“Lisa, kamu lagi ada masalah di kampus?” tanya Pak Adhitama lembut, sambil mengemudikan minibus tua kesayangannya. Lisa yang duduk disampingnya menjawab dengan suara tidak kalah lembut. “Enggak ada Pa.” Pak Adhitama mengangguk pelan, lalu diam. Senyap, padahal ada dua orang di dalam minibus hijau bermerek kijang itu. Tapi setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Lisa menikmati keheningan ini. Setelah ayahnya meninggal, hampir setiap hari adegan ini dia mainkan di kepalanya. Bahkan setelah menikah dan memiliki anak pun, Lisa masih sangat merindukan setiap waktu yang dia habiskan bersama ayahnya. Dia belum pernah mengalami mimpi seperti ini, jadi dia ingin momen ini melekat di pikirannya. Sehingga ketika bangun nanti, dia bisa menikmati lagi kenangan ini. *** Setibanya di depan kampus, Lisa tersenyum gelisah. Tiba-tiba dia merasa gugup seperti saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus ini. Di kampus inilah dia bertemu dengan Steven, seniornya tapi dari jurusan
Lisa menghentikan langkahnya lalu menarik tangan Ersa. “Tanggal berapa sekarang?” Ersa memandang Lisa heran. “Tanggal 12 Mei 2007 Masehi, 1428 Hijriyah. Kenapa lo hilang ingatan?” Ersa menjawab dengan cara paling menyebalkan yang merupakan ciri khasnya. Lisa menarik nafas dalam, tentu saja Lisa tidak akan pernah melupakan tanggal 12 Mei. Hari ini adalah hari pertamanya bertemu dengan Steven dan di tanggal ini juga nantinya mereka akan menikah. “Wei! Ngapain bengong?” Ersa memukul bahu Lisa. Lisa tersadar dari lamunannya. “Ayo kesana.” ajak Ersa sambil menarik tangan Lisa. Lisa mencoba menolak, saat ini orang terakhir yang ingin dia temui bahkan di dalam mimpi sekalipun adalah Steven. Dia masih sangat marah kalau mengingat kejadian sebelumnya. “Empat sekawan sini!” Terdengar teriakan Rudy ketua BPM* Fakultas Hukum memanggil Lisa dan sahabat-sahabatnya. “Tuh dipanggil Ka Rudy.” ucap Donna yang kali ini ikut menarik tangan Lisa. Akhirnya Lisa menyerah, dengan wajah cemberut dia m
“Hai, aku Angel.” ucapnya tenang. "Boleh minta nomor telpon atau pin BBM?" tanya Steven sambil tersenyum sangat manis. Lisa memandang Steven dengan tajam. 'Kemarin katanya Angel yang meminta nomor HP nya, ternyata dia yang kegenitan duluan!' gerutu Lisa dalam hati. "Ini, tolong diisi datanya ya, supaya kami mudah menghubungi kalian kalau ada apa-apa." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Angel. "Uh, gue pikir dia naksir Angel, makanya minta nomor HP, ternyata buat data." bisik Donna tepat di telinga Lisa. Rebekha dan Ersa tersenyum sambil mengangguk tanda setuju dengan perkiraan Donna. Ternyata mereka berempat memiliki pemikiran yang sama. Lisa tersadar ini hanya mimpi tapi dia masih terbawa emosi karena masalah yang terjadi antara dia dan Steven di kehidupan nyata hingga membuatnya jadi kesal tanpa sebab. "Udah ah, ayo balik." ajak Lisa yang merasa gerah melihat Steven dan Angel yang sedang berbincang hangat. "Permisi dulu yuk ke Steven." ajak Rebekha sambil menarik tang
-2022- “Keluarga Lisa.” panggil perawat ICU. Steven yang sedang duduk di ruang tunggu ICU bersama beberapa penunggu pasien ICU lainnya, segera keluar memakai sepatu dan berlari ke arah ICU. “Maaf Pak keadaan Ibu Lisa sedang menurun, kami harus memasukkan beberapa obat, boleh minta tandatangan bapak disini?” tanya perawat sambil menyerahkan selembar kertas dan pena. Steven segera menandatangi kertas yang diberikan oleh perawat. “Sus, apa boleh saya masuk?” mohon Steven setelah selesai memberikan tanda tangannya. “Nanti bapak saya panggil kalau sudah boleh masuk.” jawab perawat lalu segera meninggalkan Steven. Steven yang berharap perawat segera memanggilnya untuk bertemu Lisa, bolak-balik di depan pintu ICU. Subuh tadi Steven hanya diberikan waktu sebentar melihat Lisa. Dia diminta keluar, meskipun dia memohon agar bisa tinggal lebih lama. Tapi dokter jaga ICU menolaknya dan meminta Steven mempercayakan Lisa kepada para dokter dan perawat. ‘Mereka tidak mengerti!’ teriak Steven d
"Berarti... Ini bukan mimpi!" Lisa mulai menemukan benang merah dari kondisinya saat ini. "Apa mungkin jiwaku kembali ke tubuhku yang berusia sembilan belas tahun?" tanya Lisa dengan mata membelalak. Lisa tidak percaya dia mengalami hal ini. Lalu bagaimana caranya Steven bisa menghubunginya? Lisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan dadanya terasa panas. Dia kewalahan dengan informasi yang baru saja dia dapatkan. Lisa bahkan tidak sanggup menangis atau berkata-kata. Tiba-tiba Lisa menyadari bahwa kemungkinan terburuk bahwa tubuh aslinya bisa mati kapan saja. 'Apa yang akan terjadi dengan ku kalau tubuhku mati?' Lisa bertanya dalam hatinya. Lisa ketakutan membayangkan wajah Steven, anak-anak mereka, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Lisa takut berpisah dengan mereka. Lisa takut mati. Lisa tidak ingin mati. "Aku harus kembali ke dalam tubuhku, bagaimanapun caranya." Lisa bertekad dalam hati. Keluarganya boleh berpikir bahwa dia mencoba bunuh
Steven mengepalkan tangannya, dia sangat ingin memukul wajah laki-laki yang sedang tertawa bahagia itu. Tapi kemudian dia melihat Lisa juga tertawa bahagia. Steven melepas kepalan tangannya, tubuhnya terasa lunglai. Entah mengapa dia merasa begitu patah hati pada perempuan yang baru dia temui kemarin. Steven meninggalkan kedua manusia yang tampak mesra itu. *** "Lisa!" teriak Ersa sambil melambaikan tangannya setelah melihat Lisa dan Andrew di taman. "Sini!" balas Lisa berteriak kepada para sahabatnya. Wajah Andrew berubah dan tampak tidak nyaman. "Aku duluan ya mau ke kelas, ini pin BB ku." Andrew menyerahkan selembar kertas kecil, lalu segera meninggalkan Lisa tepat sebelum ketiga sahabatnya tiba. "Siapa tadi?" selidik Ersa penasaran. "Senior kita, namanya Andrew." jawab Lisa sambil membaca kertas yang diberikan Andrew. Tiba-tiba Ersa merampas kertas yang sedang dibaca Lisa. "Ini pin BB ku 55883F56. Aku tunggu ya kabarnya kapan kita bisa ketemu lagi. Andrew." Ersa membaca ker
"Apa?" pekik Lisa kaget. "Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana dia bisa tahu istrimu koma? Apa dia datang sendirian?" cecar Lisa dengan kesal. "Kenapa kamu kedengaran marah?" tanya Steven bingung. Lisa tiba-tiba menyadari kesalahannya karena terbawa emosi. "Enggak, cuma penasaran, ceritanya seperti di film." jawab Lisa setenang mungkin. "Dia membicarakan banyak hal, tentang masa lalu, kehidupan, masa depan dan hal lain. Ternyata hidup kami sama-sama rumit. Dia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya." jelas Steven. "Bukankah itu berbahaya? Istrimu koma, dia mau bercerai. Bagaimana kalau tumbuh rasa yang tidak seharusnya di antara kalian?" tukas Lisa dengan nafas tertahan, dia tidak ingin kehilangan kendali lagi. "Iya benar, karena itu tadi aku minta dia jangan datang lagi ke rumah sakit. Aku ingin konsentrasi merawat istriku." jelas Steven. Lisa diam. "Jangan khawatir, aku tahu bagaimana harus menjaga diriku dan keluargaku." tambahnya mencoba meyakinkan Lisa. "Aku hany
Steven mencoba menenangkan pikirannya. Dia tidak habis pikir kenapa dia bisa semarah ini melihat Lisa bersama laki-laki lain, padahal Lisa bukan miliknya. Steven memutuskan untuk pergi ke kantin dan mengistirahatkan kepalanya. Betapa kagetnya dia ketika melihat Lisa sedang duduk berdua dengan Andrew. Steven terus berjalan melewati mereka. Dia berusaha mengacuhkan Lisa. Tapi Steven yang sadar Lisa sedang menatapnya tidak bisa menahan diri. Akhirnya dia membalas tatapan Lisa sebentar lalu segera membuang muka. Steven meninggalkan kantin dengan kesal setelah membeli sebotol minuman dingin. Lisa juga kesal melihat tingkah Steven. Baginya Steven sangat berlebihan. 'Daripada mikirin orang sensitif kayak gitu, mending aku konsentrasi sama yang di depanku aja.' guman Lisa dalam hati. *** Malam telah tiba. Seperti malam-malam sebelumnya, Lisa menunggu telepon dari Steven suaminya. Dia sangat ingin menanyakan keadaan anak-anaknya. Lisa begitu bersemangat setelah melihat nomor telepon S