“Mama udah nunggu dari tadi. Uangnya mana, Nami? Udah males kamu ngasih uang gaji kamu sama mama? Mau jadi anak durhaka kamu? Udah syukur-syukur dilahirkan, dibesarkan, dan disekolahin di sekolahan elit. Jadi kamu nggak bisa ngurang-ngurangin jatah mama. Ingat, Nam! Satu tetes air susu mama yang pernah kamu minum aja, walau kamu ngasih mama alam semesta ini, tetap nggak bisa membalas semua kebaikan yang sudah mama kasih ke kamu!”
Suara telepon dari wanita yang melahirkannya begitu menusuk sanubari Nami. Nami kehilangan selera makannya. Padahal pekerjaan di kantornya mulai pagi sampai siang ini, sangat membuat isi kepalanya berisik mampus dan menular pada lambungnya yang berdendang. Namun, makan siang dengan menu keluhan sang mama cukup membuat Nami kenyang.“Maaf, Ma. Mama yang sabar, ya? Nami, kan, udah bilang kalau nanti sisanya ditransfer. Soalnya Nami ada pengeluaran diluar rencana, Ma. Sebentar lagi bonus Nami cair, kok. Nanti Nami transfer semuanya ke mama.”Padahal belum ada setengah bulan, uang gaji Nami ditransfer ke rekening sang mama. Jumlahnya juga tak sedikit. Nami hanya mengambil tiga puluh persen dari total gaji yang ia miliki. Seharusnya, satu bulan pun mamanya tidak akan kehabisan uang jika pandai mengelola pengeluaran.“Mana bisa sabar?! Dasar anak kurang ajar! Mama nggak mau tau. Mama tunggu sampai malam ini. Kamu harus kirimin mama duit.”Nami sedikit terperanjat saat panggilan dimatikan sepihak. Nami sakit kepala mendadak. Perpaduan antara perut kosong, tuntutan sang mama, dan grup chat kantor yang masing-masing rekannya menodong Nami dengan segala pekerjaan yang sesungguhnya bukan job desknya.Kemana mencari uang sementara agar bisa ia kirim paling lambat tengah malam ke rekening mamanya?Nami berjalan lesu keluar toilet restoran. Dengan pikiran yang bercabang dan tatapan yang tak fokus, Nami tak sengaja menyenggol seseorang dan mengakibatkan ponselnya terjatuh.“Oh, sorry.” ucap suara pria yang tak jua Nami tatap wajahnya.“Maaf, saya tak sengaja.” Nami bingung mengambil ponsel yang mana, karena ponsel pria yang ia senggol juga terjatuh di dekat ponselnya.Tidak ada penanda. Merk sama, warna sama, dan pria tersebut langsung mengambil ponsel yang mendarat di dekat kakinya.“Tak apa.” Si pria melengos begitu saja.Nami menoleh sebentar dan memperhatikan cara jalan pria itu yang sangat tergesa-gesa. Cara jalan khas orang sibuk pikirnya.Waktu berjalan cepat, sehingga senja datang menyergap. Nami pulang setelah seharian menjadi budak para senior. Rasanya ingin langsung tidur saja ketimbang membersihkan tubuh dulu, akibat dirinya yang terlalu lelah jiwa dan raga.Nami menatap jam dinding. Dirinya baru ingat bila rencananya setelah pulang adalah mengirim uang kepada mamanya. Ia terpaksa harus mengutarakan niatnya untuk mendapatkan pinjaman dari sahabatnya, Leony. Nami merogoh isi tasnya untuk mencari ponsel dan menelepon Leony.“Lho, kok?!”Nami melihat lockscreen ponsel yang bukan lockscreen ponselnya.“Mampus!” umpatnya. Nami punya firasat tidak bagus.“Kambing! Ponselku ketuker!”Sementara di belahan bumi lain, lebih tepatnya di Milan, Italia. Seorang pria berbahu lebar sedang diliputi pertanyaan yang sama dengan Nami. Pria tersebut membaca pesan dari seseorang yang kontaknya bertuliskan mama.(“Mana transferannya? Sengaja kamu, ya, nonaktifin ponsel kamu? Mama tunggu sampai jam delapan. Jangan berani macam-macam sama mama. Hutang budi kamu ke mama itu masih bejibun.”)Jari-jari pria itu gatal ingin mengulir isi pesan lainnya dari kontak bernama mama. Alis tegasnya semakin menukik membaca caci maki pada setiap ketikan yang hanya ditanggapi kata-kata penuh kepasrahan dari seseorang yang ia tebak adalah Nami.“Samudra, aku sudah menghubungi pihak bandara untuk mencari penumpang yang siapa tau ada melapor kalau tertukar ponsel.”Bagaimana Rajasa yang merupakan manager dari Samudra tidak panik, jika ponsel artisnya berubah wallpaper dengan sendirinya? Wallpaper ponsel Samudra menampilkan potret belakang dari tubuh sang kekasih hati.Sementara ponsel yang ada di tangannya sekarang, menampilkan potret tubuh perempuan mengenakan bikini berwarna hitam. Sayang tak ada penampakan wajahnya. Itu hanya foto dari leher hingga paha.Malangnya lagi, Samudra baru sadar ponsel di tangannya bukan miliknya adalah ketika dirinya ingin mengaktifkan mode pesawat saat di dalam kabin. Anehnya lagi, ponsel dengan model yang sama persis tersebut sedang dalam kondisi tidak terkunci. Tidak ada pin angka, keamanan sidik jari, apalagi pemeriksaan wajah.Samudra langsung bisa mengambil kesimpulan, jika sepertinya seseorang bernama Nami cukup ceroboh menggunakan ponsel tanpa keamanan.“Aku harus menghubungi salah satu kontak di ponsel ini.”Tapi Samudra terpaksa harus melanggar privasi si pemilik ponsel. Belum lagi, Samudra harus menebak tentang kontak mana, yang memiliki hubungan dekat dengan si pemilik ponsel.“Terpaksa begitu. Aku sudah ngasih tau kamu mulai tadi. Cek aplikasi hijaunya. Hubungi orang yang isi chatnya kelihatan akrab dengan pemilik ponselnya.”“Kalau pemilik ponsel marah?”“Yang penting ponselmu kembali. Nggak ada yang bisa memastikan jika ponsel kamu berada di tangan orang bijak. Jika orang itu tahu yang ia temukan adalah ponsel seorang Samudra Dirgantara, nggak jadi jaminan kalau privasi kamu tetap aman. Nggak hanya privasi kamu yang bahaya. Privasi Junot, Ari, Arson, dan Umang pun dipertaruhkan.”Sebagai seorang selebriti, privasi yang bocor bisa dijadikan bisnis gelap di dunia entertainment. Maka Samudra pun meminta maaf dalam hati pada si pemilik ponsel. Ia membuka aplikasi hijau, dimana banyak pesan menumpuk yang tidak terbaca.Lagi-lagi, Samudra membuka room chat bernama mama. Hampir saja Samudra ingin menekan icon bergambar telepon. Semua sumpah serapah si mama membuatnya ketar-ketir.(“Anak beban! Mana transferan bulan ini? Biaya hamil, melahirkan, sampai membesarkanmu nggak murah. Kamu mau meniru tabiat busuk papa kamu yang menelantarkan mama selama ini?”)Samudra hampir tidak sanggup menyimak yang selanjutnya. Balasan dari Nami yang ternyata anak dari si mama, membuat hati Samudra nelangsa tidak karuan rasa. Sampai-sampai wallpaper room chat Nami yang menampilkan potret diri Samudra bersama keempat teman satu grupnya, tidak mampu menandingi dahsyatnya efek caci maki dari mamanya Nami.(“Mama, gaji Nami belum turun. Ini masih tanggal dua puluh lima. Biasanya Nami juga langsung transfer di awal bulan. Uang gaji Nami hampir semuanya buat mama. Tolong, mama lebih bijak dalam mengatur keuangan. Mama menabung, kan?”)Menurut Samudra, nasehat si Nami sudah sangat sopan, wajar, dan bagus. Namun anehnya, si mama tak terima. Seakan-akan kosa kata yang bisa si mama ketik hanyalah kata-kata jahat.Mama tiri? Wajar Samudra berpikir demikian.Dari obrolannya semakin ke atas, si mama juga mendesak Nami agar segera melepas masa lajang.(“Nyesel mama ngelahirin anak kurang beruntung seperti kamu. Temen-temen kamu dapat jodoh orang kaya semua. Nggak seperti kamu yang satu pun pria nggak ada yang deket. Udah kepala tiga usia kamu, malah masih nangisin kartun. Pas mama kenalin sama lawan jenis, kamu malah nolak. Sombong banget jadi perempuan. Jangan banyak tingkah dan pilih-pilih. Cantik juga nggak, kamu itu. Nurun gen papa kamu, sih.”)Samudra ingin meminta maaf pada ayah dan ibunya nanti. Ia kira, orang tuanya sudah paling pemarah di dunia. Ternyata orang tuanya masih termasuk penyayang dan penuh kasih. Seemosi-emosinya mereka, tidak pernah satu kali pun Samudra dan kakaknya menerima sumpah serapah.Samudra lanjut membaca balasan si pemilik ponsel.(“Mama, terima kasih atas perhatiannya. Sekarang lagi musim pancaroba. Mama jaga kesehatan, ya? Nanti Nami kirimin vitamin buat mama. Jangan begadang dan jangan telat makan.”)Tidak bisa. Samudra tidak kuat melihat kemalangan ini. Sekejam apapun kata-kata si mama, pemilik ponsel tetap perhatian dan sangat jelas sayangnya pada sang mama.Samudra yang memiliki hati nurani pun telah memutuskan sesuatu. Ia menemukan nomor rekening si mama dan mengirimkan sejumlah uang dengan meminjam mobile banking milik Rajasa.“Ada-ada aja kamu, Nam. Hidup kamu itu ajaib emang. Ketuker ponsel sama siapa pula?” Nami telah mengirimkan uang kepada mamanya setelah Leony bersedia meminjaminya sejumlah uang yang dibutuhkan. Itupun Nami berulang kali memohon maaf, karena dirinya sungguh tidak enak berucap tolong dalam urusan hutang piutang. “Aku yakin sama satu orang. Tadi siang aku ke restoran, terus tabrakan sama orang. Ponsel kami jatuh. Dia ambil ponselnya setelah minta maaf, terus pergi gitu aja. Aku juga nggak ngecek lagi, karena langsung ke kantor. Di kantor hectic parah, Le. Buat kentut aja nggak sempat. Pas sampai rumah, baru aku sadar kalau ponselnya beda. Mana pake password pula. Aku udah ke restorannya buat minta data pribadi atau sekadar ngecek CCTV buat nyari tau siapa yang tabrakan sama aku. Tapi pihak restoran nggak mau ngasih akses, karena menyangkut privasi.”“Gini aja, kita tungguin sampai ada yang nelepon. Kalau nggak ada, besok aku ngomong sama suamiku buat bantu kamu.”Nami semakin tidak en
“Nggak ada balasan sama sekali dari Raline.”Samudra menunggu kabar dari Raline, kekasihnya. Ia menghubungi sang kekasih lewat ponsel Rajasa. Namun sayangnya, tidak ada reaksi apapun dari sang kekasih yang berada di New City. Samudra sedang berada di perhelatan acara fashion show. Di saku jasnya, terdapat ponsel Nami yang bergetar sejak tadi. Sudah sejak subuh tadi, benda persegi panjang itu sangat sibuk. Tidak ada pesan memaki dari mamanya Nami. Malah beruntun pesan dari atasan dan rekan-rekan kerja si pemilik ponsel.Samudra harus meneruskan semua informasi kepada Nami. Dengan mata yang masih enggan terbuka, Samudra lagi-lagi menjumpai kehidupan lain dari seorang Nami dalam bentuk lingkungan kerja yang toksik. (“Nam, printernya kok rusak lagi? Aku harus ngeprint kerjaan, nih!”)(“Halo, Nami! Dimana, woy?! Pak Kaze nagih laporan kemarin. Udah kamu kerjain, kan?”)(“Nam, beliin sarapan sama kopi. Pake uang kamu dulu.”)(“Kerjaan kamu yang kemarin, nggak ada yang bener. Kamu gimana,
“Eh, simpanan bos dapat ice cream truck dari sugar daddy yang mana lagi, nih?”Nami salah besar jika niatnya untuk berbagi kepada teman-teman sekantornya malah berbalik menjadi penghinaan yang sudah biasa ia terima. Nami salah mengira jika dengan berbagi, maka rekan-rekan kerjanya akan lebih lunak bersikap kepadanya. Lagipula siapa yang bisa menghabiskan es krim seorang diri?“Tapi nggak papa. Siapa, sih, yang nolak es krim gratis?”“Bilangin sama papah gula kamu buat ngirimin food truck besok.”“Pak Kaze nggak cemburu, kamu punya papah gula yang lain? Atau ternyata … emang truck ini dikirimin sama beliau?” Salah satu dari ketiga gadis yang merupakan rekan kerja Nami, berlagak kaget. Kedua gadis di sampingnya cekikikan seraya memesan ice cream tanpa rasa malu. Nami hanya bisa menahan kesal. Ia tak ingin melawan bukan karena takut, tapi ia tidak ingin menciptakan masalah di tempat kerja. Bagaimanapun, Nami butuh pekerjaan ini agar bisa membiayai ibunya yang suka meminta uang tanpa t
(“Hai, selamat pagi. Boleh izin membuka galeri foto? Tadi saya selfie beberapa kali. Saya harus mengunggah sesuatu untuk pekerjaan.”)(“Rencananya hari ini, saya ingin membeli ponsel baru.”)Nami yang masih bekerja, sontak menyambar ponsel dan membuka pesan dari Mas Dirga secepat kilat. Nami tidak mengerti, apa yang membuatnya sumringah seketika hanya karena membaca pesan berbahasa kelewat formal dari Mas Dirga?Selamat pagi? Nami terkekeh dengan sebelah tangan menutupi mulut. Di New City sudah jam setengah dua belas siang. Namun Nami tidak akan mempermasalahkan sapaan tersebut. Nami mengerutkan kening dan tak sengaja membuat bibirnya sedikit mengerucut saat membalas pesan Mas Dirga.(“Buka aja, Mas. Tapi maaf kalau nggak sengaja liat foto-foto absurd saya. Emm, kenapa mas beli ponsel baru? Padahal sisa empat hari lagi, ponsel mas udah balik ke tangan mas.”)Nami memikirkan kalimat balasannya sekali lagi. Sepertinya ia tidak perlu bertanya tentang alasan Mas Dirga membeli ponsel. Dir
(“Ngelus dada, ya, Mas … abis baca curhatan teman saya?”)Aneh. Padahal Samudra tidak kenal dengan temannya Nami. Namun entah mengapa ketika membaca cerita tentang seorang gadis yang mengejar cinta teman Nami tersebut, padahal si gadis sudah punya pacar-mau tak mau membuat Samudra tersentil dengan setiap jawaban yang diberikan Nami. (“Saya tertampar, Nona. Saya sangat jarang memiliki waktu untuk pacar saya. Sekarang saya mendadak kepikiran dengan pacar saya yang tidak ada merespon semua pesan saya. Saya percaya dia sebelum ini, tapi saya lupa jika pacar saya mungkin memiliki batas kesabaran.”)Samudra yang biasanya bercerita tentang pacarnya kepada teman-teman satu grupnya. Sekarang meloloskan pemikirannya pada Nami begitu saja. Kadang kegundahan yang dialami manusia, membuatnya mudah percaya pada orang lain. Sementara Nami yang mengetahui apabila cinta pada pendengaran pertamanya sudah memiliki pacar, hanya bisa tersenyum miris. Untung masih sekadar naksir. Belum yang baper sampai
“Nembus M!” Nami tanpa sadar memekik hingga terdengar ke meja samping kanan kirinya. Nami tidak berhenti terkejut setelah berhasil masuk ke akun m-banking milik Mas Dirga. Bagaimana tidak terkejut, jika jumlah saldo yang dimiliki pria asing tersebut bisa membuat Nami berfoya-foya sampai anak cucu?“Kerjaan kamu udah selesai? Kalau udah, mending kamu bantuin kami. Biar kami bisa cabut ke kondangan.”“Belum, Kak.” Nami menjawab dengan sesopan mungkin,”Maaf, kalau tadi berisik. Saya diberi tugas dadakan oleh Pak Kaze.”Nami mempertahankan wajah pura-pura bodohnya. Para rekan kerjanya menggerutu hingga terdengar ke telinganya. Nami coba mengabaikan, meski rasanya menyakitkan. Nami tidak sepasrah itu sebenarnya diperbudak. Ia tetap mampu menolak, meski tidak pakai kekerasan dan acara menangis penuh dramatis.Ada yang lebih penting untuk Nami lakukan sekarang, yakni mengirim uang kepada Benua Armada Putra. Tidak b
(“Mas, nama pacarnya Raline, ya?”)Nami tidak bisa sabar sepertinya untuk mengetahui identitas Mas Dirga yang sebenar-benarnya dari sumbernya langsung. Begitu selesai dirinya mengobrol singkat dengan ibunya Samudra. Nami langsung menghubungi si mengaku yang namanya adalah Dirga. Tak disangka pula, Nami mendapat panggilan video langsung dari nomornya sendiri alias Dirga. Jantung Nami berdegup kencang. Ia harus mengobati rasa penasarannya dan panggilan video pun diterima. Oh, damn!Sosok yang terlihat di layar ponselnya sekarang benar-benar Samudra Dirgantara, idolanya atau pria yang sering Nami jadikan inspirasi kehaluannya dalam mengetik karya fanfiction yang hanya bertujuan untuk hiburan sesama penggemar Squirrel Crush.“Nona Nami?” Bibir tebal Samudra tersenyum simpul. Jangan tanya kondisi Nami sekarang. Gadis itu antara bengong, tidak percaya dan terkesima menatap sang idola yang sibuk memanggil namanya. Sepertiny
(“Nona, pacar saya selingkuh.”)Nami mengabaikan ponsel Samudra cukup lama hari itu. Pekerjaan di kantor seolah menerjangnya sampai bernapas pun ngos-ngosan. Belum lagi Nami harus menghindari Pak Kaze yang terlalu ingin berinteraksi secara tidak professional. Satu deret pesan yang muncul dari Samudra, baru saja Nami baca. Nami mengetikkan balasan beberapa kali. Akan tetapi, ia merasa tidak yakin dan berujung menghapus berulang. Sampai akhirnya Nami memutar otaknya untuk memilih respon yang tepat untuk segelintir informasi yang sejujurnya tidak mengejutkan lagi bagi Nami. Nami sudah mengetahui jika kekasihnya Samudra berselingkuh. Semua itu bermula ketika dirinya ditemui Rauf di kantor waktu itu. Mereka memutuskan untuk makan siang bersama, sekalian Nami mendengarkan cerita lengkap tentang urusan asmara Rauf. Dari sanalah terkuak jika Raline, kekasihnya Samudra yang mengejar-ngejar Rauf dengan dalih cinta lama bersemi kembali setelah mengendap di balik hati selama sepuluh tahun. Rau