"Kenapa kau tak bisa bersikap sebiasa mungkin saat aku di rumah? Bukankah aku masih sah berstatus suamimu?"
Mendengar jawaban Raihan spontan emosi Naomi terpancing. Tajam kedua matanya menatap Raihan. Seolah tak ada rasa sungkan sedikitpun. "Sudah kukatakan, jangan memaksaku merubah keputusan secepatnya! Apa kau mau aku mengatakannya pada Mama sekarang, kemudian penyakit jantung Mama akan kumat dan masuk rumah sakit?" Naomi berucap dengan rahang mengeras. Raihan bungkam. Tak ada lagi kata penyangga yang berhasil keluar dari bibirnya. "Maafkan Abang, Na." Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Raihan. Setelahnya ia hanya bisa melepas kepergian Naomi dengan tatapan serba salah.*** Bukan Naomi namanya jika tak bisa profesional bekerja. Di kantor ia terlihat seolah tak memiliki masalah apa pun. Di mata pegawai lainnya Naomi bekerja sebagaimana biasa. Namun, tidak dengan Nabila, sahabat dekat Naomi itu tahu jika Naomi sedang tidak baik-baik saja saat melihat perempuan itu diam dengan tatapan kosong, sedang satu tangannya terlihat masuk ke dalam jilbabnya. "Kamu punya masalah?" tanya Nabila saat jam istirahat siang. "Nggak pa-pa kok, Bil. Mau langsung ke pantry?" Naomi balik bertanya. Tangannya ia sibukkan untuk merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. "Jangan membohongiku, Na. Kau tak akan memelintir rambutmu dengan tatapan kosong jika kau tak sedang punya masalah." Nabila duduk tepat di depan Naomi, tatap lekat wajah cantik sahabatnya itu dengan tangan bertumpu di dagu. Ya, itulah kebiasaan Naomi yang sangat Nabila kenal. Saat ada masalah sahabatnya itu akan menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk memelintir sejumput rambut hitam pekatnya."Raihan berulah lagi?" sambung Nabila. "Sssttt ... jangan bahas di sini, Bil. Yuk, makan di luar." Naomi tak melanjutkan beres-beresnya. Ia malah menarik tangan Nabila lalu berjalan ke luar. "Pelan-pelan, Na," protes Nabila. Ia kewalahan mengikuti langkah cepat Naomi menuju parkiran. Keduanya masuk ke dalam mobil Naomi. Beberapa saat Naomi hanya diam di kursi belakang kemudi. Ia menarik nafas panjang lalu menghembusnya ke luar. "Raihan ketahuan selingkuh lagi, Bil." Naomi memulai kalimatnya. Perempuan berkacamata dengan tubuh tinggi itulah Naomi biasa berbagi kisah, hanya pada Nabila. Naomi merasa Nabila menjadi tempat ternyaman untuk berkeluh-kesah setelah Tuhan-nya. "Lalu kau memaafkannya lagi?" tanya Nabila dengan nada kesal. Naomi bergeming. Beberapa saat ia memejamkan mata. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana, di satu sisi ia muak pada laki-laki itu, namun di sisi lain orang tua Raihan ia anggap malaikat penolong baginya. Jika saja Mama Maya baik-baik saja, mungkin bukan ini jalan yang akan ditempuh. Sayangnya dengan penyakit jantung yang diderita Mama Maya, Naomi tak bisa asal dalam mengambil langkah. Ia tak ingin ego sesaatnya membuatnya menyesal di kemudian hari. "Aku tak tahu harus berbuat apa, Bil. Jalan satu-satunya adalah meminta Raihan menikahi perempuan itu. Aku tak ingin hubungan haram mereka berdampak buruk bagi kehidupanku." Naomi berucap dengan dengan nada lirih, tatapan matanya menatap lurus ke depan sana. "Kau serius, Na? Lalu bagaimana dengan hatimu?" Nabila terdengar menghela nafas kasar. Ikut merasakan sakit yang tengah Naomi rasakan. "Rasa itu semakin memudar, Bil. Aku melakukan ini karena tak ingin terjadi sesuatu pada Mama, Bil. Khawatir penyakit Mama akan kumat jika tahu ulah anak bungsunya itu." "Tapi tak seharusnya kamu mengorbankan kebahagiaanmu sendiri, Na." Nabila seolah tak terima. "Tenang saja, Bil, ini tak akan lama kok. Aku hanya butuh waktu untuk membuat Mama mengerti tanpa harus membuat penyakitnya kambuh." "Bagaimana jika semua itu membutuhkan waktu yang lama?" Nabila mengandai-andai. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Naomi. Perempuan dengan alis hitam pekat itu hanya terlihat menghela nafas panjang. Jauh di relung sana, Naomi berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski Ia pun tak tahu kapan waktu itu akan tiba, waktu di mana Mama Maya akan mengikhlaskannya pergi dari kehidupan Raihan. "Entahlah, Bil. Aku akan mencobanya terlebih dahulu. Selebihnya aku hanya bisa meyakini, apa pun yang terjadi ke depannya itu yang terbaik untukku. Dan mungkin untuk semua." Nabila menatap iba pada perempuan di sampingnya itu. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa selain mendukung langkah sahabatnya itu. "Aku salut padamu, Na. Kau terlihat begitu tegar. Aku tahu pengkhianatan yang Raihan lakukan pasti sangat menyakitkan, tapi kau sanggup untuk tetap tinggal dan berusaha bersikap setenang ini." "Aku berhutang budi pada perempuan baik itu, Bil. Ah, sudahlah, aku tak ingin terlalu memikirkan hal itu lagi. Sekarang, aku hanya perlu menjalaninya sesuai rencanaku saja." "Rencana? Rencana apa, Na?" Nabila menautkan alis."Aku ingin membuat Bang Raihan merasakan bagaimana rasanya tak dihargai, bagaimana rasanya dikhianati, bagaimana rasanya tak dianggap." Wajah Naomi tampak sendu. Tak naif, hati perempuan itu masih terlalu perih hingga detik ini. "Apa kau sedang menyiasati untuk balas dendam, Na?" tanya Nabila berusaha menebak isi kepala sahabatnya itu. "Tidak, aku hanya ingin mengajarinya bagaimana menghargai sesuatu yang ia miliki." "Lalu apa yang akan kau lakukan?" Nabila masih belum sepenuhnya mengerti. "Kau akan tahu sendiri, Bil. Sudahlah, lupakan saja apa yang barusan kuceritakan. Jangan ikut terbebani. Aku tak ingin akhirnya kau akan takut menikah." Naomi terkekeh. "Aku hanya berharap laki-laki model Raihan adalah model langka di dunia ini, supaya aku tak bertemu dengan laki-laki seperti dia. Percuma ganteng, kaya, tapi kelakuannya makan hati." Nabila ngedumel sambil membenarkan letak kaca mata miliknya. Naomi terkekeh mendengar kalimat Nabila barusan. "Kau salah, Bil. Justru yang model seperti Raihan sekarang banyak bertebaran. Saranku, urusan jodoh, pertama kau harus istikharah, kedua, jangan pernah memaksa jika orang tuamu tak memberi restu. Aku bukan sedang menggurui, aku hanya tak ingin kau mengikuti jejak ku." Nasehat yang baru saja Naomi ucapkan adalah nasihat yang sama persis dengan yang Ayahnya sampaikan padanya kala itu. Sayangnya, perempuan keras kepala itu terlalu percaya pada dirinya sendiri."Sudahlah, yuk, berangkat sekarang." Naomi melirik sekilas pada sahabatnya itu. Melajukan kendaraan roda empat miliknya menuju jalan raya menuju rumah makan Pagi Sore, rumah makan yang menyajikan makanan khas padang yang berjarak 5 menit berkendara dari kantor mereka.Naomi baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya, ketika seseorang pria mendekat kemeja di mana dia dan Nabila menikmati makan siang mereka."Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya."Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya. Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. "Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim punggung tangan saudara sepupunya itu. "Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. "Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. "Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. "Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. "Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami bi
Raihan mematung di tempat. Saat ini tak ada yang bisa dirinya lakukan selain bersabar, bersabar atas perubahan sikap Naomi terhadapnya. Naomi melanjutkan langkahnya lalu meletakkan tas miliknya di rak khusus, lalu mendekat ke arah lemari, mengambil beberapa potong pakaian dari dalamnya kemudian berlalu ke kamar mandi tanpa mempedulikan Raihan yang masih menatapnya dengan tatapan sendu. Raihan duduk di sisi ranjang dengan kedua tangan menangkup di wajahnya. Kepalanya penuh sesak dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di hadapannya. Di dalam kamar mandi, Naomi sengaja menyalakan kran air meski di dalam bak mandi air sudah hampir penuh. Beberapa saat Naomi hanya mematung di depan cermin lebar dekat wastafel. Ditatapnya pantulan wajah cantik miliknya dengan perasaan luka bercampur kecewa. "Apa aku terlalu buruk untuk bisa mendapatkan cinta yang tulus dari laki-laki bergelar suami?" gumam Naomi pelan. Sesak di dadanya semakin menggumpal seiring mata yang mulai menghangat. K
Sejujurnya Raihan tak merasa itu tuduhan karena ia sendiri telah melanggat aturan agamanya itu dengan penuh kesadaran. Naomi beranjak meninggalkan Raihan yang kini hanya membatu di tempat semula. Berada dalam satu kamar bersama laki-laki itu pun seolah menjadi luka baginya, hingga sedapat mungkin ia menghindarinya. ***Matahari Kian menguning, pertanda malam semakin dekat. Raihan melajukan kendaraannya menyusuri Jalan perkotaan menuju pinggiran kota. Di sampingnya Sena dengan dandanan berlebihannya tersenyum puas karena Raihan baru saja membelikannya tas mahal impiannya sejak lama. "Kita akan ke mana?" tanya Sena dengan nada manjanya. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ada yang harus kita bahas secepatnya." Raihan mencium lembut jemari Sena yang sejak tadi ia genggam dengan tangan kirinya. Ah, terlihat begitu romantis. "Apa ada kejutan kedua yang tengah menungguku?" Rona bahagia memancar dari wajah berpipi chubby itu. "Begitulah," jawab Raihan dengan senyum termanisnya. Kein
Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kemb
Naomi kembali meraih ponsel miliknya. Mengetik pesan yang kali ini ia tujukan untuk Faiq. Raihan harus segera diberi pelajaran, dan Naomi membutuhkan bantuan Faiq untuk melakukannya. [Abang punya waktu malam ini?] Tak lama setelah terkirim, pesan Naomi langsung berbalas. [Katakan saja ingin bertemu di mana? Mumpung Abang dinas pagi.]Sudut bibir Naomi terangkat, menampilkan senyum manis. [Temui Naomi di Cafe Lentera habis isya. Naomi pengen cerita.] Naomi kembali menyimpan ponselnya setelah Faiq menyetujui permintaannya. Adzan isya berkumandang. Bergegas Naomi branjak dengan mukena yang masih menempel di tubuhnya, lalu melaksanakan salat isya sebelum akhirnya bersiap untuk bertemu Faiq. Faiq, laki-laki yang menjadi teman masa kecilnya, laki-laki yang selalu bisa memahami sikap keras kepalanya, serta laki-laki yang selalu membuatnya nyaman. Ya, rasa nyaman persis seorang adik terhadap kakaknya. Tak ada rasa lebih pada laki-laki itu selain rasa nyaman karena diperlakukan dengan
Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
"Apa kau memintaku untuk membuat Raihan cemburu?" tebak Faiq dengan dada kembali berdesir. "Mungkin bisa dibilang begitu. Aku ingin Raihan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Seperti apa perihnya tak dihargai." Naomi berucap getir. Sekuat apa pun ia abaikan rasa sakit itu, tetap saja perihnya masih pekat terasa. "Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan?" Faiq bertanya dengan alis bertaut. Ia tak yakin rencana Naomi akan berjalan dengan mulus. "Apa abang meragukanku?" Naomi balik bertanya dengan sudut bibir terangkat. "Abang khawatir semua akan semakin berantakan. Dan akan memberi kesan buruk untukmu." Faiq menatap sendu wajah Naomi. Ia berharap kali ini Naomi bisa berpikir lebih panjang lagi sebelum melangkah agar tak ada sesal di akhir nanti. "Apakah kekhawatiran Abang tentang mertuaku?" tanya Naomi seolah paham kekhawatiran Faiq. Bibirnya menyungging senyum tipis. "Di antaranya. Abang khawatir mereka akan menganggapmu perempuan tak baik." Faiq berucap hati-hati, k
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa membicarakan ini di rumah, karena khawatir dengan kesehatan Mama." Naomi berucap jujur. Beberapa saat laki-laki dengan postur tubuh kurus tinggi itu terdiam. Naomi benar, jika dibicarakan di rumah, terlalu berisiko bagi kesehatan istrinya. "Raihan lagi," suara Pak Beni terdengar berat."Iya, Pa." Pak Beni kembali diam dengan tangan mengepal. Ulah anak bungsunya itu membuat emosi laki-laki itu terpancing. "Papa sudah menduganya," ucap Pak Beni dengan mulai kesal. "Maksud Papa?" "Papa sempat memergokinya tiga hari lalu." Naomi merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk daging lembut di rongga dadanya. Sakit, sangat sakit. Ternyata Raihan sama sekali tak menghargainya setelah sikap dinginnya akhir-akhir ini pada laki-laki itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Aku memintanya menikahi selingkuhannya itu." Naomi berucap hati-hati, namun terdengar tegas, membuat Papa mertuanya itu tersentak. "Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan, Na?" Pa