Mekkah, kini aku dan Bang Amar telah sampai di kota suci ini. Aku berdiri menatap indahnya pemandangan kota Mekkah dari Swissotel yang menghadap langsung ke kota Mekkah. Subhanallah, begitu terasa tenang dan damai setiap kali melihat indahnya Mekkah, aku tak henti berdecak kagum dan tak dapat mengalihkan pandangan. Allah, aku serahkan seluruh hidup dan semua takdirku kepada-Mu. Aku percaya Allah tak akan memberi cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuanya. Aku percaya Allah akan menolong setiap niat baik hambanya. Setelah dua hari kejadian terungkapnya hal yang menjijikan suamiku, aku masih bertahan. Tetap tinggal di dalam rumahnya sesuai keinginannya. Bang Amar berkali-kali memohon untuk menolongnya, aku tidak tahu harus bagaimana, sementara ia belum menceritakan detailnya.Berkali-kali aku Shalat Istikharah meminta petunjuk kepada Allah, dan juga meminta saran dari Nara juga Ustazah Aina, tetapi mereka memiliki jawaban yang sama, meminta menanyakan kepada hatiku. Bagaimana pe
“Abang tak perlu khawatir, nanti kita akan cari jalan sama-sama untuk mengatasi Farhan. Aku hanya butuh kesungguhan Abang untuk berubah, kembali ke jalan Allah Bang. Ingat dosa maksiat tidak hanya berdampak kepada Abang, tetapi juga orang tua Abang.”aku mendekati bang amar yang terduduk di atas ranjang.tatapan khawatir masih jelas terlihat di wajahnya.“Farhan ini orang yang nekat Dik,”“Allah akan selalu bersama hambanya yang berada di jalan Allah.”Masih tersisa enam hari lagi kami di Mekkah, aku harus mengambil hati Bang Amar bagaimanapun caranya, bismillahirohmanirohim.…..Terbangun saat adzan Subuh berkumandang. Kuguncang pelang Bang Amar yang masih tertidur pulas di sampingku, malam ini kami tidur bersama, meski hanya tidur bersama hatiku tetap merasa bahagia. Aku hanya berharap suamiku benar-benar berubah.Kami berjamaah bersama setelah itu membaca alquran seperti biasanya. Aku terus berdzikir meminta kekuatan karena aku tak bersaing dengan wanita, tetapi lelaki yang menjelm
“Keluarlah dan makan ini.”Bang Amar mengetuk pintu kamar mandi dan memanggilku seolah tidak ada yang terjadi.Aku duduk di sampingnya, menyambar jaket yang ada di kursi untuk menutup tubuhku yang hanya memakai baju kurang bahan ini.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Bang Amar.Seharusnya aku yang bertanya kepadanya, kenapa justru dia yang lebih dulu bertanya?“Seharusnya aku yang bertanya, bagaimana perasaan Abang?”“Abang belum merasakan apa-apa, bagaimana kalau mencobanya sekali lagi?”Aku mendelik menatapnya, apa dia bergurau?Bang Amar kembali mendekatiku, apa dia menantang? batinku. Aku segera berlari, kembali menyembunyikan tubuhku di balik selimut.Bang Amar tertawa.“Kenapa bersembunyi bukankah mau menolong Abang?”tanya Bang Amar menggoda.“Astagfirullah."Aku tersenyum di balik selimut.“Apa dia sudah normal? Apa orang berkelainan secepat itu sembuhnya?”Aku bergumam sangat pelan nyaris tak terdengar.“Bulan, Abang bukanya tidak bisa menyentuhmu, dan memberikan nafkah batin unt
Sebening syahadat, begitukah kata yang tepat untuk cinta yang terlahir dari Allah. Kuserukan cahaya dihadapan yang berliku, aku percayakan jalanku dengannya. Aku berharap rumah tanggaku dapat berjalan atas ridho Allah, jauh dari maksiat dan sifat zalim.Kepulangan kami dari tanah suci disambut hangat oleh umi, juga abi, sementara Amara ia tak dapat ikut menyambut karena harus melaksanakan tugasnya sebagai dokter yang mengharuskan mengabdikan di daerah desa terpencil.Kami sengaja langsung menuju rumah umi dan abi, akupun rindu dengan umi, beliau benar-benar sosok mertua yang mengayomiku layaknya putri sendiri dan aku bersyukur memiliki mertua yang menerimaku dengan sepenuh hati.“Umi udah masakin banyak makanan buat kalian.”Umi menggandeng tanganku membawa masuk.“Kalian nginep aja disini, Umi rindu sama Bulan. Amara juga gak di rumah jadi rumah sepi banget, makannya kalian cepetan dong kasih Umi cucu, Umi sudah pengen di panggil uti.”Aku dan Bang Amar saling pandang, dan saling sen
[Aku tak akan melepaskan Amar, kamu gak usah berusaha keras memisahkan kami. Sampai kapanpun Amar hanya milikku, dan aku gak akan pernah biarin kamu merebutnya dariku.]Aku menggeleng membaca pesan dari nomor tersebut, aku tahu bahwa dia adalah Farhan.[Bisakah kita bertemu]Aku mengirimkan lokasi dan jam untuk bertemu denganya.“Bulan kamu harus berani, kamu harus melindungi orang yang kamu cintai.”Aku kembali mengulang pesan ibu saat hadir dalam mimpiku. Ya, setelah shalat Istikharah sebelum berangkat safar bersama Bang Amar ke kota suci ibu kembali datang dalam mimpiku, ia memberiku kekuatan dan semakin memberi keyakinan untukku.Aku kembali mengirimkan pesan kepada Nara, memintanya menemaniku untuk bertemu dengan lelaki itu. Kami bukan muhrim dan aku tak mungkin bertemu dengannya seorang diri meski aku tahu dia tak menyukai lawan jenis, tetapi tetap saja dia seorang pria dan aku tak boleh berduaan hanya dengannya.[Oke, aku juga gemush banget sama tuh wanita jadi-jadian, pengen
Ba'da Maghrib aku membawa Bang Amar ke rumah Ustazah Aina, Bang Amar tak protes ia hanya mengikuti kemauanku yang membawanya ke rumah Ustazah Aina.“Abang malu Dik, bagaimana jika Ustazah Aina dan Ustad Rafi mencela Abang?” ucap Bang Amar.Aku tersenyum, mencoba mencairkan hatinya, meyakinkan bahwa ia harus melakukan ini agar otak dan hatinya kembali bersih.Aku paham jika ia takut rahasianya akan terbongkar dan Ustazah Aina juga Ustad Rafi akan mencelanya karena kami satu komunitas dakwah, terlebih mereka dan Bang Amar sudah dekat karena adanya pengajian-pengajian yang selalu diadakan oleh majelis mereka.“Insyaallah allah akan membantu Abang menutup aib Abang.”Bang Amar menundukan wajahnya, aku mendengar ia mengucap berkali-kali istighfar dan basmalah. Aku tahu ia pasti gugup dengan apa yang akan dikatakan Abah Ahmad nanti.Aku memegang erat lengan Bang Amar, membawanya masuk. Mengucap salam yang langsung disambut oleh seorang pemuda dengan sorban putih, dalah anak Ustazah Aina yan
Aku menggenggam jari jemari Bang Amar, memintanya untuk langsung pergi Bang Amar menurut. Dia tak turun mengantarku hingga ke dalam gerbang. Aku keluar seorang diri sementara Bang Amar langsung menjalankan mobilnya.“Asalamualaikum Ustazah?”ucap viko,“Aku menjawab salamnya dan berlalu begitu saja tanpa melihat sedikitpun ke arah Farhan, aku sempat meliriknya sekilas ia melihat mobil Bang Amar dan berlalu pergi setelah melihat Bang Amar tak turun dari mobil.Aku tidak tahu ia ternyata tak menyerah setelah Bang Amar mengabaikan telepon juga pesannya.Viko mengejarku,sedikit berteriak memanggil,“Ustazah tunggu,?”Aku menghentikan langkah dan berbalik ke arah Viko.“Ada apa Viko?” tanyaku heran.“Teteh kenal sama Farhan?”Kenapa Viko beralih memanggilku teteh, jika seperti itu berarti ada hal pribadi yang dia ingin katakan.Aku tersenyum.“Gak kenal sih cuma tahu, ada Vik?”“Dia sepupu aku, ibunya kakak dari mama. aku tahu semuanya?”Aku mendelik, apa Farhan gila? Membuka semuanya di d
Setelah berkeliling mencari Bang Amar, tetapi aku belum menemukannya aku memutuskan kembali ke resepsionis untuk menebus obat Bang Amar lebih dulu. Setelah selesai menyelesaikan semua admistrassi aku putuskan untuk ke parkiran karena tadi sempat kulihat mobil Bang Amar masih terparkir,Sampai di samping mobil Bang Amar aku melihat ia tengah duduk sambil menangkupkan tangannya di wajah, apa yang tengah suamiku lakukan?“Bang?”Bang Amar melihat ke arahku, wajahnya tegang seperti melihat hantu.“Ngapain Abang disini?”Bang Amar menghampiriku dan memelukku. Nafasnya terengah-engah seperti habis maraton. Sebenarnya apa yang tengah terjadi denganya?“Ada apa Bang?”Aku semakin penasaran melihatnya diam membisu.“Ada Farhan,”ucapnya parau.“Abang takut.”Astagfirullah, sebenarnya apa yang lelaki itu inginkan? Tidak bisakah dia melupakan begitu saja suamiku?“Sudah ayo kita pulang dulu, Abang masih bisa menyetir?”Bang Amar mengangguk.….Kami sampai di rumah, kubuatkan teh hangat untuk Ban