"Berhenti sekarang!" teriak pria yang duduk diatas motor itu. Lisa menghentikan langkahnya. Saat ini tidak ada gunanya melawan, lebih baik menuruti perintah orang itu, lalu mencoba bernegosiasi. Lisa membalikkan tubuhnya dan melihat pria itu membuka helmnya. "Ngapain kamu lari?" tanya pria itu sambil meletakkan helm di atas pahanya. "Steven?" pekik Lisa senang sekaligus kesal. "Papamu nggak jadi jemput?" tanya Steven sambil memajukan motornya lalu berhenti di samping Lisa. "Enggak tahu, sudah di telepon berkali-kali sama sekali nggak diangkat." ucap Lisa terengah-engah. "Ya udah, ini pakai helm, biar aku antar pulang." perintah Steven sambil memberikan helm. Kali ini Lisa melakukan semua perintah Steven dengan patuh. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kata-kata Steven. Lisa naik ke atas motor Steven. Begitu duduk, tangan Lisa secara otomatis memegang pinggang Steven seperti biasanya. Steven yang kaget dengan tindakan Lisa langsung melirik ke arah pinggangnya. Lisa ter
"Ayo masuk." ajak Donna. Ersa dan Lisa menggelengkan kepala karena takut. "Udah ayo cepetan!" perintah Donna sambil menarik tangan kedua sahabatnya. Donna membuka pintu depan, tapi terkunci. Dia lalu memutar ke belakang dan menemukan pintu yang terbuka. Ersa dan Lisa mengikuti sambil berusaha berlindung di balik tubuh Donna. Tanpa ragu-ragu Donna masuk ke dalam rumah diikuti Ersa dan Lisa. "Berhenti!" teriak Donna kepada seorang pria yang sedang memegang tali pinggang kulit bersiap memukuli tubuh Rebekha yang sedang melindungi seorang perempuan yang wajahnya tertutup tubuh Rebekha. "Siapa kalian? Kok berani-beraninya masuk ke rumah orang tanpa izin?" bentak pria itu. "Lo yang siapa? Seenaknya mukulin perempuan?" teriak Donna dengan berani. "Brengsek! Anak kemarin sore berani teriak ama gue? Mau gue gebukin juga lo?" ancam pria itu. "Ayo, sini kalo berani. Kita lihat siapa yang bakalan dapat gebuk!" sahut Donna sambil memasang kuda-kuda. Ersa dan Lisa mundur perlahan dan bersia
"Sebaiknya Tante berpikir matang sebelum mengambil keputusan." tegas Lisa lalu melepaskan tangannya dan segera berjalan keluar menyusul teman-temannya. Dia berharap ibu Rebekha membuka matanya dan mampu melihat kebenaran. "Ayo balik." ajak Lisa begitu sampai di teras. "Lu tadi ngapain?" tanya Ersa penasaran. Lisa tersenyum. "Ada deh." jawabnya singkat. Lalu segera mengejar Donna dan Rebekha keluar kompleks. Mereka hampir tiba di jalan raya ketika terdengar teriakan Ibu Rebekha memanggil mereka. "Tunggu! Tunggu!" teriak Ibu Rebekha sambil berlari ke arah mereka. Ersa, Donna, Rebekha dan Lisa saling berpandangan. Lisa memohon dalam hatinya agar ibu Rebekha melihat kebenaran. "Rebekha, tolong jangan tinggalin Mama sendirian." mohon perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Rebekha memandang ibunya dengan dingin. "Kalau begitu suruh laki-laki itu pergi. Kalau dia pergi aku baru mau pulang." sahut Rebekha. "Lalu dia harus pergi kemana? Kasihan dia. Nanti Mama akan bicara, memint
Tepat jam tujuh malam, Lisa mengetuk pintu kamar Rebekha. "Rebekha, makan yuk." ajak Lisa sambil berusaha membuka pintu tapi kamar itu terkunci. "Bek, ayo makan dulu." lanjut Lisa sambil terus mengetuk pintu kamar Rebekha. Lisa mulai cemas, dia takut Rebekha melakukan hal-hal yang akan membahayakan dirinya. Lisa langsung bernafas lega begitu mendengar Rebekha membuka kunci pintu kamarnya. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Lisa khawatir. Rebekha keluar dengan mata bengkak. "Ini pertama kalinya gue bisa tidur nyenyak tanpa rasa was-was." jawab Rebekha sambil tersenyum. "Kalo lo nggak ngebangunin gue, mungkin gue bakalan tidur sampai pagi." lanjutnya sambil meregangkan badan. Lisa tersenyum bahagia. "Nanti lanjut lagi tidurnya, sekarang makan dulu yuk." ajak Lisa. "Bukannya tadi kita udah makan, emang lo udah lapar lagi?" tanya Rebekha bingung. "Lapar ato enggak lapar lo tetap harus makan! Biar bertenaga melawan kekuatan jahat." gurau Lisa. Mereka berdua tertawa sambil berjalan menuj
"Steven?" tanya Lisa pelan. Lisa bisa membaca ketertarikan Donna kepada Steven, tapi dia tidak menyangka kalau Rebekha juga menaruh hati kepada suaminya. Entah mengapa Lisa tiba-tiba merasa tercerahkan. Dia menemukan alasan pecahnya persahabatan mereka. Sejak kecil Lisa adalah pribadi yang tidak terlalu peduli dengan sekitarnya. Bagi Lisa yang paling penting adalah dirinya. Selama dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dia tidak peduli dengan perasaan orang lain, keadaan orang lain atau kehendak orang lain. Karena itu, dulu dia tidak pernah peduli bagaimana perasaan para sahabatnya kepada Steven. Yang dia pedulikan hanyalah bagaimana caranya mendapatkan Steven. Ketika persahabatannya dengan Rebekha, Donna dan Ersa pecah, Lisa benar-benar tidak tahu alasannya dan juga tidak mau tahu. Yang dia tahu Steven akhirnya menjadi kekasihnya. Bahkan tanpa perasaan dia mengumumkan dengan penuh kebanggaan kepada mereka bertiga. Dia ingat ekspresi kaget dan marah dari wajah mereka. Tapi lagi-
"Ayo kita cari Andrew!" pekiknya dengan tangan terkepal. Rebekha segera merampas telepon genggam Ersa lalu membaca pesan yang ada di layar. [Si Lisa itu munafik. Sabtu kemarin habis makan malam dia nginep di kost gue. Lu tahu lah kalo nginep ngapain. Gue udah nolak tapi perempuan gatal itu maksa. Ada ikan asin nawarin diri masa gue tolak. Kalo lu mau nanti gue kirimin foto-foto panas malam itu. Ini pembukaan aja gue kirimin foto waktu gue ama dia makan malam. Hahaha.] Rebekha terkejut membaca pesan itu dan melihat foto Lisa dan Andrew yang sedang makan malam. Mereka bertiga tahu malam itu Lisa memang pergi makan malam berdua dengan Andrew, yang mereka tidak tahu cerita setelah itu. Hari Minggu kemarin mereka terlalu fokus pada persoalan Rebekha, sehingga tidak ada yang menanyakan kelanjutan kencan Lisa dengan Andrew. Lisa bisa melihat keraguan di mata para sahabatnya. "Kalian juga percaya sama kata-kata laki-laki pengecut itu?" pekik Lisa sambil memandang ketiga sahabatnya. "Ngga
Lisa membuka mata dan melihat seseorang sedang menahan tangan Andrew. Andrew tampak marah dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkaraman orang itu tapi tidak bisa. Lisa merasa sangat lega ketika melihat Steven lah yang memegang tangan Andrew. Rasanya dia ingin segera memeluk Steven dan menangis di pelukannya. Tapi tidak mungkin, saat ini Steven bahkan bukan siapa-siapanya. "Lepas!" teriak Andrew marah. "Diam!" balas Steven lebih marah lagi. Steven baru tiba di kampus, ketika dia melihat ada kerumunan mahasiswa. Tadinya dia tidak terlalu peduli sampai dia mendengar teriakan Lisa. Steven segera mencari tahu apa yang terjadi. Dia sangat kaget ketika salah seorang mahasiswa memperlihatkan isi pesan yang disebarkan Andrew. "Berani-beraninya lo nyebarin pesan bohong kayak gitu? Mau gue hajar di sini lo?" gertak Steven masih menggenggam erat lengan Andrew. "Siapa lo? Bapaknya?" timpal Andrew tidak mau kalah sambil terus berusaha melepaskan diri dari Steven. "Gue memang bukan siapa-s
"Apa lagi?" teriaknya dengan ketus sambil menoleh dengan malas. Lisa hanya ingin pulang dan beristirahat. Tapi kalau Angel mau mencari masalah dengannya, dengan senang hati dia akan memberi Angel pelajaran. "Lisa, apa kabar?" Lisa kaget melihat wanita yang berdiri dengan wajah lebam penuh bekas pukulan. "Tante, ngapain kesini?" tanya Lisa kepada Ibu Rebekha, yang sedang berdiri di depannya masih dengan pakaian seragam salah satu restoran cepat saji, tempatnya bekerja. "Tante minta maaf." jawabnya pelan dengan wajah tertunduk malu. "Tante salah karena berusaha mempertahankan rumah tangga Tante." lanjutnya sambil memainkan jari-jari tangannya. Lisa tidak tahu reaksi apa yang harus dia berikan. Dia tidak yakin perempuan ini sudah berubah pikiran. "Jadi Tante mau apa?" tanya Lisa malas. Dia benar-benar tidak tertarik berbicara dengan Ibu Rebekha. "Tolong saya." pintanya dengan wajah memohon. Lisa diam, dia menunggu lanjutan perkataannya dengan sabar. "Tante mau Rebekha kembali pula