"Aku hampir melupakan gadis itu. Haishh!"
Suara tangisan yang mengganggu telinga Jovan. Tangisan itu semakin jelas. Jovan masuk ke kamar Ayana, dia menjumpai Ayana sedang meringkuk di atas tempat tidur. Dia menangis bertopang lutut."Aku tidak terbiasa memelihara wanita. Apa yang terjadi?" Jovan berdiri di depan ranjang.Ayana sedikit mereda, dia menghapus air matanya. Namun, dia masih diam menunduk."Lihatlah aku, dengar! Di sini tidak ada yang akan menyakitimu." Jovan melihat Ayana ketakutan.'Apa dia mengalami trauma fisik atau serangan?' batin Jovan.Saat ini Ayana baru percaya pada Jovan. Ayana pelan mendongak, dia melihat wajah Jovan.Jovan kini melihat jelas wajah Ayana, meski matanya agak bengkak, tapi Jovan tahu kalau Ayana cantik dan manis."Cobalah percaya!" Jovan kembali meyakinkan.Ayana mengangguk kecil."Siapa namamu?"Ayana diam menunduk."Baiklah, jika kamu belum mau mengatakannya. Apa kamu sudah sarapan?"Ayana menggeleng pelan."Di luar ada pantry, di bawah ada dapur. Kamu bebas mau ambil apa saja. Tidak akan ada yang melarangmu."Ayana diam. Jovan paham."Aku akan mengambilkan sarapan untukmu." Jovan mendesah.Tidak berselang lama, Jovan membawa dua sandwich dan segelas susu."Makanlah!" Jovan menyodorkan satu porsi.Ayana bergeming, dia menatap ragu."Tidak ada racun, atau obat apapun. Aku juga akan makan bersamamu." Jovan mengambil bagiannya, lalu memakannya.Ayana cepat mengambil roti itu, dia makan dengan tergesa.Melihat Ayana, dia teringat dirinya dulu yang hilang arah."Aku buatkan lagi jika kurang." Melihat Ayana makan sangat cepat.Ayana menggeleng."Turunlah bersamaku!"Ayana diam, dia meringkuk dan agak menggeser."Apa kamu punya tempat lain? Aku akan antarkan."Ayana diam."Di mana rumahmu, orang tuamu, kamu punya nomor ponsel? Kita bisa menghubunginya sekarang." Jovan mencoba mengulik.Ayana malah terisak kembali, dia bergetar. Ingatannya kembali pada kecelakaan maut, juga nasibnya selama ini. "Hikz hikz hikz."Jovan semakin bingung. Dia menghembus nafas kasar dan menggeram. 'Aku belum pernah menghadapi wanita. Haissh!' batin Jovan."Aku tidak akan bertanya lagi. Istirahatlah! Jika ada perlu, kamarku ada di sebelah." Jovan lantas pergi.Ayana menatap punggung pria itu.Jovan lalu turun, di bawah teman-temannya sudah mulai sarapan dan beraktivitas."Jo, bagianmu!" seru Brox. Dia menyodorkan roti bakar."Huff. Ada yang tau, bagaimana cara memahami bahasa wanita?" keluh Jovan, dia duduk di kursi panjang tanpa punggung."Maksudmu?" bingung Vincent."Wanita itu belum mau membuka suara. Aku tanya nama dan asalnya, dia hanya diam dan menggeleng. Yang paling parah dia menangis.""Ha ha ha. Semoga dia tidak merepotkan, melebihi merawat bayi," tawa Leo."Apa dia bisu? Coba pakai bahasa isarat," sahut Robin."Dia bisa bicara," sahut Jovan."Dia pasti mengira kita juga orang jahat." Robin memegang dagunya."Masuk akal, Jo. Dia mengira kalian pria hidung belang." Vincent terkekeh."Apa dia sudah jelas, cantik apa tidak?" tanya Robin.Jovan menatap tajam. "Kamu lihat saja sendiri. Sekalian kamu ajak dia bicara!""Boleh, aku penasaran." Robin menyeret Brox. "Ayo ikut denganku!"Robin dan Brox naik. Mereka masuk kamar Ayana. Mereka mengetuk dahulu, lalu masuk saja, karna tidak ada tanggapan.Berjalan pelan, mereka melihat Ayana sedang meringkuk terisak. Ayana pelan mendongak, dia kira Jovan yang datang."Aaaaaaa ....!!" Ayana berteriak. Dia meloncat turun, lalu berdiri di pojok tembok, dia juga menutupi tubuhnya dengan tirai."Pergi! Mau apa kalian?! Pergi! Jangan!" teriak Ayana.Robin dan Brox langsung lari, saat mendengar teriakan itu.Jovan dan yang lain juga berlari ke atas. Mereka bertemu di depan pintu kamar."Kalian apakan dia!" seru Jovan.Robin dan Brox mengangkat dua tangan di depan dada."Sumpah, kita belum ngapain dia," takut Brox."Baru masuk, dia sudah langsung teriak," sahut Robin."Awas, jika kalian berbuat sesuatu!" ancam Jovan. Dia menatap tajam."Kita lihat ke dalam!" Vincent mengajak masuk."Aku yang akan di depan." Leo melangkah dulu.Leo mulai masuk, di susul Vincent. Sedang Jovan di belakang mereka.Baru saja mereka masuk berapa langkah."Aaaaaaa ....!!" teriakan Ayana sangat kencang. "Pergi!"Teriakan Ayana membuat para pria itu tersentak, segera mereka keluar."Huh, apa yang dia lakukan?" heran Leo."Horor," sahut Brox."Kamu lihat, Jo. Siapa yang bercanda?" ujar Robin."Kalian ke bawah, aku akan masuk!" Jovan masuk ke kamar Ayana. "Tunggu! Ingat tawanan kita, urus dia. Bawa dia pada klien, juga file itu. Brox, kamu ambil di meja nakasku!" Jovan lalu lanjut melangkah.Mereka turun melanjutkan tugas. Sedang Jovan, dia masuk ke kamar Ayana. Pelan Jovan melangkah."Keluarlah! Ini aku yang datang." Jovan menatap Ayana di balik tirai.Suaranya dia kenal. Ayana sedikit mengeluarkan kepala, dilihat siapa yang datang. Lalu, dia keluar dari balik tirai. Ayana pelan melangkah kaku mendekat kembali ke tempat tidur."Dengar! Mereka semua Sahabatku. Mereka juga sama sepertiku tidak akan menyakitimu!" tegas Jovan. Dia agak geram dengan perilaku Ayana yang membingungkannya.Ayana hanya mengangguk."Jika kamu ingin tetap tinggal di sini. Ubah perilakumu, jangan buat kehebohan. Lalu jangan membuatku bingung!" Jovan meninggi.Ayana masih diam, dia hanya melipat bibirnya."Pekerjaanku banyak, bukan hanya mengurusmu. Paham!"Ayana mengangguk."Sepertinya kamu tidak bisu. Jadi, bicaralah dengan bahasa manusia yang aku mengerti!" seru Jovan geram. Dia tidak lembut kata lagi.Ayana menunduk takut.Jovan mengatur nafasnya. "Aku akan keluar, jika kamu ada perlu. Kamu ke kamarku atau ke bawah!" Jovan mengacak rambutnya.Ayana hanya melihat Jovan keluar dari kamar itu.Sampai di depan pintu. "Huff." Jovan menggelengkan kepala.Jovan lantas turun. Melakukan pemanasan. Lalu, mulai menggunakan treadmill. Pikirannya fokus pada wanita itu. Jovan belum bisa memahami apa sebenarnya yang terjadi.'Kenapa aku tidak bertanya pada tawanan itu. Haish!' batin Jovan. Dia kesal pada dirinya sendiri, telah melewatkan pikiran itu.Jovan mengatur kecepatan sedang. Dia menghubungi rekannya."Vinc, jangan lupa tanyakan pada tikus itu! Siapa wanita itu, kenapa ada di sana?!""Baiklah!"Sambungan terputus. Jovan menaikkan kecepatan menjadi 6mph. Keringatnya mulai menetes.Jovan berlari, pikirannya mencabang pada banyak arah. Selama ini dia belum bisa bertemu langsung dengan target utama. Orang yang sangat dia yakini pembunuh orang tuanya.Saat kecil dia tidak menahu membela diri dan menyelamatkan orang tuanya. Saat remaja, dia harus mempersiapkan diri. Dia menyimpan dendam selama 20 tahun. Bergemuruh setiap langkah.Selama ini dia selalu menyusuri setiap titik temu puzzle, dari hasil temuannya. Dia belum bisa menembus orang itu.Siapa dia, kenapa dia sangat kuat? Jovan bahkan beberapa kali hampir tertangkap saat ingin mendekat padanya."Hanya seorang CEO. Dia juga telah merebut perusahaan Papa. Kini J Company, telah diambil alih olehnya.""Huh huh huh." Jovan mematikan mesin. Dia tersengal bukan karna lelah berlari. Namun, karna gemuruh hati dan pikirannya.'Aku pasti akan bisa menghabisimu! Hutang nyawa kamu bayar nyawa!' batin Jovan. Matanya menatap kosong, menghunus bagai pedang.'Aku juga akan mengambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku.' geramnya dalam hati.Di sebuah tempat pemakaman umum bagi kalangan elit. Seorang paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, juga berkaca mata hitam. Ada seorang ajudan yang membawakan payung hitam untuk memberinya keteduhan.Dia berjongkok di antara dua nisan. Satu nisan bertuliskan Addy dan satu lagi Jelita.Dia menaburkan bunga pada keduanya."Sudah 20 tahun. Kamu tidak bisa memberi tahuku di mana anakmu sekarang. Seharusnya kamu datang padaku, dan memberiku penerangan," lirih paruh baya itu.Dia menarik nafas dalam."Seandainya saja kamu mendengarkan apa kataku. Kita masih bisa tetap bersama."Pria itu sebentar mengusap nisan Addy. Lalu berdiri meninggalkan tempat itu.Berjalan dengan iringan beberapa pria tegap dan kekar. Kanigara nama itu. Nama dan wajah yang selalu Jovan ingat.Satu ajudan membukakan pintu mobil mewah. Kanigara duduk tegap penuh wibawa di dalam sana."Jalan!" tegasnya.Mobil melaju. Di dalam mobil, sang Asisten yang duduk di kursi depan sebelah kemudi, mulai membacakan jadwal sang k
"Misi baru!"Seketika semua menatap. Mereka menggunakan komunikasi lewat email, dengan semua klien. Hanya beberapa saja yang tahu pekerjaan mereka, yang pasti kalangan elit yang mampu membayar."Apa kali ini?" tanya Vincent."Sengketa Tahta." Leo menaikan alisnya."Jelaskan!" ujar Jovan."Orang tua mereka, pemilik perusahaan besar yang sudah tua, dibawa pergi sang menantu yang mereka bilang ketua Gangster yang cukup besar. Menantu itu juga membawa banyak document aset perusahaan.""Kenapa tidak lapor polisi? Pasal menculikan." Brox heran."Menantu itu mengancam akan menghabisi Papanya seketika, jika sampai polisi datang.""Kita terima. Berapa dia kasih kita waktu?" tanya Jovan."3 hari.""Cukup. Kita mulai pengintaian nanti malam," ujar Vincent."Berapa dia berani bayar?" tanya Brox."1 milyar.""Kita lihat dulu bagaimana situasinya. Nanti baru kita minta tawaran harga." Jovan masih ragu."Minta titik target!" ujar Vincent."Siap!" sahut Leo."Fix. Nanti malam kita beraksi!" Robin mer
Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir."Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu.""Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?""Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.Entah untuk apa oran
Ayana tak bisa keluar dari rasa gelisah, dan takut yang teramat di rumah sepi itu. Apalagi Jovan belum kembali saat matahari telah nampak. Ayana memutuskan untuk menunggu di lantai bawah "Wow, dia keluar dari sangkar," celetuk Brox."Apa dia menunggu kita pulang?" ragu Leo."Menunggu, Jo. Bukan kita." Vincent menepuk pundak Jovan."Dia menunggu sang majikan pulang, peliharaan yang patuh. Good job, Baby girl," sahut Robin.Jovan mendekat, dia hendak mengangkat Ayana, dan bermaksud memindahkannya ke kamar.Ayana masih sensitif. Dia merasa ada yang menyentuhnya. Sontak saja dia membuka mata lebar, meloncat dan menghindar."Aaaaa ....!!" Ayana menjerit. Dia menebar pandangan. Dia melihat Jovan telah pulang.Ayana langsung mendekat, mencengkeram lengan Jovan, lalu bersembunyi di sisi bahu Jovan, karna melihat 4 pria lainnya. Nafas Ayana menderu. Dia masih ingat kata-kata mereka yang butuh hiburan.Jovan memegang pelan tangan Ayana yang mencengkeram, agar tenang. "Tidak ada yang akan menyak
Sedang di kamar sebelah. Kejadian itu tidak masuk pada bagian pikiran Jovan. Dia kini masih malas menutup mata. Dia enggan kembali pada mimpi buruknya.Insomnia, dia susah untuk tidur. Saat dia sangat lelah, dia bisa terlelap. Namun, tidak akan menghindarkannya dari mimpi buruk.Mimpi buruk itu akan selalu hadir saat Jovan tidur.Jovan membuka laptopnya. Dia lekas mencari informasi tentang Kanigara.*J Company akan bekerja sama dengan Perusahaan Asing.*Jovan membaca berita itu. Tangannya mengepal kuat. Meski dia tidak menahu saat itu, tapi Jovan paham. J Company adalah Perusahaan yang dirintis 3 sekawan. Papanya serta dua teman lainnya, yang salah satunya adalah Kanigara.Sayang sekali, dulu Mamanya tidak suka dengan sosialita. Dia jarang bergaul dengan para Istri pengusaha. Hingga Jovan baru bertemu Kanigara sekali, dan belum pernah bertemu oleh satu teman Papanya yang lain."Nikmati sisa hidupmu saat ini. Aku pastikan akan menghabisimu dengan tanganku sediri!" geram Jovan. Dia melih
Jovan menyodorkan air putih. "Pelan-pelan!" seru Jovan.Ayana mengatur nafasnya. "Huh huh huh. Tt-tiga miliar?" Ayana bergetar tak percaya."Ada apa, kenapa dengan nominal itu?" Jovan mengernyit.Mata Ayana mulai berembun, teringat 50 juta sisa utangnya. "Tt-ti-tidak!" Ayana menggeleng."Katakan saja, kita akan mendengarnya!" sahut Vincent.Ayana menunduk mengatur rasa hati. "Huhhh ...." Mengatur nafas. "A ... aku punya utang," lirihnya menunduk."Berapa? Kita siap bantu," sahut Robin."50 juta," lirih Ayana."Hanya itu, kenapa kamu takut?" Brox heran.Ayana terisak. "Hikz hikz. Aku tidak bisa membayar.""Aku pasti membantumu. Namun, aku ingin mendengar tentang alasan hutang itu." Jovan mencoba menggali informasi.Ayana mendongak, dia menatap Jovan dengan mata sembab. "Tidak tahu," serak Ayana, dia menggeleng.Jovan melepas nafas berat. "Jangan katakan jika belum bisa!""Ceritakan saja di mana rumahmu, dan orang tuamu. Apa mereka tidak mencarimu?" Vincent mengikuti alur pikiran Jovan.
Tanpa mengendap Brox dan Leo langsung maju.Brox melempar batu di tengah para penjaga memancing emosi.BRAK. Salah seorang mereka menendang tong hingga terjungkal. "Siapa yang berani berulah di tempat ini!" Meradang.Prok. Prok. Prok. Leo dan Brox memberi tepukan."Hey hey hey. Siapa tadi yang ingin bertemu dengan kami?" santai Leo.Sisi mereka ada yang mengenali. "Black Skull! Lapor pada Bos! Kita diserang.""Apa tujuan kalian kemari?" seru dari mereka."Panggil Bos kalian, bilang aku ingin menghabisinya!" seru Leo."Kurang ajar!" Para preman langsung menyerang."Sekarang!' seru Leo pada mereka yang di dalam.Yang di dalam menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat sebagian penjaga menghambur keluar. Mereka lekas beraksi.Bugh. Bugh. Bugh. Leo belum mengeluarkan banyak tenaga.Duk. Bugh. Brox menghantam dan menendang.Leo menghantam dan melempar serangan. BRAK. Mereka terlempar.Suasana di luar makin riuh, ditambah yang di dalam juga banyak yang keluar. Hanya 2 orang, mereka melawan
Sebuah ketulusan. Ayana hanya menata Sandwinch itu dengan hatinya. Hati yang terpaku pada Jovan saat menyusun lapisan itu. Dia terus mengulas kebaikan, perlindungan Jovan padanya."Yang aku masukkan di sini?" bingung Ayana.Jovan mengangguk."Roti panggang, aku masukkan slada, telur, tomat, keju slice, saus, lada bubuk. Tidak ada yang lain. Aku pernah melihat di vidio dulu."'Aman,' batin Jovan. Jovan tersenyum tipis pada Ayana "Makanlah, aku sudah berusaha membuat yang terbaik!" binar Ayana."Jo, jangan siakan yang terbaik!" ujar Vincent."Buat kami mana?" seru Brox.Ayana lantas meletakkan dua tangan di sisi nampan. "Jangan berani ambil, ini spesial buat, Jo!"Seketika mereka tertawa. "Ha ha ha ha." ruangan menjadi riuh."Spesial, Jo. Habiskan! Jangan sampai ada sisa!" seru Leo.Jovan segera mengambil potongan sandwich, dia menarik nafas panjang dan segera menyuap."Apa buatanku tidak enak?" Ayana melihat Jovan menelan terpaksa."Lumayan." Jovan tidak mau membuat gaduh dengan air ma