Share

Bab 7. Kenyataan Baru

Author: Farid-ha
last update Last Updated: 2025-01-07 04:37:41

Jantungku berdetak kencang. Tangan ini gemetar tanpa kusadari. Aku menggigit bibir bawah berusaha menahan sesuatu di dalam sini. Kenapa dunia sesempit ini?

Penglihatanku tidak salah, itu benar-benar Damar. Laki-laki yang paling kubenci itu baru saja keluar dari rumah nomor 30, tetangga sebelah yang order seblak tadi.

Gegas kuturunkan kaca helm agar seluruh wajah ini tertutup, aku tidak ingin Damar melihat keberadaanku di sini. Jantungku berdegup semakin kencang. Kakiku seakan terpaku di tempat, namun pikiranku terus berteriak agar laki-laki itu segera pergi dari perumahan ini.

Aku sengaja tidak segera turun dari atas motor. Membiarkan dia berlalu dulu dari perumahan ini. Dari balik spion motor, aku melihat mobil Damar yang melaju pergi meninggalkan perumahan ini.

Beberapa detik kemudian, aku berdiri mengetuk pintu rumah nomor 31, mengantarkan seblak untuk tetangganya Damar.

“Assalamualaikum, Bu. Kami dari warung Seblak ECO.” Aku tersenyum ramah pada perempuan setengah baya yang sedang membukakan pintu.

“Oh iya, Mbak. Anak-anak di belakang sudah pada nungguin itu. Cucuku saya sedang pada ngumpul.” Perempuan paruh baya itu menyambutku dengan tersenyum ramah. Ia menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepadaku.

“Sepuluh bungkus, ya, Bu?” Aku menyerahkan sekantong plastik besar yang berisi seblak-seblak tadi.

Perempuan di hadapanku mengangguk, “Iya, sepuluh bungkus, Mbak. Cucu-cucu saya sangat menyukai Seblak ECO.”

Aku mengucapkan terima kasih karena sudah menyukai Seblak kami sembari mengembalikan uang sisanya. Lalu tanpa sengaja pandanganku kembali tertuju pada rumah Damar, rasa penasaran menyeruak dalam hati ini.

"Rumah itu sudah ada yang menempati ya, Bu? Ketika lewat sini beberapa waktu lalu masih terpasang reklame, rumah dijual. Berarti cepat lakunya, ya, Bu?" tanyaku sedikit basa basi untuk mengorek informasi tentang keberadaan Damar.

"Alhamdulillah sudah laku, Mbak. Rezekinya Bu Endang, pemilik yang lama. Beliau butuh banget pengobatan anak bungsunya. Sekarang rumah itu sudah dibeli oleh Mas Damar. Beliau baru pindah ke sini, belum lama, sekitar satu bulan yang lalu," jawab ibu itu dengan santai.

Satu bulan yang lalu? Tiba-tiba tulangku terasa lemas mengetahui kenyataan baru ini, Damar telah menetap di sini.

Apakah ini kebetulan atau dia sengaja pindah ke sini setelah mengetahui keberadaan kami?

"Untuk itu aku mencari kalian ke sana ke sini sejak dua bulan lalu dan ingin menebus semua kesalahan di masa lalu.” Suara Damar tadi pagi kembali menggema di telingaku.

Berarti dia sengaja mendekati kami?

Apa yang dia inginkan sekarang? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

Allah … hamba berlindung pada-MU dari sesuatu yang tak diinginkan.

Entah mengapa tiba-tiba ada ketakutan tersendiri di dasar hati ini mengetahui keberadaan Damar di perumahan ini.

"Alhamdulillah, kami punya tetangga seperti Mas Damar itu, Mbak. Keberadaannya membawa manfaat untuk masyarakat sekitar sini meski masih baru. Setiap Jumat selalu berbagi dengan masyarakat sekitar. Beliau itu baik, tidak pelit, royal.” Wanita setengah umur itu terus memuji Damar.

Aku tersenyum sinis di dalam hati mendengar penuturan nenek-nenek tersebut.

Royal? Royal kepada orang lain, tapi tega menelantarkan anaknya sendiri selama sepuluh tahun? Seandainya ibu ini tahu bagaimana Damar membuang kami, apa masih bisa memuja laki-laki tersebut?

Dalam diam d4d.ku bergemuruh, rasanya d4 r4.ku kembali mendidih hingga ubun-ubun mengingat semua luka yang ditorehkan oleh Damar sepuluh tahun silam. Bagaimana bisa ia menjelma menjadi sosok yang terkena baik sementara ada anak yang telah ia terlantar sekian tahun lamanya?

“Mbak, kenapa tiba-tiba pucat begitu? Sakit?” Perempuan di hadapanku menatap penuh kekhawatiran.

“Ah, tidak apa-apa, Bu. Sedang sedikit pusing. Kalau begitu saja izin pamit, ya, Bu.”

Aku melangkah perlahan menuju motor, namun langkahku terasa berat.

Damar, nama itu kembali menggema di kepalaku. Nama yang dulu pernah kucintai sepenuh hati itu kini menjadi sumber luka yang tak pernah benar-benar sembuh.

Untuk apa dia datang ke kota ini? Aku yakin laki-laki itu punya maksud dan tujuan datang ke sini. Pasti dia sudah mempersiapkan semuanya secara matang. Sebagaimana dulu ia menyusun rencana dengan apik sebelum pergi meninggalkan aku sepuluh tahun silam.

Aku meremas stang motor erat-erat, mencoba menenangkan diri. Namun, d4da ini terus bergemuruh, penuh dengan amarah yang bercampur dengan kegelisahan.

*

*

*

Aku memandangi Rafa yang sudah terlelap di kamarnya, wajahnya terlihat begitu damai. Aku menyelipkan selimut ke tubuh kecilnya, memastikan dia tetap hangat. Dalam hati, aku berdoa, memohon kekuatan untuk melindunginya dari apa pun yang bisa melukainya. Aku tidak sanggup membayangkan jika kehilangannya. Entah bagaimana duniaku nanti jika tanpa dia? Hanya Rafa alasanku tetap kuat di dunia ini. Hanya bocah ini motivasiku untuk tetap menjalani hidup dengan lebih baik lagi.

Cukup sudah aku kehilangan Rafi. Jangan sampai aku juga kehilangan Rafa. Tapi, ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini, sebuah perasaan yang seperti peringatan, entah apa ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Bab 12. Suami Sakinah

    Bab 12.“Duh… nggak usah repot-repot, Mbak. Padahal, saya hanya sekedar mampir setelah lewat sini.” Sakinah menatapku yang membawa nampan dengan penuh rasa sungkan. “Ah, ini hanya ada air hangat, Mbak.” Aku tersenyum sembari menurunkan teh manis dari nampan. Lalu, menjatuhkan bobot tubuh ini su atas sofa, bersebrangan dengan Sakina.“Silakan diminum, Mbak. Ini bolu buatan saya sendiri.” Aku menatap piring yang berisi bolu kukus coklat. Hasil eksperimenku tadi. Meski bingung dengan kedatangan Sakinah yang secara tiba-tiba, aku tetap berusaha menyambutnya dengan baik. Memperlakukan layaknya seorang tamu.Bibir wanita itu terlihat melengkung hingga matanya menyipit. “Wah… rajin sekali Mbak Ratih. Pasti suaminya sangat bahagia memiliki istri seperti Mbak Ratih. Rajin masak,” ucapnya, terdengar tulus. Aku hanya tersenyum getir. “Saya nggak punya suami, Mbak.” “Maaf, Mbak. Sungguh, saya tidak bermaksud—”“Tak apa, Mbak.” Lekas aku memotongnya, lalu tersenyum ke arah Sakina yang terl

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Untuk apa dia datang ke sini?

    Bab 11Aku pikir malam itu akan berakhir dengan tenang setelah telepon dari Damar terputus. Tapi ternyata, gelisah ini tak kunjung pergi. Aku berbalik, memandangi Rafa yang masih lelap dalam pelukanku. Wajahnya damai, polos… belum ternoda oleh kenyataan hidup yang rumit dan menyakitkan.Bagaimana jika suatu hari nanti dia tahu?Bagaimana jika dia menuntut penjelasan? Kenapa ayahnya pergi? Kenapa aku tak pernah menceritakan apa-apa? Kenapa aku sembunyikan kebenaran?Tiba-tiba air mata itu datang lagi, jatuh tanpa bisa dicegah.******Pagi harinya, aku menyimpan semua kekacauan hati itu di balik senyum yang dipaksakan. Rafa harus sekolah. Aku harus bekerja. Dunia tidak berhenti hanya karena hatiku yang sedang berantakan.Tapi saat membuka pintu depan aku langsung tertegun. Di sana ada setangkai bunga rose kesukaanku. Tidak ada kartu ucapan. Hanya setangkai bunga, aku bisa menebak siapa pengirimnya. Damar. Laki-laki tahu betul bunga kesayanganku. Alih-alih bahagia menerima bunga ini, j

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Bab 10

    Bab 10“Bu, apa benar Om tadi itu teman Ibu dan Ayah?” tanya Rafa begitu kami sampai di rumah.Aku yang hendak mengambil air minum sejenak menghentikan langkah. Otakku berpacu mencari jawaban yang tepat. Bibir ini terasa berat untuk mengakui siapa sebenarnya laki-laki itu. Luka yang ditinggalkan Damar terlalu dalam.“Memangnya Om tadi bilang apa saja, Sayang?” tanyaku sembari menuang air dari dispenser, mencoba mengulur waktu. Rafa mengangkat bahu kecilnya. “Om itu bilang dia kenal Ibu dan Ayah dulu. Terus, dia tanya apakah Rafa suka main bola.”Suara bocah itu terdengar polos, tak menyadari badai yang kembali mengoyak hati ibunya. Tanganku sedikit gemetar saat meletakkan gelas di meja. Luka yang selama ini kukubur dalam-dalam kini kembali menganga.Aku meneguk ludah. Tanganku yang sedang memegang gelas sedikit gemetar. Luka yang selama ini kukubur dalam-dalam kembali menganga.Aku menarik kursi dan duduk, berusaha tetap terlihat biasa saja.“Terus, Rafa jawab apa?” tanyaku, pura-pur

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Bab 9

    Bab 9 POV Damar Aku berdiri di depan gerbang sekolah, menunggu Rafa keluar. Dari kejauhan, aku melihat bocah itu berjalan riang bersama teman-temannya. Wajahnya bersinar, mirip sekali dengan wajah Rafi dulu. Dadaku sesak, emosi bergulung seperti ombak yang siap menghantam. Ini adalah kesempatan pertamaku mendekati anakku, dan aku tak boleh menyia-nyiakannya. Maafkan ayah yang telah menyia-nyiakan kamu, Nak. “Rafa,” panggilku ketika bocah itu melewati gerbang. Suaraku bergetar saat menyebut namanya. Rafa berhenti dan menoleh, matanya menatap heran padaku, pria asing yang sejak kemarin mencarinya. Pria asing yang selama ini tidak pernah hadir dalam hidupnya. “Siapa, ya?” Rafa bertanya sopan, langkahnya ragu. Jantungku berdetak tak karuan saat jarak kami semakin dekat. Aku tersenyum, ingin rasanya berkata, aku ayahmu, Nak. Tapi, aku tahu ini belum saatnya. “Om, siapa? Om kenal aku?” Pertanyaan Rafa menyadarkanku. “Aku … teman Ibumu. Om ingin bicara sebentar, boleh?

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Bab 8

    “Bu, ada tamu sepertinya. Ada yang mengetuk pintu,” ucap Rafa yang hendak sarapan. Bocah sembilan tahunan itu sudah duduk manis di depan meja makan dengan seragam sekolahnya saat aku menoleh ke arahnya. “Oke, biar ibu yang membukakan pintunya. Rafa lanjut sarapannya, ya.” Aku mengelap tangan sebelum meninggalkan wastafel. Aku tersentak kaget saat membuka pintu, tamu yang sangat tidak aku inginkan. Setelah mengetahui siapa yang datang, kembali menutup pintu. “Ratih, aku hanya ingin bicara," kata Damar dari luar pintu. Damar, laki-laki yang telah kuhapus namanya kini dia datang kembali. Membuka luka lama, seolah tak pernah ada penyesalan di balik kepergiannya. Bagiku, dia sudah m4 ti. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Aku berdiri di balik pintu, tidak berniat membukanya. "Kita ada hal yang perlu dibicarakan. Pergilah! Dan jangan pernah kembali ke rumah ini, Damar!” Sudah tidak ada lagi panggilan Mas seperti sepuluh tahun silam. Terlalu berharga sebutan tersebut untuk

  • KEMBALINYA SUAMI YANG HILANG    Bab 7. Kenyataan Baru

    Jantungku berdetak kencang. Tangan ini gemetar tanpa kusadari. Aku menggigit bibir bawah berusaha menahan sesuatu di dalam sini. Kenapa dunia sesempit ini? Penglihatanku tidak salah, itu benar-benar Damar. Laki-laki yang paling kubenci itu baru saja keluar dari rumah nomor 30, tetangga sebelah yang order seblak tadi. Gegas kuturunkan kaca helm agar seluruh wajah ini tertutup, aku tidak ingin Damar melihat keberadaanku di sini. Jantungku berdegup semakin kencang. Kakiku seakan terpaku di tempat, namun pikiranku terus berteriak agar laki-laki itu segera pergi dari perumahan ini. Aku sengaja tidak segera turun dari atas motor. Membiarkan dia berlalu dulu dari perumahan ini. Dari balik spion motor, aku melihat mobil Damar yang melaju pergi meninggalkan perumahan ini. Beberapa detik kemudian, aku berdiri mengetuk pintu rumah nomor 31, mengantarkan seblak untuk tetangganya Damar. “Assalamualaikum, Bu. Kami dari warung Seblak ECO.” Aku tersenyum ramah pada perempuan setengah baya yang s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status