Share

KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU
KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU
Penulis: Rizka Fhaqot

Luka

"Papa ingin menikah lagi, Ma!"

Rio yang tengah duduk di kursi makan berucap lirih, membuat sang istri yang kini tengah sibuk membuatkan sarapan untuk keluarga kecil mereka mematung dengan hati hancur berkeping. 

Hana Humayra—perempuan cantik dengan hidung bangir berusia akhir 35 tahun itu menghentikan gerakan tangannya yang tengah menyiapkan sarapan. Namun, tak berlangsung lama, sesaat kemudian ia kembali melanjutkan pekerjaannya, bersikap seolah baik-baik saja meski emosi seketika meluap.

Ingin rasanya ia melempar wajan di tangannya itu ke sembarang arah.

Setelah selesai, kaki jenjangnya melangkah mendekati sang suami. Meletakkan mangkuk berisi penuh nasi goreng di atas meja. 

Hana menduduki kursi yang berada persis di hadapan sang suami, dengan bibir terkunci dan sorot mata begitu dingin. Menatap lekat wajah laki-laki yang telah menikahinya selama empat belas tahun itu hampir tak berkedip. Hana tengah memaksa agar luka di hatinya tak membuat air matanya tumpah. 

Beberapa detik berlalu tak ada percakapan antara keduanya. Rio hanya menunduk. Tak biasanya laki-laki dengan ego tinggi itu menampakkan wajah kalah di depan sang istri yang biasa dianggapnya lemah. 

Rio Zamzani, laki-laki itu kini memberanikan diri untuk menatap mata Hana. Ada rasa bersalah di sudut hatinya. Namun, ego dan rasa sayangnya pada perempuan di seberang sana lebih penting dari sekedar rasa bersalah, toh, kesalahannya pada Hana sepertinya tak lagi dapat dihitung jari. 

Rio seakan tak lagi memiliki empati terhadap sang istri, ia tengah dimabuk cinta oleh perempuan yang 20 tahun lalu pernah menjadi cinta pertamanya, Inez. 

"Mama denger Papa?" Rio kembali melempar tanya. 

Hana bungkam. Wajah perempuan itu tak menunjukkan ekspresi apapun, hanya helaan napas panjang yang kemudian terdengar sebagai gambaran hatinya yang tengan tidak baik-baik saja. 

Bukan, bukan ia tak ingin marah. Namun, lebih tepatnya ia sudah sangat lelah dengan ulah laki-laki itu. 

14 tahun mendampingi Rio bukanlah hal yang mudah. Laki-laki dengan ego tinggi serta keras kepala itu membuat Hana harus mampu menggandakan sabarnya, demi terjaganya keutuhan rumah tangga mereka. 

Terlebih tiga buah hatinyalah yang menjadikannya kuat seperti sekarang. Namun, sepertinya kali ini ia kalah kuat dengan sikap Rio yang ia rasa tak lagi memiliki hati nurani sebagai seorang suami. 

Tak puaskah laki-laki itu memusuhi keluarganya? Bersikap acuh terhadap perkembangan anak-anaknya? Abai terhadap perasaannya sebagai seorang istri? Hingga kini hal yang paling tidak ia inginkan pun ikut diminta oleh Rio, poligami. 

"Ma," panggil Rio saat melihat wajah datar sang istri. 

Hana mengerjap. 

"Papa minta izin," ujar Rio mengulang kalimatnya dengan kata yang berbeda tapi tetap mampu menyayat luka baru di hati Hana. 

Hana kembali terlihat menghela napas panjang, mengalihkan tatapan matanya ke atas meja makan. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Seminggu lalu ia bahkan sudah menemukan chat mesra dari nomor kontak yang diberi nama 'Johan' di ponsel suaminya. 

[Aku akan melepaskan Marwan secepatnya jika Abang sudah mengantongi izin dari istri Abang.]

[Iya, Sayang. Abang akan secepatnya meminta izin pada Hana. Do'akan saja keinginan kita untuk mengulang cinta yang dulu menemukan jalan lapang.]

Pesan WA yang mampu membuat Hana meringis menahan sembilu yang menoreh luka di relung terdalamnya. Pesan singkat yang mampu membuat kepercayaan Hana pada Rio yang memang tak banyak tersisa kini semakin sirna. 

Hana cukup lelah untuk menangis, cukup lelah untuk marah-marah. Namun, ia pun menemukan titik lelah untuk bertahan. Mempertahankan pernikahan yang memang sudah cacat sejak lama ini rasanya sudah tak mungkin, kecuali ia ingin hancur bersama kemenangan sang suami. 

"Apa yang kurang dari pelayananku selama ini?" tanya Hana dengan suara tercekat di tenggorokan. Namun, dengan ekspresi wajah yang begitu dingin. 

"Tak ada yang kurang dari pelayanan Mama." Rio kini tertunduk. Tak biasanya laki-laki itu berekspresi persis seorang petarung yang mengaku kalah. Biasanya ia akan  membusung dada seolah setiap ucapannya adalah titah raja yang tak boleh dilanggar. 

Rio tak menampik karena selama menikahi Hana ia bahkan selalu dinomorsatukan oleh istrinya itu. Bahkan, Hana tak pernah memintanya untuk membantu pekerjaan rumah sekecil apapun. 

Setiap hari istrinya itulah yang mengerjakan semuanya. Bahkan 14 tahun menikah ia tak pernah sekalipun membantu sang istri memandikan anaknya atau sekedar mengenakan baju putra putrinya hingga saat ini. Semua Hana yang melakukannya sendiri. 

Rio bahkan tak tahu kapan Hana bangun untuk melakukan segalanya. Namun, semua pengorbanan sang istri seolah tak berarti apa-apa bagi Rio. Itu terbukti ketika beberapa detik lalu Rio meminta untuk menikah lagi. 

"Lantas?" tanya Hana berusaha tegar. 

"Pa—Papa masih sangat mencintainya, Ma," aku Rio dengan tergagap. Ia khawatir Hana akan mengamuk ketika mengetahui semuanya, karena ia sadar jika sejatinya tak satupun perempuan di bumi ini yang bersedia dimadu. 

"Cinta?" Hana berucap dengan dada bergemuruh. 

"Ya, Papa masih sangat mencintainya," lirih Rio pelan. 

"Lalu, apa alasan Papa menikahi Mama dulu? Bukankah kalian lebih dulu mengenal sebelum akhirnya Papa bertemu Mama?" tanya Hana masih dengan tatapan dingin. Jujur, ia mulai tak nyaman dengan panggilan 'Papa Mama' setelah tahu hati suaminya terbagi untuk wanita lain. 

"Dulu, kami sudah merencanakan untuk menikah, tapi orang tua Inez memintanya menikah dengan  laki-laki pilihan mereka." 

"Ternyata Inez namanya … Mama kira Johan," ucap Hana dengan penuh penekanan membuat Rio susah payah menelan ludah sendiri. 

"Itu artinya dia bukan jodoh Papa," lanjut Hana tanpa peduli ekspresi sang suami yang mulai getir. 

Hana terlihat begitu tenang, meski hatinya sejak tadi memintanya menyiram minuman panas berwarna hitam pekat di hadapannya itu ke wajah suaminya.

"Bukankah jodoh bukan tentang siapa yang pertama? Dia mencintai Papa, Ma. Papa paham waktu itu Papa belum bisa membuktikan pada orang tuanya jika Papa bisa mapan dari segi materi, hingga orang tuanya tak merestui kami." Rio mengenang kembali bagaimana hancur hatinya saat itu, di mana ia harus kehilangan gadis pujaannya. Dan ia tak ingin kejadian itu kembali terulang setelah kini ia kembali mendapat kesempatan dari Inez. 

Hana menarik sudut bibir ke atas, menampakkan senyum sinis di wajah dinginnya. 

"Apakah dia janda?" tanya Hana kemudian. 

Beberapa saat Rio terdiam, pertanyaan Hana membuatnya dilema. Harus dengan kalimat apa ia menjawabnya. 

"Apa suaminya meninggal?" Hana kembali mengulang pertanyaannya dengan bahasa berbeda. Menelisik wajah tak nyaman sang suami. 

Rio terlihat mengusap dahinya. Tiba-tiba keringat dingin berjejalan ke luar. 

"Tidak, Ma. Suaminya kasar dan suka main tangan. Bahkan suaminya malas bekerja, hingga Inez-lah yang harus pontang-panting mencari nafkah untuk anak-anaknya." 

Kasar katanya? Apakah ia tak menyadari apa yang ia lakukan pada Hana? Entahlah, laki-laki itu seolah penjahat yang tengah berlagak menjadi malaikat penyelamat. 

Hana terdiam sejenak dengan gigi-gigi merapat. Ingin rasanya ia mengucap sepatah kata kasar laki-laki berijazah sarjana ekonomi di hadapannya itu, semisal 'bodoh' atau 'goblok!' Namun, ia masih mampu menahannya. 

Menurut Hana, Rio memang telah dibutakan oleh cinta haramnya dengan perempuan itu, hingga tak lagi bisa membedakan cinta tulus, dan cinta karena sesuatu. 

Sesaat kemudian Hana menghela napas panjang. Berusaha ia enyahkan sesak di dada, meski sesak itu kini kian bertambah. 

"Baiklah. Mama mengikhlaskan Papa untuk menikah lagi ...," ucap Hana dengan menggantung kalimatnya. 

Diulurnya tangan untuk mengambil segelas teh yang tadi ia peruntukkan untuknya. Menyeruput minuman berwarna coklat kemerahan itu sekedar membasuh  tenggorokannya yang sedari tadi tak nyaman. 

"Hah, Mama serius?" tanya Rio dengan wajah menampakkan binar harapan. 

Hana mengangguk sambil meletakkan kembali gelas bening berisi teh manis yang masih separuh ke atas meja. 

"Ya. Tapi sebelumnya, lepaskan aku," ucap Hana dengan nada dingin. Tatapan matanya lekat pada wajah sang suami, membuat degub jantung Rio seketika berkejaran. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah g masanya lg menghadapi suami kayak gitu dg tetap bertahan bersama rasa sakit kecuali klu udah g waras. 14 th memposisikan diri kayak babu merangkap istri itu menunjukkan ketololan mu. berbicara sendiri dlm hati sana dg minta mati perkahan2
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status