Share

Bab 3. Tidak Paham Bahasa Wanita

"Aku hampir melupakan gadis itu. Haishh!"

Suara tangisan yang mengganggu telinga Jovan. Tangisan itu semakin jelas. Jovan masuk ke kamar Ayana, dia menjumpai Ayana sedang meringkuk di atas tempat tidur. Dia menangis bertopang lutut.

"Aku tidak terbiasa memelihara wanita. Apa yang terjadi?" Jovan berdiri di depan ranjang.

Ayana sedikit mereda, dia menghapus air matanya. Namun, dia masih diam menunduk.

"Lihatlah aku, dengar! Di sini tidak ada yang akan menyakitimu." Jovan melihat Ayana ketakutan.

'Apa dia mengalami trauma fisik atau serangan?' batin Jovan.

Saat ini Ayana baru percaya pada Jovan. Ayana pelan mendongak, dia melihat wajah Jovan.

Jovan kini melihat jelas wajah Ayana, meski matanya agak bengkak, tapi Jovan tahu kalau Ayana cantik dan manis.

"Cobalah percaya!" Jovan kembali meyakinkan.

Ayana mengangguk kecil.

"Siapa namamu?"

Ayana diam menunduk.

"Baiklah, jika kamu belum mau mengatakannya. Apa kamu sudah sarapan?"

Ayana menggeleng pelan.

"Di luar ada pantry, di bawah ada dapur. Kamu bebas mau ambil apa saja. Tidak akan ada yang melarangmu."

Ayana diam. Jovan paham.

"Aku akan mengambilkan sarapan untukmu." Jovan mendesah.

Tidak berselang lama, Jovan membawa dua sandwich dan segelas susu.

"Makanlah!" Jovan menyodorkan satu porsi.

Ayana bergeming, dia menatap ragu.

"Tidak ada racun, atau obat apapun. Aku juga akan makan bersamamu." Jovan mengambil bagiannya, lalu memakannya.

Ayana cepat mengambil roti itu, dia makan dengan tergesa.

Melihat Ayana, dia teringat dirinya dulu yang hilang arah.

"Aku buatkan lagi jika kurang." Melihat Ayana makan sangat cepat.

Ayana menggeleng.

"Turunlah bersamaku!"

Ayana diam, dia meringkuk dan agak menggeser.

"Apa kamu punya tempat lain? Aku akan antarkan."

Ayana diam.

"Di mana rumahmu, orang tuamu, kamu punya nomor ponsel? Kita bisa menghubunginya sekarang." Jovan mencoba mengulik.

Ayana malah terisak kembali, dia bergetar. Ingatannya kembali pada kecelakaan maut, juga nasibnya selama ini. "Hikz hikz hikz."

Jovan semakin bingung. Dia menghembus nafas kasar dan menggeram. 'Aku belum pernah menghadapi wanita. Haissh!' batin Jovan.

"Aku tidak akan bertanya lagi. Istirahatlah! Jika ada perlu, kamarku ada di sebelah." Jovan lantas pergi.

Ayana menatap punggung pria itu.

Jovan lalu turun, di bawah teman-temannya sudah mulai sarapan dan beraktivitas.

"Jo, bagianmu!" seru Brox. Dia menyodorkan roti bakar.

"Huff. Ada yang tau, bagaimana cara memahami bahasa wanita?" keluh Jovan, dia duduk di kursi panjang tanpa punggung.

"Maksudmu?" bingung Vincent.

"Wanita itu belum mau membuka suara. Aku tanya nama dan asalnya, dia hanya diam dan menggeleng. Yang paling parah dia menangis."

"Ha ha ha. Semoga dia tidak merepotkan, melebihi merawat bayi," tawa Leo.

"Apa dia bisu? Coba pakai bahasa isarat," sahut Robin.

"Dia bisa bicara," sahut Jovan.

"Dia pasti mengira kita juga orang jahat." Robin memegang dagunya.

"Masuk akal, Jo. Dia mengira kalian pria hidung belang." Vincent terkekeh.

"Apa dia sudah jelas, cantik apa tidak?" tanya Robin.

Jovan menatap tajam. "Kamu lihat saja sendiri. Sekalian kamu ajak dia bicara!"

"Boleh, aku penasaran." Robin menyeret Brox. "Ayo ikut denganku!"

Robin dan Brox naik. Mereka masuk kamar Ayana. Mereka mengetuk dahulu, lalu masuk saja, karna tidak ada tanggapan.

Berjalan pelan, mereka melihat Ayana sedang meringkuk terisak. Ayana pelan mendongak, dia kira Jovan yang datang.

"Aaaaaaa ....!!" Ayana berteriak. Dia meloncat turun, lalu berdiri di pojok tembok, dia juga menutupi tubuhnya dengan tirai.

"Pergi! Mau apa kalian?! Pergi! Jangan!" teriak Ayana.

Robin dan Brox langsung lari, saat mendengar teriakan itu.

Jovan dan yang lain juga berlari ke atas. Mereka bertemu di depan pintu kamar.

"Kalian apakan dia!" seru Jovan.

Robin dan Brox mengangkat dua tangan di depan dada.

"Sumpah, kita belum ngapain dia," takut Brox.

"Baru masuk, dia sudah langsung teriak," sahut Robin.

"Awas, jika kalian berbuat sesuatu!" ancam Jovan. Dia menatap tajam.

"Kita lihat ke dalam!" Vincent mengajak masuk.

"Aku yang akan di depan." Leo melangkah dulu.

Leo mulai masuk, di susul Vincent. Sedang Jovan di belakang mereka.

Baru saja mereka masuk berapa langkah.

"Aaaaaaa ....!!" teriakan Ayana sangat kencang. "Pergi!"

Teriakan Ayana membuat para pria itu tersentak, segera mereka keluar.

"Huh, apa yang dia lakukan?" heran Leo.

"Horor," sahut Brox.

"Kamu lihat, Jo. Siapa yang bercanda?" ujar Robin.

"Kalian ke bawah, aku akan masuk!" Jovan masuk ke kamar Ayana. "Tunggu! Ingat tawanan kita, urus dia. Bawa dia pada klien, juga file itu. Brox, kamu ambil di meja nakasku!" Jovan lalu lanjut melangkah.

Mereka turun melanjutkan tugas. Sedang Jovan, dia masuk ke kamar Ayana. Pelan Jovan melangkah.

"Keluarlah! Ini aku yang datang." Jovan menatap Ayana di balik tirai.

Suaranya dia kenal. Ayana sedikit mengeluarkan kepala, dilihat siapa yang datang. Lalu, dia keluar dari balik tirai. Ayana pelan melangkah kaku mendekat kembali ke tempat tidur.

"Dengar! Mereka semua Sahabatku. Mereka juga sama sepertiku tidak akan menyakitimu!" tegas Jovan. Dia agak geram dengan perilaku Ayana yang membingungkannya.

Ayana hanya mengangguk.

"Jika kamu ingin tetap tinggal di sini. Ubah perilakumu, jangan buat kehebohan. Lalu jangan membuatku bingung!" Jovan meninggi.

Ayana masih diam, dia hanya melipat bibirnya.

"Pekerjaanku banyak, bukan hanya mengurusmu. Paham!"

Ayana mengangguk.

"Sepertinya kamu tidak bisu. Jadi, bicaralah dengan bahasa manusia yang aku mengerti!" seru Jovan geram. Dia tidak lembut kata lagi.

Ayana menunduk takut.

Jovan mengatur nafasnya. "Aku akan keluar, jika kamu ada perlu. Kamu ke kamarku atau ke bawah!" Jovan mengacak rambutnya.

Ayana hanya melihat Jovan keluar dari kamar itu.

Sampai di depan pintu. "Huff." Jovan menggelengkan kepala.

Jovan lantas turun. Melakukan pemanasan. Lalu, mulai menggunakan treadmill. Pikirannya fokus pada wanita itu. Jovan belum bisa memahami apa sebenarnya yang terjadi.

'Kenapa aku tidak bertanya pada tawanan itu. Haish!' batin Jovan. Dia kesal pada dirinya sendiri, telah melewatkan pikiran itu.

Jovan mengatur kecepatan sedang. Dia menghubungi rekannya.

"Vinc, jangan lupa tanyakan pada tikus itu! Siapa wanita itu, kenapa ada di sana?!"

"Baiklah!"

Sambungan terputus. Jovan menaikkan kecepatan menjadi 6mph. Keringatnya mulai menetes.

Jovan berlari, pikirannya mencabang pada banyak arah. Selama ini dia belum bisa bertemu langsung dengan target utama. Orang yang sangat dia yakini pembunuh orang tuanya.

Saat kecil dia tidak menahu membela diri dan menyelamatkan orang tuanya. Saat remaja, dia harus mempersiapkan diri. Dia menyimpan dendam selama 20 tahun. Bergemuruh setiap langkah.

Selama ini dia selalu menyusuri setiap titik temu puzzle, dari hasil temuannya. Dia belum bisa menembus orang itu.

Siapa dia, kenapa dia sangat kuat? Jovan bahkan beberapa kali hampir tertangkap saat ingin mendekat padanya.

"Hanya seorang CEO. Dia juga telah merebut perusahaan Papa. Kini J Company, telah diambil alih olehnya."

"Huh huh huh." Jovan mematikan mesin. Dia tersengal bukan karna lelah berlari. Namun, karna gemuruh hati dan pikirannya.

'Aku pasti akan bisa menghabisimu! Hutang nyawa kamu bayar nyawa!' batin Jovan. Matanya menatap kosong, menghunus bagai pedang.

'Aku juga akan mengambil kembali apa yang seharusnya jadi milikku.' geramnya dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status