Share

Part 4. Cara Menghargai

"Kenapa kau tak bisa bersikap sebiasa mungkin saat aku di rumah? Bukankah aku masih sah berstatus suamimu?"

Mendengar jawaban Raihan spontan emosi Naomi terpancing. Tajam kedua matanya menatap Raihan. Seolah tak ada rasa sungkan sedikitpun.

"Sudah kukatakan, jangan memaksaku merubah keputusan secepatnya! Apa kau mau aku mengatakannya pada Mama sekarang, kemudian penyakit jantung Mama akan kumat dan masuk rumah sakit?" Naomi berucap dengan rahang mengeras.

Raihan bungkam. Tak ada lagi kata penyangga yang berhasil keluar dari bibirnya.

"Maafkan Abang, Na." Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Raihan. Setelahnya ia hanya bisa melepas kepergian Naomi dengan tatapan serba salah.

***

Bukan Naomi namanya jika tak bisa profesional bekerja. Di kantor ia terlihat seolah tak memiliki masalah apa pun. Di mata pegawai lainnya Naomi bekerja sebagaimana biasa. Namun, tidak dengan Nabila, sahabat dekat Naomi itu tahu jika Naomi sedang tidak baik-baik saja saat melihat perempuan itu diam dengan tatapan kosong, sedang satu tangannya terlihat masuk ke dalam jilbabnya.

"Kamu punya masalah?" tanya Nabila saat jam istirahat siang.

"Nggak pa-pa kok, Bil. Mau langsung ke pantry?" Naomi balik bertanya. Tangannya ia sibukkan untuk merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

"Jangan membohongiku, Na. Kau tak akan memelintir rambutmu dengan tatapan kosong jika kau tak sedang punya masalah." Nabila duduk tepat di depan Naomi, tatap lekat wajah cantik sahabatnya itu dengan tangan bertumpu di dagu.

Ya, itulah kebiasaan Naomi yang sangat Nabila kenal. Saat ada masalah sahabatnya itu akan menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk memelintir sejumput rambut hitam pekatnya.

"Raihan berulah lagi?" sambung Nabila.

"Sssttt ... jangan bahas di sini, Bil. Yuk, makan di luar." Naomi tak melanjutkan beres-beresnya. Ia malah menarik tangan Nabila lalu berjalan ke luar.

"Pelan-pelan, Na," protes Nabila. Ia kewalahan mengikuti langkah cepat Naomi menuju parkiran.

Keduanya masuk ke dalam mobil Naomi. Beberapa saat Naomi hanya diam di kursi belakang kemudi. Ia menarik nafas panjang lalu menghembusnya ke luar.

"Raihan ketahuan selingkuh lagi, Bil." Naomi memulai kalimatnya. Perempuan berkacamata dengan tubuh tinggi itulah Naomi biasa berbagi kisah, hanya pada Nabila. Naomi merasa Nabila menjadi tempat ternyaman untuk berkeluh-kesah setelah Tuhan-nya.

"Lalu kau memaafkannya lagi?" tanya Nabila dengan nada kesal.

Naomi bergeming. Beberapa saat ia memejamkan mata. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana, di satu sisi ia muak pada laki-laki itu, namun di sisi lain orang tua Raihan ia anggap malaikat penolong baginya.

Jika saja Mama Maya baik-baik saja, mungkin bukan ini jalan yang akan ditempuh. Sayangnya dengan penyakit jantung yang diderita Mama Maya, Naomi tak bisa asal dalam mengambil langkah. Ia tak ingin ego sesaatnya membuatnya menyesal di kemudian hari.

"Aku tak tahu harus berbuat apa, Bil. Jalan satu-satunya adalah meminta Raihan menikahi perempuan itu. Aku tak ingin hubungan haram mereka berdampak buruk bagi kehidupanku." Naomi berucap dengan dengan nada lirih, tatapan matanya menatap lurus ke depan sana.

"Kau serius, Na? Lalu bagaimana dengan hatimu?" Nabila terdengar menghela nafas kasar. Ikut merasakan sakit yang tengah Naomi rasakan.

"Rasa itu semakin memudar, Bil. Aku melakukan ini karena tak ingin terjadi sesuatu pada Mama, Bil. Khawatir penyakit Mama akan kumat jika tahu ulah anak bungsunya itu."

"Tapi tak seharusnya kamu mengorbankan kebahagiaanmu sendiri, Na." Nabila seolah tak terima.

"Tenang saja, Bil, ini tak akan lama kok. Aku hanya butuh waktu untuk membuat Mama mengerti tanpa harus membuat penyakitnya kambuh."

"Bagaimana jika semua itu membutuhkan waktu yang lama?" Nabila mengandai-andai.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir Naomi. Perempuan dengan alis hitam pekat itu hanya terlihat menghela nafas panjang. Jauh di relung sana, Naomi berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski Ia pun tak tahu kapan waktu itu akan tiba, waktu di mana Mama Maya akan mengikhlaskannya pergi dari kehidupan Raihan.

"Entahlah, Bil. Aku akan mencobanya terlebih dahulu. Selebihnya aku hanya bisa meyakini, apa pun yang terjadi ke depannya itu yang terbaik untukku. Dan mungkin untuk semua."

Nabila menatap iba pada perempuan di sampingnya itu. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa selain mendukung langkah sahabatnya itu.

"Aku salut padamu, Na. Kau terlihat begitu tegar. Aku tahu pengkhianatan yang Raihan lakukan pasti sangat menyakitkan, tapi kau sanggup untuk tetap tinggal dan berusaha bersikap setenang ini."

"Aku berhutang budi pada perempuan baik itu, Bil. Ah, sudahlah, aku tak ingin terlalu memikirkan hal itu lagi. Sekarang, aku hanya perlu menjalaninya sesuai rencanaku saja."

"Rencana? Rencana apa, Na?" Nabila menautkan alis.

"Aku ingin membuat Bang Raihan merasakan bagaimana rasanya tak dihargai, bagaimana rasanya dikhianati, bagaimana rasanya tak dianggap." Wajah Naomi tampak sendu. Tak naif, hati perempuan itu masih terlalu perih hingga detik ini.

"Apa kau sedang menyiasati untuk balas dendam, Na?" tanya Nabila berusaha menebak isi kepala sahabatnya itu.

"Tidak, aku hanya ingin mengajarinya bagaimana menghargai sesuatu yang ia miliki."

"Lalu apa yang akan kau lakukan?" Nabila masih belum sepenuhnya mengerti.

"Kau akan tahu sendiri, Bil. Sudahlah, lupakan saja apa yang barusan kuceritakan. Jangan ikut terbebani. Aku tak ingin akhirnya kau akan takut menikah." Naomi terkekeh.

"Aku hanya berharap laki-laki model Raihan adalah model langka di dunia ini, supaya aku tak bertemu dengan laki-laki seperti dia. Percuma ganteng, kaya, tapi kelakuannya makan hati." Nabila ngedumel sambil membenarkan letak kaca mata miliknya.

Naomi terkekeh mendengar kalimat Nabila barusan.

"Kau salah, Bil. Justru yang model seperti Raihan sekarang banyak bertebaran. Saranku, urusan jodoh, pertama kau harus istikharah, kedua, jangan pernah memaksa jika orang tuamu tak memberi restu. Aku bukan sedang menggurui, aku hanya tak ingin kau mengikuti jejak ku."

Nasehat yang baru saja Naomi ucapkan adalah nasihat yang sama persis dengan yang Ayahnya sampaikan padanya kala itu. Sayangnya, perempuan keras kepala itu terlalu percaya pada dirinya sendiri.

"Sudahlah, yuk, berangkat sekarang." Naomi melirik sekilas pada sahabatnya itu. Melajukan kendaraan roda empat miliknya menuju jalan raya menuju rumah makan Pagi Sore, rumah makan yang menyajikan makanan khas padang yang berjarak 5 menit berkendara dari kantor mereka.

Naomi baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya, ketika seseorang pria mendekat kemeja di mana dia dan Nabila menikmati makan siang mereka.

"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
syamsinar 70
istri ajaib ...
goodnovel comment avatar
Arumni Arumni
Ya, semua harus di lakukan dengan fikiran yang tenang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status