"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
-2007-Lisa meregangkan tubuhnya dengan malas, dia masih menutup matanya karena pantulan cahaya matahari yang memasuki kamarnya. Sepertinya obat tidur yang dia minum semalam benar-benar efektif, tidurnya nyenyak dan kepalanya terasa ringan. “Jam berapa ini?” Lisa yang menyadari harus menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, segera membuka matanya lalu melompat dari tempat tidur. Tapi dia begitu kaget ketika melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa ini bukan kamarnya. Lisa mencoba mengenali dimana sekarang dia berada. Perlahan-lahan Lisa mengingat tempat itu. “Ini kan rumah lama!” pekiknya kaget. Rumah ini dijual sembilan tahun yang lalu, beberapa bulan setelah kematian ayahnya. ‘Bagaimana aku bisa berada di sini?’ ucap Lisa dalam hati. *** -2022- (SEHARI SEBELUMNYA) “Kamu dari mana? Kok baru pulang jam segini?” tanya Lisa sambil menunjuk ke arah jam dinding. Jam setengah satu pagi dan Steven pulang dengan penampilan berantakan, berbau rokok dan sedikit aroma alkohol. “Tadi bos
Lisa kaget. Dia tidak menyangka Steven setuju untuk bercerai dengannya. “Betul kan, kamu memang selingkuh!” Lisa mulai menangis. Dia yakin hanya wanita lain yang mampu membuat Steven melupakan anniversary mereka dan memperlakukan Lisa dengan dingin, bahkan ingin menceraikannya. “Kamu senang kan kalau kita bercerai, jadi kamu bisa bebas dengan selingkuhanmu. Kamu pasti bosan melihat aku yang gemuk, jelek, tidak terawat. Makanya kamu mencari wanita lain yang lebih cantik dan seksi.” tangis Lisa bertambah keras. Steven menahan nafas untuk menenangkan dirinya. Dia sadar saat ini Lisa sedang mengalami burnout* dan yang dia butuhkan hanya dukungan dari Steven. Tapi Steven terlalu lelah. Dia juga sedang kewalahan dengan masalah di kantor dan hanya membutuhkan dukungan Lisa. Steven sebenarnya hanya ingin pulang, memeluk Lisa sambil menceritakan tentang pekerjaannya yang sedang di ujung tanduk. Steven bekerja sebagai Arsitek di sebuah perusahaan arsitektur dan kontraktor yang cukup bonafide
“Lisa, kamu kenapa? Lisa, kamu kenapa sayang?” Steven berteriak dengan panik, cepat-cepat dia mengendong Lisa keluar. Dia meletakkan Lisa di jok belakang mobil nya. Lalu segera menelepon orantuanya yang tinggal tidak begitu jauh agar datang dan menjaga anak-anaknya, sementara Steven membawa Lisa ke rumah sakit. Steven sudah duduk di dalam mobil yang menyala ketika orangtuanya tiba. “Titip anak-anak ya Ma, Pa.” ucap Steven sebelum melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat, tanpa sempat menjelaskan apa-apa. Sesampainya di Rumah sakit Lisa langsung ditangani paramedis di Unit Gawat Darurat. Mereka memeriksa, mengukur lalu memasukkan sesuatu ke tubuh Lisa. Steven terus memperhatikan apa yang mereka lalukan, sementara salah seorang perawat terus menanyakan berbagai hal kepada Steven. Mulai dari penyebab Lisa tidak sadarkan diri, apakah dia jatuh, apakah dia punya alergi, apakah dia memakan sesuatu yang memicu alergi, apakah dia meminum obat tertentu, apakah dia punya penyakit tertentu
“Lisa, kamu lagi ada masalah di kampus?” tanya Pak Adhitama lembut, sambil mengemudikan minibus tua kesayangannya. Lisa yang duduk disampingnya menjawab dengan suara tidak kalah lembut. “Enggak ada Pa.” Pak Adhitama mengangguk pelan, lalu diam. Senyap, padahal ada dua orang di dalam minibus hijau bermerek kijang itu. Tapi setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lisa menikmati keheningan ini. Setelah ayahnya meninggal, hampir setiap hari adegan ini dia mainkan di kepalanya. Bahkan setelah menikah dan memiliki anak pun, Lisa masih sangat merindukan setiap waktu yang dia habiskan bersama ayahnya. Dia belum pernah mengalami mimpi seperti ini, jadi dia ingin momen ini melekat di pikirannya. Sehingga ketika bangun nanti, dia bisa menikmati lagi kenangan ini. *** Setibanya di depan kampus, Lisa tersenyum gelisah. Tiba-tiba dia merasa gugup seperti saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus ini. Di kampus inilah dia bertemu dengan Steven, seniornya tapi dari jurusan
Lisa menghentikan langkahnya lalu menarik tangan Ersa. “Tanggal berapa sekarang?” Ersa memandang Lisa heran. “Tanggal 12 Mei 2007 Masehi, 1428 Hijriyah. Kenapa lo hilang ingatan?” Ersa menjawab dengan cara paling menyebalkan yang merupakan ciri khasnya. Lisa menarik nafas dalam, tentu saja Lisa tidak akan pernah melupakan tanggal 12 Mei. Hari ini adalah hari pertamanya bertemu dengan Steven dan di tanggal ini juga nantinya mereka akan menikah. “Wei! Ngapain bengong?” Ersa memukul bahu Lisa. Lisa tersadar dari lamunannya. “Ayo kesana.” ajak Ersa sambil menarik tangan Lisa. Lisa mencoba menolak, saat ini orang terakhir yang ingin dia temui bahkan di dalam mimpi sekalipun adalah Steven. Dia masih sangat marah kalau mengingat kejadian sebelumnya. “Empat sekawan sini!” Terdengar teriakan Rudy ketua BPM* Fakultas Hukum memanggil Lisa dan sahabat-sahabatnya. “Tuh dipanggil Ka Rudy.” ucap Donna yang kali ini ikut menarik tangan Lisa. Akhirnya Lisa menyerah, dengan wajah cemberut dia m
“Hai, aku Angel.” ucapnya tenang. "Boleh minta nomor telpon atau pin BBM?" tanya Steven sambil tersenyum sangat manis. Lisa memandang Steven dengan tajam. 'Kemarin katanya Angel yang meminta nomor HP nya, ternyata dia yang kegenitan duluan!' gerutu Lisa dalam hati. "Ini, tolong diisi datanya ya, supaya kami mudah menghubungi kalian kalau ada apa-apa." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Angel. "Uh, gue pikir dia naksir Angel, makanya minta nomor HP, ternyata buat data." bisik Donna tepat di telinga Lisa. Rebekha dan Ersa tersenyum sambil mengangguk tanda setuju dengan perkiraan Donna. Ternyata mereka berempat memiliki pemikiran yang sama. Lisa tersadar ini hanya mimpi tapi dia masih terbawa emosi karena masalah yang terjadi antara dia dan Steven di kehidupan nyata hingga membuatnya jadi kesal tanpa sebab. "Udah ah, ayo balik." ajak Lisa yang merasa gerah melihat Steven dan Angel yang sedang berbincang hangat. "Permisi dulu yuk ke Steven." ajak Rebekha sambil menarik tang
-2022- “Keluarga Lisa.” panggil perawat ICU. Steven yang sedang duduk di ruang tunggu ICU bersama beberapa penunggu pasien ICU lainnya, segera keluar memakai sepatu dan berlari ke arah ICU. “Maaf Pak keadaan Ibu Lisa sedang menurun, kami harus memasukkan beberapa obat, boleh minta tandatangan bapak disini?” tanya perawat sambil menyerahkan selembar kertas dan pena. Steven segera menandatangi kertas yang diberikan oleh perawat. “Sus, apa boleh saya masuk?” mohon Steven setelah selesai memberikan tanda tangannya. “Nanti bapak saya panggil kalau sudah boleh masuk.” jawab perawat lalu segera meninggalkan Steven. Steven yang berharap perawat segera memanggilnya untuk bertemu Lisa, bolak-balik di depan pintu ICU. Subuh tadi Steven hanya diberikan waktu sebentar melihat Lisa. Dia diminta keluar, meskipun dia memohon agar bisa tinggal lebih lama. Tapi dokter jaga ICU menolaknya dan meminta Steven mempercayakan Lisa kepada para dokter dan perawat. ‘Mereka tidak mengerti!’ teriak Steven d