Share

Mengadukah? (5)

Penulis: Mutiara Sukma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-12 17:00:41

Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.

[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]

Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.

[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.

Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.

[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]

Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.

[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, aku sih masih menunggu. Sulit melupakan orang yang pernah mengisi hati ini.] terkirim.

Aku menunggu balasan, tapi pesan itu hanya dibaca. Mungkin, Rani sedang sibuk. Dia kan seorang perawat. Aku menyimpan kembali ponsel di dalam saku dan melanjutkan pekerjaan. Seharian mood-ku membaik. Apalagi Tari juga tak mengirim pesan atau menghubungiku. Tak apalah, aku juga muak mendengar keluhannya itu.

***

Dua hari kemudian, Tari kembali. Aku yang baru pulang kantor menatap heran dengan rumah yang tak seperti kemarin. Dari ujung ke ujung sangat rapi. Anak-anak juga anteng bermain di kamar. Meski disana tak ada celah yang tak bertaburan mainan. Setidaknya, ruang tamu dan kamar tidur lebih sedap dipandang mata.

"Kamu sudah pulang?" sapaku pada Tari yang rebahan sambil memainkan ponselnya. Perempuan itu tampak kaget. Bangkit lalu menaruh benda pipih itu dan menyalamiku.

"Sudah!" jawabnya singkat. Kemudian berlalu keluar. Aku mendekati Abrar yang tampak pulas, bayi tiga bulanan itu terlihat bersih, aroma minyak telon menguar dari tubuhnya.

Tak lama Tari masuk dengan secangkir teh hangat ditangan. Perempuan itu masih dengan penampilan yang sama baju daster dengan warna mulai pudar dan rambut yang tergelung asal. Membosankan.

Aku menerima teh itu dan menyesapnya pelan. Suasana mendadak canggung. Tari sendiri kembali meraih ponsel dan bersikap acuh.

"Mas Fatan masih dirumah?" tanyaku basa-basi. Apa peduliku sebenarnya dengan Abang ipar yang sombong itu. Entah apa pekerjaannya, bertahun-tahun tak pulang. Jarang juga berkirim uang. Sehingga, Ibunya yang sudah tak muda lagi itu harus berdagang di pasar demi memenuhi kebutuhan hidupnya. 

"Masih." jawabnya tanpa menoleh padaku. Aku jenggah. Setelah mengganti pakaian, aku keluar dari kamar dan duduk diruang tamu memainkan ponselku. Lebih baik melanjutkan kisah yang pernah kandas dulu biar ga bete.

Entah sudah berapa lama aku sibuk berbalas pesan dengan Rani, hingga tak sadar hari sudah larut. Aku kembali masuk ke kamar. Tari sudah tertidur memeluk bayi kami. Wajahnya terlihat lelah. Kasian. Tapi, emang itu lah resiko menjadi seorang istri, iya kan?

Kembali keluar dan melihat ke kamar sebelah. Alif dan Ammar pun sudah tidur. Tadi, sempat rame teriakan mereka minta makan. Tapi, aku tak hiraukan. Terlalu sayang meninggalkan ruang chat bersama Rani. Akhirnya aku terpaksa makan sendiri, menyiapkan semuanya sendiri. Tak berani membangunkan Tari yang terlihat berbeda dari biasanya.

Keesokan paginya, suasana kembali berisik seperti biasa. Tari sibuk di dapur sambil mengendong Abrar yang rewel.

"Ma, tas Abang mana?" teriakan Alif dari kamar.

Belum lagi tangisan Ammar yang maunya mandi dengan mamanya. "Sebentar sayang, Mama lagi nanggung nih!" jerit Tari tanpa menghentikan gerakan tangannya mengaduk nasi goreng dalam wajan.

"Dek, liat kemeja putih lengan pendek Mas ga?" tanyaku. Aku ingin memakai kemeja yang baru beberapa minggu lalu kubeli itu. Hari ini aku sudah janji sama Rani. Baju putih itu pasti terlihat elegan dan berwibawa.

"Ada di lemari itu, Mas. Coba cari lagi!" perempuan itu kembali menjerit tanpa mendatangiku. 

"Ga ada! kalau ada aku ga nanya!" sentakku kesal.

Tak lama Tari datang. Abrar dalam gendongannya menatapku lalu menangis ingin ikut. Aku cuek. Kalau harus menggendong anak dulu, kapan ke kantornya. Hanya beberapa detik, kemeja yang dimaksud sudah ada ditangan Tari lalu menyerahkan padaku tanpa kata.

"Makasih, Sayang." Tari tak menjawab. Dasar! liat aja kalau aku bawa Rani kesini, baru sadar jika aku tak patut untuk diabaikan.

Sarapan sudah tersedia diatas meja. Abrar sudah tidur dan kembali ke kamar. Tari bukannya menemaniku sarapan malah sibuk dengan anak-anaknya dikamar mandi. Dengan kesal aku bangkit.l meninggalkan nasi yang baru separuh aku makan.

"Tari, aku berangkat dulu!" teriakku.

"Ya!" sahutnya. Si4l, bukannya berlari mengantarkan suami berangkat kerja malah dicuekin begini. Aku pun melajukan kuda besiku setelah meyakinkan jika Tari benar-benar tak nonggol. Keterlaluan.

Seharian perempuan itu juga tak lagi meneleponku. Syukurlah, dia kena mental setelah kunasehati dan dimarahi mama.

"Gimana istrimu, Sen?" tanya Mama dari seberang sana.

"Aman Ma, dia udah berhenti mengeluh. Ga bikin bete lagi!" sahutku.

"Bagus lah! emang harus tegas sama istri. Jangan sampai kamu disepelekan sama dia. Trus Rani gimana?" goda Mama.

"Ah, Mama. Arsen sama Rani hanya temenan kok. Nanti siang kami berjanji bertemu."

"Nah, gitu dong. Mama pengen punya menantu seperti Rani. Pasti, bahagia sekali mama akan diperhatikan. Setelah kakakmu menikah, Mama kesepian dirumah."

"Ga mungkin rasanya untuk menikah, Ma. Tari gimana?"

"Halah, itu ga usah jadi penghalang. Orang kalau punya istri kayak Tari juga ga akan ada yang betah." 

Benar juga Mama. Mana tahan mendengar keluhannya, melihat rumahnya yang tak pernah bersih. Baru sekarang aja, rumah terlihat seperti rumah. Biasanya seperti kandang.

Jam kerja usai. Aku segera keluar. Tak sabar mau bertemu Rani.Hanya tiga puluh menit, aku sampai di sebuah kafe. Di ujung ruangan itu terlihat seorang wanita dengan pakaian yang begitu sek si melambai padaku. Wah, parah ni. Dadaku berdebar kencang. Dan ada sesuatu yang tak biasa begitu jarakku sudah begitu dekat. Rani berdiri sambil mengulurkan tangannya.

"Kamu makin ganteng aja, Sen." pujinya ketika tangan halus itu menggenggam tanganku.

"Kamu juga makin cantik, Ran. Awet muda. anakmu udah berapa?" tanyaku jelas hanya basa basi busuk. karena aku tau Rani belum menikah.

"Anakku masih bersama kamu kayaknya, Sen?" sahutnya sambil mengedipkan sebelah mata.

"Ah kamu bisa aja."

Wajahku bersemu. Rani masih sangat asik seperti dulu. jadi kangen. Obrolan seru itu terhenti ketika ponselku berbunyi.

Tari?

mau apa dia? mau ngeluh lagi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ambarwati Gt
bibit- bibit perselingkuhan kelihatan,.
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki mertua biadab ntar segera dpt balasanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 44

    Sore itu, Aleeya sedang duduk sendiri di taman, ketika seorang pria tua mendekatinya. Rambutnya sebagian uban, wajahnya asing, tapi sorot matanya familiar.“Kamu anaknya Tari, ya?”Aleeya mengernyit. “Iya, Om siapa?”Pria itu tersenyum miris. “Saya… Elzio. Saya pernah mencintai ibumu.”Aleeya langsung berdiri. Dunia seperti berhenti sesaat.“Dan saya tahu, Reyna nggak kerja sendirian.”Aleeya berdiri terpaku. Nama itu... Elzio.Dulu, ia hanya mendengar samar-samar tentang pria bernama Elzio. Seorang dokter, lalu disebut-sebut ODGJ, dan kabarnya pernah mencintai ibunya, Tari. Tapi sekarang pria itu berdiri di hadapannya — nyata, hidup, dengan mata yang menyimpan terlalu banyak kisah.“Apa maksud Om?” tanya Aleeya gugup, waspada.Elzio menghembuskan napas panjang. “Reyna… Reyna itu bukan hanya mantan tunangan Raka. Dia juga... keponakan saya.”Aleeya mengerutkan kening. “Apa?”“Saya tahu kamu bingung,” Elzio duduk di bangku taman. “Tapi duduklah, biar Om jelaskan semuanya.”**Sementara

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 43

    Aleeya mematung. Surat Reyna masih tergenggam erat di tangannya.Malam sudah turun, namun pikirannya tak kunjung tenang. Matanya sembab, lelah menahan tangis yang tak juga reda.Ia memandangi langit, lalu menunduk. “Apa benar aku cuma bayangan masa lalunya?” bisiknya.Tari yang melihat dari balik pintu langsung mendekat. Ia duduk di samping putrinya, merangkul Aleeya perlahan.“Kalau kamu masih cinta, itu bukan kesalahan, Leeya… Tapi cinta itu bukan luka yang harus kamu rawat sendiri,” ujarnya lembut.Aleeya menggeleng. “Aku cuma nggak sangka, Bu… Reyna bisa sejahat itu. Surat ini… aku tahu maksudnya bukan sekadar bilang dia tersakiti. Tapi dia mau aku merasa kecil. Tak berarti.”Tari menghela napas panjang. “Orang-orang seperti dia tak perlu kamu lawan dengan emosi. Tapi dengan ketegasan dan batas. Jangan biarkan dia terus bersemayam di pikiranmu.”Aleeya akhirnya memeluk ibunya erat. Tangisnya pecah, tapi kali ini tidak dalam ketakutan, melainkan kelegaan. Ia tahu, walau hatinya rem

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 42

    Lalu Aleeya menahan napas. Dia menahan air mata dan berjalan perlahan ke arah pintu, tapi tidak membukanya.“Kalau kamu nggak mau ngobrol, aku bisa nunggu, kok,” suara Reyna dari balik pintu terdengar lebih manis. “Tapi kamu harus tahu satu hal, Aleeya… aku dan Raka belum selesai.”Deg.Kalimat itu menghantam jantung Aleeya seperti palu godam. Suara langkah Reyna akhirnya menjauh, menghilang. Tapi ketakutan itu tidak ikut pergi.Beberapa menit kemudian, Alisa datang tergopoh-gopoh. “Mana dia? Reyna-nya mana?”Aleeya tak bisa jawab. Ia hanya menunjuk flashdisk dan menangis.**Hari berikutnya, Tari datang lagi ke kosan. Kali ini dengan wajah lebih tegas. Ia sudah tahu semuanya, termasuk video itu. Dan ia tak tinggal diam.“Kita harus selesaikan ini, Leeya. Bunda nggak bisa biarin kamu dihantui orang kayak dia.”“bunda mau lapor polisi?”Tari mengangguk. “Dan kamu juga harus siap. Kita nggak tahu sejauh apa obsesi dia. Tapi bunda nggak akan mundur.”Aleeya akhirnya ikut ke rumah Tari se

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 41

    Malam itu hujan turun deras.Aleeya memandangi seikat mawar merah yang kini tergeletak di atas meja belajarnya. Matanya terpaku pada foto Reyna yang tadi diselipkan seseorang tanpa suara. Rasa dingin menjalar hingga ke tengkuk."Dia... Reyna," bisiknya pelan.Alisa duduk di tepi ranjang, menyelimuti dirinya. “Dia ganggu kamu lagi?”Aleeya mengangguk pelan. “Dulu aku pikir dia udah pergi dari hidup Raka. Tapi ternyata... dia nggak pernah benar-benar pergi.”Alisa memejamkan mata. Napasnya berat. “Kalau kayak gini, kamu harus cerita ke Bunda Leeya. Ini udah bukan tentang cinta-cintaan lagi. Ini udah ngancam hidupmu.”Aleeya berdiri. Ia menatap bayangannya sendiri di jendela, samar oleh embun dan tetesan hujan.“Aku takut, Lis. Tapi aku juga takut bunda tambah kecewa kalau tahu semua ini.”**Keesokan harinya, Aleeya memutuskan untuk menghubungi Raka.Setelah beberapa kali nada tunggu, akhirnya suara itu terdengar.“Halo, Leeya…”“Aku tahu semuanya, Rak,” ucap Aleeya dingin.Sunyi di seb

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 40

    Hari itu, langit kembali mendung.Aleeya duduk bersandar di sisi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia belum sepenuhnya pulih dari sakitnya—baik secara fisik, maupun batin.Di luar kamar kosnya, terdengar suara langkah cepat menaiki tangga. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sangat ia kenal."Aleeya!"Tari membuka pintu kamar dengan panik, napasnya tersengal karena terburu-buru dari perjalanan jauh. Wajahnya pucat campur cemas saat melihat putrinya yang terbaring lemah."Astagfirullah, Ya Allah, Leeya!" serunya sambil menghampiri.Aleeya hanya menoleh pelan. Bibirnya tertarik sedikit, berusaha tersenyum. Tapi wajah Tari malah penuh air mata."Kenapa kamu bisa sakit begini, sayang? Kenapa kamu nggak bilang Bunda? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?""Bunda jangan lebay..." jawab Aleeya pelan, berusaha menghindar."Lebay? Kamu jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, Leeya!" Tari duduk di

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 39

    Di tengah tangisan Aleeya dan Tari yang akhirnya berdamai, HP Aleeya bergetar.Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Jangan percaya siapa pun, semua orang ingin melihatmu hancur, termasuk kembaran dan ibumu."Aleeya membaca pesan itu dengan tangan gemetar.Siapa yang mengirim pesan ini? Kenapa tiba-tiba mengusik hubungan keluarga Aleeya?--Aleeya menatap layar ponselnya yang terus bergetar.Pesan itu masih tertera jelas:"Jangan percaya siapa pun. Termasuk keluargamu. Termasuk ibumu."Tangannya gemetar. Ia memandang ibunya yang masih duduk di tepi ranjang, memegangi gelas air hangat. Tari sedang menatapnya dengan tatapan khawatir, belum menyadari wajah Aleeya berubah pucat.“Kenapa? Siapa yang kirim pesan?” tanya Tari curiga, menangkap ekspresi anaknya.Aleeya buru-buru mengunci ponsel. Ia menggoyangkan kepala, berusaha tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, Bun. Salah kirim kayaknya.”Tari tidak langsung percaya, tapi memilih diam. Ia tahu Aleeya belum sepenuhnya pulih. Memaksan

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 38

    Hari itu, langit kembali mendung.Aleeya duduk bersandar di sisi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia belum sepenuhnya pulih dari sakitnya—baik secara fisik, maupun batin.Di luar kamar kosnya, terdengar suara langkah cepat menaiki tangga. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sangat ia kenal."Aleeya!"Tari membuka pintu kamar dengan panik, napasnya tersengal karena terburu-buru dari perjalanan jauh. Wajahnya pucat campur cemas saat melihat putrinya yang terbaring lemah."Astagfirullah, Ya Allah, Leeya!" serunya sambil menghampiri.Aleeya hanya menoleh pelan. Bibirnya tertarik sedikit, berusaha tersenyum. Tapi wajah Tari malah penuh air mata."Kenapa kamu bisa sakit begini, sayang? Kenapa kamu nggak bilang Bunda? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?""Bunda jangan lebay..." jawab Aleeya pelan, berusaha menghindar."Lebay? Kamu jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, Leeya!" Tari duduk di

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 37

    “Aku cuma bisa bilang... maaf,” katanya. “Kalau ada cara buat kembali dan perbaiki semua itu, aku bakal lakuin. Tapi aku tahu, aku udah telat.”Aleeya berdiri. “Kita terlalu banyak luka untuk memulai dari awal.”Raka mengangguk. Tapi tatapannya… kosong. Seperti seseorang yang baru saja kehilangan satu-satunya cahaya di hidupnya.“Jaga dirimu, Raka.”Langkah Aleeya menjauh, meninggalkan lelaki yang duduk diam dalam pasrah. Air mata jatuh perlahan dari pipi Raka, tapi tak ada suara. Ia hanya menatap lantai dengan mata nanar, dan membiarkan rasa kehilangan itu mengakar, membekas di dalam dada.***Hujan turun malam itu. Bukan gerimis, tapi hujan deras yang seolah mengguyur setiap sisa harapan yang sempat Aleeya miliki. Setelah pulang dari rumah Raka, langkahnya terasa berat, seperti ada beban di kedua bahunya. Sesekali ia menoleh ke langit, berharap bisa menangis bersama hujan, tapi matanya kering. Seakan air matanya tertahan oleh ego dan luka yang terlalu dalam.Sesampainya di kamar kos

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 36

    Aleeya menatap wajah Alisa yang tampak tegang. Mereka berdiri di depan pintu kamar kos, udara terasa beku seolah waktu berhenti. Alisa memegang erat tas kecilnya, seolah hendak bicara sesuatu yang bisa mengubah segalanya.“Aku masuk ya,” ujar Alisa pelan.Aleeya mengangguk.Begitu pintu tertutup, hening pun meraja. Aleeya duduk di tepi kasur, sementara Alisa berdiri, menatap sekeliling kamar adiknya yang sederhana tapi rapi. Sudut-sudut yang penuh kenangan, buku-buku yang disusun berjejer, foto-foto wisuda yang belum lama digantung."Aku tahu kamu pasti marah nanti setelah dengar ini," ucap Alisa akhirnya.Aleeya mengangguk pelan. “Aku udah muak sama kejutan. Tapi, ya... bicara aja.”Alisa menarik napas panjang. "Raka... dulu pernah pacaran sama aku. Setahun."Aleeya mematung."Setahun?" bisiknya, nyaris tak terdengar.Alisa duduk di sisi tempat tidur, matanya mulai basah. “Kami deket waktu aku masih kelas dua SMA. Dia kuliah waktu itu. Kita dikenalin temenku. Awalnya manis, lucu, per

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status