"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak.
"Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.
Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.
Tak lama terdengar suara Tari memerintah dua anak kami masuk ke kamar mandi. Tadi, dua bocah laki-laki itu main kotor kotoran di depan rumah. Teras yang berkeramik putih penuh noda tanah yang mereka aduk dengan air lalu menjadikan arena bermain mobil-mobilan. Kotor sekali.
Abrar tidur pulas dalam dekapanku. Dengan sangat hati-hati aku meletakkan di atas kasur.
"Ammar! itu mainan Abang!" pekikan Alif membuat Abrar terkejut dan kembali menangis. Aku menghela nafas panjang. Dan kembali mengendongnya agar diam.
"Alif, Ammar, jangan main air, Sayang. Hayuk, biar Mama mandikan." suara lembut Tari membuat tawa dua anak laki-laki itu makin riuh.
"Abang, nanti kita main lagi, ya," seru Ammar diantara suara gemericik air.
"Udah ya, Sayang. Papa sudah pulang. Mainnya besok lagi. Mama mau membersihkan rumah, sementara kalian masuk kamar, main gambar gambaran dulu, ya," lembut suara Tari.
"Ga mau, Ma. Ammar mau main mobil mobilan lagi. Besok Abang kan sekolah, Ammar ga bisa main!"
"Setelah Abang pulang sekolah, Ammar bisa main lagi,oke?" Kali ini Tari terdengar lebih tegas.
Akhirnya perdebatan mereka selesai seiring dua anak Laki-laki keluar dari kamar mandi menggunakan handuk.
"Alif bantu Ammar memakai baju, ya." seru Tari yang kembali ke dapur. Sangat riweuh sekali di rumah ini. Belum juga Tari memberikan segelas teh hangat untukku. Ammar yang berusia tiga tahun menaburkan bedak bayi sepanjang lantai diruang tengah. Mengabaikan teriakanku yang berusaha menghentikan.
"Cukup! Alif, Ammar masuk kamar!" suaraku naik beberapa oktaf. Alif yang sedang memegang mainan terdiam. Begitu juga dengan Ammar. Dengan kepala tertunduk berjalan ke arah kamarnya. Tari tergopoh-gopoh datang dari dapur dengan segelas teh ditangan.
"Alif, Ammar, masuk kamar nanti Mama bantu, ya." Suara Tari terdengar bergetar. Dengan tergesa pintu kamar anak-anak dia tutup dan berjalan ke arahku.
"Mas, tolong ya, Mas. Kalau kamu berharap rumah ini menjadi syurga ternyaman, jangan percikan api dalam ingatan anak-anakku. Aku tak ikhlas kamu membentak mereka. Aku yang mengandung dan aku juga yang melahirkan!" Seru Tari setelah menaruh teh yang dia buat di atas meja. Dengan kasar perempuan itu meraih Abrar dari tanganku. Aku terdiam. Tak menyangka Tari akan semarah itu.
"Aku capek, Dek!" Selaku tak terima. Tari menoleh, tatapannya begitu tajam.
"Kamu kira aku ga capek? Tolong ingat, aku di rumah bukan sebagai ratu, tapi ..." kalimat Tari menggantung. Perempuan itu kemudian meninggalkanku tanpa melanjutkan ucapannya. Aneh.
Sejak kejadian itu, Tari tak menghiraukanku. Meski, dia tetap memenuhi semua kebutuhan suaminya ini, begitu juga saat makan. Dia hanya sibuk dengan Alif dan Ammar yang tak henti-hentinya membuat ulah malam itu. Berlama lama seperti ini tak nyaman juga.
"Dek, Mas minta maaf," lirihku sambil memijat kaki Tari yang sudah terlebih dulu merebahkan diri di sampingku.
"Sayang, Maafkan, Mas. Mas, janji akan lebih mengendalikan diri, dan menahan emosi," ujarku lagi.
Tubuh Tari menggeliat, lalu berbalik mengarah padaku.
"Kamu boleh marah padaku, Mas. Tapi, jangan pernah membentak anak-anak. Aku tak ridho!"ketusnya.
"Iya, Mas janji akan berubah." Aku men g*cup punggung tangan Tari. Wajah juteknya mulai melunak, seiring senyum yang terukir di bibirnya.
***
Keesokan harinya, pagi pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor. Anak-anak masih di kamar. Sehingga, hanya Abrar yang sempat aku cium sebelum berangkat.
"Mas, aku boleh ga, ambil pembantu?" Lirih Tari tampak ragu-ragu.
Aku menghela nafas panjang. Sayang banget uang yang aku kumpulkan susah payah hanya untuk membayar pembantu. Kalau semua pekerjaan dikerjakan oleh orang lain, Tari keenakan dong ga ngapa-ngapain.
"Sabar dulu, ya, Dek. Mas akan usahakan,"sahutku. Hanya alasan untuk menyelamatkan diri sesaat.
Tari mengangguk lalu tersenyum. "Maafkan aku, Mas. Bukannya aku tak menerima semua pekerjaan yang menjadi tanggung jawabku. Tapi, aku juga ingin sekedar memiliki waktu untuk diriku sendiri."
Aku melirik jam tangan. Masih setengah enam, sebenarnya masih ada waktu untuk bicara. Tapi, aku malas mendengar keluhan Tari yang setiap hari selalu sama. Dan berakhir dengan meminta seorang ART yang akan membantunya.
"Dek, aku sudah telat. Nanti kita bicarakan lagi, ya." Tanpa menunggu jawaban Tari, aku segera berlalu menaiki motor dan pergi. Bisa-bisa pagiku mendadak ambyar jika mendengar semua keluhannya.
***
Hari ini aku sengaja pulang telat. Berharap anak-anak sudah rapi dan menunggu waktu untuk tidur saja. Suasana sudah mulai gelap. Dari kejauhan rumahku sudah terlihat terang dengan nyala lampu. Aku memarkirkan motor di teras seperti biasa. Tak lama pintu terbuka.
"Eh, Nak Arsen sudah pulang." Aku sedikit tersentak melihat perempuan yang membukakan pintu, bukan istriku.
"Tari sedang mandi." ujarnya lagi seakan paham apa yang aku pikirkan. Lalu berjalan mendahului.
"Seharusnya kalian ini punya pembantu. Memiliki tiga anak lelaki yang sedang butuh perhatian dari ibunya itu tak gampang. Apalagi, semua pekerjaan di rumah ini, Tari sendiri yang mengerjakan. Setidaknya, ada tukang masak atau tukang cuci yang sedikit meringankan beban Tari. Walau tidak menginap, itu sudah cukup membantunya."
Degh.
Baru pulang kerja aku sudah diceramahi
begini. Pasti Tari mengadu yang tidak tidak. Awas kamu, Tari.
Sudah hampir tiga minggu sejak Gian melamar Aleeya. Cincin sederhana dengan mata kecil berbentuk daun masih terpasang manis di jari manis Aleeya. Tapi meski hati mereka sudah yakin satu sama lain, jalan menuju pelaminan ternyata tidak semudah harapan.“Aku pengen nikah sederhana aja,” ucap Aleeya suatu malam, sambil rebahan di sofa bersama Gian. “Yang penting sah, ada keluarga, udah cukup.”Gian tersenyum. “Tapi kamu juga berhak bahagia, Lee. Kalau bisa kita rayain bareng-bareng, kenapa nggak?”Aleeya mendesah. “Aku takut ribetnya, Gian. Takut… malah jadi momen penuh tekanan.”Gian menggenggam tangan Aleeya erat. “Kalau kamu capek, aku yang hadapin semua. Tapi aku mau hari itu jadi hari paling bahagia buat kamu. Hari yang bisa kamu kenang, sampai tua nanti.”Aleeya menatap mata Gian lama-lama, lalu tersenyum.“Aku tuh beruntung banget nemuin kamu, tahu nggak?”“Tahu dong. Tapi kamu juga beruntung. Soalnya aku tampan, sabar, dan—”Aleeya melempar bantal ke wajah Gian sambil tertawa. Su
Hari ke-14 dalam program. Alisa sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit kecil di sekitar perutnya. Tapi yang tak terbiasa adalah… rasa takut. Takut gagal. Takut berharap.Pagi itu, ia duduk termenung di ruang keluarga. Hanan sedang memanaskan air, sementara televisi menyiarkan berita ringan.“Sayang,” Hanan datang membawa dua gelas jahe hangat. “Kamu masih pucat. Gimana kalau kita istirahat dulu dari suntikan?”Alisa menggeleng. “Aku takut kalau berhenti, nanti… gagal lagi.”Hanan memegang wajah istrinya dengan lembut. “Kamu nggak gagal, Sa. Kamu kuat. Bahkan saat kamu nangis diam-diam malam-malam... kamu tetap perempuan paling kuat yang aku tahu.”Alisa tak kuasa menahan tangisnya.Hanan mendekapnya erat.“Aku ingin kamu hidup. Bahagia. Bukan cuma ngotot punya anak dan ngelupain dirimu sendiri.”Alisa mengangguk dalam tangis. Hari itu mereka memutuskan break dua minggu dari terapi. Hanya untuk berlibur. Menikmati waktu berdua, tanpa target.**ALEEYA & GIANDi sisi lain kota, Aleeya d
Siap! Kita lanjutkan kisah Aleeya & Gian serta Alisa & Hanan secara paralel, dengan alur yang mengalir, drama rumah tangga yang menyentuh, emosional, dan pastinya lebih panjang. Di bab ini, dua saudara perempuan itu menjalani fase hidup berbeda—yang satu mencoba memperbaiki hati, yang lain berjuang menanti hadirnya buah hati.**Malam semakin larut di studio Gian. Aleeya masih duduk di sofa kecil sambil menggenggam cangkir teh hangat, matanya sembab karena terlalu lama menahan tangis dan malu.“Kamu tahu,” ujar Gian pelan, “aku bahkan sempat mikir kamu benci aku.”Aleeya menunduk. “Aku nggak benci kamu. Aku benci diriku sendiri... karena nggak percaya sama kamu.”Gian tersenyum kecil. Ia melangkah ke arah lukisan di sudut ruangan—lukisan wajah Aleeya yang belum selesai.“Aku terus lanjutin ini, meski kita udah nggak bicara. Karena aku tahu... cinta itu bukan soal status. Tapi keberanian buat bertahan.”Aleeya memandang lukisan itu. Sebagian warna sudah memudar, seperti kisah mereka ya
“Ngidam?”Alisa diam saja sambil terus menatap layar ponsel.Hanan mengangkat alis, meletakkan gelas susu hangat di meja kecil dekat tempat tidur. “Lis, kamu denger nggak? Kamu ngidam ya?”“Hmm…” Alisa bergumam tanpa menoleh. “Aku lagi nonton video ibu-ibu melahirkan.”Hanan refleks mengerutkan dahi. “Kok kamu… ya Allah, kenapa sih nonton kayak gitu sekarang? Bukannya malah makin parno?”Alisa meletakkan ponsel. Wajahnya datar tapi matanya berkaca. “Han, itu perjuangan. Aku ngerasa terharu aja. Mereka semua nangis… suaminya cium kening… anaknya digendong. Aku juga pengen kayak gitu.”Hanan duduk di samping istrinya, mengusap rambut Alisa perlahan. “Dan kamu bakal ngalamin itu juga. Tapi pelan-pelan ya, jangan semua ditonton sekarang. Nanti kamu keburu takut duluan.”Alisa mengangguk pelan. Tapi ia tetap diam. Hanan tahu, diamnya Alisa bukan karena tenang. Tapi karena ada begitu banyak hal yang sedang dipikirkan istrinya.**Beberapa hari kemudian…Mual mulai datang di pagi hari. Kadan
"Udah telat seminggu," ucap Alisa pelan sambil duduk di tepi tempat tidur, memandangi test pack kosong yang belum ia buka.Hanan keluar dari kamar mandi, rambutnya basah, handuk melilit di leher. Ia menatap istrinya yang tampak cemas, lalu duduk di sampingnya."Tes aja, Sayang."Alisa menggeleng. "Takut.""Takut kenapa?""Takut kecewa. Kayak bulan lalu."Hanan menghela napas dan menggenggam tangan istrinya. “Kita udah sepakat jalanin ini bareng, kan? Kalau hasilnya negatif, kita coba lagi. Kalau positif… kita sujud syukur sama-sama.”Alisa akhirnya mengangguk.Tangannya gemetar saat membuka bungkus test pack, lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit yang terasa seperti seabad.Begitu ia keluar lagi, wajahnya datar. Tak bersuara. Ia menyerahkan alat itu ke Hanan.Hanan melihat—garis satu.Lagi-lagi.Alisa langsung duduk dan menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku capek…”Hanan menariknya dalam pelukan. Tak banyak kata, hanya keheningan yang penuh empati. Pelukannya erat, seakan ingin meng
Hujan turun perlahan di malam itu. Udara kosan Aleeya berembus dingin, membuat aroma tanah basah menyusup masuk lewat jendela yang sedikit terbuka.Aleeya belum beranjak dari tempat tidurnya sejak sore. Kalung liontin pena pemberian Gian masih tergenggam erat. Matanya bengkak, tubuhnya lemas, dan pikirannya kacau.“Aku benci ini,” gumamnya pelan.Benci karena rindu. Benci karena harapannya tak bisa ia matikan begitu saja, meski ia mencoba keras menutup semua celah untuk lelaki itu.Tiba-tiba suara pintu diketuk. Pelan, tapi cukup jelas."Aleeya, aku di luar. Buka pintunya, ya…"Suara Alisa.Aleeya malas menjawab. Tapi Alisa sudah memutar gagang pintu dan masuk dengan wajah cemas.“Kamu ngapain diem aja di kamar? Kamu belum makan apa-apa dari siang, Leeya.”Aleeya menutup wajah dengan bantal. “Aku nggak pengen ngomong sama siapa-siapa.”Alisa duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya menyentuh bahu kakaknya dengan lembut."Aku tahu kamu lagi mikirin Gian. Dan aku… aku minta maaf."Aleey