MasukHanif mengangguk pelan. Semangatnya telah luntur. Kekuatanya seolah sirna dengn kabar yang ia dengar sekarang.
Wanita yang dinikahinya, yang ia carikan nafkah hingga belahan bumi yang terukur jauh, tega berbuat seperti itu kepadanya. Membohonginya dan bahkan memfitnahnya dengan segala karangan cerita yang dibuat. Namun ada satu alasan untuk dia kembali disini. Yaitu Abrisam. Juga rumah beserta tanah ini adalah murni miliknya serta hasil kerja kerasnya. Deru montor berhenti tepat di depan pintu. Namun Lavina tidak menyambutnya seperti biasa. Sayup-sayup terdengar suara obrolan dari ruang tamu, tampak seorang wanita yang dia duga sebagai sales tengah mengobrol dengan Vina dan Bu Dewi. "Mas, lihat deh perhiasanya bagus-bagus kan. Ini mutiara asli lombok lho," Hanif sekejap memejamkan mata. Mengatur nafas yang tengah menahan emosi bergemuruh di dada. Ia harus mengingat pesan Pakdhe dan Budhe nya. Terlalu manis jika ia meninggalkan Lavina dalam keadaan bergelimang harta. Bagaimana ia tidak mengatakan seperti itu kalau ia pun tau bahwa istrinya itu penggemar berat perhiasan. Jangan tanya koleksi perhiasanya, sudah tidak diragukan lagi. Tentu selama ini ia membeli banyak perhiasan dengan uang yang dikirim Hanif dengan jumlah lebih dari cukup setiap bulanya. Namun matanya kembali memerah saat melihat ibu mertuanya pun turut dengan senang hati memilah-milah perhiasan. Tentu saja ia akan dengan senang hati membelikan beliau kalau ibu nya sendiri juga turut menikmati hasil kerja kerasnya. Tetapi kenyataanyanjustru sebaliknya. Hanif tidak memberi respon pertanyaan Vina, dan langsung melengang pergi ke kamar. "Kenapa suami mu Vin?"tanya Bu Dewi. "Biasa ma. Kumat manjanya. Dasar anak emak. Lagipula ibu nya sudah tua. Ya biarlah. Paling juga sudah mati kelaparan,"ujar Vina dengan lirih. Meskipun begitu tidak ada sedikitpun niat Vina untuk menyusul suaminya yang tengah merasakan kesedihan mendalam walau mungkin hanya drama sekalipun. Dia tetap melanjutkan memilah-milah perhiasan. Sementara itu Hanif tengah menangis tergugu di kamar melihat poto ibunya yang sengaja ia pasang di dompet. Tangis yang ia tahan semenjak di rumah Pakdhe Yatno kini akhirnya jatuh juga. Kata orang seorang laiki-laki harus kuat. Namun sejatinya laki-laki juga manusia biasa bukan malaikat yang punya marah, sedih dan kecewa. Seburuk apapun akhlak seorang anak, tentu dia lah yang berdiri paling depan jika ada yang menyakiti ibu nya. Dan itulah yang Hanif rasakan kini. * "Hana, alhamdulillah aku ada rezeki. Pesanan tempat parcel buah semakin banyak. Ini buat kamu. Kalau kamu ingin menengok ibu, silahkan. Aku izinkan,"ujar Ilham kepada sang istri di dalam rumah berdinding anyaman bambu tersebut. Sepasang netra itu menatap suaminya yang tersneyum di atas kursi roda itu. Kecelakaan yang dulu menimpanya membuat kakinya lumpuh total. Dan karena terkendala biaya, akhirnya pengobatan muapun terapi tidak bisa mereka lanjutkan. Dulu Ilham berprofesi sebagai sopir namun semenjak tragedi itu Hana lah yang membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ia bekerja sebagai buruh cuci atau apapun yang sekiranya ada orang menyuruh. Hasutan untuk meninggalkan Ilham tentu datang dari segala penjuru termasuk dari sang kakaknya sendiri-Hanif. Sebisa mungkin Hana menulikan telinga dari dengungan-dengungan yang tidak pantas di dengar itu. Bagaimana ia tega meninggalkan si yatim piatu dalam keadaan seperti itu. Ia juga bukan wanita yang hanya menikmati manisnya lalu pergi saat mendapati pahitnya. Ia yakin Ilham orang yang baik terlepas dari cobaan yang menimpa. Benar saja Ilham tetap mencoba mencari nafkah sebagai kewajibanya walau hasilnya tidak menentu. "Terimakasih ya bang,"jawab Hana sembari terharu dan tanpa terasa selaksa air mata itu turun juga. Sepasang kakak-beradik itu sama-sama tengah menangis. Hanya sebab yang menjadi pembedanya. Hanif yang menangis sedih dan Hana yang menangis haru. "Abang besok ikut ya," "Tidak usahlah Hana. Perjalanan ke rumah Kak Hanif itu jauh. Lagipula kita naik kendaraan umum. Kasihan kamu justru nanti kerepotan harus mengurusku. Kamu saja ya. Aku besok menyelesaikan pesanan tempat parsel. Salam untuk ibu ya," * Lavina masuk kamar saat mendapati Hanif tengah memainkan ponselnya. "Mas lihat deh. Bagus tidak perhiasan yang aku pakai?"tamya Lavina memperlihatkan kalung mutiara serta gelang mutiara yang tampak menawan. Sebenarnya Lavina cantik alami. Jadi memakai apapun dia tetap cantik. "Kamu jadi beli?"tanya Hanif dingin. "Iya dong mas. Sekalian untuk investasi." "Mama juga kamu belikan?" "Iyalah mas. Kasihan kalau aku saja yang beli." "Oh. Vin, karena aku sudah ada disini dan alasan mama tinggal disini untuk menemani kamu jadi ku kira bisakan beliau meninggalkan rumah ini?"Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung
Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing
Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang
Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men
Hanif hendak membawa mangga itu, tapi Bu Dewi buru-buru merebut dan berkelit dengan segala alasan.Hanif masih menatap plastik berisi mangga muda itu, pikirannya berputar liar. Ia melangkah pelan menuju meja makan, hendak meletakkan bungkusan tersebut. Namun baru saja tangannya bergerak, suara langkah Bu Dewi terdengar dari arah dapur.“Apa itu, Nif?” tanya Bu Dewi dengan nada datar, tapi matanya langsung terpaku pada plastik berisi mangga. Tanpa basa-basi, ia meraih cepat dari tangan menantunya.“Itu… mangga muda, Ma,” jawab Hanif dengan kening berkerut. “Barusan ada orang ngantar. Katanya dari Mama untuk Vina.”“Oh, bukan, bukan untuk dia.” Bu Dewi tersenyum tipis sambil memeluk plastik itu ke dadanya. “Ini pesanan Mama. Mama lagi pengin aja.”Hanif terdiam sejenak, menatap mertuanya dengan sorot penuh tanda tanya.“Untuk Mama? Tapi… bukannya Mama punya radang lambung? Mama selalu menghindari makanan asam. Waktu terakhir sebelum aku merantau, Mama sendiri yang bilang kalau makan asam
Hanif sontak membuka mata lebar-lebar. Dering yang nyaring itu membuat tubuhnya langsung tegang.Matanya menoleh cepat ke arah meja rias Lavina. Laci di bawah kaca itu bergetar samar, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Alis Hanif mengernyit.“Handphone siapa lagi itu?” batinnya penuh curiga.Ia melirik istrinya. Lavina tampak pura-pura terlelap, meski dada perempuan itu naik turun dengan ritme yang tidak wajar, terlalu cepat untuk ukuran orang yang sedang tidur nyenyak.“Vina…” Hanif berbisik pelan, lalu menepuk pelan bahu istrinya.Namun Lavina hanya mengerjap sebentar, kemudian berpaling membelakangi suaminya.Kecurigaan Hanif makin memuncak.Ia bangkit dari ranjang, melangkah perlahan mendekati meja rias. Suara dering itu belum berhenti, justru makin terasa menusuk telinga. Dengan gerakan cepat, Hanif menarik laci itu.Braaak!Di dalamnya tergeletak sebuah handphone berwarna hitam. Bukan milik Hanif, jelas bukan pula milik Hana. Hanya ada satu kemungkina







