Share

5

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 05:18:34

"Untuk apa kamu mencari ibumu?"tanya Pakdhe Yatno.

Hanif terkejut bukan main. Nyatanya kalimat sinis itu juga keluar langsung dari pakdhe Yatno. Paamn yang dulu begitu akrab denganya.

"Ah apakah pertanyaan paman harus wajib saya jawab? Itu sama saja dengan pertanyaan kenapa kamu makan ? Iya kan?"kata Hanif mencoba melempar canda kepada Pakdhe Yatno yang terkenal humoris.

Namun lagi-lagi Pakdhe Yatno hanya diam tanpa membalas candaan dari Hanif seperti dahulu..

"Apa sekarang kamu sadar dan mulai membutuhkan ibu mu lagi?"

"Iya saya membutuhkan ibu untuk menikmati apa yang sudah saya perjuangkan, pakdhe. Ibu juga adalah salah satu alasan saya untuk merantau ke negeri orang. Mengorbankan perasaan rindu bertahun-tahun lamanya,"ucap Hanif menggebu-gebu.

Paman Yatno berdiri memendang langit yang mendung dan sesekali memperlihatkan kilatanya.

"Omong kosong,"jawab Pakdhe Yatno dengan nada mencemooh.

Hanif yang sudah tidak sabar, akhirnya ikut bangkit mensejajari sang paman.

"Kalau saya ada salah, tolong katakan pakdhe. Jangan seperti orang lain diluar sana yang memandang Hanif dengan sinis. Pakdhe bukan orang lain untuk saya. Dan saya datang kesini dengan baik-baik."

"Oh jadi kamu sudah sadar atas semua sifat masyarakat yang mulai sinis terhadapmu. Intropeksi diri Hanif. Itu sanksi sosial yang harus kamu terima."

Hanif semakin geram dan bingung dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan pamanya.

"Tolonglah pakdhe saya baru saja pulang dari luar negeri. Dan saya baru kemarin menginjakan kaki di tanah kampung ini lagi setelah lima tahun. Lalu pelanggaran sosial apa yang saya perbuat?"

"Bukankah kamu sendiri yang menyuruh ibu mu pergi. Dan melarang Lavina memberi makan untuk ibu mu? Dan asal kamu tau Hanif, ibu mu sering minta-minta makanan ke masyarakat karena dia lapar."

Seakan dunia Hanif runtuh. Kakinya yang kekar juga seolah-olah tak mampu menopangtubuhnya. Lemas. Hanif mulai sempoyongan. Namun Ia tetap.mencoba tegak dengan mata berkaca-kaca.

"Ya Tuhan, ibu. Demi Allah pakdhe saya tidak pernah memerintahkan Vina untuk seeperti itu. Aku bekerja keras juga untuk ibu agar beliau hidup layak di masa tua nya. Sudah cukup ibu memderita, bekerja keras membesarkan aku dan Hana tanpa sosok ayah yang telah meninggalkan kami demi perempuan lain. Aku ingin sekali mengobati rasa sakit ibu, pakdhe. Anak mana yang tega membuang ibu kandungnya yang sudah renta. Dan untuk apa Hanif ngotot mengambil ibu dari rumah Hana kalau memang ujungnya Hanif buang?,"ujar Hanif dengan lirih.

Pakdhe Yatno membalikan badan.

"Kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu Hanif?"

"Demi Allah, pakdhe. Hanif tidak berbohong. Kalaupun ibu pergi atas perintah Hanif, tidak mungkin kini Hanif sebingung ini

"Ma'af Hanif apa mungkin istrimu sendiri yang mengarang cerita itu? Bukanya pakdhe suudzon. Melihat keadaan ibu mu saat itu, pakdhe berniat menghubungi kamu, meminta nomor telepon kamu, Lavina selalu berkata bahwa itu privasi. Dia berkata kamu ancam akan membunuhnya jika memberitaukan nomor telepon kamu pada orang lain,"

Hanif menyandarkan diri di tembok. Linangan air matanya sudah tak mampu lagi tertahan. Tubuh Hanif perlahan lemas hingga ia jatuh kelantai. Membuat Pakdhe Yatno dan Budhe Hindun kepanikan.

"Kenapa ini pak?"

"Bapak hanya menceritakan apa yang pernah Lavina bilang bu. Namun kemungkinan itu hanya karanganya saja."

"Ya Allah Mbak Lastri apa benar dibuang oleh menantunya sendiri? Kasihan kamu Nif. Pulang jauh mencari nafkah justru dihadiahi hal seperti ini,"isak Budhe Hindun yang semula sinis berubah menjadi kasihan karena kenyataan yang sebenarnya.

"Lalu aku harus bagaimana pakdhe budhe?"tanyanya lirih.

Pakdhe Yatno dan Budhe Hindun saling berpandangan. Mereka bingung memberikan pendapatnya. Karena sungguh berat ada di posisi Hanif saat ini.

"Yang penting cari ibumu dulu, nak,"titah Budhe Hindun.

Setelah dirasa cukup kuat, dan juga meneguk teh hangat dari Budhe Hindun, Hanif berpamitan untuk pulang.

"Jangan terburu-buru mengambil keputusan Nif. Mereka yang menyakiti ibu mu juga harus merasakan sakit yang sama...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   18

    Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   17

    Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   16

    Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   15

    Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   14

    Hanif hendak membawa mangga itu, tapi Bu Dewi buru-buru merebut dan berkelit dengan segala alasan.Hanif masih menatap plastik berisi mangga muda itu, pikirannya berputar liar. Ia melangkah pelan menuju meja makan, hendak meletakkan bungkusan tersebut. Namun baru saja tangannya bergerak, suara langkah Bu Dewi terdengar dari arah dapur.“Apa itu, Nif?” tanya Bu Dewi dengan nada datar, tapi matanya langsung terpaku pada plastik berisi mangga. Tanpa basa-basi, ia meraih cepat dari tangan menantunya.“Itu… mangga muda, Ma,” jawab Hanif dengan kening berkerut. “Barusan ada orang ngantar. Katanya dari Mama untuk Vina.”“Oh, bukan, bukan untuk dia.” Bu Dewi tersenyum tipis sambil memeluk plastik itu ke dadanya. “Ini pesanan Mama. Mama lagi pengin aja.”Hanif terdiam sejenak, menatap mertuanya dengan sorot penuh tanda tanya.“Untuk Mama? Tapi… bukannya Mama punya radang lambung? Mama selalu menghindari makanan asam. Waktu terakhir sebelum aku merantau, Mama sendiri yang bilang kalau makan asam

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   13

    Hanif sontak membuka mata lebar-lebar. Dering yang nyaring itu membuat tubuhnya langsung tegang.Matanya menoleh cepat ke arah meja rias Lavina. Laci di bawah kaca itu bergetar samar, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Alis Hanif mengernyit.“Handphone siapa lagi itu?” batinnya penuh curiga.Ia melirik istrinya. Lavina tampak pura-pura terlelap, meski dada perempuan itu naik turun dengan ritme yang tidak wajar, terlalu cepat untuk ukuran orang yang sedang tidur nyenyak.“Vina…” Hanif berbisik pelan, lalu menepuk pelan bahu istrinya.Namun Lavina hanya mengerjap sebentar, kemudian berpaling membelakangi suaminya.Kecurigaan Hanif makin memuncak.Ia bangkit dari ranjang, melangkah perlahan mendekati meja rias. Suara dering itu belum berhenti, justru makin terasa menusuk telinga. Dengan gerakan cepat, Hanif menarik laci itu.Braaak!Di dalamnya tergeletak sebuah handphone berwarna hitam. Bukan milik Hanif, jelas bukan pula milik Hana. Hanya ada satu kemungkina

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status