Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada yang membukakan seperti biasa. Akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa.
Begitu pintu terbuka, rumah yang biasa berantakan kini terlihat begitu rapi. Tak ada satu mainan pun yang berserakan di lantai.
"Dek ..." aku berjalan ke kamar. Kamar utama pun bersih. Selimut dan bantal tertata di pojok. Tak ada Tari disini. Aku keluar dan masuk ke kamar anak-anak. Kondisinya sama. Ruangan yang biasanya seperti kapal pecah kini begitu sedap di pandang mata.
"Astaga, kemana sih perempuan itu!" sungutku sambil merongoh ponsel di saku celana.
Dua panggilan berlalu tanpa sahutan. Hingga yang ketiga kalinya suara tari terdengar di seberang sana.
"Kamu dimana sih? rumah kosong begini!" hardikku begitu suara Tari terdengar.
"Lho, kamu pulang, Mas? Bukankah mau menginap di rumah Mama?" sahutnya santai.
"Dek, kamu dimana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
"Aku sedang di rumah Ibuku. Aku rasa aku butuh me time untuk mewaraskan pikiran sejenak. Mumpung kamu tak pulang, ya aku ngajak anak-anak ke rumah Mama." Begitu enteng dia menjawab.
"Mau ngapain kamu kesana? mau mengadu lagi? Dengar ya, Tari! kamu melakukan dua kesalahan yang fatal. Harusnya kamu minta ijin dulu padaku. Kamu anggap apa aku ini, ha!?" sentakku. Sengaja aku memanggil dengan nama agar dia tau aku benar-benar marah saat ini.
Tari tertawa kecil. "Dengar juga ya, Mas. Kamu juga telah melakukan kesalahan fatal. Yang pertama, kamu menuduhku mengadu pada Ibu, padahal demi Allah aku tak pernah sama sekali menceritakan hidupku yang bagai b4bu dirumah suamiku sendiri. Tak pernah dibantu, justru selalu dianggap mengeluh dan tak becus!"
"Tari ...!" selaku.
"Yang kedua, kamu meminta aku selalu meminta ijin padamu. Sementara kamu, pergi ke rumah mamamu tanpa memberitahuku sebelumnya. Apa kamu tak tau gimana cemasnya aku menunggu kamu di rumah?"
"Dek ... Mas minta maaf ..." suaraku kembali pelan. Kuakui aku juga salah memperlakukan Tari kemarin.
"Sungguh kamu tidak mengadu pada Ibumu tentang kehidupan kita?"
"Mas! kamu kira aku ini istri dan anak yang bo doh? aku tak ingin ibuku mengkhawatirkan aku. Tapi, feeling seorang ibu itu kuat, Mas. Dia tau, aku sedang tak baik baik saja."
Aku menghela nafas panjang. Tak ada yang bisa aku katakan lagi.
"Aku minta maaf, kembali lah, Dek. Apa mau aku jemput?" tawarku.
Lama Tari terdiam.
"Maaf Mas, aku ijin menenangkan hati sekaligus mau istirahat sejenak dari rutinitas. Dua hari lagi aku pulang."
"Dua hari? lalu aku?" sentakku.
"Kamu bukannya mau menginap di rumah Mama?"
"I-iya sih. Tapi, aku urung. Aku tiba tiba kangen sama kamu dan anak-anak."
"Sabar ya, Mas. Dirumah Mama ada Mas Fatan. Aku terlanjur janji untuk menginap disini dua hari. Aku pikir dari pada di rumah ga ada kamu juga," ujarnya.
Akhirnya aku mengalah terpaksa mengijinkan Tari menginap di rumah mamanya dua hari ini.
Melihat rumah yang sepi dan bersih, keinginan untuk ke rumah mamaku tak ada lagi. Disini juga aku sudah menemukan ketenangan. Meski tak ada Tari dan anak anak. Setidaknya, aku bisa tidur dengan nyenyak. Walau harus keluar mencari makan.
Ponselku berdering.
"Kamu ga jadi kesini, Sen?" Tanya Mama.
"Ga, Ma. Tari ga ada di rumah. Arsen disini saja lah. Tenang juga kok tanpa mereka." ujarku.
"Lho, memang mereka kemana?"
"Ke rumah Ibunya."
"Pasti mau mengadukan kamu lagi, Sen. Istri macam apa istrimu itu. Mending kamu cari istri yang lain. Kamu tau Rani, ga?" Tiba-tiba saja suara Mama terdengar antusias.
"Rani siapa, Ma?"
"Itu lho, anaknya Bu RT, kan teman kamu dulu waktu SMA. Dia sekarang perawat lho." Mama tertawa kecil.
"Kemarin Mama ketemu dia di jalan. Cakep banget, Sen. Dia nanyain kamu. Wah, Mama yakin kalau kalian menikah, kamu ga akan segalau ini. Rani itu pasti pandai merawat badan, menjaga rumah dan yang pasti dia tak akan mau punya anak banyak banyak kayak Tari."
Aku menghela nafas panjang.
"Mama ada ada aja. Mana mau Rani sama Arsen yang udah punya anak banyak ini, Ma."
"Eh, siapa bilang? kamu walau punya anak banyak. Tapi, masih gagah, Sen. Masih kayak bujangan. Makanya jangan lama-lama sama Tari, yang ada kamu cepat tua karena pusing."
Refleks bayangan Rani muncul dalam benakku. Apa iya perempuan itu mencariku? dan apa benar, aku ini masih gagah walau sudah punya anak tiga. Umurku masih 32tahun, aku rasa apa yang Mama katakan ada benarnya juga.
Pulang kerja aku berencana ke rumah Mama. Seharian pikiranku jadi tak tenang memikirkan Rani. Apa iya dia penasaran denganku?
"Tadi Rani kesini nganterin kue ini. Enak banget, Sen. Wah, udah cantik, pinter masak, perawat lagi. Mama pengen banget punya mantu kayak gitu, Sen."
Aku tersipu. Pujian Mama membuatku lupa siapa diriku.
"Apa istrimu udah pulang?"
"Belum, Ma. Besok mungkin." sahutku malas. Lagi membayangkan Rani malah buyar karena Mama menanyakan Tari.
"Tadi kata Rani, dia rapat resep kue ini dari seorang yang mengaku istri kamu, Sen. Hahaha ada ada aja dunia. Tari bisa bikin kue? Yang ada orang keracunan." tawa Mama menggema.
Begitu juga denganku. Ada ada aja Rani, mana mungkin Tari bisa membuat kue seenak ini.
Pagi itu, rumah Tari terasa hening. Matahari menerobos tirai, menyinari meja makan yang belum dibereskan sejak semalam. Aleeya masih duduk termenung, memutar ulang video dari flashdisk yang baru mereka terima malam sebelumnya. Berkali-kali. Seolah berharap ada bagian yang salah. Ada bagian yang bisa dia abaikan.Tapi tidak.Kalimat Dara terngiang jelas di telinganya, menusuk seperti belati."Sama seperti aku menghancurkan Tari."Aleeya menutup laptopnya dengan kasar. Nafasnya sesak. Emosinya mengaduk-aduk. Ia tahu kini bukan saatnya diam. Tapi untuk menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang mereka anggap sahabat ayahnya justru menjadi perusak keluarga, rasanya terlalu pahit untuk diterima.“Aleeya?” suara Tari terdengar dari arah tangga.Aleeya buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh, berusaha tersenyum. “Bunda bangun?”Tari mengangguk lemah. Sejak pulang dari rumah sakit, Tari memang lebih banyak istirahat. Tapi pagi ini, ada semacam kegelisahan dalam matanya. Seperti seseorang y
Surat itu tertempel rapi di antara tumpukan surat-surat biasa di ruang tamu. Bukan surat elektronik. Surat itu dikirim dalam amplop putih polos, tanpa perangko, tanpa cap pos. Hanya tulisan tangan di sudut kanan atas Untuk Aleeya dan Alisa. Dari Nayara.Aleeya mengangkat surat itu perlahan, jantungnya berdebar. Ia membaca cepat isinya, dan saat sampai di kalimat terakhir, tangannya gemetar. Alisa yang duduk di sampingnya langsung menatap khawatir.“Ada apa, Lee?”Aleeya menelan ludah. “Kamu harus baca ini.”**Untuk Aleeya dan Alisa,Maaf kalau aku tiba-tiba menulis seperti ini. Tapi aku tahu kalian pasti sedang bingung. Ada terlalu banyak fitnah dan kebencian yang berputar di sekitar bunda Tari. Aku nggak bisa diam lagi.Aku tahu siapa yang menyebarkan semua cerita itu. Yang menyebarkan foto lama bunda dengan Rinal. Yang mengirim ancaman ke Raka. Yang membuat Reyna seolah menjadi pelaku utama padahal bukan. Reyna cuma alat. Boneka.Semua ini diatur oleh seseorang yang sangat kalian k
Aleeya menatap layar ponselnya kosong. Pesan-pesan Reyna makin gila. Dari awalnya hanya peringatan agar Aleeya menjauh dari Raka, kini berubah jadi tuduhan yang menyeret nama-nama yang tak seharusnya disentuh. Salah satunya: Tari."Kau pikir ibumu sebaik itu? Dia dulu selingkuhan pamanku. Elzio dihancurkan karena dia. Kau pikir kau anak dari wanita suci? HAHA. Kamu cuma dibesarkan oleh perempuan bermuka dua!"Aleeya menutup mulutnya. Matanya panas. Jantungnya terasa seperti diremas. Pesan itu disertai dengan foto-foto lama. Elzio, ibunya, bahkan foto lama saat Tari masih muda, bersama seorang pria yang tak ia kenali—yang ternyata adalah pamannya Reyna. Narasi yang Reyna bangun sangat manipulatif. Meski tidak ada bukti yang benar-benar jelas, kepiawaian Reyna dalam memainkan kata membuat Aleeya mulai terpengaruh.Apalagi dalam kondisi seperti ini—hatinya baru patah karena putus dari Raka, tubuhnya masih belum pulih benar, dan ibunya datang ke kosan bukan dengan pelukan hangat, tapi ama
Sore itu, Aleeya sedang duduk sendiri di taman, ketika seorang pria tua mendekatinya. Rambutnya sebagian uban, wajahnya asing, tapi sorot matanya familiar.“Kamu anaknya Tari, ya?”Aleeya mengernyit. “Iya, Om siapa?”Pria itu tersenyum miris. “Saya… Elzio. Saya pernah mencintai ibumu.”Aleeya langsung berdiri. Dunia seperti berhenti sesaat.“Dan saya tahu, Reyna nggak kerja sendirian.”Aleeya berdiri terpaku. Nama itu... Elzio.Dulu, ia hanya mendengar samar-samar tentang pria bernama Elzio. Seorang dokter, lalu disebut-sebut ODGJ, dan kabarnya pernah mencintai ibunya, Tari. Tapi sekarang pria itu berdiri di hadapannya — nyata, hidup, dengan mata yang menyimpan terlalu banyak kisah.“Apa maksud Om?” tanya Aleeya gugup, waspada.Elzio menghembuskan napas panjang. “Reyna… Reyna itu bukan hanya mantan tunangan Raka. Dia juga... keponakan saya.”Aleeya mengerutkan kening. “Apa?”“Saya tahu kamu bingung,” Elzio duduk di bangku taman. “Tapi duduklah, biar Om jelaskan semuanya.”**Sementara
Aleeya mematung. Surat Reyna masih tergenggam erat di tangannya.Malam sudah turun, namun pikirannya tak kunjung tenang. Matanya sembab, lelah menahan tangis yang tak juga reda.Ia memandangi langit, lalu menunduk. “Apa benar aku cuma bayangan masa lalunya?” bisiknya.Tari yang melihat dari balik pintu langsung mendekat. Ia duduk di samping putrinya, merangkul Aleeya perlahan.“Kalau kamu masih cinta, itu bukan kesalahan, Leeya… Tapi cinta itu bukan luka yang harus kamu rawat sendiri,” ujarnya lembut.Aleeya menggeleng. “Aku cuma nggak sangka, Bu… Reyna bisa sejahat itu. Surat ini… aku tahu maksudnya bukan sekadar bilang dia tersakiti. Tapi dia mau aku merasa kecil. Tak berarti.”Tari menghela napas panjang. “Orang-orang seperti dia tak perlu kamu lawan dengan emosi. Tapi dengan ketegasan dan batas. Jangan biarkan dia terus bersemayam di pikiranmu.”Aleeya akhirnya memeluk ibunya erat. Tangisnya pecah, tapi kali ini tidak dalam ketakutan, melainkan kelegaan. Ia tahu, walau hatinya rem
Lalu Aleeya menahan napas. Dia menahan air mata dan berjalan perlahan ke arah pintu, tapi tidak membukanya.“Kalau kamu nggak mau ngobrol, aku bisa nunggu, kok,” suara Reyna dari balik pintu terdengar lebih manis. “Tapi kamu harus tahu satu hal, Aleeya… aku dan Raka belum selesai.”Deg.Kalimat itu menghantam jantung Aleeya seperti palu godam. Suara langkah Reyna akhirnya menjauh, menghilang. Tapi ketakutan itu tidak ikut pergi.Beberapa menit kemudian, Alisa datang tergopoh-gopoh. “Mana dia? Reyna-nya mana?”Aleeya tak bisa jawab. Ia hanya menunjuk flashdisk dan menangis.**Hari berikutnya, Tari datang lagi ke kosan. Kali ini dengan wajah lebih tegas. Ia sudah tahu semuanya, termasuk video itu. Dan ia tak tinggal diam.“Kita harus selesaikan ini, Leeya. Bunda nggak bisa biarin kamu dihantui orang kayak dia.”“bunda mau lapor polisi?”Tari mengangguk. “Dan kamu juga harus siap. Kita nggak tahu sejauh apa obsesi dia. Tapi bunda nggak akan mundur.”Aleeya akhirnya ikut ke rumah Tari se
Malam itu hujan turun deras.Aleeya memandangi seikat mawar merah yang kini tergeletak di atas meja belajarnya. Matanya terpaku pada foto Reyna yang tadi diselipkan seseorang tanpa suara. Rasa dingin menjalar hingga ke tengkuk."Dia... Reyna," bisiknya pelan.Alisa duduk di tepi ranjang, menyelimuti dirinya. “Dia ganggu kamu lagi?”Aleeya mengangguk pelan. “Dulu aku pikir dia udah pergi dari hidup Raka. Tapi ternyata... dia nggak pernah benar-benar pergi.”Alisa memejamkan mata. Napasnya berat. “Kalau kayak gini, kamu harus cerita ke Bunda Leeya. Ini udah bukan tentang cinta-cintaan lagi. Ini udah ngancam hidupmu.”Aleeya berdiri. Ia menatap bayangannya sendiri di jendela, samar oleh embun dan tetesan hujan.“Aku takut, Lis. Tapi aku juga takut bunda tambah kecewa kalau tahu semua ini.”**Keesokan harinya, Aleeya memutuskan untuk menghubungi Raka.Setelah beberapa kali nada tunggu, akhirnya suara itu terdengar.“Halo, Leeya…”“Aku tahu semuanya, Rak,” ucap Aleeya dingin.Sunyi di seb
Hari itu, langit kembali mendung.Aleeya duduk bersandar di sisi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia belum sepenuhnya pulih dari sakitnya—baik secara fisik, maupun batin.Di luar kamar kosnya, terdengar suara langkah cepat menaiki tangga. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sangat ia kenal."Aleeya!"Tari membuka pintu kamar dengan panik, napasnya tersengal karena terburu-buru dari perjalanan jauh. Wajahnya pucat campur cemas saat melihat putrinya yang terbaring lemah."Astagfirullah, Ya Allah, Leeya!" serunya sambil menghampiri.Aleeya hanya menoleh pelan. Bibirnya tertarik sedikit, berusaha tersenyum. Tapi wajah Tari malah penuh air mata."Kenapa kamu bisa sakit begini, sayang? Kenapa kamu nggak bilang Bunda? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?""Bunda jangan lebay..." jawab Aleeya pelan, berusaha menghindar."Lebay? Kamu jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, Leeya!" Tari duduk di
Di tengah tangisan Aleeya dan Tari yang akhirnya berdamai, HP Aleeya bergetar.Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Jangan percaya siapa pun, semua orang ingin melihatmu hancur, termasuk kembaran dan ibumu."Aleeya membaca pesan itu dengan tangan gemetar.Siapa yang mengirim pesan ini? Kenapa tiba-tiba mengusik hubungan keluarga Aleeya?--Aleeya menatap layar ponselnya yang terus bergetar.Pesan itu masih tertera jelas:"Jangan percaya siapa pun. Termasuk keluargamu. Termasuk ibumu."Tangannya gemetar. Ia memandang ibunya yang masih duduk di tepi ranjang, memegangi gelas air hangat. Tari sedang menatapnya dengan tatapan khawatir, belum menyadari wajah Aleeya berubah pucat.“Kenapa? Siapa yang kirim pesan?” tanya Tari curiga, menangkap ekspresi anaknya.Aleeya buru-buru mengunci ponsel. Ia menggoyangkan kepala, berusaha tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, Bun. Salah kirim kayaknya.”Tari tidak langsung percaya, tapi memilih diam. Ia tahu Aleeya belum sepenuhnya pulih. Memaksan