"Mana kunci mobilku?!" tanya Danang sembari memasukkan ponsel, parfum ke dalam tasnya. Perlengkapan untuk pesta makan malam di bawah langit berbintang sudah ia siapkan dalam godie bag. Sebuah rencana dan hidup yang sempurna. Megan yang ditanya diam saja, pura-pura tidur. Dia sudah melempar kunci itu ke belakang. Entah dimana jatuhnya, dia tidak mau tahu. "Dimana kunci mobilku?!" Suara Danang makin meninggi. "Aku tidak tahu, Mas. Cari saja di mana kamu biasa simpan." "Aku selalu simpan di sini. Kamu jangan bodohi aku, Megan. Dimana kunci mobilku?!" Danang membuka selimut yang menutupi tubuh Megan. "Bangun! Kamu pasti yang sembunyikan kunci mobilku?!" "Apaan sih?!" Megan menepis tangan suaminya. Danang langsung menarik lengan Megan hingga jatuh wanita itu ke lantai. "Aaaaakh!!!!" Megan merasakan perutnya terasa menghentak. "Sakit, Mas!" "Dimana kunci mobilku?!" "Berhenti menemui wanita itu! Sejak kamu bersamanya, kamu menjadi orang yang tidak kukenali!"
Bu Sartini yang sedang di gudang kain langsung terkesiap. Ia takut salah dengar dengan sebutan itu. Hanya Megan yang memanggilnya dengan sebutan itu. "Telingaku makin kehilangan kemampuannya," lirih Bu Sartini sendirian. "Nyaiiii ...." Bu Sartini menoleh dan langsung mundur, menjatuhkan roll kain yang sedang berdiri di dekatnya. Belum bisa keluar kalimat dari mulutnya, Megan langsung menyungkur di depan kaki Bu Sartini. "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya! Saya salah, Nyai. Saya siap dihukum meskipun hukuman mati!" Megan terisak-isak. Bu Sartini menjauhkan kakinya. "Kamu kenapa, Megan? Heeei! Bangun! Bangun!" Megan bersujud. "Saya salah, Nyai. Saya salah sudah merebut kebahagiaan Nyonya. Saya memang babu! Benar. Saya hanya alas kaki kalian!" Bu Sartini terus memperhatikan. Megan mengangkat kepalanya. "Hei! Kamu kenapa?! Jangan bicara yang aneh-aneh!" "Saya salah, Nyai. Saya salah!" Megan terisak-isak hebat. "Apa suamimu tahu, kamu ke sini?" tanya Bu Sartin
Safira keluar dari mobil sembari memijit-mijit tengkuknya. "Assalamu'alaikum, Ibuk!" "Waalaikumsalam." "Tumben di luar? Nungguin aku?" "Iya. Ada yang mau Ibu bicarakan, Fir." "Soal jemput anak-anak? Aku sudah telpon mereka tadi. Katanya besok pulang ke sini. Masih betah mereka. Tahulah mbahnya suka manjain mereka, turutin semua mau mereka. Kadang gak kira-kira," sungut Safira terus melangkah. Bu Sartini menangkap tangan putrinya itu. "Fir!" Safira menoleh ke belakang, merasa heran. "Aku serius. Ada hal penting yang ibumu ini mau bicarakan." Safira sempurna membalikkan tubuhnya menghadap Bu Sartini. "Segitu pentingnya sampai gak bisa ngomong di dalam, Buk?" Tatapan mata Bu Sartini mengatakan iya. "Di dalam ada Megan." "Apa?!" Kedua bola mata Safira membelalak lebar. Kalimat yang barusan dia dengar itu seperti membawa trauma untuk dirinya. "Untuk apa dia di sini?!!! Apa lagi yang dia mau rebut dariku?!" Safira tegang. Nada bicaranya pun meninggi.
"Maafkan saya, Nyonya. Maafkan saya." Makin keras isak tangis Megan. Ia bingung mau memproduksi kalimat yang pantas untuk Safira. Megan hanya terus terisak sembari bersujud. Bu Sartini mendekatinya lalu mengangkat bahu wanita itu. "Bangunlah. Kasihan bayi di perutmu, kamu bawa nangis terus," lirih Bu Sartini berusaha bijak. "Tak ada gunanya kamu minta maaf sekarang, Megan. Kamu begini karena suamimu sudah mengkhianatimu kan? Aku sudah tahu. Tempo hari dia bersama seorang wanita kaya. Pria itu memang suka wanita kaya. Seharusnya kamu merasa hebat lo, bisa merebutnya dariku hanya dengan modal lemah lembut dan ready 24 jam." "Nyonya ...," lirih Megan menyiapkan dirinya menerima semua cercaan Safira yang lebih menyayat hati. Dia merasakan yang sekarang baru permulaan. "Setelah mengetahui suamimu selingkuh dan memilih wanita kaya, kamu bisa ngamuk juga, ya, rupanya? Seharusnya kamu tetap lemah lembut dan legowo. Kan itu jargon andalanmu sehingga aku begitu terlihat kasar. Se
Seorang laki-laki bule tinggi dengan otot-otot terlatih keluar dari mobil hitam itu. Sorot matanya tajam menatap ke arah Danang yang sudah lebih dulu keluar. Danang sedang mendekat untuk meminta kedua mobil itu menyingkir namun dia langsung bergeming saat melihat pria bule itu. "Jangan biarkan dia mendekat, tapi seret dia kemari," desis Gerald menyalakan rokoknya. Empat anak buahnya langsung berjalan cepat mendekati Danang. Sekarang Danang sadar, ini bukan peristiwa kebetulan tapi dia memang sedang diincar! Pria itu berbalik, berlari menuju mobilnya berada. "Mereka penjahat! Kita harus segera pergi dari sini!" teriak Danang meloncat masuk ke dalam mobilnya. Jantungnya berdebar hebat. Ia yakin, itu perampok. "Dimana kuncinya?!" teriak Danang menatap pada Ambar. Dia sangat panik. Namun wanita yang bersamanya itu terlihat santai saja menatap layar ponselnya. Dia diam, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Danang tak percaya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Belum sempa
Danang meraung meresapi penyesalannya. Ia ingin segera menemui Megan. Dengan susah payah dia berdiri, membawa kursi kayu yang terikat dengannya. Namun baru saja beberapa saat berdiri, kakinya terasa seperti ditusuk belati. "Aaakhhhhhh!" Tiba-tiba pintu terbuka. Byuuuurr! Seember air es mengguyur utuh ke seluruh tubuh Danang. Perih dingin terasa menyengat kulitnya. "Berisik!" Danang enggap-engapan. "Tolong, Bang. Lepaskan saya. Saya harus menemui istri saya, Bang!" "Selama tidak ada perintah dari bos, mana bisa kami lepaskan." Pintu ditutup. "Megan ...!" teriak Danang dengan penyesalan memenuhi seluruh hatinya. "Maafkan aku, Safira. Maafkan aku Megan," lirih Danang menggigil. Sekarang dia menyadari bahwa semua bencana yang dialaminya saat ini adalah bermula karena dia. Andai dia mensyukuri apa yang dia miliki, tentu dia tidak akan mencari nikmat lain yang membuatnya kehilangan nikmat sebelumnya. "Rio ... Amira ...." Wajah kedua putra putrinya bergela
FLASH BACK! "Nyonya! Nyonya!" "Kamu kenapa, Mi?!" "Megan sakit perutnya. Ada darah bercampur air yang keluar dari selangkangannya, Nyonya!" seru Mimi dengan wajah panik. "Astaghfirullah! Dimana dia?" "Masih di luar. Beberapa meter dari sini." "Ooh ya, Allah! Cepat kembali, temani dia, Mimi!" Anggukan kepala Mimi terlihat tegang. Ia kembali berlari keluar. Bu Sartini segera masuk rumah menggedor kamar Safira. "Fir! Fira!" Safira diam saja, malas menimpali ibunya. Pipinya masih basah. Luka hatinya dibuat kembali terbuka. Jika bertemu Danang, ia merasa dendam tapi bertemu Megan, seperti berlipat-lipat perasaan sakit hatinya. Safira mengabaikan panggilan ibunya, justru makin memeluk diri sendiri di dalam selimut tebal. Kedua telinganya ditutup rekat-rekat. "Safira! Megan mau melahirkan! Dia sedang kesakitan di pinggir jalan itu, Fir!" Seketika kedua bola mata Safira terbuka. Perlahan tangannya turun dari telinganya. "Fir, jika kamu dendam pada Megan, tak apa-a
"Mama?" Tanpa ragu, Safira langsung memeluk Bu Andin. Pak Rahmat mengelus-elus kepala Safira sembari menahan air matanya agar tidak jatuh. Dia sangat prihatin atas kehancuran rumah tangga putranya. "Meskipun kamu bukan lagi menantu kami, kamu tetap anak kami, Fir," ujar Pak Rahmat. "Kamu jangan khawatir. Kami yang akan membayar biaya persalinannya. Karena itu sudah jadi tanggung jawab kami," ujar Pak Rahmat bijak. "Kalian pasti tahu, ini bukan soal harga," ujar Safira mengusap air matanya. "Sabar, ya, Fir. Tadi kami sudah cari Danang ke rumah, tapi dia gak ada," ujar Bu Andin. "Kemana ya, dia?" desis Safira melihat layar ponselnya yang tak bosan menelpon dan mengirim pesan. Tiba-tiba terlihat salah satu tim medis mengabarkan bahwa bayi sudah berhasil dikeluarkan dan berjenis kelamin laki-laki, sekarang sedang di ruang NICU. "Kenapa dibawa ke NICU?" tanya Bu Sartini sedangkan Bu Andin setengah tidak peduli. "Bayinya sakit, Bu. Bayinya kuning, Bu." "Ma-maaf,
"Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf
"Jangan sampai kamu menyakiti Megan, ya Hasan. Bisa kusunat kamu dua kali," celetuk Bu Sartini yanh disambut riuh tawa. Megan mengusap air matanya. Ia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berubah setelah melakukan tindakan yang buruk. Setiap orang memang memiliki kesempatan itu dan tidak ada yang lebih baik daripada usaha untuk terus memperbaiki diri. Dua minggu kemudian, barulah Safira datang menjenguk Danang. "Maaf, Mas. Aku baru datang sekarang." "Kamu sibuk acara nikahan kali," ketus Danang. "Iya. Megan menikah dan aku sedikit membantunya dengan kebaya buatanku. Lucunya, malah sekarang dicari-cari orang model seperti yang dia pakai." Danang membatu saat mendengar penuturan Safira yang begitu ringan. "Megan menikah, Fir?" "Iya. Dia gak mau rujuk sama kamu, padahal aku sudah sarankan. Yaa wajar juga sih, kamunya jahat." "Ya Allah, Fir. Kok gak ada yang kabari aku?" "Ya ...." Safira mengendikkan bahunya, pertanda kebingungan mau menanggapi apa.
"Ambil ini. Ini hakmu karena pernah menjadi istrinya Mas Danang. Jika sudah mantap dengan pilihanmu, menikahlah. Ridhoku menyertaimu." "Nyonya ...." Deras air mata Megan sembari memeluk betis Safira. "Bangunlah," ujar Safira menyentuh bahu Megan dengan lembut. Perlahan ia mengangkat tubuh Megan agar berdiri. "Nyonya ...." Megan tidak bisa berkata-kata lagi. "Aku tidak tahu, definisi memaafkan itu seperti apa, Megan. Tapi aku berusaha ikhlas dengan takdir yang telah terjadi dalam kehidupanku. Rumah tanggaku hancur. Aku kehilangan suami dan anak-anakku harus menyaksikan perpisahan kami. Aku sudah ikhlas. Tak pantas aku sebagai makhluk, masih bertanya mengapa terjadi. Aku akan berusaha terus untuk menjalaninya dan pasrah pada alur hidupku." "Maafkan saya, Nyonya. Maaf," lirih Megan berkali-kali. "Aku berusaha melupakan keburukanmu padaku itu semata-mata bukan karenamu. Tapi untuk diriku sendiri. Kalau terus kusimpan dendam ini, justru akan terus menggerogotiku, Megan.
Sorenya, tiba-tiba penjaga penjara datang menjemput Danang kembali. Danang cukup terkejut sebab kloter pertama, Safira sudah datang. Dan dua hari yang lalu, orang tuanya sudah datang. Apa sekarang Megan? "Siapa, Pak?" "Nanti tahu sendiri." Danang sangat terkejut ketika dia duduk, di hadapannya, di balik jeruji besi putih itu ada wajah David yang sedang tersenyum padanya. "Bagaimana kabarnya Pak Danang?" "Tak perlu resmi lagi. Panggil saja Danang. Tidak terlalu penting juga kamu bertanya kabar pada seorang narapidana." David mencoba tetap mempertahankan wajah tenang. Ia mengetuk-ngetuk pelan keramik yang menjadi meja penghubung. "Maaf, jika kedatanganku ini membuatmu tidak nyaman. Meskipun kita bukan teman dekat sebelumnya, kuharap mulai sekarang kita bisa jadi teman." "Katakan apa niatmu?" "Kenapa kau begitu ketus padaku?" tanya David dengan nada dingin. Danang membuang wajahnya. Tidak perlu ada alasan untuk tidak menyukai orang lain. "Apa karena aku dekat denga