LOGIN"Untuk apa kamu mencari ibumu?"tanya Pakdhe Yatno.
Hanif terkejut bukan main. Nyatanya kalimat sinis itu juga keluar langsung dari pakdhe Yatno. Paamn yang dulu begitu akrab denganya. "Ah apakah pertanyaan paman harus wajib saya jawab? Itu sama saja dengan pertanyaan kenapa kamu makan ? Iya kan?"kata Hanif mencoba melempar canda kepada Pakdhe Yatno yang terkenal humoris. Namun lagi-lagi Pakdhe Yatno hanya diam tanpa membalas candaan dari Hanif seperti dahulu.. "Apa sekarang kamu sadar dan mulai membutuhkan ibu mu lagi?" "Iya saya membutuhkan ibu untuk menikmati apa yang sudah saya perjuangkan, pakdhe. Ibu juga adalah salah satu alasan saya untuk merantau ke negeri orang. Mengorbankan perasaan rindu bertahun-tahun lamanya,"ucap Hanif menggebu-gebu. Paman Yatno berdiri memendang langit yang mendung dan sesekali memperlihatkan kilatanya. "Omong kosong,"jawab Pakdhe Yatno dengan nada mencemooh. Hanif yang sudah tidak sabar, akhirnya ikut bangkit mensejajari sang paman. "Kalau saya ada salah, tolong katakan pakdhe. Jangan seperti orang lain diluar sana yang memandang Hanif dengan sinis. Pakdhe bukan orang lain untuk saya. Dan saya datang kesini dengan baik-baik." "Oh jadi kamu sudah sadar atas semua sifat masyarakat yang mulai sinis terhadapmu. Intropeksi diri Hanif. Itu sanksi sosial yang harus kamu terima." Hanif semakin geram dan bingung dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan pamanya. "Tolonglah pakdhe saya baru saja pulang dari luar negeri. Dan saya baru kemarin menginjakan kaki di tanah kampung ini lagi setelah lima tahun. Lalu pelanggaran sosial apa yang saya perbuat?" "Bukankah kamu sendiri yang menyuruh ibu mu pergi. Dan melarang Lavina memberi makan untuk ibu mu? Dan asal kamu tau Hanif, ibu mu sering minta-minta makanan ke masyarakat karena dia lapar." Seakan dunia Hanif runtuh. Kakinya yang kekar juga seolah-olah tak mampu menopangtubuhnya. Lemas. Hanif mulai sempoyongan. Namun Ia tetap.mencoba tegak dengan mata berkaca-kaca. "Ya Tuhan, ibu. Demi Allah pakdhe saya tidak pernah memerintahkan Vina untuk seeperti itu. Aku bekerja keras juga untuk ibu agar beliau hidup layak di masa tua nya. Sudah cukup ibu memderita, bekerja keras membesarkan aku dan Hana tanpa sosok ayah yang telah meninggalkan kami demi perempuan lain. Aku ingin sekali mengobati rasa sakit ibu, pakdhe. Anak mana yang tega membuang ibu kandungnya yang sudah renta. Dan untuk apa Hanif ngotot mengambil ibu dari rumah Hana kalau memang ujungnya Hanif buang?,"ujar Hanif dengan lirih. Pakdhe Yatno membalikan badan. "Kamu bersungguh-sungguh dengan ucapanmu Hanif?" "Demi Allah, pakdhe. Hanif tidak berbohong. Kalaupun ibu pergi atas perintah Hanif, tidak mungkin kini Hanif sebingung ini "Ma'af Hanif apa mungkin istrimu sendiri yang mengarang cerita itu? Bukanya pakdhe suudzon. Melihat keadaan ibu mu saat itu, pakdhe berniat menghubungi kamu, meminta nomor telepon kamu, Lavina selalu berkata bahwa itu privasi. Dia berkata kamu ancam akan membunuhnya jika memberitaukan nomor telepon kamu pada orang lain," Hanif menyandarkan diri di tembok. Linangan air matanya sudah tak mampu lagi tertahan. Tubuh Hanif perlahan lemas hingga ia jatuh kelantai. Membuat Pakdhe Yatno dan Budhe Hindun kepanikan. "Kenapa ini pak?" "Bapak hanya menceritakan apa yang pernah Lavina bilang bu. Namun kemungkinan itu hanya karanganya saja." "Ya Allah Mbak Lastri apa benar dibuang oleh menantunya sendiri? Kasihan kamu Nif. Pulang jauh mencari nafkah justru dihadiahi hal seperti ini,"isak Budhe Hindun yang semula sinis berubah menjadi kasihan karena kenyataan yang sebenarnya. "Lalu aku harus bagaimana pakdhe budhe?"tanyanya lirih. Pakdhe Yatno dan Budhe Hindun saling berpandangan. Mereka bingung memberikan pendapatnya. Karena sungguh berat ada di posisi Hanif saat ini. "Yang penting cari ibumu dulu, nak,"titah Budhe Hindun. Setelah dirasa cukup kuat, dan juga meneguk teh hangat dari Budhe Hindun, Hanif berpamitan untuk pulang. "Jangan terburu-buru mengambil keputusan Nif. Mereka yang menyakiti ibu mu juga harus merasakan sakit yang sama...Beberapa hari setelah kelahiran Fadel, suasana di rumah Jannah mulai sedikit tenang. Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suatu sore, ketika hujan baru saja reda, Hanif datang dari rumah sakit dengan wajah tegang.Jannah yang sedang menimang Fadel segera menoleh. “Mas… gimana keadaan Mbak Vina?” tanyanya khawatir.Hanif menatap istrinya lama sebelum menjawab. “Dia mulai kambuh lagi, Jannah. Barusan di ruang perawatan, dia terus manggil Abrisam dan Fadel… lalu menuduh semua orang mau ambil anaknya. Bahkan suster sampai ketakutan.”Jannah terdiam, menunduk dalam. “Kasihan banget, Mas…”“Dokter bilang gangguan psikisnya makin berat. Dia trauma, stres pascamelahirkan, dan kelelahan mental,” lanjut Hanif dengan nada rendah. “Aku pikir… mungkin sudah waktunya dia dirawat di rumah sakit jiwa, biar benar-benar ditangani profesional.”Kata-kata itu seperti menghujam telinga Jannah. Ia menatap suaminya dengan wajah sedih. “Di rumah sakit jiwa?”Hanif mengangguk pelan. “Iya, Jannah. Ini
Abrisam mengangguk di pelukan ibunya. “Aku ingat, Ma… aku rindu Mama setiap hari,” katanya lirih.Lavina menutup mata, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Tubuhnya bergetar di antara isak yang tertahan dan helaan napas yang berat. “Maaf, Nak… maaf Mama lama nggak datang,” ucapnya sambil mengusap rambut anaknya dengan lembut.Jannah berdiri terpaku, dada sesak melihat pemandangan itu. Ia sadar semua mata warga kini tertuju pada Lavina dan anak kecil itu, tapi hatinya tak tega membiarkan mereka di jalan, di tengah tatapan penuh gosip dan ketakutan. Ia menelan ludah, lalu maju perlahan.“Mbak Vina…” panggilnya lembut. “Masuk dulu, ya. Di dalam lebih tenang. Nanti Abrisam juga bisa minum. Yuk, Mbak…”Lavina menatap Jannah, matanya masih penuh kebingungan. Tapi kemudian pandangannya beralih ke wajah Abrisam yang memandangnya penuh harap. Ia mengangguk pelan. “Boleh… asal aku sama Abrisam aja, jangan yang lain,” gumamnya, suaranya nyaris seperti anak kecil yang takut dimarahi.Jannah t
Layar ponselnya menampilkan sesuatu yang membuat darahnya seolah berhenti mengalir.Sebuah unggahan dari akun gosip terkenal di media sosialDan di bawah tulisan itu, terpampang foto-fotonya bersama Danu di kafe, di parkiran, bahkan di depan hotel tempat mereka pernah bertemu.Wajah Lavina terlihat jelas. Senyum samar di sudut bibirnya dalam salah satu foto kini terasa seperti jerat yang mencekik.Jari-jari Lavina gemetar saat menggulir layar. Kolom komentar di bawah postingan itu penuh ribuan kalimat—panah-panah beracun yang menancap tanpa ampun.“Dasar perempuan nggak tahu malu!”“Masih muda, tapi ganggu rumah tangga orang!”“Pantas aja hidup enak, ternyata peliharaan bos!”“Semoga karmanya cepat datang, anak hasil dosa!”Lavina menjatuhkan ponselnya ke lantai, napasnya memburu. Wajahnya pucat pasi, matanya menatap kosong. Tubuhnya bergetar hebat seperti tersengat listrik.Ia berusaha berdiri, tapi lututnya tak sanggup menopang. Ia terjatuh kembali ke lantai, menangis keras sambil m
Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut dari sela tirai, tapi suasana rumah Bu Dewi sama sekali tidak tenang. Lavina duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar, sementara Bu Dewi mondar-mandir di depan pintu kamar dengan wajah tegang.Di meja rias, tergeletak plastik kecil dari apotek yang semalam dibeli dengan tangan gemetar dua buah test pack, masih terbungkus rapat.“Cepat, Vin. Jangan ditunda-tunda,” desak Bu Dewi dengan nada yang berusaha tegar, meski suaranya bergetar.Lavina memegang test pack itu seolah benda itu bisa menyalak. “Aku takut, Ma,” bisiknya lirih. “Kalau… kalau hasilnya positif, aku harus gimana?”Bu Dewi menatap anaknya lama, napasnya dalam. “Kalau benar kamu hamil, berarti kamu harus tanggung jawab atas apa yang kamu perbuat. Dan laki-laki itu juga.”Lavina menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca lagi. “Dia udah pergi, Ma…”“Kalau memang dia laki-laki sejati, dia harus balik,” sahut Bu Dewi tegas. “Sekarang kamu masuk kamar mandi. Mama tunggu di luar.”Dengan langk
Lavina mundur setengah langkah, seperti seseorang yang ]baru saja ditampar keras di depan umum. Matanya bergetar menatap Danu yang kini tampak dingin terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja memutuskan hubungan di tengah keramaian.“Kamu serius?” suaranya bergetar, nyaris serak. “Kamu mau ninggalin aku… cuma karena ucapan orang kayak Wisang?”Danu memejamkan mata sejenak. “Bukan cuma karena dia, Vin. Tapi karena semuanya udah terlalu jauh.”Lavina menggeleng cepat, air matanya mulai mengalir. “Kamu pengecut, Danu. Kamu bilang kamu sayang aku, tapi sekarang kamu mundur begitu aja karena takut reputasimu rusak?”Danu menatapnya, wajahnya menegang. “Bukan soal takut. Aku cuma… mikir panjang. Nama baikku, perusahaanku, keluargaku—semua bisa hancur kalau aku terus begini.”Lavina tertawa getir, menatapnya dengan mata merah. “Jadi aku ini cuma risiko buat kamu? Bukan seseorang yang kamu perjuangkan?”Danu menelan ludah, lalu menunduk. “Aku nggak mau semuanya berantakan. Aku udah kerja
Danu menepuk setir mobil pelan, matanya tetap lurus ke depan. “Kamu pikir gampang, Vin? Semua ini nggak sesederhana itu.”Lavina menatapnya tak percaya. “Nggak sederhana gimana? Kamu sendiri yang bilang cinta sama aku. Kamu yang bilang aku bikin kamu ngerasa hidup lagi. Sekarang pas aku minta kamu buktiin, malah bilang nggak bisa?”Danu menghela napas panjang, menurunkan kecepatan mobil. Jalanan yang semula ramai mulai berganti dengan deretan pepohonan di tepi pantai. Suara debur ombak terdengar samar di kejauhan, tapi suasana di dalam mobil justru menegang.“Vin,” katanya pelan tapi tegas, “aku nggak pernah bohong soal perasaanku. Tapi kamu juga harus ngerti posisi aku. Istriku mulai curiga. Dia sering tanya-tanya kalau aku pulang telat, mulai ngecek ponselku. Aku nggak mau dia sampai tahu tentang kita. Bukan sekarang.”Lavina mengernyit, nada suaranya meninggi. “Jadi kamu lebih sayang dia daripada aku?”Danu diam sejenak. Pandangannya menerawang, seolah sedang menimbang antara logik







