Masuk
Langit kota malam itu seperti menyimpan rahasia yang tak pernah ingin diungkapkan. Lampu-lampu jalan berpendar kuning pucat, membentuk bayangan panjang di trotoar yang basah oleh gerimis. Suara kendaraan terus menderu, seolah menjadi saksi bisu betapa kejamnya dunia bagi mereka yang datang hanya dengan mimpi dan doa.
Alya Pramesti duduk di tepi ranjang kos kecilnya. Matanya menatap kosong pada tembok lembab yang mulai mengelupas catnya. Surat tagihan kos tergeletak di meja: dua minggu lagi ia harus melunasi biaya, atau ia akan diusir. Ditambah kabar dari desa—ibunya jatuh sakit dan butuh biaya pengobatan segera.
Hatinya seperti diremas.
Selama beberapa bulan terakhir, ia sudah mencoba mencari pekerjaan: di kafe, di toko buku, bahkan menawarkan jasa mengetik. Semua berujung penolakan. “Maaf, kamu belum punya pengalaman.” “Kamu masih terlalu polos.” Kata-kata itu menghantuinya.
Siska, teman sekos yang hidupnya lebih bebas, sudah lama memberi saran:
“Alya, kota ini nggak akan menunggu sampai kita siap. Kalau kamu mau bertahan, kadang kamu harus mengorbankan sesuatu. Kesucianmu nggak akan bisa bayar kos, ngerti?”
Alya marah saat itu, merasa sahabatnya terlalu kejam. Tapi malam ini, kata-kata itu kembali terngiang, seperti racun yang meresap perlahan ke dalam darahnya.
Di luar kamar, suara hujan makin deras. Alya menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia ingin berteriak, tapi yang keluar hanya bisikan doa lirih.
“Ya Allah… aku harus bagaimana? Kenapa jalan-Mu terasa begitu gelap untukku?”
Air mata jatuh, membasahi pipinya. Ia memeluk buku catatan puisinya—satu-satunya harta yang ia bawa dari desa. Halaman terakhir sudah penuh dengan tulisan getir: tentang kota yang dingin, tentang rindu pada ibunya, tentang rasa takut kehilangan diri sendiri.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari seorang manajer kafe malam yang sempat ia temui tempo hari:
“Kalau kamu benar-benar butuh kerja, datanglah malam ini. Tapi kamu tahu syaratnya.”
Alya menutup mata rapat-rapat. Ia tahu betul apa maksud dari “syarat” itu. Jantungnya berdegup keras, tangannya gemetar. Dunia seakan mengepungnya, memberi dua pilihan: tenggelam dalam kemiskinan, atau menyerahkan sesuatu yang paling ia jaga sejak kecil.
Dan malam itu, dengan langkah tertatih, ia memilih yang terakhir.
Kafe malam itu penuh asap rokok dan dentuman musik rendah yang menghantam dada. Lampu-lampu remang membuat semuanya tampak seperti mimpi buruk. Alya melangkah pelan, tubuhnya kaku, tatapannya tertunduk.
Seorang pria paruh baya menyambutnya di meja sudut, dengan senyum yang membuat darahnya berdesir ketakutan. Di depannya tergeletak segelas minuman berwarna merah gelap.
“Kamu cantik, lebih cantik dari yang kubayangkan,” katanya dengan nada puas.
Alya menggigit bibir. Semua syaraf dalam tubuhnya menjerit untuk lari, tapi langkahnya seakan terkunci. Ia teringat wajah ibunya yang pucat di ranjang sakit. Ia teringat surat tagihan kos yang menunggu di meja. Ia teringat mimpinya yang bisa lenyap seketika bila ia menyerah sekarang.
Dan ia pun duduk.
Pria itu mengulurkan tangan, menyentuh jemarinya. Rasanya seperti bara yang membakar kulit. Jantungnya berdebar, kepalanya berputar.
“Aku bukan Alya lagi setelah malam ini…” bisiknya dalam hati.
Malam itu berjalan lambat, seperti pisau yang menyayat perlahan. Setiap menit terasa seperti hukuman. Alya ingin menutup mata, tapi setiap detik justru menggoreskan luka yang takkan pernah hilang.
Dan ketika semuanya berakhir, ia hanya bisa menatap langit-langit kamar hotel murah itu, tubuhnya kaku, hatinya hancur. Air mata tak lagi keluar—seolah sudah habis. Yang tersisa hanya kehampaan.
Ia bangkit perlahan, meraih bajunya yang tergeletak di kursi. Tangannya gemetar saat memakainya kembali. Lalu ia melihat amplop di meja, penuh dengan lembaran uang. Harganya terlalu mahal: bukan sekadar uang, melainkan kehormatannya sendiri.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil amplop itu.
“Ma… aku sudah lakukan ini untukmu. Untuk kita… tapi kenapa rasanya aku justru kehilangan segalanya?”
Suara hatinya tenggelam dalam keheningan.
Ketika Alya keluar dari hotel itu, hujan sudah reda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu kota, seakan mengejek langkahnya yang goyah. Di setiap jejak kakinya, ada rasa malu, ada rasa hancur, ada rasa bersalah yang tak mungkin bisa dicuci oleh waktu.
Ia berjalan pulang ke kos, memeluk erat tas kecil berisi uang. Tapi dadanya sesak, seolah udara pun enggan bersahabat.
Sesampainya di kamar, ia menjatuhkan diri ke ranjang, memeluk bantal, dan menangis tanpa suara. Malam itu menjadi garis pemisah: antara Alya yang dulu, gadis desa polos penuh mimpi, dengan Alya yang baru—gadis kota yang telah kehilangan kesucian demi bertahan hidup.
Dan di dalam tangisnya, hanya satu kalimat yang berulang kali ia bisikkan:
“Aku sudah hancur… tapi aku harus tetap hidup.”
Di meja, amplop berisi uang itu masih tergeletak, menjadi saksi bisu keputusannya semalam. Alya menatapnya dengan pandangan kosong. Uang itu bisa membayar kos, bisa membantu biaya pengobatan ibunya. Namun, setiap lembar terasa seperti noda yang menempel pada jiwanya, noda yang tak akan pernah bisa dicuci.
“Apa aku masih bisa menatap wajah ibu dengan jujur?” pikirnya.
“Apa aku masih pantas menyebut diriku suci?”Dadanya sesak. Ia memeluk bantal erat-erat, berharap bisa menghapus rasa hancur itu, tapi justru semakin kuat ia memeluk, semakin dalam luka yang ia rasakan.
Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. “Alya… kamu bangun?” suara Siska terdengar dari luar.
Dengan langkah lemas, Alya membuka pintu. Siska berdiri dengan wajah cerah, rambutnya diikat tinggi, aroma parfum menyengat. Matanya langsung jatuh pada amplop di meja.
Senyum tipis melintas di wajahnya.
“Akhirnya… kamu berani juga.”
Alya terdiam, hatinya seperti ditusuk. “Siska… jangan bilang begitu. Aku merasa kotor.”
Siska masuk, duduk di ranjang, dan menepuk bahunya. “Dengar, Ly. Kota ini nggak peduli sama kesucian. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus rela. Aku tahu rasanya nggak enak, tapi nanti kamu akan terbiasa. Yang penting kamu bisa hidup.”
Air mata Alya jatuh lagi. “Tapi aku… aku nggak bisa melupakan apa yang terjadi. Aku merasa seperti mati di dalam.”
Siska menghela napas panjang, lalu menatapnya dengan mata yang entah dingin atau realistis. “Kalau kamu terus larut, kota ini akan melumatmu habis. Ingat tujuanmu ke sini. Ingat ibumu. Uang itu bisa menyelamatkan dia.”
Alya terdiam. Kata-kata Siska benar, tapi hatinya menolak. Ia ingin berteriak, ingin kembali ke desa, ingin memutar waktu. Tapi semuanya sudah terlambat.
Hari itu, Alya tetap memaksakan diri pergi ke kampus. Tubuhnya berjalan, tapi jiwanya tertinggal di malam sebelumnya.
Lorong kampus dipenuhi suara tawa mahasiswa, riuh pembicaraan, dan denting sepatu. Namun bagi Alya, semua terdengar jauh, seperti gema dalam gua kosong. Ia menunduk, menghindari tatapan orang-orang, takut ada yang bisa membaca rahasia kelam di matanya.
Di perpustakaan, ia duduk sendiri di sudut. Buku terbuka di hadapannya, tapi pikirannya melayang. Kata-kata di halaman hanya menjadi goresan hitam yang tak berarti.
“Aku harus kuat. Aku tidak boleh hancur. Semua ini demi ibu.”
Namun air mata tetap jatuh, membasahi halaman buku. Ia buru-buru menghapusnya, tapi tak sempat saat seseorang datang menghampiri.
“Maaf, kursi ini kosong?” suara berat namun lembut terdengar.
Alya mendongak. Seorang pria berdiri di hadapannya, tinggi, berwajah tegas dengan mata tajam namun penuh kehangatan. Kemeja putihnya rapi, senyum tipisnya terukir natural. Ia adalah Aditya Mahendra—mahasiswa hukum yang sering disebut-sebut karena kepintaran dan ketampanannya.
Alya tergagap. “E-e… iya, silakan.”
Aditya duduk, meletakkan buku tebal di meja. Pandangannya sempat jatuh pada wajah Alya yang sembab. “Kamu… nggak apa-apa? Kayak habis nangis.”
Alya buru-buru menunduk. “Nggak, cuma… kurang tidur.”
Aditya tidak banyak bertanya lagi, hanya tersenyum tipis dan membuka bukunya. Tapi entah kenapa, Alya merasakan sesuatu di dadanya. Ada kehangatan kecil, meski samar. Seperti cahaya redup di tengah gelap.
Namun kebahagiaan kecil itu hanya sekejap. Saat pulang ke kos, amplop itu kembali menyambutnya.
Ia menatapnya lama, lalu mengambil buku catatan puisinya. Tangannya menulis dengan gemetar:
“Malam merenggut yang suci,
meninggalkan luka di balik kulit.
Aku berjalan di kota yang asing,
membawa tubuh yang utuh,
namun jiwa yang telah retak.”Air mata menodai kertas. Alya menutup bukunya, menggenggam erat di dada.
Hari itu, ia sadar: ia tidak lagi gadis yang sama. Kota telah mengambil sesuatu darinya, dan tak akan pernah mengembalikannya.
Malam menjelang lagi. Alya berbaring sambil menatap langit-langit, berusaha memejamkan mata. Tapi setiap kali ia terlelap, bayangan malam itu kembali—tatapan dingin, sentuhan yang tak diinginkan, suara yang membuat darahnya membeku.
Ia terbangun dengan keringat dingin. Dadanya berdegup cepat. Ia menutup wajah dengan kedua tangan dan berbisik lirih:
“Tuhan… bagaimana aku harus hidup dengan semua ini?”
Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.
Dan di dalam hening itu, Alya tahu: perjalanan panjangnya baru saja dimulai.
Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”
Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras
Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid
Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.
Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa







