Share

BAB 3

“Lisa, kamu kenapa? Lisa, kamu kenapa sayang?” Steven berteriak dengan panik, cepat-cepat dia mengendong Lisa keluar. Dia meletakkan Lisa di jok belakang mobil nya. Lalu segera menelepon orantuanya yang tinggal tidak begitu jauh agar datang dan menjaga anak-anaknya, sementara Steven membawa Lisa ke rumah sakit.

Steven sudah duduk di dalam mobil yang menyala ketika orangtuanya tiba.

“Titip anak-anak ya Ma, Pa.” ucap Steven sebelum melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat, tanpa sempat menjelaskan apa-apa.

Sesampainya di Rumah sakit Lisa langsung ditangani paramedis di Unit Gawat Darurat. Mereka memeriksa, mengukur lalu memasukkan sesuatu ke tubuh Lisa. Steven terus memperhatikan apa yang mereka lalukan, sementara salah seorang perawat terus menanyakan berbagai hal kepada Steven.

Mulai dari penyebab Lisa tidak sadarkan diri, apakah dia jatuh, apakah dia punya alergi, apakah dia memakan sesuatu yang memicu alergi, apakah dia meminum obat tertentu, apakah dia punya penyakit tertentu dan banyak pertanyaan lagi, tapi karena Steven benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia hanya bisa menjawab “Tidak tahu.” untuk setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya.

Pemeriksaan terhadap Lisa dilakukan dengan lebih mendetail. Steven diminta untuk mengurus administrasi dan menunggu di luar. Steven mengurus administrasi dengan cepat sambil berpikir keras penyebab dari keadaan Lisa saat ini.

Steven yang kebingungan segera menelepon abangnya Gerard yang juga seorang dokter. Dalam setengah jam Gerard tiba bersama istrinya Aulia, seorang psikiater, dan langsung masuk ke ruang UGD.

“Lisa koma, dia mengalami penurunan fungsi paru-paru dan otaknya kekurangan oksigen karena keracunan atau overdosis obat. Tapi UGD sudah memberikan Basic life Support, sebentar lagi dia akan dipindahkan ke ICU.” jelas Gerard setelah berbincang dengan dokter jaga UGD.

“Obat? Obat apa bang? Kayaknya tadi dia nggak minum obat apa-apa deh.” tanya Steven bingung mendengar penjelasan Gerard.

“Obat tidur Stev. Aku yang kasih beberapa hari yang lalu.” jawab Aulia dengan perasaan bersalah.

“Katanya sudah berhari-hari dia susah tidur. Jadi, beberapa hari yang lalu aku kasih dia obat tidur. Tapi aku nggak nyangka kalau dia bakalan minum melebihi dosis seperti ini.” lanjut Aulia pelan.

“Sepertinya dia mencoba bunuh diri.” ucap Steven dengan putus asa.

𝟮𝟬𝟬𝟱

Lisa meregangkan tubuhnya dengan malas, dia masih menutup matanya karena pantulan cahaya matahari yang memasuki kamarnya. Sepertinya obat tidur yang dia minum semalam benar-benar efektif, tidurnya nyenyak dan kepalanya terasa ringan.

“Jam berapa ini?” Lisa yang menyadari bahwa dia harus menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya,, segera membuka matanya lalu melompat dari tempat tidur.

Tapi dia begitu kaget ketika melihat sekelilingnya dan menyadari bahwa ini bukan kamarnya. Lisa mencoba mengenali dimana sekarang dia berada. Perlahan-lahan Lisa mengingat tempat itu.

“Ini kan rumah lama!” pekiknya kaget.

Rumah ini dijual sembilan tahun yang lalu, beberapa bulan setelah kematian ayahnya.

‘Bagaimana aku bisa berada di sini?’ ucap Lisa dalam hati.

‘Ini pasti mimpi. Obat tidur itu luar biasa aku sampai bisa bermimpi.’ Lisa tersenyum senang. Akhir-akhir ini dia bahkan tidak bisa tidur, maka bermimpi adalah sebuah hadiah bagi Lisa.

Lisa lalu melangkah keluar dari kamarnya, sebelum sampai ke pintu dia melirik cermin.

“Ha! Penampilanku juga berubah?” teriak Lisa memandang tubuhnya yang tampak belasan tahun lebih muda.

“Lisa kamu kenapa?” Lisa sedang mengagumi tubuh mudanya ketika tiba-tiba terdengar ketukan disertai suara panik seorang pria paruh baya.

“Papa…” Sepuluh tahun sudah dia tidak mendengarkan suara ayahnya. Lisa segera membuka pintu dan berdiri mematung.

Ayahnya, Pak Adhitama, berada tepat di depan Lisa. Pria yang wajahnya sudah hampir pudar dari ingatan Lisa.

“Kenapa teriak?” Pak Adhitama terlihat khawatir.

Perlahan Lisa menyentuh wajah ayahnya.

“Kamu kenapa?” tanya ayahnya lagi, Lisa menggelengkan kepalanya lalu memeluk ayahnya. Lisa merasa sangat sedih sekaligus sangat bahagia.

Pelukan ayahnya terasa begitu nyaman, hingga membuat Lisa enggan melepasnya.

“Hey, cepat mandi lalu sarapan! Nanti papamu terlambat ke kantor.” Tiba-tiba seorang wanita yang usianya tidak berbeda jauh dengan Pak Adhitama muncul dihadapan Lisa.

“Mama?” pekik Lisa kaget melihat ibunya, Bu Gayatri, yang tampak sangat muda.

Mimpi ini benar-benar luar biasa, Lisa bahkan bertemu dengan versi muda dari ibunya.

“Kenapa? Kamu kok kayak lihat setan? Udah cepat mandi, kemarin katanya ada kuliah pagi.” teriak Bu Gayatri sambil meletakkan makanan di atas meja makan.

Lisa menggangguk cepat lalu segera masuk ke kamarnya. Mimpi ini terasa sangat nyata, dia ingin mencubit tangannya tapi takut nanti dia terbangun.

Lisa masuk lagi ke kamarnya, menyapu seluruh kamar dengan matanya. Rasa hangat menjalar di dadanya. Dia membaca bulan yang tertulis di kalender duduk diatas meja belajarnya ‘Mei 2007.’ gumannya dalam hati sambil tersenyum.

Lisa melihat buku-buku yang tersusun rapih, menunjukkan betapa kutu bukunya dia dulu. Baju-baju, tas dan sepatu trendi di zamannya, membuat Lisa ingat dulu dia termasuk mahasiswa yang fashionable. Kemudian Lisa tertawa geli melihat telepon genggam bermerek blackberry yang sangat keren di tahun itu.

Lisa benar-benar menikmati mimpinya hingga melupakan semua persoalan yang sedang dia alami. Berharap tidak ada yang membangunkannya.

“Lisa kalau sudah selesai mandi, sarapan ya.” teriak ibu Lisa.

Lisa berjalan menuju ke kamar mandi sambil tersenyum mendengar suara ibunya. Dia sudah lupa kapan terakhir dia bisa mandi dan berdandan dipagi hari lalu sarapan. Seingatnya dia bahkan tidak pernah sarapan, karena dialah orang yang pertama bangun untuk menyiapkan sarapan dan mengurus keluarganya.

Selesai mandi, Lisa memilih pakaian yang paling sederhana dan tidak mencolok menurutnya. Lisa agak kesulitan. Karena koleksi pakaiannya di usia sembilan belas tahun, hampir semua tidak cocok untuk jiwa tuanya. Akhirnya Lisa memilih jeans dan kaus lalu memandangi penampilannya dengan takjub sebelum keluar kamar untuk sarapan bersama keluarganya.

Lisa makan dengan lahap.

“Tumben makannya banyak?” tanya Bu Gayatri dengan heran.

“Lapar Ma.” jawab Lisa singkat sambil tersenyum.

Lisa ingat di usia ini dia sangat terobsesi dengan tubuh kurus dan kulit putih. Karena itu, dia selalu makan sesedikit mungkin dan menghindari matahari. Lisa tersenyum membayangkan perubahan yang akan dia alami lima belas tahun kemudian, masa dimana dia bahkan tidak peduli dengan ukuran tubuhnya dan warna kulitnya.

“Kamu kenapa sih? Makan senyum-senyum? Ingat ya Mama nggak mau kamu pacaran-pacaran dulu, sekolah yang benar jangan sampe bergaul kebablasan.” ucap Bu Gayatri dengan mata melotot.

“Hus mama, anaknya makan kok direcokin. Tiap hari yang diomongin itu terus.” sahut Pak Adhitama sambil menyendokkan sup ke dalam mangkok yang ada di depan Lisa.

“Aku ngulang-ngulang ya supaya anaknya ingat. Tertanam di dalam benaknya. Jadi setiap kali mau aneh-aneh dia mikir, waspada.” jawab Bu Gayatri dengan kesal.

Lisa yang sudah selesai makan, langsung meninggalkan meja makan. Dia membawa mangkok dan piring bekas makannya ke wastafel, lalu mulai mencucinya. Bu Gayatri yang tadinya kesal, dibuat bingung oleh tindakan Lisa.

“Anak itu kenapa ya? Biasanya ngelawan Pa. Kok tumben diam aja? Malah nyuci piring? Biasanya naruh piring di wastafel aja harus diomelin dulu.” bisik Bu Gayatri kaget.

Pak Adhitama yang sebenarnya tak kalah kaget diam saja. Sejak bangun pagi Lisa memang sudah terlihat aneh. Pak Adhitama yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Lisa tapi dia tidak berani bertanya kepada Lisa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status