Share

Part 2. Aku Tak Lemah

Naomi segera melajukan kendaraan roda empat milikku kembali ke rumah. Keinginan awalnya untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka pupus sudah. Tak ada lagi harapan keluarga utuh di hatinya yang tersisa setelah melihat ulah Raihan di belakangnya. 

Tangan kirinya meremas kuat kemeja bagian dada, berusaha menghalau luka lama yang kini kembali bernanah. Sedangkan bibir tipis berlipstik nude itu beberapa kali merapal istighfar, berharap hatinya bisa sedikit lebih tenang. 

Dua bulan lalu ia masih bisa memaafkan kesalahan fatal Raihan, namun kali ini rasanya terlalu bod*h jika ia kembali memaafkan laki-laki itu. 

Naomi berpikir keras bagaimana caranya agar Mama Maya baik-baik saja dan merelakan kepergiannya. Sayangnya sekeras apa ia berpikir tentang hal itu ia tetap tak menemukan jawabannya. 

Beberapa kali perempuan itu terlihat menarik napas dalam sembari masih berusaha konsentrasi menyetir. Ia berharap gemuruh di dadanya perlahan berkurang. Cinta di hatinya pada laki-laki itu sangat kuat, sayangnya, kini rasa muak dan benci seolah mengalahkan segalanya. 

Diraihnya ponsel miliknya lalu membuka aplikasi hijau. Menekan fitur voice note pada sisi kanan ponselnya. 

"Maaf, Kak, kuenya aku batalin, ya, tapi duitnya tetep aku transfer nanti."

Naomi meletakkan ponselnya di pangkuannya dan kembali fokus menyetir. Sepuluh menit setelahnya mobil Naomi memasuki parkiran rumah mereka. Bergegas ia masuk rumah, lalu segera menuju kamarnya untuk mandi. Ia ingin memikirkan jalan ke depannya dengan kepala dingin agar tak ada hati yang tersakiti selain hati pengkhianat yang kini masih bergelar suaminya. 

Usai mandi, Naomi berwudhu dan melakukan shalat sunat 2 rakaat. Nasihat sang ayah yang berdasarkan firman Tuhan itu selalu ia ingat hingga saat ini. 

"Ketika amarahmu sedang meninggi atau kau sedang berada dalam ujian hidup berbentuk apa pun, berwudhulah! Shalat sunat dua rakaat. Dengan begitu kau akan merasa lebih tenang, Nak."  

Naomi tersenyum tipis dengan air mata menetes di pipi saat mengingat kembali waktu di mana laki-laki terbaiknya itu tengah berpesan hal itu padanya. Tangan keriput sang ayah mengusap lembut kepalanya persis saat dirinya masih usia anak-anak dulu. 

Ia menyudahi ritual ibadahnya dengan salam. Lalu melanjutkan ratusan istigfar dengan lelehan bulir bening di pipinya. Kali ini ia bukan menangisi Raihan, melainkan menyesali sikap keras kepalanya saat menerima lamaran Raihan dulu meski sang ayah sudah mengutarakan rasa keberatannya. 

Masih ingat jelas di kepalanya bagaimana sang ayah akhirnya melemah dan mengikhlaskan anak satu-satunya itu untuk menikah dengan laki-laki tampan yang menurut penilaian sang ayah kurang bertanggung jawab. Dan kini semuanya terbukti, Raihan sama sekali tak menganggap ikatan pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan harus dijaga dengan sepenuh hati. Laki-laki itu seolah lupa bagaimana sulitnya dulu ia memperjuangkan restu ayah Naomi. 

Ditengadahkannya kedua tangan dengan air mata terus mengalir. Air mata sesal yang kini terus bersesakan ke luar. 

Khusyuk ia lantunkan doa dan harapan, harapan untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidupnya serta orang-orang terkasihnya. Melabuhkan pinta agar diberi jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang kini terasa begitu memberatkan pundaknya. 

Naomi mengakhiri pintanya ketika pintu kamar terdengar diketuk. Ia bangkit dengan masih menggunakan mukena ungu berenda benang warna emas bagian ujungnya. 

Cepat Naomi menghapus air matanya. Berusaha menghilangkan jejak luka yang masih tersisa. Ia berjalan menuju arah pintu kamar. Dalam satu kali putaran pada gagangnya pintu itu pun terbuka, menampakkan wajah tampan dengan cambang tipis milik Raihan. 

Wajah laki-laki itu terlihat tegang seiring degub jantung mulai tak berimbang. 

"Duduk!" perintah Naomi saat melihat Raihan hanya mematung di sisi ranjang. Laki-laki itu tak menolak, ia duduk di bibir ranjang menghadap pada sang istri. 

Naomi memilih duduk di kursi depan meja rias menghadap Raihan masih dengan mengenakan mukena. Berharap hatinya lebih tenang dengan busana ibadah yang masih melekat di tubuhnya. 

"Maafkan Abang!" Raihan berucap lirih. Wajah tampan dengan hidung mancung itu terlihat sendu. 

Naomi bergeming dengan tatapan menyapu lantai di bawah kakinya. Ia seolah memberi waktu bagi laki-laki dengan kemeja putih itu menuntaskan drama sesalnya kali ini. 

"Abang tau Abang salah. Kau bisa menghukumku dengan cara apa pun, asalkan aku bisa mendapatkan kata maaf darimu." 

Naomi masih diam, tanpa berniat menyela ataupun sekedar bertanya. 

"Na! Tolong hiraukan Abang!" Rayhan menyentuh pelan pundak sang istri. 

Perlahan Naomi mengangkat wajahnya. Menatap lurus kedua mata sang suami. 

"Abang masih mencintaiku?" tanya Naomi dengan lembut. Berusaha ia tekan emosi di dada yang memintanya untuk memaki laki-laki di hadapannya itu dengan kata-kata paling kasar.  

"Abang masih mencintaimu, Na. Bahkan sangat-sangat mencintaimu." Raihan berusaha menjawab dengan menghiba, berharap sang istri kembali memaafkan pengkhianatannya. 

"Apa pelayananku kurang terhadap Abang?" Naomi kembali bertanya. 

"Tidak, Na." Dengan ragu Raihan menjawab. 

"Apa aku pernah tak setia saat tak bersama Abang?" Kejar Naomi. Ia ingin memuaskan hatinya demi mengetahui kekurangannya dalam melayani sang suami. 

"Tidak, Na. Abang mohon maafkan Abang!" Raihan semakin gusar karena Naomi sama sekali tak menggubris setiap kalimat permohonan darinya. 

"Apa aku pernah berbuat tak baik terhadap Mama?" Lagi, Naomi bertanya tentang sikapnya selama ini. 

"Tidak, Na. Kedua orang tuaku bahkan begitu menyayangimu." Raihan merasa semakin terpojok. 

Naomi menyunggingkan senyum. Ia sendiri merasa dirinya sudah berusaha sebisa mungkin untuk melaksanakan tugasnya sebagai istri dengan baik. Meski pekerjaan rumah ia serahkan pada Bik Inah, asisten rumah tangga mereka karena dirinya yang berkarir di luar. 

"Lantas, apa daya tarik pada perempuan itu yang tidak aku milik?" Naomi merasakan detak jantungnya semakin meningkat. Bayangan Raihan berhubungan har*m dengan perempuan itu membuat emosinya kembali tersulut. 

Raihan tertunduk. Untuk berkata jujur ia khawatir Naomi akan semakin marah dan berakibat fatal bagi semuanya, terlebih mamanya. 

"Abang dengar pertanyaan terakhirku?" Naomi berucap tegas dengan gigi-giginya yang merapat karena kesal. 

Raihan mengangkat wajahnya, menampakkan wajah memelasnya. Ia sadar emosi Naomi semakin meninggi sekarang. 

"Sudahlah, Na, lupakan saja. Kau lebih segalanya dari dia." Raihan berusaha membujuk. 

"Jawab! Atau Abang akan menyesal!" ancam Naomi. Suara perempuan itu terdengar semakin lembut, tapi terdengar menghujam jantung di telinga Raihan. 

"Baiklah jika kau memaksa. Satu hal yang perlu kau tahu, Sena lebih hangat dan lebih menggairahkan darimu."

Mendengar kejujuran Raihan, Naomi merasa tubuhnya terbang ke awan, sedetik kemudian terhempas dengan kasar ke dasar jurang. Sakit, sangat sakit. 

Sekuat tenaga ia tahan amarah yang ingin meledak. Wanita cantik berkulit putih mulus itu berulang kali menarik napas dalam dan mengembusnya ke luar.

"Apa kau telah melakukan hubungan har*m dengan perempuan itu?" Kali ini suara Naomi terdengar tegas. Hatinya semakin kuat seiring rasa cinta yang semakin tergerus oleh pengkhianatan. 

Raihan tercekat. Pertanyaan serta sebutan Naomi terhadapnya membuat laki-laki itu susah payah menelan ludah. Ini kali pertamanya Naomi menyebutnya dengan kata 'kau'.

"Aku—aku …," Kalimat Raihan terputus ketika dengan cepat Naomi menyambarnya. 

"Tanpa kau jawab pun aku sudah paham." Naomi berucap dengan hati kembali tersayat. 

Wajah laki-laki itu berubah pucat pasi. Seberani apa pun dirinya di luaran sana tetap saja kali ini ia merasa kalah telak. Sikap tegas Naomi mampu membuatnya tak berkutik. 

"Lepaskan aku!" lirih Naoimi berucap, sangat lirih. Sekuat apa ia berusaha tegar tetap saja hatinya tak mampu berbohong jika ia tengah berada di titik lemah. 

Raihan bangkit. Berusaha meraih tubuh dalam balutan mukena itu ke dalam pelukannya. 

"Jangan menyentuhku!" Kalimat Naomi mampu menghentikan gerakan tangan Raihan. 

"Aku tak akan pernah melepaskanmu! Karena aku mencintaimu." Raihan berucap lirih. 

Naomi menggeleng pelan. Sudut bibirnya terangkat menyunggingkan senyum sinis. 

"Sejak kapan cinta berkhianat?" Sekilas diliriknya laki-laki yang baru saja mengatakan cinta padanya, kemudian membuang muka. 

"Kumohon, Na. Aku butuh pelayanan yang hangat dan menggairahkan. Kau tak sehangat Sena, tapi aku pun tak mungkin menceraikanmu karena orang tuaku." Akhirnya kalimat itu lolos dari bibir Raihan, membuat hati Naomi semakin meringis. 

Naomi meremas kuat mukena dalam genggamannya, hingga terasa sakit di telapak tangannya karena kuku-kukunya yang sedikit memanjang terasa menusuk kulit. 

"Lantas apa yang kau inginkan dariku sekarang?" Naomi tertunduk dalam. Pengakuan Raihan barusan membuatnya merasa menjadi perempuan paling hina. Ia sadar sekarang, jika ego-nya saat meminta restu pada sang ayah dulu membuahkan hasil. Ya, ini adalah hasil dari sikap keras kepalanya dahulu. 

"Maafkan aku, Na. Tetaplah di sini kumohon. Demi Mama." Raihan berucap seolah tanpa nurani. 

Naomi bergeming. Entah dari mana datangnya keinginan untuk membuat laki-laki itu merasakan betapa perihnya luka yang telah ia goreskan dihatinya. 

"Aku akan tetap tinggal di sini jika kau bersedia memenuhi syarat dariku!" Ia berusaha tegar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status