Sejujurnya Raihan tak merasa itu tuduhan karena ia sendiri telah melanggat aturan agamanya itu dengan penuh kesadaran.
Naomi beranjak meninggalkan Raihan yang kini hanya membatu di tempat semula. Berada dalam satu kamar bersama laki-laki itu pun seolah menjadi luka baginya, hingga sedapat mungkin ia menghindarinya. ***Matahari Kian menguning, pertanda malam semakin dekat. Raihan melajukan kendaraannya menyusuri Jalan perkotaan menuju pinggiran kota. Di sampingnya Sena dengan dandanan berlebihannya tersenyum puas karena Raihan baru saja membelikannya tas mahal impiannya sejak lama. "Kita akan ke mana?" tanya Sena dengan nada manjanya. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Ada yang harus kita bahas secepatnya." Raihan mencium lembut jemari Sena yang sejak tadi ia genggam dengan tangan kirinya. Ah, terlihat begitu romantis. "Apa ada kejutan kedua yang tengah menungguku?" Rona bahagia memancar dari wajah berpipi chubby itu. "Begitulah," jawab Raihan dengan senyum termanisnya. Keinginannya untuk memiliki Sena secara utuh membuatnya tanpa pikir panjang untuk menyakiti hati Naomi—perempuan cantik yang sudah setahun ini mendampinginya. Beberapa menit setelahnya mobil yang mereka tumpangi sampai di sebuah pantai. Deretan pohon pinus menyambut kedatangan mereka di kanan kiri jalan. Tampak suasana pantai yang mereka kunjungi lengang sore ini, terlebih Raihan sengaja memilih pantai yang tidak terlalu ramai pengunjung agar ia leluasa menyampaikan tujuannya membawa Sena ke tempat ini. Tanpa menunggu lama keduanya turun dari mobil menuju sebuah gazebo yang berhadapan langsung dengan bibir pantai setelah selesai membayar biaya sewanya. "Pengen pesan makanan?" tanya Raihan pada gadis pujaannya itu. Dan tanpa pikir panjang Sena mengiyakan lalu memesan beberapa jenis makanan yang dijual di beberapa warung dan gerobak di pinggir pantai tak jauh dari mereka berhenti. Perempuan itu menikmati ujung senja yang menenangkan. Sedangkan Raihan beranjak untuk memesan makanan yang tadi Sena pinta, setelahnya kembali menemui gadis itu. Senja semakin beranjak, matahari kian menguning hingga terlihat tampak kemerahan di ufuk barat. Raihan dengan lembut menggenggam jemari Sena lalu membawa ke pangkuannya. Wajah laki-laki itu seketika berubah serius. Berapa saat ia terdiam, berusaha memilih kata yang tepat untuk memulai kalimatnya. "Ada yang ingin Abang bicarakan denganmu," ucap Raihan seraya jelas wajah berambut pirang di sampingnya itu. Sena yang tengah mengedar pandangannya pada riak gelombang yang menghantam bibir pantai kini beralih menatap wajah serius Raihan. "Kok, kelihatan tegang?" Sena terkekeh. Alisnya bertaut saat menatap wajah laki-laki yang memiliki hubungan spesial dengannya 2 bulan terakhir itu. Rehan menghela nafas panjang, lalu tersenyum lembut pada perempuan itu. "Apa kamu sudah siap menikah denganku?" Pertanyaan Raihan barusan mampu membuat Sena tersentak. Ia tak menyangka laki-laki berumur 10 tahun di atasnya itu menanyakan masalah itu. Selama ini Sena tak pernah serius dengan hubungannya dan Raihan. "Apa aku tak salah dengar?" Sena berusaha meyakinkan apa yang baru saja ia dengar. Raihan tak langsung menjawab, laki-laki itu terlihat memutar posisi duduknya menghadap Sena. Membingkai wajah perempuan dengan mata mengenakan lensa kotak berwarna hitam keabu-abuan itu dengan manis. "Iya, Sen, Aku ingin segera menikah denganmu. Aku tak ingin catatan dosa kita bertambah lebih panjang lagi." Raihan berucap dengan nada Sendu. Seburuk apa pun dirinya, ia tetap paham batasan dalam aturan agamanya, meski pada kenyataannya batasan itu dengan mudah ia langgar. Perlahan Sena melepas tangan Raihan yang membingkai wajahnya. Sikap hangat yang yang ia tunjukkan sejak awal bertemu seketika berubah dingin. "Maaf, aku belum bisa sekarang. Aku tak ingin kuliahku gagal gara-gara menikah." Sena beralasan. Wajah perempuan itu tampak gugup. "Kau bisa melanjutkan kuliahmu seperti biasa, Sen. Kalau kau belum menginginkan anak kita bisa menundanya." Raihan berusaha membujuk. Menikahi Sena adalah keinginannya serta syarat dari Naomi agar perempuan itu tetap tinggal bersamanya. Sena masih menampakkan wajah kebingungan. Tak tahu harus menjawab apa karena memang dirinya hanya menganggap Raihan sebagai ATM berjalan. "Tunggulah sampai aku selesai kuliah, Bang. Setelah itu baru kita bicarakan lagi rencana pernikahan kita." Sena berusaha mencari alasan untuk mengulur waktu. "Apa yang membuat kamu keberatan menikah denganku sekarang, Sen? Bukankah kita bisa menikah diam-diam dulu jika kau merasa tak nyaman, setelah kau selesai kuliah barulah kita mengadakan resepsinya. Dan aku bisa memenuhi semua kebutuhan lahir dan batinmu tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti ini. Aku janji, aku tak akan memaksamu untuk melayani makan minumku karena aku bisa membayar pembantu untuk semuanya. Aku hanya butuh kau menikah denganku, melayani kebutuhanku saat aku menginginkannya saja, persis seperti sekarang." Raihan terus membujuk. Perempuan itu berdiam beberapa saat. Berusaha mencari alasan agar Raihan bisa memahaminya. "Aku benar-benar tak bisa menikah secepat ini. Tolong mengerti, beri aku waktu sampai selesai kuliah." Sena penampakan wajah memelasnya. Raihan berpikir sejenak, kemudian kembali bersuara. "Baiklah, akan aku coba meminta Naomi mengerti," ucap Raihan akhirnya dengan wajah kecewa. Ia masih tak habis pikir mengapa Sena bersikeras menolak untuk ia ajak menikah. Perempuan itu terlihat menghela nafas panjang. Dadanya sedikit lega setelah Raihan mengiyakan permohonannya, permohonan untuk menunda waktu pernikahan mereka, meski Ia pun tak tahu dengan alasan apa selanjutnya ia menolak permintaan yang sama dari orang yang sama. Senja semakin pekat bahkan langit sebelah timur sana semakin gelap. Tanpa mereka sadari seorang laki-laki yang tengah duduk di kursi kayu tepat di bibir pantai tak jauh dari tempat mereka berada sejak tadi memperhatikan keduanya. Laki-laki itu beranjak setelah adzan maghrib mengalun merdu dari mushola kecil di sebelah kanan mereka.Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kemb
Naomi kembali meraih ponsel miliknya. Mengetik pesan yang kali ini ia tujukan untuk Faiq. Raihan harus segera diberi pelajaran, dan Naomi membutuhkan bantuan Faiq untuk melakukannya. [Abang punya waktu malam ini?] Tak lama setelah terkirim, pesan Naomi langsung berbalas. [Katakan saja ingin bertemu di mana? Mumpung Abang dinas pagi.]Sudut bibir Naomi terangkat, menampilkan senyum manis. [Temui Naomi di Cafe Lentera habis isya. Naomi pengen cerita.] Naomi kembali menyimpan ponselnya setelah Faiq menyetujui permintaannya. Adzan isya berkumandang. Bergegas Naomi branjak dengan mukena yang masih menempel di tubuhnya, lalu melaksanakan salat isya sebelum akhirnya bersiap untuk bertemu Faiq. Faiq, laki-laki yang menjadi teman masa kecilnya, laki-laki yang selalu bisa memahami sikap keras kepalanya, serta laki-laki yang selalu membuatnya nyaman. Ya, rasa nyaman persis seorang adik terhadap kakaknya. Tak ada rasa lebih pada laki-laki itu selain rasa nyaman karena diperlakukan dengan
Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
"Apa kau memintaku untuk membuat Raihan cemburu?" tebak Faiq dengan dada kembali berdesir. "Mungkin bisa dibilang begitu. Aku ingin Raihan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Seperti apa perihnya tak dihargai." Naomi berucap getir. Sekuat apa pun ia abaikan rasa sakit itu, tetap saja perihnya masih pekat terasa. "Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan?" Faiq bertanya dengan alis bertaut. Ia tak yakin rencana Naomi akan berjalan dengan mulus. "Apa abang meragukanku?" Naomi balik bertanya dengan sudut bibir terangkat. "Abang khawatir semua akan semakin berantakan. Dan akan memberi kesan buruk untukmu." Faiq menatap sendu wajah Naomi. Ia berharap kali ini Naomi bisa berpikir lebih panjang lagi sebelum melangkah agar tak ada sesal di akhir nanti. "Apakah kekhawatiran Abang tentang mertuaku?" tanya Naomi seolah paham kekhawatiran Faiq. Bibirnya menyungging senyum tipis. "Di antaranya. Abang khawatir mereka akan menganggapmu perempuan tak baik." Faiq berucap hati-hati, k
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa membicarakan ini di rumah, karena khawatir dengan kesehatan Mama." Naomi berucap jujur. Beberapa saat laki-laki dengan postur tubuh kurus tinggi itu terdiam. Naomi benar, jika dibicarakan di rumah, terlalu berisiko bagi kesehatan istrinya. "Raihan lagi," suara Pak Beni terdengar berat."Iya, Pa." Pak Beni kembali diam dengan tangan mengepal. Ulah anak bungsunya itu membuat emosi laki-laki itu terpancing. "Papa sudah menduganya," ucap Pak Beni dengan mulai kesal. "Maksud Papa?" "Papa sempat memergokinya tiga hari lalu." Naomi merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk daging lembut di rongga dadanya. Sakit, sangat sakit. Ternyata Raihan sama sekali tak menghargainya setelah sikap dinginnya akhir-akhir ini pada laki-laki itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Aku memintanya menikahi selingkuhannya itu." Naomi berucap hati-hati, namun terdengar tegas, membuat Papa mertuanya itu tersentak. "Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan, Na?" Pa
Kali ini Naomi memberanikan diri menatap lekat wajah Papa mertuanya itu. Biasanya Naomi akan langsung menunduk saat tatapan mereka bertemu, Karena rasa segan. Tapi tidak untuk kali ini, Naomi seolah menantang tatapan laki-laki paruh baya itu dengan berani. "Apa alasan Papa tidak mengizinkanku melakukannya?" tanya Naomi dengan berani namun tetap santun. "Papa hanya ingin mendengar jawabanmu," jawab Pak Beni, laki-laki itu tak ingin Naomi salah paham. Dengan satu kali helaan nafas panjang, Naomi memantapkan hatinya. Sesaat kemudian matanya terpejam, lalu berucap. "Aku akan pergi dari keluarga kalian secepatnya sejauh yang kumampu, tanpa merasa terbebani dengan keadaan Mama." Pak Beni menelan udah Getir. Laki-laki itu sangat paham bagaimana sikap tegas Naomi. Pastinya ia tak ingin keadaan lebih kacau lagi."Lakukan saja apa yang menurutmu tepat. Lagi pula Papa sudah kehabisan cara untuk membuat Raihan sadar." Pak Beni berucap dengan nada putus asa. Pasalnya, pada saat Raihan berselin
"Apa kau tak rindu Abang?" Kali ini Raihan bertanya sambil mencium leher jenjang milik Naomi yang tertutup jilbab. Sesaat Naomi merasakan hasrat wanita dewasanya terpancing hingga beberapa detik ia terdiam. Namun itu tak berlangsung lama, secepat kilat ia kembali berontak hingga Raihan merasa kewalahan karenanya. Dengan sekuat tenaga Naomi mendorong tubuh Raihan menjauhinya, bahkan kedua kakinya turut andil menerjang tubuh laki-laki itu hingga Raihan terjungkal ke lantai. Raihan merasakan area dadanya terasa nyeri karena hentakan keras dari kaki Naomi. Perlahan laki-laki itu bangkit. Mendapat penolakan dari Naomi membuat hasratnya semakin meninggi. "Apa kau tak merasa berdosa karena telah menolak ajakan suamimu?" Raihan perlahan kembali mendekat. Naomi menatap nanar wajah laki-laki yang kini sukses membuatnya semakin muak. "Jangan bicara dosa jika kau sendiri yang menjadi penikmatnya!" Naomi tersenyum sinis. "Atau mungkin perempuan murahan itu tak lagi sanggup memenuhi hasratmu?"
Di dalam mobil dokter tampan itu, Naomi duduk mematung di kursi penumpang. "Ada yang kau pikirkan?" tanya Faiq saat melihat wajah yang tadi ceria kini berubah sendu. Laki-laki itu tak pernah rela melihat Naomi bersedih. "Naomi khawatir, kehidupan menyebalkan ini akan memakan waktu lama," ucap Naomi tanpa mengalihkan pandangannya dari kuku-kuku di jari tangannya. "Apa kau masih mencintainya?" tanya Faiq. Iya berusaha menyelami rasa di hati Naomi terhadap Raihan."Yang tersisa hanyalah muak, dan ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupannya," aku Naomi jujur. Hatinya terlalu lelah untuk terus memupuk rasa cintanya terhadap Raihan. Itulah yang dirasakan Naomi. Cinta yang dulu menggebu, kini sirna dalam sekejap oleh sebuah pengkhianatan. "Abang tak tahu harus memberimu jawaban seperti apa. Yang pasti, Abang akan mendukungmu selagi itu bisa membuatmu bahagia dan masih terlihat pantas." Faiq berucap tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan lurus hadapannya. "Jujur, sebenarnya Abang le