"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
-2007-Lisa meregangkan tubuhnya dengan malas, dia masih menutup matanya karena pantulan cahaya matahari yang memasuki kamarnya. Sepertinya obat tidur yang dia minum semalam benar-benar efektif, tidurnya nyenyak dan kepalanya terasa ringan. “Jam berapa ini?” Lisa yang menyadari harus menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, segera membuka matanya lalu melompat dari tempat tidur. Tapi dia begitu kaget ketika melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa ini bukan kamarnya. Lisa mencoba mengenali dimana sekarang dia berada. Perlahan-lahan Lisa mengingat tempat itu. “Ini kan rumah lama!” pekiknya kaget. Rumah ini dijual sembilan tahun yang lalu, beberapa bulan setelah kematian ayahnya. ‘Bagaimana aku bisa berada di sini?’ ucap Lisa dalam hati. *** -2022- (SEHARI SEBELUMNYA) “Kamu dari mana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Lisa sambil menunjuk ke arah jam dinding. Jam setengah satu pagi dan Steven pulang dengan penampilan berantakan, berbau rokok dan sedikit aroma alkohol. “Tadi bos
Lisa kaget. Dia tidak menyangka Steven setuju untuk bercerai dengannya. “Betul kan, kamu memang selingkuh!” Lisa mulai menangis. Dia yakin hanya wanita lain yang mampu membuat Steven melupakan anniversary mereka dan memperlakukan Lisa dengan dingin, bahkan ingin menceraikannya. “Kamu senang kan kalau kita bercerai, jadi kamu bisa bebas dengan selingkuhanmu. Kamu pasti bosan melihat aku yang gemuk, jelek, tidak terawat. Makanya kamu mencari wanita lain yang lebih cantik dan seksi.” tangis Lisa bertambah keras. Steven menahan nafas untuk menenangkan dirinya. Dia sadar saat ini Lisa sedang mengalami burnout* dan yang dia butuhkan hanya dukungan dari Steven. Tapi Steven terlalu lelah. Dia juga sedang kewalahan dengan masalah di kantor dan hanya membutuhkan dukungan Lisa. Steven sebenarnya hanya ingin pulang, memeluk Lisa sambil menceritakan tentang pekerjaannya yang sedang di ujung tanduk. Steven bekerja sebagai Arsitek di sebuah perusahaan arsitektur dan kontraktor yang cukup bonafide
“Lisa, kamu kenapa? Lisa, kamu kenapa sayang?” Steven berteriak dengan panik, cepat-cepat dia mengendong Lisa keluar. Dia meletakkan Lisa di jok belakang mobil nya. Lalu segera menelepon orantuanya yang tinggal tidak begitu jauh agar datang dan menjaga anak-anaknya, sementara Steven membawa Lisa ke rumah sakit. Steven sudah duduk di dalam mobil yang menyala ketika orangtuanya tiba. “Titip anak-anak ya Ma, Pa.” ucap Steven sebelum melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat, tanpa sempat menjelaskan apa-apa. Sesampainya di Rumah sakit Lisa langsung ditangani paramedis di Unit Gawat Darurat. Mereka memeriksa, mengukur lalu memasukkan sesuatu ke tubuh Lisa. Steven terus memperhatikan apa yang mereka lalukan, sementara salah seorang perawat terus menanyakan berbagai hal kepada Steven. Mulai dari penyebab Lisa tidak sadarkan diri, apakah dia jatuh, apakah dia punya alergi, apakah dia memakan sesuatu yang memicu alergi, apakah dia meminum obat tertentu, apakah dia punya penyakit tertentu