Suara deru mesin mobil membuatku cepat-cepat mengakhiri panggilan. Tanpa berpamitan pada Mas Satya. Aku, yakin lelaki itu pasti sudah tau alasannya.
Cepat aku meringkuk di atas pembaringan. Tidak lupa menutup tubuhku dengan selimut. Pura-pura tidur sebelum Mas Angga masuk ke kamar.Aku mendengar suara derit pintu kamar terbuka. Aku tidak berani membuka mata. Hanya saja, telingaku menajam menangkap setiap suara yang terdengar. Hingga Mas Angga membaringkan tubuhnya di sampingku. Lama kelamaan aku mendengar dengkuran halus Mas Angga yang sudah tidur.Entah mengapa, udara dingin malam ini membuatku sadar jika sudah lama sekali aku dan Mas Angga tidak pernah melakukan kewajiban kami. Mengenal Mas Satya membuatku lupa untuk menuntut hakku pada Mas Angga.____Hari-hari aku lalui seperti biasanya. Menyembunyikan perselingkuhanku dengan Mas Satya dari suamiku. Aku tetap melayani kebutuhan Mas Angga juga putriku seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Menyiapkan makan, menemani Sifa belajar dan mengurus rumah tentunya.Hari itu Mas Satya menelponku. Ia merengek ingin bertemu denganku. Tentunya, jika aku mengiyakannya, ini akan jadi pertemuanku dengan Mas Satya untuk yang pertama kalinya. Tapi bagaimana dengan Sifa? Di tanah rantau ini aku tidak memiliki siapapun. Tidak mungkin juga aku membawa Sifa bertemu Mas Satya. Yang ada dia pasti akan mengadu pada Mas Angga. Tidak, itu tidak boleh terjadi."Ayolah Mit! Aku benar-benar kacau. Aku cape sama Lidya." Suara berat di seberang telepon terdengar gusar. Aku bisa merasakannya."Mas bisa cerita padaku sekarang. Aku akan mendengarkannya," bujukku. Untuk bertemu dengan Mas Satya, aku butuh banyak sekali keberanian. Karena jujur, ini adalah pertama kalinya aku berselingkuh.Terdengar suara helaan nafas kasar di seberang telepon. "Ya sudahlah, kalau kamu nggak mau." Suara Mas Satya terdengar kecewa.Tuh kan, aku jadi serba salah."Aku tutup teleponnya." Mas Satya bersuara lesu."Mas, tunggu!" Aku mencegah cepat. Aku tidak mau kekasihku itu merajuk. Sepertinya memang sudah saatnya kami bertemu secara langsung."Aku akan datang," ucapku ragu. Ada rasa takut yang diam-diam menyelinap di dalam dada."Benarkah?" Aku bisa merasakan euforia Mas Satya di seberang telepon dan tidak terasa bibirku pun mengulas senyuman."Ya Mas. Kirimkan saja alamatnya," jawabku.___"Aku sudah jemput anak kamu. Kamu pulang jam berapa?"Untung aku punya teman yang baik sekali. Dia adalah salah' satu wali murid siswa di tempat Sifa bersekolah. Sengaja' aku menitipkan Sifa pada temanku yang kebetulan tinggalnya juga satu kompleks denganku. Hanya saja berbeda RT. Agar nanti aku tidak perlu jauh-jauh untuk menjemput Sifa. Lagian putrinya dan putriku berteman baik. Pasti Sifa tidak akan rewel kalau berada di sana."Nggak lama kok, Santi. Nanti kalau urusanku sudah selesai aku akan segera pulang," jawabku senang. Kalau begitu aku bisa tenang bertemu dengan Mas Satya."Hem!" Santi berdehem di seberang telepon dan sesudah itu panggilan terputus.Taksi yang membawaku tiba di depan sebuah cafe. Setelah memastikan penampilanku sempurna dan membayar ongkos taksi, aku turun dari dalam mobil itu. Berjalan cepat masuk ke dalam cafe takut ada yang melihat apalagi mengenaliku.Pandanganku menyapu ke sekeliling. Mencari sosok yang aku cari dan ...Astaga, jantungku berdegup semakin cepat. Lelaki berkemeja biru yang duduk di sudut cafe bernuansa klasik itu menatap padaku dengan senyuman mempesona. Tangannya melambai seolah memberikan isyarat agar aku datang mendekat."Paramita!" ucapnya saat aku tiba di meja. Aku gugup bercampur senang. Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Ternyata Mas Satya jauh lebih tampan jika dilihat secara langsung. Hatiku melambung tinggi jauh ke nirwana."Mas Satya," ucapku lembut. Berbeda sekali dengan ketika aku sedang marah pada Sifa."Duduk!"Aku begitu kikuk, tidak bisa melukiskan perasaanku saat ini. Pelan aku mendaratkan tubuhku duduk pada bangku yang ada di depan Mas Satya."Istriku!"Alamak! Jantungku nyaris melompat. Mas Satya memanggilku dengan panggilan kesayangannya padaku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. Bibir tipisnya mengulas senyuman menggoda yang membuatku klepek-klepek."Kamu cantik banget," ucap Mas Satya penuh goda. Aku pun tersenyum malu-malu. Pujian yang sudah jarang sekali aku denger dari Mas Angga. Bahkan bisa di bilang sudah tidak pernah."Baru kali ini aku melihat wanita secantik kamu, Mit!" Lagi Mas Satya memuji. Aku semakin tersipu malu. Pipiku rasanya memanas.Awalnya aku sangat malu-malu di depan Mas Satya. Apalagi ini adalah pertemuan pertama kami. Aku sangat menjaga image, jangan sampai melakukan hal yang membuat Mas Satya ilfil. Tapi lama kelamaan kami semakin akrab. Dia adalah laki-laki yang pandai sekali mencairkan suasana. Begitu humble, sama seperti saat pertama kali aku mengenalnya di sebuah media sosial."Memang ada masalah apa, Mas?" tanyaku Pada Mas Satya. Karena tujuan awalku menemuinya adalah untuk mendengarkan keluh kesahnya yang tidak bisa ia sampaikan lewat telepon.Mas Satya menegakkan tubuhnya. Menghela nafas panjang. Senyuman yang semula menghiasi bibirnya, mendadak sirna. Candaan yang terlontar beberapa saat lalu berubah keheningan."Aku sudah lelah dengan pernikahanku dan Lidya, Mit." Ada lelah yang menghiasi netra Mas Satya. "Dia sama sekali tidak menghargaiku sebagai suaminya." Lanjutnya. Aku diam dan menyimak. Membiarkan Mas Satya memainkan jemari lentikku yang ada dalam genggamannya. Begitu romantis, bukan? Sekalipun dia sedang menceritakan tentang istrinya."Dia pergi sesuka hatinya bersama teman-temannya. Liburan, jalan-jalan. Alasannya klise, mempromosikan toko rotinya. Kerja, kerja, kerja. Tapi nyatanya?" Mas Satya membuang nafas berat. Wajahnya frustasi."Aku muak dengan alasan-alasan itu, Mit." Mas Satya menatapku lekat. "Dan sekarang anak semata wayang kami akan di kirim ke kampung untuk diurus ibunya." Wajah Mas Satya berubah sedih. Aku tau jika lelaki itu sangat menyayangi putranya. Beberapa kali Mas Satya pernah bercerita tentang putranya yang bernama Aska itu."Pasti agar dia bisa semakin bebas keluyuran seperti anak ABG." Mas Angga mendengus lelah."Memangnya sudah tidak bisa dibicarakan baik-baik Mas?" Aku mencoba bersikap bijak. Padahal rumah tanggaku saja tidak kalah rumitnya. Hidup bersama lelaki dingin yang membuatku muak.Mas Satya menggelengkan kepalanya. Menatap sedih' padaku. Ia menggenggam semakin erat tanganku."Mit, harusnya aku menikahi kamu. Aku ingin memiliki istri seperti kamu, Mit."Aku tercengang. Tidak tau harus merespon apa. Yang dikatakan Mas Satya adalah sesuatu hal yang mustahil sekali untukku dan untuknya. Karena kami saling memiliki pasangan.Aku tersenyum paksa. Tapi entah kenapa hatiku senang mendengarnya. "Itu tidak mungkin Mas. Kita sama-sama saling terikat pernikahan," jawabku rasional. Karena memang kenyataannya seperti itu.Ada kecewa terlukis dari wajah Mas Satya. "Tapi kamu mencintaiku, kan?" ucapnya seolah menegaskan perasaanku padanya.Aku mengangguk. Karena pada kenyataannya Mas Satya mampu membuatku bahagia. Hingga perlahan aku melupakan Mas Angga."Aku ingin hidup bersama kamu, Mit. Punya istri seperti kamu." Mas Satya menatap penuh harap padaku.Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Ternyata aku sudah lama sekali berada di cafe itu. Aku dan Mas Satya memutuskan berpisah dan berjanji besok akan bertemu lagi. Kami sama-sama pulang dengan hati berbunga-bunga. Layaknya pasangan yang sedang jatuh cinta. Mas Satya sempat berniat untuk mengantarkan aku pulang. Tapi aku menolak. Aku tidak mau mengambil resiko.Grab yang mengantarkan aku tiba di depan rumah pukul setengah empat sore. Masih ada waktu untuk menjemput Sifa sebelum Mas Angga pulang. Itupun kalau dia tidak lembur.Aku menuju rumah, rencananya untuk berganti pakaian yang lebih santai agar Santi tidak curiga, apalagi banyak tanya. Baru saja tanganku hendak menyentuh gagang pintu, pintu yang ada di depanku terbuka."Mas Angga!" Aku memekik terkejut. Kedua matanya membulat sempurna melihat sosok yang muncul dari balik pintu."Dari mana? Di mana Sifa?"Persendianku mendadak lemah. Detak jantungku berpacu menggila. Bagaimana bisa Mas Angga ada di rumah?____Bersambung ....Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan. "Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu. "Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan. "Tapi aku ..." "Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung. "Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga. Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik. "Aku sudah memaafkannya," b
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang