Share

Part 3. Jangan Menyentuhku

Wajah Raihan sedikit lega mendengar kalimat Naomi barusan. Setidaknya usahanya membujuk istrinya itu menemukan titik terang, meski ia sendiri belum tahu apa syarat yang Naomi ajukan. 

"Katakan saja, Na. Aku akan berusaha memenuhi syarat itu." 

Helaan napas panjang kembali membuat dada Naomi bergerak naik-turun. sesak dadanya kini semakin bertambah seiring ungkapan Raihan tentang Sena. 

"Aku akan tetap di sini asalkan kau membawa perempuan itu untuk meminta restu kedua orang tuamu."

Rayhan terperanjat demi mendengar kalimat Naomi barusan. 

"Kau gil*! Bisa-bisa Mama akan mati kejang karena hal itu." Raihan terlihat kesal. Syarat yang Naomi ajukan rasanya begitu berat. 

"Lantas, kau ingin aku yang mati berdiri karena penghianatanmu?" Kali ini Naomi menatap berani wajah suaminya itu. Entah ke mana hilangnga rasa hormat yang selama ini selalu ia tampakkan. 

Raihan terdiam sejenak. Bagaimanapun Naomi benar. Ia tak mungkin menggantung perempuan itu dengan tanpa kejelasan. 

"Aku mohon, Na, tolong beri syarat yang lain. Aku tak mungkin menikahi Sena terang-terangan selama Mama masih berada di pihakmu." Raihan terdengar putus asa. 

Naomi membuang muka. Ia merasa semakin muak pada laki-laki di hadapannya itu. Dengan entengnya laki-laki yang masih bergelar suaminya itu menjadikannya tameng demi mencapai kepuasan tanpa peduli luka hatinya yang kini menganga. 

Cukup lama Naomi hanya diam. Ia berusaha mencari cara agar Raihan menyesal atas perlakuan tak berhati laki-lakibitu terhadapnya. 

"Baiklah, aku akan tetap tinggal di sini dengan syarat; pertama, kau harus menikahi perempuan itu bagaimanapun caranya l. Kedua, kau tidak boleh menyentuhku selagi aku tidak mengizinkan! Ketiga, jangan pernah menampakan kemesraan kalian di depan mataku." Naomi berucap tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Ia sengaja tidak meminta Raihan untuk mentalaknya karena tak mungkin mereka berpisah tapi masih tinggal bersama. 

Bukan tanpa alasan Naomi meminta Raihan untuk menikahi perempuan itu. Ia tak ingin di rumah ini ada manusia pemuja nafsu tanpa terikat sebuah pernikahan. Melihat Riahan menikah lagi jauh lebih baik baginya daripada harus membuat Mama Maya menderita karena perpisahan mereka. Toh, cintanya pada laki-laki itu pun kini terasa begitu hambar, bahkan terkalahkan dengan rasa muak yang luar biasa. 

Raihan menghela nafas dalam. Ia merasa lega mendengar syarat dari Naomi barusan. Tak apa ia tak bisa menyentuh istri pertamanya itu, asal ia bisa menikahi Sena meski secara diam-diam. 

"Terima kasih atas pengertianmu," ucap Raihan tanpa beban. Ia merasa syarat yang Naomi ajukan tidak terlalu berat, bahkan memudahkannya untuk dapat memiliki Sena seutuhnya. 

Naomi memalingkan wajahnya. Sakit diri luka pengkhianatan Raihan semakin terasa setelah melihat sikap acuh Raihan terhadapnya. 

"Jangan senang dulu, aku bisa saja pergi kapanpun dari kehidupanmu jika kau ingkar pada syarat yang telah kuajukan. Aku bertahan tak akan lama, aku hanya ingin membuat Mama menerima kehilanganku tanpa harus terluka."

Ya, ia hanya butuh waktu sampai Mama mertuanya itu bisa memaklumi kepergiannya tanpa harus bersedih atau lebih dari itu. Semua ia lakukan sebagai balas budi pada perempuan dermawan yang dengan ikhlas membiayai kuliahnya dulu.

"Akan kuusahakan semampuku. Baiklah, aku mandi dulu."

Raihan berlalu meninggalkan Naomi yang masih mematung di atas kursi meja rias, tanpa peduli ada luka yang baru saja ia gores di hati perempuan itu. 

***

Siang berlalu sejak beberapa jam yang lalu. Sejak selesai salat Isya tadi Naomi tak beranjak dari atas sajadahnya, hingga detik ini jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah 8 malam. Bibir tipisnya lirih merapalkan asma-Nya. Demi menciptakan damai di relung sana. 

Raihan beberapa kali kembali ke kamar hanya untuk memastikan jika sang istri sudah selesai dengan munajatnya. Hingga kali ketiga barulah Raihan mendapati Naomi tengah melipat mukenanya. 

Ada rasa bersalah di hati laki-laki itu. Ia sadar perubahan sikap Naomi sejak sore tadi. Laki-laki itu memilih duduk di bibir ranjang. Menunggu istrinya itu selesai menaruh mukenanya. 

Kali ini ada yang berbeda. Naomi menggantikan mukena yang tadi ia gunakan dengan kerudung instan. Ia beranjak setelah menutup pintu lemarinya, berjalan keluar kamar tanpa peduli pada Raihan yang kini menunggu untuk disapa seperti biasa. 

"Apa kau melewatkan sesuatu?" Raihan memberanikan diri untuk bertanya. Sayangnya Naomi seolah tak mendengar suara laki-laki itu. 

Tak ada lagi gurat luka di wajah cantik perempuan itu. Seolah tak terjadi apa-apa dalam rumah tangganya. Namun ada yang berbeda, Naomi seolah menganggap Raihan tak ada. Ya, perempuan itu menganggap suaminya itu telah mati, persisnya nuraninya-lah yang telah mati. 

Dengan langkah gontai Naomi berjalan melewati Raihan yang memandangnya dengan penuh tanya. 

Ya, biasanya selepas salat Naomi akan menjulurkan tangannya lalu mencium takzim punggung tangan sang suami seraya meminta maaf atas segala khilaf yang pernah ia perbuat. Sayangnya mulai hari ini sepertinya Raihan harus melupakan kebiasaan baik yang selalu mereka lewatkan bersama itu. 

Raihan mematung di tempat. Wajahnya menampakan gurat kecewa. Beberapa saat setelahnya ia menyusul Naomi ke dapur. Tampak perempuan cantik dengan mengenakan piyama lengan panjangnya tengah makan di meja makan. 

Laki-laki itu kembali mematung di tempat dengan jarak beberapa meter dari sang istri. Ini adalah kali pertamanya Naomi makan sendiri tanpa mempedulikannya sama sekali. 

Perut yang mulai merasakan lapar memaksa Raihan untuk ikut duduk di meja makan tepat di depan Naomi. Laki-laki itu mengambil piring yang sudah tersaji di atas meja dengan mata terus memandang ke arah sang istri. Raihan merasakan ada sesuatu yang hilang Dari Dirinya. 

"Kau sama sekali tak mengajakku untuk makan?" Raihan kembali bertanya. Ia benar-benar heran dengan sikap Naomi saat ini. 

Naomi masih saja diam. Ia sibuk menghabiskan makan malam di piringnya. 

"Tolong jawab aku, Na?" Raihan terlihat kesal karena tak kunjung menemukan jawaban atas setiap pertanyaannya. 

Mendengar suara Raihan yang mulai meninggi akhirnya Naomi mengangkat wajah, menatap tenang laki-laki di hadapannya. 

"Makan saja bila kau lapar, tak perlu aku yang harus membujukmu!" Kalimat itu terdengar begitu dingin, sangat dingin. 

Raihan kehilangan sosok lembut dan perhatian itu, kini hanya tersisa sosok dingin yang tengah memendam luka dalam di hatinya. 

Masih jelas di ingatannya sikap hangat Naomi setiap harinya. Dan kini tampak jauh berbeda. Tak ada lagi deretan pertanyaan sebagai bentuk perhatian yang keluar dari bibir sang istri. Bibir tipis itu seolah enggan untuk bergerak kecuali untuk makan. 

Raihan akhirnya makan dengan perasaan tak menentu. Ia kecewa, kecewa dengan sikap acuh Naomi terhadapnya. 

Baru beberapa suapan Raihan makan, Naomi beranjak dari kursinya karena telah selesai makan. Meninggalkan Raihan sendiri tanpa sepatah kata pun, hingga membuat laki-laki itu untuk beberapa saat menatap kepergiannya dengan penuh tanda tanya. 

Dengan tanpa berselera Raihan memaksa untuk menghabiskan makanannya. Lalu menyusul Naomi ke kamar. Di sana Naomi sudah berbaring di posisinya biasa. Raihan pun melakukan hal serupa. Berbaring di samping Naomi. 

Tanpa sepatah kata pun perempuan itu bangkit dari tempat tidurnya. Mengambil ponsel di atas nakas kemudian berlalu ke luar. 

Lagi dan lagi, Raihan dibuat tercengang karena sikap sang istri. 

"Kau mau ke mana?" tanya Raihan sambil berdecak kesal. 

"Aku akan tidur di kamar tamu!" 

"Apa sebenci itu kau terhadapku?" Raihan bertanya seolah dirinyalah yang tersakiti.

Nomi yang mulai melangkah ke luar seketika menghentikan langkahnya. Berbalik menatap Raihan yang masih berbaring di tempat tidur dan menatap tajam ke arahnya. 

"Apa menurutmu hati perempuan akan baik-baik saja setelah mendapati suaminya mencintai wanita lain untuk ke sekian kalinya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status