Di sebuah tempat pemakaman umum bagi kalangan elit. Seorang paruh baya mengenakan pakaian serba hitam, juga berkaca mata hitam. Ada seorang ajudan yang membawakan payung hitam untuk memberinya keteduhan.
Dia berjongkok di antara dua nisan. Satu nisan bertuliskan Addy dan satu lagi Jelita.Dia menaburkan bunga pada keduanya."Sudah 20 tahun. Kamu tidak bisa memberi tahuku di mana anakmu sekarang. Seharusnya kamu datang padaku, dan memberiku penerangan," lirih paruh baya itu.Dia menarik nafas dalam."Seandainya saja kamu mendengarkan apa kataku. Kita masih bisa tetap bersama."Pria itu sebentar mengusap nisan Addy. Lalu berdiri meninggalkan tempat itu.Berjalan dengan iringan beberapa pria tegap dan kekar. Kanigara nama itu. Nama dan wajah yang selalu Jovan ingat.Satu ajudan membukakan pintu mobil mewah. Kanigara duduk tegap penuh wibawa di dalam sana."Jalan!" tegasnya.Mobil melaju. Di dalam mobil, sang Asisten yang duduk di kursi depan sebelah kemudi, mulai membacakan jadwal sang ketua.Mereka memanggilnya Ketua.---Jovan sedang mencari tahu aktivitas Kanigara. Dia melihat berita tentang keberadaan Kanigara saat ini.Tangan Jovan mengepal, dia harus menahan gejolak gemuruh saat melihat wajah Kanigara.Siaran berita live. Mengabarkan bahwa Kanigara telah berada dalam acara pernikahan megah salah satu pemilik perusahaan besar.Jovan memutar beberapa kali berita itu, otaknya merencanakan sesuatu. Dia akan kembali mencari celah untuk tuntutan gemuruhnya.Jovan turun ke bawah. Dia masih ingin diam, dan bergerak sendiri untuk urusan satu hal ini."Jo, mau kemana?" Vincent melihat Jovan memakai pakaian serba gelap, meski bukan indentik Black Skull."Aku ada urusan, nanti aku akan kembali." Hanya itu, Jovan langsung pergi.Yang lain hanya saling tatap. Mereka sudah paham."Dia melewatkan kita lagi." Brox kecewa."Semoga dia tidak bertindak jauh." Leo Khawatir."Apa kita mengikuti diam-diam?" usul Robin.Vincent menatap tajam. "Jangan untuk kali ini!"Jovan melajukan mobilnya ke Ibu kota. Melaju sangat kencang, tidak lama Jovan tiba di depan hotel tempat acara itu. Dia akan menunggu Kanigara keluar dari tempat itu.Sekian jam menunggu, Jovan membuahkan hasil. Dia melihat Kanigara masuk ke mobilnya.Segera dia mengikuti lajuan mobil itu. Hingga mereka memasuki jalur menuju rumah utama Kanigara. Jalan itu tampak sepi. Jovan tidak peduli dengan iringan pengawalan Kanigara. Gemuruh di dadanya kian meletup hanya dengan memikirkannya.Jovan melaju sangat cepat dan lincah, hingga dia berada tepat di sisi mobil Kanigara. Jovan menghentakkan kuat mobilnya. BRAK. SRAKK. BRAKK.Mobil Kanigara tersingkir, tapi jelas Jovan mengundang kemarahan semua pengawal Kanigara.Para pengawal segera mengepung mobil Jovan. Mereka sebagian turun, dan langsung siap menyerang.Nafas Jovan berat, dia menatap posisinya saat ini. Satu sudut bibirnya terangkat di balik masker itu.Jovan bersiap melajukan mobil, hendak menerobos pertahanan mereka. Dia ingin sekali menunjukkan jika Kanigara sangat lemah.Menginjak gas, Jovan melesat dan menerjang pada salah satu mobil pengawal. Hampir berhasil, tapi mobil lain langsung menabrak Jovan dari sisi lain.BRAK. SREETT. Jovan tersingkir.Di dalam mobil, Kanigara menatap adegan itu, dengan rasa penasaran tinggi. "Siapa dia, aku ingin tau orang yang berani mencuri perhatian padaku?!""Saya akan mencari tahu secepatnya, Ketua." Sang Asisten menjawab.BRAK. BRAK. BRAK. Pintu mobil Jovan dibuka paksa oleh mereka."Keluar!"Jovan mengambil nafas panjang, dia tidak gentar sedikit pun. Jovan membuka pintu kuat, hingga beberapa mereka terhuyung jauh.Jovan turun. Dia siap bertarung.Mereka langsung menyerang. Baku hantam telah riuh. Pengawal Kanigara sudah diketahui sangat terlatih.Bugh. Bugh. Bugh. Duk.Set. Duk. Bugh. Duk. Duk.Namun, mereka telah tersungkur oleh Jovan seorang.Di dalam mobil, Kanigara hanya terkekeh.Beberapa dari mereka ada yang mengeluarkan pistol, dan pisau lipat."Heh, pengecut!" gumam Jovan dibalik masker.Mereka lekas menyerang kembali. Sebagian bersiap menodongkan pistol ke arah Jovan."Yaaakkk!!"Bugh. Duk. Jovan kembali membuat mereka tersungkur.Set. Bugh. Bugh.Duk. Duk. Duk. Tendangan Jovan beruntun.Mata Jovan tetap waspada ke arah pistol.Bugh. Bugh. Bugh. Jovan masih unggul.DOR. DOR. DOR.Jovan melompat menghindari tembakan, dan berjongkok. Matanya menatap arah pistol.Sebagian mereka yang tersungkur juga kembali bangkit meski tertatih."Serahkan dirimu, atau nyawamu sekarang?!" seru salah satu dari mereka.Jovan berdecih.Ada tiga orang yang memegang pistol, Jovan menatap lekat mereka. Jovan, bersiap mengambil pijakan. Dia melompat dan melempar mata pisau ke arah tiga orang itu.Set. Set. Set. Sasaran tepat. Pistol mereka semua terlempar.Seketika yang lain langsung kembali menyerang.Jovan masih bertahan mendominasi.Mereka kini maju dengan pisau lipat di tangan. Jovan melihat mereka semakin maju.Mereka menyerang. Jovan tak banyak melakukan serangan balik, dia hanya fokus menghindar.Sedikit celah, Jovan merobohkan beberapa dari mereka.Mereka menyerang membabi buta. Jovan agak kuwalahan.Sret. Darah mengalir dari perut Jovan.Duk. Bugh. Bugh. Duk. Duk. Duk. Jovan semakin membabi buta.Serangan mereka semakin kuat, tapi Jovan sudah terluka. Jovan segera berlari ke mobilnya. Dia bergegas melajukan Mobilnya, melesat cepat.Kini, baju Jovan sudah basah dengan darahnya, dia harus bertahan sampai basecamp.Tiba di basecamp hampir pagi. Hanya ada Vincent yang menunggu di depan."Jo!" seru Vincent saat mendapati Jovan datang dengan lumuran darah."Diam, jangan sampai yang lain tahu!" Jovan melangkah cepat ke kamarnya, diikuti Vincent.Vincent sigap mengambil kotak obat. Jovan langsung melepas baju atasnya."Sudah kubilang jangan bertindak sendiri!" kesal Vincent sambil membersihkan luka sobekan perut."Aku hanya ingin memberitahu iblis itu, jika dia tak sehebat itu. Masih ada yang bisa melumpuhkannya.""Ini yang terakhir. Aku tak akan membiarkanmu pergi sendiri lagi!" Vincent mendongak dengan tatapan tajam.Jovan tak menyahut.---Suasana masih biasa. Jovan tak menunjukkan jika dia terluka, Vincent juga menyembunyikan hal itu.Beberapa hari tinggal disana. Ayana sudah tidak sering menjerit dan berteriak ketakutan lagi, saat mendengar sesuatu, ataupun yang lain."Aku sedikit tenang, wanita itu sudah tidak lagi menjerit saat aku terlelap," ujar Brox."Aku sampai berpikir akan membuangnya ke tengah hutan, jika dia tidak bisa diam," kesal Leo. Dia mendapat tatapan tajam Jovan."Kapan dia akan berperilaku wajar?" sahut Robin."Apa kita bawa dia ke psikolog. Dia mungkin punya kelainan jiwa." Brox memunculkan ide."Ide bagus, sepertinya dia memang gila." Leo mengangkat jempolnya."Diam, biarkan saja dia!" kesal Jovan.Mendadak hening."Aku sudah bilang, cari tahu soal wanita itu dari tawanan kita!" kesal Jovan."Dia bungkam," sesal Vincent.Leo kini menatap layar laptopnya. "Misi baru," seru Leo."Misi baru!"Seketika semua menatap. Mereka menggunakan komunikasi lewat email, dengan semua klien. Hanya beberapa saja yang tahu pekerjaan mereka, yang pasti kalangan elit yang mampu membayar."Apa kali ini?" tanya Vincent."Sengketa Tahta." Leo menaikan alisnya."Jelaskan!" ujar Jovan."Orang tua mereka, pemilik perusahaan besar yang sudah tua, dibawa pergi sang menantu yang mereka bilang ketua Gangster yang cukup besar. Menantu itu juga membawa banyak document aset perusahaan.""Kenapa tidak lapor polisi? Pasal menculikan." Brox heran."Menantu itu mengancam akan menghabisi Papanya seketika, jika sampai polisi datang.""Kita terima. Berapa dia kasih kita waktu?" tanya Jovan."3 hari.""Cukup. Kita mulai pengintaian nanti malam," ujar Vincent."Berapa dia berani bayar?" tanya Brox."1 milyar.""Kita lihat dulu bagaimana situasinya. Nanti baru kita minta tawaran harga." Jovan masih ragu."Minta titik target!" ujar Vincent."Siap!" sahut Leo."Fix. Nanti malam kita beraksi!" Robin mer
Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir."Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu.""Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?""Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.Entah untuk apa oran
Ayana tak bisa keluar dari rasa gelisah, dan takut yang teramat di rumah sepi itu. Apalagi Jovan belum kembali saat matahari telah nampak. Ayana memutuskan untuk menunggu di lantai bawah "Wow, dia keluar dari sangkar," celetuk Brox."Apa dia menunggu kita pulang?" ragu Leo."Menunggu, Jo. Bukan kita." Vincent menepuk pundak Jovan."Dia menunggu sang majikan pulang, peliharaan yang patuh. Good job, Baby girl," sahut Robin.Jovan mendekat, dia hendak mengangkat Ayana, dan bermaksud memindahkannya ke kamar.Ayana masih sensitif. Dia merasa ada yang menyentuhnya. Sontak saja dia membuka mata lebar, meloncat dan menghindar."Aaaaa ....!!" Ayana menjerit. Dia menebar pandangan. Dia melihat Jovan telah pulang.Ayana langsung mendekat, mencengkeram lengan Jovan, lalu bersembunyi di sisi bahu Jovan, karna melihat 4 pria lainnya. Nafas Ayana menderu. Dia masih ingat kata-kata mereka yang butuh hiburan.Jovan memegang pelan tangan Ayana yang mencengkeram, agar tenang. "Tidak ada yang akan menyak
Sedang di kamar sebelah. Kejadian itu tidak masuk pada bagian pikiran Jovan. Dia kini masih malas menutup mata. Dia enggan kembali pada mimpi buruknya.Insomnia, dia susah untuk tidur. Saat dia sangat lelah, dia bisa terlelap. Namun, tidak akan menghindarkannya dari mimpi buruk.Mimpi buruk itu akan selalu hadir saat Jovan tidur.Jovan membuka laptopnya. Dia lekas mencari informasi tentang Kanigara.*J Company akan bekerja sama dengan Perusahaan Asing.*Jovan membaca berita itu. Tangannya mengepal kuat. Meski dia tidak menahu saat itu, tapi Jovan paham. J Company adalah Perusahaan yang dirintis 3 sekawan. Papanya serta dua teman lainnya, yang salah satunya adalah Kanigara.Sayang sekali, dulu Mamanya tidak suka dengan sosialita. Dia jarang bergaul dengan para Istri pengusaha. Hingga Jovan baru bertemu Kanigara sekali, dan belum pernah bertemu oleh satu teman Papanya yang lain."Nikmati sisa hidupmu saat ini. Aku pastikan akan menghabisimu dengan tanganku sediri!" geram Jovan. Dia melih
Jovan menyodorkan air putih. "Pelan-pelan!" seru Jovan.Ayana mengatur nafasnya. "Huh huh huh. Tt-tiga miliar?" Ayana bergetar tak percaya."Ada apa, kenapa dengan nominal itu?" Jovan mengernyit.Mata Ayana mulai berembun, teringat 50 juta sisa utangnya. "Tt-ti-tidak!" Ayana menggeleng."Katakan saja, kita akan mendengarnya!" sahut Vincent.Ayana menunduk mengatur rasa hati. "Huhhh ...." Mengatur nafas. "A ... aku punya utang," lirihnya menunduk."Berapa? Kita siap bantu," sahut Robin."50 juta," lirih Ayana."Hanya itu, kenapa kamu takut?" Brox heran.Ayana terisak. "Hikz hikz. Aku tidak bisa membayar.""Aku pasti membantumu. Namun, aku ingin mendengar tentang alasan hutang itu." Jovan mencoba menggali informasi.Ayana mendongak, dia menatap Jovan dengan mata sembab. "Tidak tahu," serak Ayana, dia menggeleng.Jovan melepas nafas berat. "Jangan katakan jika belum bisa!""Ceritakan saja di mana rumahmu, dan orang tuamu. Apa mereka tidak mencarimu?" Vincent mengikuti alur pikiran Jovan.
Tanpa mengendap Brox dan Leo langsung maju.Brox melempar batu di tengah para penjaga memancing emosi.BRAK. Salah seorang mereka menendang tong hingga terjungkal. "Siapa yang berani berulah di tempat ini!" Meradang.Prok. Prok. Prok. Leo dan Brox memberi tepukan."Hey hey hey. Siapa tadi yang ingin bertemu dengan kami?" santai Leo.Sisi mereka ada yang mengenali. "Black Skull! Lapor pada Bos! Kita diserang.""Apa tujuan kalian kemari?" seru dari mereka."Panggil Bos kalian, bilang aku ingin menghabisinya!" seru Leo."Kurang ajar!" Para preman langsung menyerang."Sekarang!' seru Leo pada mereka yang di dalam.Yang di dalam menajamkan mata dan telinga. Mereka melihat sebagian penjaga menghambur keluar. Mereka lekas beraksi.Bugh. Bugh. Bugh. Leo belum mengeluarkan banyak tenaga.Duk. Bugh. Brox menghantam dan menendang.Leo menghantam dan melempar serangan. BRAK. Mereka terlempar.Suasana di luar makin riuh, ditambah yang di dalam juga banyak yang keluar. Hanya 2 orang, mereka melawan
Sebuah ketulusan. Ayana hanya menata Sandwinch itu dengan hatinya. Hati yang terpaku pada Jovan saat menyusun lapisan itu. Dia terus mengulas kebaikan, perlindungan Jovan padanya."Yang aku masukkan di sini?" bingung Ayana.Jovan mengangguk."Roti panggang, aku masukkan slada, telur, tomat, keju slice, saus, lada bubuk. Tidak ada yang lain. Aku pernah melihat di vidio dulu."'Aman,' batin Jovan. Jovan tersenyum tipis pada Ayana "Makanlah, aku sudah berusaha membuat yang terbaik!" binar Ayana."Jo, jangan siakan yang terbaik!" ujar Vincent."Buat kami mana?" seru Brox.Ayana lantas meletakkan dua tangan di sisi nampan. "Jangan berani ambil, ini spesial buat, Jo!"Seketika mereka tertawa. "Ha ha ha ha." ruangan menjadi riuh."Spesial, Jo. Habiskan! Jangan sampai ada sisa!" seru Leo.Jovan segera mengambil potongan sandwich, dia menarik nafas panjang dan segera menyuap."Apa buatanku tidak enak?" Ayana melihat Jovan menelan terpaksa."Lumayan." Jovan tidak mau membuat gaduh dengan air ma
Disebuah bangunan, bukan di tempat terpencil. Namun sengaja dibangun di tengah area luas, yang ditanami banyak pohon. Tempat untuk menampung banyak asuhan Febby."Hey, kalian!" teriak Febby pada pengawalnya. Matanya masih membelalak menatap ponselnya. Dia baru saja menerima sebuah foto dan lokasi tempat dimana Ayana berada."Ada apa, Mami?" Serentak beberapa pria di depan Febby."Cari wanita ini di Kota Pesisir! Bawa dia hidup-hidup! Beraninya dia kabur!" Febby meletakkan ponselnya di meja.Semua pria itu melihatnya."Dia yang kemarin kita kirim ke Villa itu, dan tidak kita temukan lagi di sana!""Seseorang telah membawanya pergi! Berani dia membawa tawananku!" geram Febby."Kami akan membawanya kemari, Mami.""Cepat kalian pergi! Wanita itu bahkan belum melunasi harganya! Aku tidak mau rugi!"Semua pria itu mengangguk.------Masih di gerai kosmetik.Ayana masih kagum dengan jajaran kosmetik."Mari Nona, silahkan ikut saya. Kami akan memeriksa jenis dan keadaan kulit Anda, dulu.""Aya