Share

4

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 05:18:00

Ada rasa kesal dalam hati Hanif mendengar kalimat yang dilontarkan dari polisi tersebut.

"Saya ini baru pulang dari luar negeri pak. Jadi saya tidak tau,"

Polisi itu tertawa kecil.

"Hoalah pak. Sekarang jamanya canggih. Teknologi sudah mendunia. Kita berada dibelahan bumi manapun masih bisa berkirim kabar. Mau dikutub utara sekalipun."jawab polisi tersebut dengan kekeh kecil.

Hanif berusaha meredam gejolak emosinya. Agar urusanya lebih dipermudah.

"Saya berani membayar mahal pak."kata Hanif.

Lagi polisi tersebut kembali tertawa kecil.

"Masalahnya ini hilangnya sudah lama pak. Dunia ini luas. Kalau ibu anda ternyata sudah diluar kota bagaimana?"

Hanif seolah menulikan pendengaran akan hal itu. Sakit dan tidak terbayangkan itu akan terjadi. Dia harus menemukan ibunya dalam kondisi apapun. Ibu sehat atau sakit. Bahkan ibunya masih hidup atau sudah tiada sekalipun.

Setelah laporan telah berhasil dibuat, ia bergegas pulang. Sejenak ia mengamati foto terakhir ibunya di surat kehilangan.

'Untuk apa aku kesini kalau hanya untuk ditertawakan? Kalau memang mereka yang bergelar aparat tidak bisa diandalkan, aku akan menemukan ibu dengan tanganku sendiri.'tekat Hanif dalam hati.

Hanif masih terbayang-bayang wajah ibu nya. Setiap ia melihat perempun renta berjalan, ingatanya selalu tertuju pada ibu. Tak henti-hentinya ia merutuk dirinya sendiri atas kecerobohan dan kebodohanya sendiri.

Apa ini alasan Lavina yang selalu mencari alasan jika ia ingin melakukan video call dengan sang ibu?

*

"Ibu mana Vin? Aku rindu?"ucapnya saat melakukan bidoe call.

"Ibu sedang sibuk sama tanamanya mas. Takut beliau marah kalau aku ganggu. Nanti aku kirimkan fotonya ya,"

Begitulah jawaban Lavina. Sesaat kemudian ia pun juga mengirimkan foto ibu yang tengah menyirami tanaman.

Namun Hanif kembali teringat bahwa Lavina mengatakan ibu pergi setahun yang lalu. Dan Hanif melihat kiriman foto dari Lavina sekitar dua bulan yang lalu. Ada yang ganjil.

*

Hanif membelokan montornya di rumah tepat sesaat mobil CRV putih keluar dari rumahnya. Dan kebetulan Lavina ada di luar.

"Siapa?"tanya Hanif sinis.

"Itu orang tanya alamat, mas,"

"Tanya alamat kok mobilnya sampai masuk depan rumah. Aneh,"

Namun Hanif enggan curiga maupun bertanya lebih lanjut. Ekor matanya melihat handphone Lavina tergeletak di meja. Buru-buru ia mengambilnya. Terkunci. Namun Hanif mencoba sebisa yang dia ingat. Dan kuncinya masih sama.

Bukan w******p, telegram ataupun sosial media yang pertama kali dia ingin buka di handphone Lavina. Tetapi galerinya.

Dia dengan cepat menscroll bagian bawah galeri. Jarinya berhenti saat ia mendapat beragam foto ibu

Tengah menyiram tanaman, tengah makan, tengah menonton tv maupun sekedar bermain dengan Abrisam. Tidak kehilangan akal, Hanifmelihat jejak digital kapan foto itu diambil. Dan kenyataanya membuat Hanif lebih tercengang lagi. Foto-foto itu diambil sekitar setahun yang lalu. Selama ini Lavina membohonginya. Apakah memang kepergian ibu sudah direncanakan matang-matang oleh Vina? Untuk apa lagi dia menyetok foto ibu sebanyak itu kalau tidak untuk mengelabuinya?

Dan tanpa sadar, ia meremas handphone Lavina dalam genggamanya.

Hanif baru teringat bahwa ia belum mengunjungi pakdhe nya-kakak dari ibunya. Siapa tau ia lebih mengetahui tentang kepergian sang ibu. Secepat kilat, Hanif menyambar kunci montor lagi yang disambut Lavina di depan pintu.

"Mau kemana lagi mas?"tanya Vina.

"Bukan urusan kamu,"jawabnya penuh penekanan.

Lavina hanya memandangnya hingga punggung suaminya sudah tak terlihat lagi, hilang di ujung jalan.

"Jangan salahkan aku jika aku mencari hiburan yang lainya,"desis lirih Lavina disertai dengan senyum kecilnya.

Montor Hanif berhenti di sebuah rumah kampung yang sederhana namun terlihat asri. Seorang perempuan paruh baya melihatnya dari balik tirai jendela. Mereka sempat bersitatap namun sejurus kemudian wanita itu menutup kembali tirai. Dia adalah budhe Hindun-istri dari Paman Yatno. Entah kenapa beliau juga sesinis itu.

Baru saja saat Hanif akan mengucap salam, Pakdhe Yatno keluar.

"Sudah pulang kamu Nif rupanya?"tanya Pakdhe Yatno yang disambut uluran tangan dari Hanif.

"Alhamdulillah Pakdhe,"

Pakdhe Yatno mempersilahkan Hanif untuk duduk di kursi terasnya.

"Maksud kedatangan Hanif kemari, ingin menanyakan ibu pakdhe. Apa pakdhe tau dimana dan bagaimana keadaan ibu?"

"Untuk apa kamu mencari ibumu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   18

    Hana menatap map coklat itu dengan bingung. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menerima dari Wisang. Kertasnya tebal, rapi, jelas bukan barang sembarangan.“Apa ini, Kak?” tanya Hana pelan, menimbang-nimbang map yang kini ada di tangannya.Wisang menarik napas panjang, menatap adiknya dengan sorot penuh tekad. “Buka saja. Kamu akan mengerti.”Dengan tangan bergetar, Hana membuka map itu. Beberapa lembar dokumen tertata rapi di dalamnya. Pandangannya jatuh pada tulisan tebal di halaman depan: Sertifikat Hak MilikMata Hana langsung membesar. Nafasnya tercekat. “Astaga…” gumamnya. Tangannya refleks menutup mulut, tubuhnya berguncang.Wisang memperhatikan reaksi itu, suaranya berat tapi mantap. “Itu… rumah untukmu, Hana.”Hana menoleh cepat, wajahnya penuh ketidakpercayaan. “Apa? Kak… jangan bercanda. Aku nggak mungkin bisa…”“Ini bukan candaan,” potong Wisang tegas. “Rumah itu atas namamu sekarang. Aku sudah urus semuanya. Kamu nggak perlu bayar sepeser pun.”Air mata Hana langsung

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   17

    Motor tua itu meraung pelan saat Hana menembus jalan-jalan sempit menuju klinik terapi di pinggiran kota. Napasnya tak karuan, lega karena akhirnya sampai, cemas karena harus menghadapi biaya yang mungkin mencekik. Lukman diturunkan perlahan, kursi roda digeser ke ruang tunggu yang beraroma antiseptic, mata Lukman sayu, namun ada harap kecil di sana.Petugas resepsionis, perempuan muda berseragam rapi, menyambut dengan senyum profesional. “Silakan, Bu. Nama pasien?” tanyanya sambil mengetik di komputer.Hana mengucapkan nama suaminya, kemudian menatap ke saku untuk mengambil dompet. Jantungnya berdegup. “Berapa, ya, Bu? Kami bawa uang, tapi…”Sebelum kata-kata Hana selesai, seorang pria berpakaian rapi muncul dari sudut ruang tunggu. Ia membawa clipboard, wajahnya tenang. “Maaf mengganggu,” katanya kepada resepsionis. “Pasien dari keluarga ini ditangani gratis hari ini. Saya yang mengurus administrasinya.”Hana menoleh, keningnya berkerut. “Gratis? Tapi siapa…”Pria itu tersenyum sing

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   16

    Matahari baru saja tergelincir, menyisakan cahaya jingga yang memantul di genteng-genteng rumah kampung. Hanif turun dari mobil hitam mewahnya, langkahnya tegas, namun wajahnya murung. Suara bisik-bisik langsung terdengar dari arah warung dan pinggir jalan.“Lho Hanif sudah seminggu katanya cari Bu Lastri, kok sampai sekarang belum ketemu juga?” bisik seorang ibu-ibu dengan nada mencibir.“Katanya kaya raya, rumahnya mewah. Masak ibunya ilang aja nggak bisa nemuin?” sambung yang lain sambil menyipitkan mata.Hanif merasakan tatapan menusuk dari kanan-kiri, seolah setiap orang menelanjangi harga dirinya. Nafasnya ditahan sejenak, tapi kemudian ia melangkah ke arah warung, mencoba menegakkan kepala.“Assalamu’alaikum,” ucap Hanif pelan, suaranya berat.“Wa’alaikumussalam…” jawab beberapa orang, tapi nada mereka dingin. Seorang lelaki paruh baya, Pak Darto, langsung membuka obrolan dengan sindiran.“Hanif kok masih belum ada kabar Bu Lastri? Padahal kalau soal duit, kamu kan nggak kurang

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   15

    Vina mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya yang masih setengah tertutup masker tampak pucat, tapi sorot matanya berusaha dipertegas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis penuh sindiran.“Hana… kamu terlalu lancang bicara begitu,” ucapnya dingin. “Kamu pikir Hanif itu benar-benar peduli padamu? Apa dia pernah menoleh, melihat bagaimana kamu hidup di gubuk reyot ini? Kamu dan keluargamu sudah lama terabaikan, kan?”Hana tertegun, dadanya berdegup kencang. “Mas Hanif itu kakakku. Apa pun keadaannya, aku tahu dia orang baik. Jangan coba-coba membalikkan keadaan, Mbak.”Vina terkekeh lirih, tawanya hambar. “Orang baik, katamu? Kalau dia baik, kenapa suamimu yang lumpuh tidak pernah dia tengok? Kenapa biaya rumah sakit pun dia tidak pernah ikut membantu? Padahal kamu adik kandungnya sendiri.”Kata-kata itu menusuk hati Hana seperti sembilu. Namun ia menguatkan diri, menatap Vina tajam. “Mas Hanif punya keterbatasan. Tapi aku tidak akan biarkan kelemahan itu jadi alasanmu men

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   14

    Hanif hendak membawa mangga itu, tapi Bu Dewi buru-buru merebut dan berkelit dengan segala alasan.Hanif masih menatap plastik berisi mangga muda itu, pikirannya berputar liar. Ia melangkah pelan menuju meja makan, hendak meletakkan bungkusan tersebut. Namun baru saja tangannya bergerak, suara langkah Bu Dewi terdengar dari arah dapur.“Apa itu, Nif?” tanya Bu Dewi dengan nada datar, tapi matanya langsung terpaku pada plastik berisi mangga. Tanpa basa-basi, ia meraih cepat dari tangan menantunya.“Itu… mangga muda, Ma,” jawab Hanif dengan kening berkerut. “Barusan ada orang ngantar. Katanya dari Mama untuk Vina.”“Oh, bukan, bukan untuk dia.” Bu Dewi tersenyum tipis sambil memeluk plastik itu ke dadanya. “Ini pesanan Mama. Mama lagi pengin aja.”Hanif terdiam sejenak, menatap mertuanya dengan sorot penuh tanda tanya.“Untuk Mama? Tapi… bukannya Mama punya radang lambung? Mama selalu menghindari makanan asam. Waktu terakhir sebelum aku merantau, Mama sendiri yang bilang kalau makan asam

  • KEMANA ENGKAU DIBUANG, BU?   13

    Hanif sontak membuka mata lebar-lebar. Dering yang nyaring itu membuat tubuhnya langsung tegang.Matanya menoleh cepat ke arah meja rias Lavina. Laci di bawah kaca itu bergetar samar, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya ada di sana.Alis Hanif mengernyit.“Handphone siapa lagi itu?” batinnya penuh curiga.Ia melirik istrinya. Lavina tampak pura-pura terlelap, meski dada perempuan itu naik turun dengan ritme yang tidak wajar, terlalu cepat untuk ukuran orang yang sedang tidur nyenyak.“Vina…” Hanif berbisik pelan, lalu menepuk pelan bahu istrinya.Namun Lavina hanya mengerjap sebentar, kemudian berpaling membelakangi suaminya.Kecurigaan Hanif makin memuncak.Ia bangkit dari ranjang, melangkah perlahan mendekati meja rias. Suara dering itu belum berhenti, justru makin terasa menusuk telinga. Dengan gerakan cepat, Hanif menarik laci itu.Braaak!Di dalamnya tergeletak sebuah handphone berwarna hitam. Bukan milik Hanif, jelas bukan pula milik Hana. Hanya ada satu kemungkina

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status