Lisa kaget. Dia tidak menyangka Steven setuju untuk bercerai dengannya.
“Betul kan, kamu memang selingkuh!” Lisa mulai menangis. Dia yakin hanya wanita lain yang mampu membuat Steven melupakan anniversary mereka dan memperlakukan Lisa dengan dingin, bahkan ingin menceraikannya.
“Kamu senang kan kalau kita bercerai, jadi kamu bisa bebas dengan selingkuhanmu. Kamu pasti bosan melihat aku yang gemuk, jelek, tidak terawat. Makanya kamu mencari wanita lain yang lebih cantik dan seksi.” tangis Lisa bertambah keras.
Steven menahan nafas untuk menenangkan dirinya. Dia sadar saat ini Lisa sedang mengalami burnout* dan yang dia butuhkan hanya dukungan dari Steven. Tapi Steven terlalu lelah. Dia juga sedang kewalahan dengan masalah di kantor dan hanya membutuhkan dukungan Lisa.
Steven sebenarnya hanya ingin pulang, memeluk Lisa sambil menceritakan tentang pekerjaannya yang sedang di ujung tanduk. Steven bekerja sebagai Arsitek di sebuah perusahaan arsitektur dan kontraktor yang cukup bonafide. Sebagai salah satu Arsitek senior Steven merasa posisi nya tidak akan tergantikan. Apalagi banyak klien yang hanya ingin menggunakan desain Steven.
Namun, hari ini Steven baru tahu. Selama ini, keponakan salah satu pemilik perusahaan dengan saham terbesar, mengambil banyak klien nya. Steven selalu berpikir positif saat keponakan bosnya meminta masukannya setiap kali membuat sebuah desain. Ternyata semua proyek yang dia bantu itu seharusnya menjadi proyek Steven.
Steven mengadu kepada bosnya, tapi malah disuruh untuk mengundurkan diri kalau memang tidak menyukai keponakannya. Di acara makan malam hari ini bosnya malah mengumumkan bahwa mulai besok sang keponakan akan menjadi atasan Steven.
Steven bernar-benar merasa tertekan dan sangat membutuhkan dukungan Lisa untuk mengurangi beban yang ada di pundaknya. Tapi dia tidak menyangka Lisa malah menambah bebannya.
Steven memandang Lisa dengan acuh, dia sangat mencintai Lisa dan tidak ingin menyakitinya tapi terus menerus menjadikan perselingkuhan Steven yang tidak pernah terjadi itu sebagai alasan benar-benar membuat Steven putus asa. Kalau Lisa memang mau bercerai, Steven tidak ingin menahannya lagi.
“Terserah apa katamu. Aku benar-benar nggak peduli lagi. Ingat bukan aku yang minta cerai tapi kamu!” sembur Steven sambil mengambil bantal dan selimut lalu keluar dari kamar. Dia hanya ingin tidur nyenyak dan melupakan hari ini. Karena itu Steven memilih tidur di sofa ruang tamu.
Lisa yang ditinggalkan Steven terus menangis. Dia tidak bisa menahan airmatanya. Lisa tidak menyangka dia akan mengucapkan kata cerai. Tapi lebih tidak menyangka lagi Steven setuju dengan permintaannya.
Setelah lelah menangis, Lisa menghapus airmata dari pipinya.
“Ok, sepertinya pernikahan ini memang harus berakhir. Sekarang yang paling penting adalah anak-anak. Aku harus kuat buat anak-anak.” ucap Lisa lantang, menguatkan hatinya lalu membuka laci disamping tempat tidurnya.
“Aku akan tidur dan bangun besok dengan tenaga penuh untuk menjadi seorang janda.” bisik Lisa meyakinkan dirinya sendiri, sambil mengambil botol obat tidur yang diberikan oleh iparnya yang seorang Psikiater.
Sudah beberapa hari Lisa mengalami kesulitan tidur dan keadaan emosinya mulai tidak stabil, karena itu dia mengkonsumsi obat tidur agar kewarasan tetap terjaga.
Lisa membuka botol putih yang berisi obat tidur dan berusaha mengeluarkan satu tablet. Tapi Lisa malah membuat 5 butir obat keluar dari kemasannya. Lisa mengambil satu tablet, menaruh sisanya di atas meja. Lisa sengaja tidak memasukkannya kembali ke dalam botol. Dia takut obatnya tidak higienis dan mengotori obat lain yang ada di dalam botol karena sudah menyentuh tangannya.
Lisa kemudian merebahkan tubuhnya. Dia masih memikirkan pertengkaran tadi. Lisa tahu obat ini baru akan bereaksi kurang lebih lima belas menit setelah dimakan. Namun, Lisa tidak ingin menunggu terlalu lama untuk tidur, dia benar-benar ingin beristirahat dan melupakan semua pertengkarannya dengan Steven.
“Makan saja semuanya, biar cepat.” ucap Lisa lalu memasukkan 4 tablet lagi ke dalam mulutnya.
***
Steven berusaha untuk tidur tapi suara tangisan Lisa membuatnya sulit untuk beristirahat. Steven ingat di hari pertunangan mereka, Lisa dan Steven pernah berjanji kalau mereka sudah menikah nanti, mereka tidak akan pernah mengucapkan kata cerai kecuali mereka sungguh-sungguh ingin bercerai.
“Akhirnya berhenti juga nangisnya” guman Steven setelah tidak mendengar suara apapun lagi dari kamar. Steven sangat kesal, hanya karena foto yang tidak ada artinya itu Lisa jadi bereaksi berlebihan.
“Cerai? Setiap ulang tahun pernikahan dia yang selalu mengingatkan perjanjian kami waktu tunangan. Malam ini malah dia yang mengingkarinya.” gerutu Steven kesal. Steven kembali berusaha tidur, dia baru saja menutup matanya ketika tiba-tiba teringat sesuatu. Steven segera meraih HP nya dan membuka kalender. Mata Steven terbelalak dia baru sadar kalau dia melupakan hari ulang tahun pernikahan mereka.
‘Pantas saja dia mengamuk, aku pulang subuh tanpa mengucapkan apapun. Bodoh! Bodoh!’ kutuk Steven dalam hati sambil memukul kepalanya berkali-kali.
Lisa memandang penting setiap peringatan peristiwa apapun. Ulang tahun, ulang tahun pernikahan, hari kematian ayahnya, dan momen penting lainnya. Steven tahu itu dan sadar bahwa dia sudah membuat sebuah kesalahan besar.
Perlahan-lahan Steven masuk ke dalam kamar. Gelap. Hanya lampu kecil yang ada di samping tempat tidur yang menyala. Steven menarik nafas panjang, lalu berjalan mendekati Lisa. Steven baru akan mengecup dahi Lisa ketika dia melihat ada yang aneh dengan Lisa.
Steven segera menyalakan lampu, dia melihat Lisa bernafas pendek-pendek, wajahnya membiru, badannya bergetar seperti kedinginan, dan sepertinya Lisa tidak sadarkan diri.
* kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental karena stres berlebihan dan berkepanjangan.
“Lisa, kamu kenapa? Lisa, kamu kenapa sayang?” Steven berteriak dengan panik, cepat-cepat dia mengendong Lisa keluar. Dia meletakkan Lisa di jok belakang mobil nya. Lalu segera menelepon orantuanya yang tinggal tidak begitu jauh agar datang dan menjaga anak-anaknya, sementara Steven membawa Lisa ke rumah sakit. Steven sudah duduk di dalam mobil yang menyala ketika orangtuanya tiba. “Titip anak-anak ya Ma, Pa.” ucap Steven sebelum melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat, tanpa sempat menjelaskan apa-apa. Sesampainya di Rumah sakit Lisa langsung ditangani paramedis di Unit Gawat Darurat. Mereka memeriksa, mengukur lalu memasukkan sesuatu ke tubuh Lisa. Steven terus memperhatikan apa yang mereka lalukan, sementara salah seorang perawat terus menanyakan berbagai hal kepada Steven. Mulai dari penyebab Lisa tidak sadarkan diri, apakah dia jatuh, apakah dia punya alergi, apakah dia memakan sesuatu yang memicu alergi, apakah dia meminum obat tertentu, apakah dia punya penyakit tertentu
“Lisa, kamu lagi ada masalah di kampus?” tanya Pak Adhitama lembut, sambil mengemudikan minibus tua kesayangannya. Lisa yang duduk disampingnya menjawab dengan suara tidak kalah lembut. “Enggak ada Pa.” Pak Adhitama mengangguk pelan, lalu diam. Senyap, padahal ada dua orang di dalam minibus hijau bermerek kijang itu. Tapi setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lisa menikmati keheningan ini. Setelah ayahnya meninggal, hampir setiap hari adegan ini dia mainkan di kepalanya. Bahkan setelah menikah dan memiliki anak pun, Lisa masih sangat merindukan setiap waktu yang dia habiskan bersama ayahnya. Dia belum pernah mengalami mimpi seperti ini, jadi dia ingin momen ini melekat di pikirannya. Sehingga ketika bangun nanti, dia bisa menikmati lagi kenangan ini. *** Setibanya di depan kampus, Lisa tersenyum gelisah. Tiba-tiba dia merasa gugup seperti saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus ini. Di kampus inilah dia bertemu dengan Steven, seniornya tapi dari jurusan
Lisa menghentikan langkahnya lalu menarik tangan Ersa. “Tanggal berapa sekarang?” Ersa memandang Lisa heran. “Tanggal 12 Mei 2007 Masehi, 1428 Hijriyah. Kenapa lo hilang ingatan?” Ersa menjawab dengan cara paling menyebalkan yang merupakan ciri khasnya. Lisa menarik nafas dalam, tentu saja Lisa tidak akan pernah melupakan tanggal 12 Mei. Hari ini adalah hari pertamanya bertemu dengan Steven dan di tanggal ini juga nantinya mereka akan menikah. “Wei! Ngapain bengong?” Ersa memukul bahu Lisa. Lisa tersadar dari lamunannya. “Ayo kesana.” ajak Ersa sambil menarik tangan Lisa. Lisa mencoba menolak, saat ini orang terakhir yang ingin dia temui bahkan di dalam mimpi sekalipun adalah Steven. Dia masih sangat marah kalau mengingat kejadian sebelumnya. “Empat sekawan sini!” Terdengar teriakan Rudy ketua BPM* Fakultas Hukum memanggil Lisa dan sahabat-sahabatnya. “Tuh dipanggil Ka Rudy.” ucap Donna yang kali ini ikut menarik tangan Lisa. Akhirnya Lisa menyerah, dengan wajah cemberut dia m
“Hai, aku Angel.” ucapnya tenang. "Boleh minta nomor telpon atau pin BBM?" tanya Steven sambil tersenyum sangat manis. Lisa memandang Steven dengan tajam. 'Kemarin katanya Angel yang meminta nomor HP nya, ternyata dia yang kegenitan duluan!' gerutu Lisa dalam hati. "Ini, tolong diisi datanya ya, supaya kami mudah menghubungi kalian kalau ada apa-apa." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Angel. "Uh, gue pikir dia naksir Angel, makanya minta nomor HP, ternyata buat data." bisik Donna tepat di telinga Lisa. Rebekha dan Ersa tersenyum sambil mengangguk tanda setuju dengan perkiraan Donna. Ternyata mereka berempat memiliki pemikiran yang sama. Lisa tersadar ini hanya mimpi tapi dia masih terbawa emosi karena masalah yang terjadi antara dia dan Steven di kehidupan nyata hingga membuatnya jadi kesal tanpa sebab. "Udah ah, ayo balik." ajak Lisa yang merasa gerah melihat Steven dan Angel yang sedang berbincang hangat. "Permisi dulu yuk ke Steven." ajak Rebekha sambil menarik tang
-2022- “Keluarga Lisa.” panggil perawat ICU. Steven yang sedang duduk di ruang tunggu ICU bersama beberapa penunggu pasien ICU lainnya, segera keluar memakai sepatu dan berlari ke arah ICU. “Maaf Pak keadaan Ibu Lisa sedang menurun, kami harus memasukkan beberapa obat, boleh minta tandatangan bapak disini?” tanya perawat sambil menyerahkan selembar kertas dan pena. Steven segera menandatangi kertas yang diberikan oleh perawat. “Sus, apa boleh saya masuk?” mohon Steven setelah selesai memberikan tanda tangannya. “Nanti bapak saya panggil kalau sudah boleh masuk.” jawab perawat lalu segera meninggalkan Steven. Steven yang berharap perawat segera memanggilnya untuk bertemu Lisa, bolak-balik di depan pintu ICU. Subuh tadi Steven hanya diberikan waktu sebentar melihat Lisa. Dia diminta keluar, meskipun dia memohon agar bisa tinggal lebih lama. Tapi dokter jaga ICU menolaknya dan meminta Steven mempercayakan Lisa kepada para dokter dan perawat. ‘Mereka tidak mengerti!’ teriak Steven d
"Berarti... Ini bukan mimpi!" Lisa mulai menemukan benang merah dari kondisinya saat ini. "Apa mungkin jiwaku kembali ke tubuhku yang berusia sembilan belas tahun?" tanya Lisa dengan mata membelalak. Lisa tidak percaya dia mengalami hal ini. Lalu bagaimana caranya Steven bisa menghubunginya? Lisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan dadanya terasa panas. Dia kewalahan dengan informasi yang baru saja dia dapatkan. Lisa bahkan tidak sanggup menangis atau berkata-kata. Tiba-tiba Lisa menyadari bahwa kemungkinan terburuk bahwa tubuh aslinya bisa mati kapan saja. 'Apa yang akan terjadi dengan ku kalau tubuhku mati?' Lisa bertanya dalam hatinya. Lisa ketakutan membayangkan wajah Steven, anak-anak mereka, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Lisa takut berpisah dengan mereka. Lisa takut mati. Lisa tidak ingin mati. "Aku harus kembali ke dalam tubuhku, bagaimanapun caranya." Lisa bertekad dalam hati. Keluarganya boleh berpikir bahwa dia mencoba bunuh
Steven mengepalkan tangannya, dia sangat ingin memukul wajah laki-laki yang sedang tertawa bahagia itu. Tapi kemudian dia melihat Lisa juga tertawa bahagia. Steven melepas kepalan tangannya, tubuhnya terasa lunglai. Entah mengapa dia merasa begitu patah hati pada perempuan yang baru dia temui kemarin. Steven meninggalkan kedua manusia yang tampak mesra itu. *** "Lisa!" teriak Ersa sambil melambaikan tangannya setelah melihat Lisa dan Andrew di taman. "Sini!" balas Lisa berteriak kepada para sahabatnya. Wajah Andrew berubah dan tampak tidak nyaman. "Aku duluan ya mau ke kelas, ini pin BB ku." Andrew menyerahkan selembar kertas kecil, lalu segera meninggalkan Lisa tepat sebelum ketiga sahabatnya tiba. "Siapa tadi?" selidik Ersa penasaran. "Senior kita, namanya Andrew." jawab Lisa sambil membaca kertas yang diberikan Andrew. Tiba-tiba Ersa merampas kertas yang sedang dibaca Lisa. "Ini pin BB ku 55883F56. Aku tunggu ya kabarnya kapan kita bisa ketemu lagi. Andrew." Ersa membaca ker
"Apa?" pekik Lisa kaget. "Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana dia bisa tahu istrimu koma? Apa dia datang sendirian?" cecar Lisa dengan kesal. "Kenapa kamu kedengaran marah?" tanya Steven bingung. Lisa tiba-tiba menyadari kesalahannya karena terbawa emosi. "Enggak, cuma penasaran, ceritanya seperti di film." jawab Lisa setenang mungkin. "Dia membicarakan banyak hal, tentang masa lalu, kehidupan, masa depan dan hal lain. Ternyata hidup kami sama-sama rumit. Dia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya." jelas Steven. "Bukankah itu berbahaya? Istrimu koma, dia mau bercerai. Bagaimana kalau tumbuh rasa yang tidak seharusnya di antara kalian?" tukas Lisa dengan nafas tertahan, dia tidak ingin kehilangan kendali lagi. "Iya benar, karena itu tadi aku minta dia jangan datang lagi ke rumah sakit. Aku ingin konsentrasi merawat istriku." jelas Steven. Lisa diam. "Jangan khawatir, aku tahu bagaimana harus menjaga diriku dan keluargaku." tambahnya mencoba meyakinkan Lisa. "Aku hany