[Selamat pagi Istriku.]
Senyuman seketika mengembang dari bibirku membaca deretan pesan dari seseorang yang belum pernah sekalipun aku jumpa. Tapi keberadaannya selalu terasa. Membuat rindu serta debaran di dalam dada.[Selamat menjalani aktifitas. Jangan lupa makan dan mencintaiku ya. Karena merindu itu juga butuh tenaga.]Tulisnya lagi. Terkesan alai sih, tapi itulah yang membuatku bahagia. Dia mengisi ruang kosong yang tidak pernah bisa diisi oleh Mas Angga, suamiku."Ma, udah!"Panggilan Sifa menyadarkan aku dari lamunan. Cepat aku memasukan ponsel ke dalam saku celana dan segera menghampiri Sifa yang baru selesai Pup. Ah, aku jadi belum sempat membalas pesan Mas Satya kan."Belajar cebok sendiri dong dek. Jangan apa-apa mama terus," gerutuku kesal pada putri semata wayangku dengan Mas Angga yang sudah berusia enam tahun dan duduk di kelas TK B. Tapi untuk hal seperti ini, dia selalu meminta bantuanku. Nyebelin bukan?Jangan tanya pagiku seperti apa. Aku melewati pagi yang memuakkan sekali. Bertemu dengan manusia dingin seperti Mas Angga. Lelaki irit bicara, apalagi untuk peduli dengan sekitarnya. Jangan berharap. Semua beban pekerjaan rumah ia pasrahkan padaku. Begitu juga dengan mengurus Sifa. Aku semua yang melakukannya.Gadis kecilku sudah menghilang dari pandangan. Ini kesempatanku untuk membalas pesan Mas Satya. Cepat aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku baju. Mengusapnya lembut dan segera mengetik pesan balasan untuk Mas Satya. Lelaki yang baru aku kenal tiga bulan yang lalu dari sebuah media sosial.[Iya suamiku. Aku akan selalu mendoakan kamu dan selalu mencintaimu.] Aku membalas dengan hati berbunga-bunga. Tanpa sadar senyuman mengembang dari bibirku.[Sudah dulu ya. Jangan balas pesanku.] Tuliskan cepat. Seraya memperhatikan kesekeliling, takut jika tiba-tiba Mas Angga muncul.Send.Dan pesan terkirim. Hanya tanda centang yang berubah biru. Setelah itu tidak ada pesan balasan lagi.Namaku Paramita. Orang-orang biasa memanggilku dengan panggilan Mita. Tujuh tahun aku menikah dengan Mas Angga. Tiga tahun kami berpacaran. Bukan waktu yang singkat untuk kami saling mengenal satu sama lain. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku merasa bosan dengan pernikahanku dan Mas Angga. Tepatnya sejak satu tahun tahun' terakhir setelah Mas Angga naik posisi jabatan di tempatnya bekerja. Mas Angga jadi sering pulang malam dan jarang memiliki waktu untuk keluarga. Di akhir pekan pun ada saja alasannya untuk pergi keluar rumah.Teen ... Teen ...Bunyi klakson mobil Mas Angga menyadarkan aku dari lamunan panjang."Da ... Ma, Sifa berangkat dulu ya!" Sifa melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tangan Sifa. Gadis kecil itu tersenyum lebar dari kaca pintu mobil yang terbuka."Iya sayang, hati-hati di jalan ya!" balasku menatap kepergian Sifa bersama Mas Angga hingga kuda besi itu menghilang di ujung gang.Aku menghela nafas panjang. Akhirnya satu pekerjaanku tuntas juga. Aku segera masuk ke dalam rumah. Cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku yang lainnya. Karena setelah itu, aku ingin menelpon Mas Satya sebelum jam pulang sekolah Sifa. Karena kalau sudah ada Sifa di rumah, sudah pasti aku tidak bisa bermanja-manja dengan Mas Satya.____Malam semakin merangkak naik, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Belum ada tanda-tanda kedatangan Mas Angga. Aku baru saja menyelesaikan tugasku untuk menidurkan Sifa. Aku segera kembali ke kamarku, karena memang kamarku dan Sifa berbeda. Sejak Sifa masuk bangku sekolah taman kanak-kanak aku dan Mas Angga bersepakat untuk memisahkan kamar kami. Selain agar Sifa lebih mandiri juga agar aku dan Mas Angga memiliki waktu untuk bersama. Tapi nyatanya apa? Mas Angga justru sibuk dengan urusannya sendiri.Ini kesempatan yang pas untuk menghubungi Mas Satya, ide itu muncul begitu saja. Aku mengambil ponselku dan mengetik sebuah pesan pada nomor Mas Satya.[PING]Hanya pesan itu yang aku tulis. Kode untuk Mas Satya. Takut juga jika pesanku dibaca oleh istrinya. Apalagi jam segini, biasanya Mas Satya sedang berada di rumah.[Ada apa istriku sayang? Belum bobo ya?]Yes. Hatiku berbunga-bunga. Senyuman mengembang dari bibirku. Pucuk dicinta ulampun tiba. Aku bagaikan pujangga yang tengah dimabuk asmara. Mas Satya benar-benar sudah mengalihkan duniaku. Membuatku lupa jika aku adalah seorang ibu dan juga seorang istri dari lelaki lain.[Belum, Mas Angga lagi lembur.]Balasku cepat. Tidak menunggu waktu lama. Pesanku pun dibalas oleh Mas Satya.[Mau aku telepon?]Ah, tentu saja mau dong. Siapa juga yang bisa menolak tawaran seperti ini. Sedetik saja tidak mendengar suara Mas Satya, rasanya aku nyaris mati termakan rindu.[Memangnya Istri kamu kemana?]Balasku jual mahal. Sebagai seorang perempuan aku harus sedikit jual mahal.[Dia juga belum pulang kerja. Ya begitulah kamu kan tau sendiri dia itu gila kerja. Hidupnya hanya kerja dan kerja. Sampai lupa kalau punya anak dan suami.]Nasib Mas Satya memang tidak jauh beda denganku. Kami sama-sama berada di titik jenuh dan kesepian dalam pernikahan. Istri Mas Satya adalah seorang wanita karir. Yang sibuk dengan pekerjaannya.Dreet!Ponsel yang ada dalam genggaman bergetar. Menyadarkan aku dari lamunan. Panggil masuk dari Mas Satya. Aku segera menekan tombol hijau pada layar ponsel. Debaran jantungku makin menggila saat aku mendekatkan benda pintar tersebut ke telinga dan suara berat yang sexy itupun terdengar."Istriku!"Astaga, aku tidak mampu menahan senyumku yang mengembang. Luapan dari hatiku yang berbunga-bunga."Mas!" sahutku."Lagi kangen ya?" Suara berat itu menggodaku. Jantungku nyaris melompat."Ih, enggak kok!" jawabku malu-malu. Pipiku memanas, sudah pasti mirip udang rebus. Gara-gara menahan malu."Kok minta ditelepon?""Emang nggak boleh?" Lagi, aku menjawab ketus. Malu dong, kalau ketahuan rindu duluan."Boleh dong istriku." Suara lembut nan mendayu di seberang telepon meluluhkan hatiku."Mas Satya lagi apa?" tanyaku bak anak ABG yang sedang jatuh cinta."Lagi mikirin kamu," jawab Mas Satya penuh goda. Suara beratnya begitu khas di telinga."Kok mikirin aku?" aku menjawab dengan kalimat tanya."Ya mikirin, kalau saja kamu jadi istriku. Pasti hidupku indah sekali. Bisa setiap hari makan masakan kamu, pulang kerja di sambut oleh istri sebaik kamu. Anak-anak juga ada yang ngasuh."Rayuan itu bak mimpi yang membumbung tinggi. Tapi kembali lenyap dijatuhkan oleh kenyataan. Jangankan kamu, Mas, aku pun pasti akan bahagia sekali jika memiliki suami seperti kamu. Perhatian dan penuh kasih sayang."Sayang!""Iya mas.""Kita kan sudah resmi pacaran, boleh nggak aku minta sesuatu sama kamu."Keningku berkerut. Hatiku bertanya-tanya. "Minta? Minta apa Mas?""Aku kan sudah menganggap kamu seperti istriku sendiri dan kamu sudah menganggap aku seperti suamimu sendiri. Kita tukeran foto itu boleh dong," ucap Mas Angga."Aku kangen kamu, yank!" suara berat Mas Satya membuat perasaanku tidak enak.____Bersambung ...Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan. "Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu. "Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan. "Tapi aku ..." "Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung. "Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga. Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik. "Aku sudah memaafkannya," b
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang