Share

Wajah yang Dingin

                                                   SIDE OF NEVANDRA

     ‘Aaaagghh’

     Suara seorang perempuan bisa kami dengar dari dalam ruang Osis, kegiatan rapat yang sedang berlangsung sedikit gaduh karena suasana di luar sana, tanpa sadar kami semua berlari keluar untuk melihat apa yang terjadi. 

     Aku tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi karena di lapangan sudah sangat ramai dengan semua siswa membentuk lingkaran. 

     "Kenapa, loe selalu cari gara-gara sama gue?"

     Aku mengenal suaranya. Suara Toni teman lamaku.

     Aku mendorong paksa siswa-siswi yang menghalangiku agar aku bisa melihat apa yang terjadi, setelah berdesak-desakan, aku bisa melihat Toni dengan amarahnya di tengah lapangan, dan Salsha yang menangis dengan wajah sembab.

    Apa yang mereka lakukan ?

     "Sialan !!" Toni menarik kasar tangan Salsha. 

     Tidak ada yang berani melerai, mereka hanya menonton kekerasan yang di lakukan Toni pada Salsha, sampai akhirnya....

     "Ton, jangan !!"

     Aku berhasil menangkis tangan Toni, tanpa sadar aku berlari menghampiri mereka. 

     "Gak usah ikut campur masalah pribadi gue !!" Toni menarik kerah bajuku. 

     Bugh..

     Tubuhku terhuyung ke belakang saat Toni dengan kasar memukul wajahku, belum sempat aku berdiri, Toni masih menarik kasar kerah bajuku, aku memejamkan mata sebelum pukulan kedua mendarat di wajahku.

     Sampai akhirnya suara guru-guru kami menghentikan kekerasan ini. 

     Aku belum sempat menyadari apa yang terjadi sampai akhirnya ada beberapa dari siswa membantuku bangun, aku bisa mendengar suara Rio yang terdengar khawatir.

    Aku tidak peduli karena kepalaku masih pusing. 

                                                                  ///

     "Ngapain loe ikut-ikutan masalah mereka ?" Tanya Rio sambil mengompres luka dipelipisku. 

     "Gue, gak bisa lihat mereka seperti itu, Salsha perempuan", Jawabku, sambil menahan perih. 

     "Loe, bisa panggil guru, gak perlu ikut campur."

     "Kalo guru lihat, Toni bisa di drop out dari sekolah."

     "Wajar, dia siswa bermasalah, udah layak di drop out."

     Aku diam menanggapi Rio, ada perasaan tidak rela dengan perkataan Rio bahwa Toni layak di drop out, aku tahu dia siswa yang bengal, dan banyak masalah di sekolah, tetapi dulu kami sangat dekat, aku tidak bisa melihatnya seperti ini. 

    "Gue, senang loe berubah Van." Rio berkata di tengah lamunanku tentang Toni. 

    "Tetap jadi Nevan yang seperti ini, jangan salah pergaulan." Lanjutnya. 

     Aku mendongakan wajahku menatap Rio, tersenyum samar, aku bisa melihat ketulusan dari ucapannya. 

    Braak…

    Pintu uks terbuka kasar...

    "Beb. kenapa loe berantem lagi ?" Teriak Alvino berlari ke brankar uks yang aku tiduri. 

    "Bisa gak loe gunakan fasilitas sekolah dengan baik, bisa rusak itu pintu loe dobrak gitu." sahut Rio kesal. 

    "Mana yang sakit, beb? apa perlu kita ke rumah sakit? gue bakal minta ijin sama Pak Ardi buat bawa loe ke rumah sakit rujukan terdekat."

    Alvino mengelus pelipisku yang membiru, mengabaikan sahutan Rio.

    "Ck, lebay loe." aku menepis tangan Alvino pelan. 

    "Gue kan perhatian sama sahabat, loe kok bete gitu sih tampangnya." Alvino memanyunkan bibirnya.

    "Karena loe ngerusak suasana yang lagi serius." Kata Rio mencela.

    "Gue harap loe dengar kata-kata gue barusan, Van." lanjutnya sambil membereskan obat-obatan di nakas.

    "Apaan sih ? kok kayanya gue ketinggalan sesuatu hal penting." Alvino mengerutkan keningnya bingung. 

    "Hmm, nggak kok, loe datang di waktu yang tepat, sekarang antar gue ke ruang osis, Alin sama Aldo pasti lagi nunggu gue." Kataku sambil tersenyum culas. 

    Tanpa banyak kometar Alvino dan Rio membantuku untuk ke ruang Osis, aku tetap harus melanjutkan kegiatan MOS ini hingga selesai, tidak mungkin dihentikan ditengah jalan.

                                                             ///

     "Astagfirullah." Alvino terjingkat kaget. 

     Baru saja Rio menekan pedal pintu uks, sosok perempuan sudah berdiri di hadapan kami tanpa ekspresi, kami mengenal perempuan itu, dia siswi berparas dingin yang aku temui sedang bengong di lorong koridor menuju kamar mandi di lantai dua tadi pagi.

     Andira, siswi yang mengalami pembullyan di kelas satu tahun lalu.

     "Mau ngapain, loe?" Tanya Rio bingung. 

     Kami menunggunya menjawab pertanyaan Rio, aku bisa melihat wajah dinginnya walaupun tertunduk, dan dengan pelan tangannya menyodorkan sebuah buku dan alat tulis kepadaku. 

     "Terima kasih." Katanya pelan, seperti berbisik. 

      "Hah ?" Suara Alvino menyahut dengan nyaring. 

      Andira masih diam tak menggubris, tangannya masih menyodorkan alat tulis yang belum aku ambil, aku masih penasaran apa yang akan dia lakukan dengan suasana yang seperti ini. 

      "Kenapa sih suara loe itu kayak hantu ?" Alvino mencodongkan wajahnya kearah Andira.

      "Dingin dan bisik-bisik, kita gak bakal dengar tahu." lanjutnya. 

      "Ck, gak usah dekat-dekat, nafas loe pasti bau", Rio menarik kerah Alvino kebelakang.

      Andira masih diam, aku bisa melihat tangannya bergetar menunggu aku meraih pemberiannya, tanpa banyak pikir aku mengambil buku dan alat tulis itu. 

      "Sama-sama, jangan ke lantai dua sendirian, kegiatan sekolah pasti sampai sore." Kataku menasihati.

      Andira tidak menjawab petuahku.

      "Sok care loe, Van." Rio menjambak rambutku pelan.

      "Ayo cepat !!!" Mereka menarikku menjauh dari Andira.

      Aku masih bisa menoleh ke belakang, melihat Andira yang menunduk, aku tidak pernah tahu apa yang gadis itu pikirkan sampai selalu melamun seperti itu.

                                                                  ///

     "Yang gue dengar dari guru, Toni akan di drop out dari sekolah." Aldo memberikan kabar ini padaku, setelah rapat yang sempat tertunda tadi selesai. 

     "Lalu Salsha ?" tanyaku penasaran.

     "Dia itu korban, jelas dia gak kena sanksi, mungkin pemanggilan orangtua saja, itu yang gue dengar." Jelas Aldo. 

     "Tetap aja, Salsha pasti akan merasa malu berada di sekolah ini karena kejadian itu." Aku menunduk memikirkan bagaimana nasib salsha selanjutnya di sekolah. 

     "Kalo salsha di bully atau di ejek, yah jalan satu-satunya hanya pindah sekolah." Kata Aldo memberi pendapatnya. 

     Aku menggeleng pelan, sedikit tidak terima dengan pendapat itu, Salsha tidak boleh menjadi bahan gunjingan, apalagi bahan bully di sekolah ini.

     Tidak boleh, aku sudah mengenal Salsha sejak sekolah dasar, dulu kami sangat dekat, seperti seorang kakak adik, bahkan aku masih merasa bersalah karena sudah menjodohkannya dengan Toni, aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan sangat mencintai pria itu, walaupun apa yang sudah dilakukan kepadanya. 

     "Loe, tahukan apa yang sudah sering terjadi di sekolah ini ?" Aldo menatapku.

     "Pembullyan sudah menjadi hal biasa, bukan guru menutup mata, tetapi tindakan bully itu tidak akan di lakukan para oknum di depan guru-guru mereka." lanjut Aldo dengan nada menyesal. 

     "Gue, sebagai ketua osis gak akan membiarkan kebiasaan buruk ini terus terjadi." Sanggahku dengan berani. 

     Aku yakin Tuhan mempunyai maksud lain dibalik perubahanku ini.

     Aku memilih jalanku sendiri, menjauh dari Salsha dan mengakhiri pertemananku dengan Toni, walau diam-diam aku masih peduli pada mereka. 

                                                                     ///

      Karena kepala sekolah menyuruhku mencari keberadaan Toni jadilah aku mengitari setiap penjuru sekolah, termasuk di lantai dua ini.

     Aku sudah tidak bisa memahami sikap Toni sekarang, kemana perginya anak itu ? kenapa sikapnya semakin brutal, jika sekolah tidak memandang Ayahnya sebagai pemberi donatur di sekolah, aku yakin dia sudah di drop out sejak kami kelas satu. 

     Sebenarnya di lantai dua ini tidak terlalu mencekam, masih ada para petugas kebersihan yang sering membersihkan koridor dan kelas yang kosong untuk dipakai besok, aku juga yakin masih ada penjaga perpustakaan yang sedang bekerja walaupun perpustakaan belum bisa dikunjungi para siswa.

     Hanya saja aku harus tetap melewati ujung koridor itu, ujung koridor dekat kamar mandi yang tampak hening dan kumuh itu,  aku tidak paham kenapa ujung koridor itu seperti tidak pernah terjamak oleh petugas kebersihan.

     Walaupun ada sedikit ketakutan aku harus tetap ke sana untuk mencari keberadaan Toni, dengan sedikit kesal dan mencela Toni dalam hati karena pesan dan panggilanku tidak dijawab olehnya, aku memberanikan diri berjalan mendekati koridor yang tampak hening itu. 

     Aku berniat mencari Toni di kamar mandi siswa, mungkin saja siswa brutal itu sedang merokok di kamar mandi, mungkin sajakan?

     Di tengah perjalananku ke sana, aku harus melewati kamar mandi siswi, mitos yang ku dengar, sering tercium bau amis di kamar mandi itu, dan aku mencoba tidak peduli. 

     Sungguh bulu kuduk ku meremang saat mitos yang sering ku dengar dari kakak kelas itu terjadi nyata kepadaku, bau amis itu membuat perutku sedikit mual.

     Sialnya, aku merasakan kepalaku sedikit sakit, apa mungkin akibat dari pukulan Toni tadi ? dengan sedikit menyesal, akhirnya aku ke kamar mandi siswa di ujung koridor yang menyeramkan itu. 

                           

                                                                  ///

     Tidak ada hal menyeramkan yang ku alami di kamar mandi siswa, aku juga tidak menemukan Toni seperti yang ku harapkan.

     Setelah merasa sakit di kepalaku sedikit mereda, aku putuskan untuk keluar dan melanjutkan pencarian, atau mungkin aku bilang saja pada kepala sekolah bahwa aku tidak bisa menemukan keberadaan Toni. 

     Aku mendongak saat aku melihat Salsha keluar dari kamar mandi siswi yang tadi aku lewati, dengan perasaan menyesal aku memanggilnya. 

     "Sha.." teriakku.

     Salsha menghentikan langkahnya, menoleh kepadaku, dan menungguku menghampirinya, aku bisa melihat matanya sembab, seperti habis menangis. 

     "Kenapa sendirian ?" Tanyaku pelan.

     Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah, memperhatikan koridor sekolah yang sangat sepi, hanya kami berdua. 

     "Loe, gak lihat Toni ?" Tanyaku lagi, tidak peduli Salsha yang masih diam. 

     Setelah beberapa detik, Salsha akhirnya menggeleng pelan, sambil menghapus sisa-sisa airmata di pipinya. 

     "Jangan sendirian" Kataku pelan. 

     "Loe, yang jangan sok peduli, jangan peduli sama gue ataupun Toni, pergi dari kami." Salsha menjawab masih sambil menangis. 

     Aku tidak paham apa maksudnya, apa dia marah padaku karena aku menjauh dari mereka berdua?

     Jika iya maka aku ingin minta maaf padanya, belum sempat aku meminta maaf, Salsha sudah berlari meninggalkanku di koridor depan kamar mandi siswi ini.

     Aku masih belum sadar suasana ini, aku mencoba mengejar Salsha, dan masih meneriaki namanya.

     "Salshaaa, tunggu…!!" kataku lantang. 

     Belum sempat aku melangkah, tanganku digenggam oleh seseorang dari arah belakang.

     Aku bisa merasakan tangannya yang lembut, dan kulitnya yang dingin, saking dinginnya sampai aku merasa tanganku yang digenggamnya ikut membeku. 

Aku menoleh.....

Wajah dingin itu tidak seperti biasa yang seperti kulihat, sedikit berbeda…. 

     "Andira, ngapain loe disini ?"

Bersambung…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status