Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.
Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”
Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”
Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:
“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”
“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”
“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.
Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.
“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”
Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya hampir jatuh, tapi ia menahan.
“Aku ingin cerita, Dit. Tapi bagaimana kalau setelah itu kamu pergi? Aku nggak sanggup kehilanganmu.”
Sepulang kuliah, Aditya mengajaknya duduk di taman. Senja menetes di langit, angin sore membawa harum bunga.
“Alya,” kata Aditya pelan, “aku tahu kamu lagi berjuang. Aku nggak tahu apa masalahmu, tapi aku ingin kamu tahu satu hal… aku serius sama kamu.”
Alya menoleh cepat. “Serius?”
Aditya menatap matanya lekat. “Aku nggak main-main. Aku lihat kamu bukan cuma teman kuliah. Aku lihat kamu sebagai seseorang yang bisa jadi bagian dari hidupku.”
Kata-kata itu seperti panah menembus dada Alya. Hatinyanya bergetar hebat. Ia ingin sekali mempercayainya.
Tapi bayangan pesan ancaman dari manajer kembali muncul.
“Bagaimana kalau Aditya tahu aku menjual tubuhku? Bagaimana kalau dia tahu aku sudah kotor? Semua akan hancur.”
“Dit…” suara Alya serak, “aku nggak yakin aku bisa kasih apa yang kamu mau.”
Aditya tersenyum samar. “Aku nggak minta apa-apa. Aku cuma minta kamu percaya.”
Air mata Alya jatuh. Ia menunduk, tak sanggup menatap matanya lebih lama.
Malam itu, Alya kembali di kamar kos. Siska belum pulang, mungkin masih tenggelam dalam dunia malamnya. Kamar sepi, hanya bunyi detik jam yang terdengar.
Ponselnya kembali bergetar. Nomor itu lagi.
Dengan tangan gemetar, Alya menjawab.
“Alya,” suara berat itu terdengar, “aku beri kamu dua pilihan. Besok malam, ikut kerja lagi—bayarannya dua kali lipat. Atau aku pastikan pacarmu tahu siapa kamu sebenarnya.”
Alya terisak. “Tolong… jangan ganggu aku lagi. Aku sudah cukup menderita.”
“Tidak ada kata cukup. Kamu sudah masuk, berarti kamu bagian dari permainan. Ingat, kota ini kecil. Rahasiamu mudah sekali bocor.”
Sambungan terputus. Alya menjatuhkan ponsel, lalu terduduk di lantai, tubuhnya bergetar hebat.
“Kalau aku nurut, aku hancur. Kalau aku menolak, rahasiaku terbongkar. Apa aku masih punya pilihan?”
Ia mengambil buku catatannya, lalu menulis dengan tangan gemetar:
“Aku terjebak dalam lingkaran,
semakin aku melawan, semakin kuat jeratnya.
Cinta ada di depan mataku,
tapi bayangan menghunus pedang di belakang.
Jika aku memilih cahaya,
gelap akan membocorkan rahasiaku.
Jika aku memilih gelap,
cahaya akan meninggalkanku.”
Kertas itu basah oleh air mata.
Alya menutup buku, lalu menatap langit-langit kamar yang kusam. Ia berdoa dalam hati, meski doanya kini terdengar patah:
“Tuhan, kalau memang aku harus hancur, biarkan aku hancur sendirian. Jangan biarkan dia ikut terluka karena aku.”
Di luar kamar, suara langkah Siska terdengar. Ia masuk, tertawa getir, lalu menjatuhkan diri ke ranjang.
“Alya… kamu jangan terlalu baper. Dunia ini nggak peduli kita suci atau nggak. Yang penting kita bisa hidup.”
Alya menoleh dengan mata basah. “Siska… aku takut. Mereka mengancam akan membongkar aku.”
Siska menghela napas panjang. “Ya itulah harga masuk ke dunia ini. Sekali aja, kamu nggak akan pernah bisa keluar dengan mudah.”
Alya menutup wajahnya. Dunia seakan runtuh di hadapannya.
Malam semakin larut. Alya duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya yang gelap. Pesan terakhir dari manajer masih ada:
“Besok malam. Pilih: ikut, atau aku buka semua rahasiamu.”
Tangannya gemetar. Napasnya sesak.
Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Alya benar-benar merasa tidak punya jalan keluar.
Alya duduk di pojok perpustakaan, menatap jendela yang buram oleh air hujan. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat. Di layar, pesan terakhir dari manajer itu masih terpampang jelas:
“Besok malam. Pilih: ikut, atau aku buka semua rahasiamu.”
Kata-kata itu seperti duri yang menancap di kepalanya, tak bisa dicabut. Alya menutup ponsel, menekannya ke dadanya seolah berharap rasa sesak bisa mereda.
“Kenapa wajahmu pucat sekali?” suara Aditya mengejutkannya. Pemuda itu duduk di kursi seberang, membawa dua gelas kopi hangat. “Aku pesanin buat kamu. Biar badanmu hangat.”
Alya tertegun. Tangannya meraih gelas itu pelan, tapi matanya menghindari tatapan Aditya.
“Kamu selalu mikirin aku, Dit,” bisiknya.
Aditya tersenyum kecil. “Karena kamu berarti buat aku.”
Hati Alya seperti diperas. Kalimat itu indah, tapi di saat bersamaan, ia merasa semakin kotor. Bagaimana mungkin ia membalas cinta dengan tubuh yang sudah ternoda dan rahasia yang busuk?
“Alya,” suara Aditya terdengar lagi, kali ini lebih serius. “Aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan. Tapi aku pengin kamu percaya sama aku. Apapun itu, aku janji aku bakal ada di sampingmu.”
Alya menunduk. Air matanya hampir jatuh. Ingin sekali ia bercerita, menumpahkan semua beban. Tapi ketakutan menahannya.
“Dit… kalau aku bilang sesuatu yang bisa bikin kamu benci aku, apa kamu masih akan tetap di sini?” tanyanya pelan.
Aditya terdiam sebentar, lalu menjawab mantap. “Aku nggak janji mudah. Tapi aku janji nggak akan pergi.”
Kata-kata itu menusuk hati Alya. Ia ingin percaya. Namun, bayangan manajer itu lebih kuat.
Malamnya, Alya kembali di kamar kos. Siska belum pulang. Kamar sunyi, hanya suara hujan di luar jendela. Alya duduk di meja, menyalakan lilin kecil, lalu membuka buku catatannya.
Ia menulis dengan tangan gemetar:
“Aku berdiri di tepi jurang,
di kiri ada cinta,
di kanan ada ancaman.
Kalau aku melompat ke cinta,
rahasiaku akan membunuhnya.
Kalau aku melompat ke ancaman,
tubuhku akan mati lagi,
tapi mungkin cintanya tetap hidup.”
Air matanya jatuh, menodai kertas.
Sekitar tengah malam, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan dari manajer, tapi dari Aditya.
Dit: “Kamu belum tidur? Aku tahu kamu gelisah. Aku cuma mau bilang: jangan lawan semua sendirian.”
Alya menatap layar lama sekali. Tangannya ingin membalas: “Aku terjebak, Dit. Aku pernah menjual tubuhku. Aku diancam.” Tapi sebelum sempat menulis, ia menghapusnya lagi.
Ia hanya menjawab:
Alya: “Aku takut, Dit.”
Dit: “Takut sama apa?”
Alya menggigit bibir. Jari-jarinya gemetar di atas layar. Lalu ia mengetik:
Alya: “Takut kehilangan kamu.”
Hening. Lalu balasan masuk:
Dit: “Kamu nggak akan kehilangan aku. Aku janji.”
Alya menangis dalam diam. Kalimat itu begitu indah, tapi juga terasa seperti pisau yang kelak bisa mengoyaknya jika rahasia terbongkar.
Keesokan harinya, Alya tidak masuk kuliah. Ia berdiam diri di kamar kos, menatap langit-langit dengan mata kosong. Siska pulang siang hari, menenteng kantong belanja.
“Kamu kenapa?” tanya Siska, duduk di sampingnya.
Alya menggeleng lemah. “Aku diancam lagi. Mereka nyuruh aku datang malam ini.”
Siska terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku sudah bilang, Alya. Dunia ini kejam. Kalau kamu nolak, mereka bisa bikin hidupmu lebih hancur dari sekarang. Kalau kamu nurut, paling tidak kamu masih bisa bertahan.”
Alya menatap Siska dengan mata merah. “Tapi aku nggak sanggup lagi. Aku nggak mau kehilangan Aditya. Aku takut dia tahu.”
Siska mengangkat bahu. “Kamu harus pilih, Alya. Cinta atau bertahan hidup. Dua-duanya nggak bisa kamu genggam bersamaan.”
Malam turun perlahan. Kota berpendar dengan lampu-lampu. Alya duduk di ranjang, mengenakan baju sederhana. Ponselnya bergetar lagi, pesan singkat masuk:
“Jangan lupa. Malam ini. Tempat yang sama.”
Tubuhnya gemetar. Ia menutup wajahnya dengan tangan.
Dalam kepalanya, suara Aditya dan suara manajer bercampur, saling bertabrakan.
Aditya: “Aku nggak akan pergi.”
Hatinya koyak.
Ia berdiri, menatap cermin. Wajahnya pucat, matanya merah. Gadis yang ia lihat bukan lagi Alya yang dulu datang ke kota dengan mimpi. Yang tersisa hanya bayangan rapuh yang dihantui dosa.
“Aku harus memilih. Entah hancur di mata Aditya, atau hancur di tubuhku sendiri.”
Hujan turun lagi malam itu. Suara tetesnya seperti bisikan getir. Alya melangkah ke pintu kamar, tangannya gemetar memegang gagang.
Di satu sisi, ada cinta yang menunggu.
Dan malam itu, Alya tahu… keputusan apapun akan mengubah hidupnya selamanya.
Ia melangkah keluar kos dengan langkah gontai, mengenakan jaket tipis untuk menutupi tubuhnya yang gemetar.
Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban rantai yang menarik dari belakang. Hatinya berteriak untuk berhenti, tapi pikirannya dipenuhi ketakutan akan rahasia yang terbongkar.
“Kalau aku nggak datang… mereka akan menghancurkanku. Kalau aku datang… aku menghancurkan diriku sendiri.”
Di kampus, Aditya mengirim pesan berkali-kali.
Dit: “Alya, kamu di mana? Kok nggak ada kabar seharian.”
Dit: “Aku khawatir. Tolong jawab.”
Tidak ada balasan. Ia mencoba menelepon, tapi nomor Alya tak bisa dihubungi. Hatinya cemas. Ia bahkan sempat mengitari area kos Alya, tapi lampu kamar gelap.
Aditya berdiri di bawah hujan yang kembali turun gerimis. Wajahnya tegang. “Alya… kamu sembunyikan apa dariku?”
Sementara itu, Alya sudah sampai di sebuah hotel tua di sudut kota. Bangunannya remang, pintunya berkarat. Tempat itu penuh kenangan buruk, tempat di mana ia pernah menyerahkan kesuciannya untuk pertama kali.
Manajer itu sudah menunggu di lobi, tubuh besar dengan wajah dingin. Ia tersenyum tipis saat melihat Alya mendekat.
“Akhirnya kamu datang juga.”
Alya menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… aku nggak mau.”
Manajer itu tertawa kecil, lalu mendekat. “Kamu pikir bisa lepas semudah itu? Kamu sudah menikmati uang dariku, Alya. Dunia ini nggak gratis. Kalau kamu nolak, aku bisa pastikan pacarmu tahu semua masa lalumu. Mau?”
Alya terisak. “Tolong… jangan libatkan dia.”
“Kalau begitu, buktikan kamu masih tahu diri.”
Tangan manajer itu meraih lengan Alya dengan kasar, menyeretnya menuju lorong kamar. Alya berusaha menahan, tapi tenaganya tak sebanding. Di lorong yang sempit dan remang, bayangan lampu membuat tubuhnya tampak semakin rapuh.
Di sisi lain kota, Aditya masih berkeliling dengan motornya. Ia mencoba menelepon Siska.
“Siska, kamu tahu Alya di mana? Dia nggak bisa dihubungi.”
Siska terdiam sejenak, lalu menjawab singkat, “Aku nggak tahu. Jangan tanya aku.”
Tapi nada suaranya goyah. Aditya menangkap itu. “Kamu sembunyikan sesuatu? Siska, tolong. Aku cemas sama dia.”
Telepon terputus. Aditya mengepalkan tangan di stang motor. “Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku, Alya?”
Di dalam kamar hotel, Alya terduduk di tepi ranjang dengan tubuh gemetar. Manajer itu berdiri di depannya, menyalakan rokok sambil menatap dengan tatapan puas.
“Kamu masih cantik, Alya. Klien sudah menunggu. Kalau kamu pintar, kamu bisa dapat lebih banyak dari dulu.”
Alya menggenggam tangannya erat-erat, kuku-kuku menancap ke kulit. Air mata jatuh, hatinya hancur.
“Apakah ini jalan hidupku? Apakah aku hanya akan jadi boneka selamanya?”
Ia ingin lari, tapi pintu terkunci dari dalam.
Di luar, Aditya tanpa sengaja melewati jalan dekat hotel itu. Hatinya gelisah, seolah ada sesuatu yang memanggil. Ia memarkir motornya, lalu menatap bangunan tua itu.
“Aneh… kenapa tempat ini terasa…?” gumamnya.
Ponselnya kembali sepi tanpa balasan dari Alya. Ia meraih kepalanya, bingung. “Apa mungkin dia…? Tidak, Alya bukan orang seperti itu.”
Tapi instingnya menolak. Sesuatu di dalam dirinya mendorong untuk masuk.
Sementara itu, di kamar, Alya berdoa dalam hati. “Tuhan, selamatkan aku. Jangan biarkan aku jatuh lagi.”
Ia mencoba berdiri, menatap manajer itu dengan mata penuh air. “Aku nggak mau lagi. Aku sudah cukup. Kalau kamu mau hancurin aku, lakukan. Tapi jangan paksa aku masuk lagi.”
Manajer mendengus, lalu mendekat. “Jangan sok suci. Kamu sudah kotor sejak pertama kali.”
Kata-kata itu menampar jiwanya lebih keras dari apapun.
Alya memejamkan mata, menahan tangis.
Di luar, langkah Aditya menaiki tangga hotel. Hatinya berdegup kencang, seperti ada kebenaran yang menunggu di balik pintu-pintu itu.
Tangannya menyentuh gagang pintu di ujung lorong. Dari dalam, samar-samar ia mendengar suara isak Alya.
Dadanya bergetar.
“Alya… jangan bilang kamu ada di sini.”
Malam itu, di balik dinding hotel tua, dua dunia bersiap untuk bertabrakan.
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h