dengan sempurna, nggak ada secuil pun nama Marcella di sana. Intinya, Kenzy nggak pernah bercerita apapun tentang dia.
[No, Girl!]
Aku meneruskan langkah kaki menuju perpustakaan. Selain merasa sumpek dengan kehadiran Marcella yang misterius, aku juga ada jadwal mengembalikan buku di sana. Mungkin, ummm, biasanya rasa sumpek itu akan menghilang setelah berjalan kaki. Terutama jika berkeringat. Yaaahhh, if it was summer!
Dooong!
[Auuuhhh, so?][I don't know] balasku dengan jujur, [What do you Think?]
Dooong!
[Sorry, are you jealous?]'What? Ooohhh, nooo ...!' jeritku dalam hati, sambil memasukkan smart phone ke dalam saku jaket, 'Eliiizeee!'
Begitulah Elize adanya, terkadang terlalu polos dan lucu. Masa langsung tembak saja sih, mana tepat di ulu hati, lagi? Menyakitkan. Menyesakkan.
Oke, okeee ... Barangkali ini perasaan cemburu. Tapi aku memiliki sebuah alasan yang sangat kuat. Marcella bukan hanya cantik dan sexy, tapi juga terlihat dekat dengan Kenzy. Sangat dekat. Apa salah, kalau aku cemburu? Yaaahhh, walaupun belum tahu, ada hubungan apa antara Marcella dengan Kenzy. Ummm, jangan-jangan, mereka saudara? Sepupu mungkin, sama seperti di sinetron-sinetron yang dimunculkan oleh sutradara sebagai pemanis cerita? Mungkin. Aku nggak tahu.
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah