"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari.
"Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian."
"Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu."
Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.
Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam.
"Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar.
"Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham.
"Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepan Ibu! Kamu membuat harga diriku seakan tak ada artinya! Pinter kamu ya! setiap hari mengeluh padaku apa tak cukup!" suaraku mulai meninggi.
Tari tampak terkejut. Keningnya berkerut seakan tak tahu apa yang terjadi.
"Maksud kamu, kedatangan Ibu kesini karena aku yang minta?" tanyanya lagi.
"Sudahlah, jangan pura-pura. Kamu pikir aku bo doh? mengerjakan tugas rumah ini adalah kewajiban kamu, Dek. Lakukan dengan ikhlas. Jangan apa-apa dijadikan beban. Sehingga semuanya terasa berat. Buat apa kamu seharian di rumah jika pekerjaan kamu, orang lain yang lakukan? dan aku harus bayar upah mereka."
Mata Tari mulai berkaca-kaca. Kenapa dia harus menangis? seharusnya dia meminta maaf padaku. Telah mempermalukan aku di depan ibunya.
"Baiklah, Mas. Jika keluhanku padamu itu kamu anggap sebuah hal yang salah. Mulai saat ini aku tak akan mengeluh lagi padamu, Mas!"
"Bagus. Seharusnya dari dulu kamu mengerti kondisiku. Aku seharian lelah bekerja di kantor. Sampai di rumah aku butuh istirahat. Bukan mendengar keluhanmu yang membosankan itu."
Tari mulai terisak. Bahunya turun naik. Perempuan itu kemudian merebahkan diri disamping Abrar yang sudah terlelap.
"Kalau kamu bisa mencari uang sendiri, kamu boleh ambil pembantu dan membayarnya sendiri. Tapi, kalau pakai uangku, kamu jangan harap. Aku tak punya budget lebih untuk itu." ujarku dengan nada sudah biasa. Rasanya puas telah memberikan pelajaran hidup yang berharga untuk Tari.
***
Pagi pagi, sarapan sudah tersedia. Alif dan Ammar baru saja bangun dan langsung dimandikan oleh Tari. Kehebohan mereka terdengar di kamar mandi. Tapi, tak masalah bagiku.
"Pa, Alif mau beli mobil mobilan. Punya Alif rodanya dipatahkan Ammar." adu Alif yang baru saja selesai mandi dan masih menggunakan handuk.
"Iya, nanti kalau gajian, Papa belikan, ya."
Alif tampak senang. Ammar sendiri sudah masuk kamar sepertinya sedang memakai baju dengan mamanya.
Tak lama bocah itu keluar dengan rambut rapi dan pakaian yang sudah berganti.
"Papa, Ammar kemarin dibelikan jajanan yang banyak sama Nenek." Ammar mendekatiku dengan sebuah biskuit ditangannya.
"Oh ya? beli dimana?" tanyaku sambil terus menyuap sarapan di hadapanku.
"Di warung Mbak Lela." sahutnya yang mulai membuka bungkus biskuit itu.
Aku mengusap rambut basah Ammar. Anak ini begitu tampan. Wajahnya perpaduan wajahku dengan Tari. Tak lama Alif pun keluar dengan membawa jajanan yang sama.
Saat anak itu hendak duduk di kursi tanpa sengaja tangannya menyentuh gelas yang berisi susu yang sudah disiapkan Tari untuknya. Hingga gelas itu jatuh ke lantai mengeluarkan suara kencang akibat kaca yang pecah berderai.
"Astaghfirullah, Alif ..." pekik Tari.
"Jangan turun, Sayang. Biar dibersihkan Mama belingnya." aku menahan Alif yang hendak turun dari kursi.
"Maafkan Alif, Ma." lirih Alif melihat wajah tari yang memelas.
"Sudah lah, Dek. Cepat bersihkan. Nanti pecahan kacanya mengenai kaki anak anak." titahku. Dengan bahu lemas, Tari ke belakang lalu kembali membawa ember juga kain pel ditangannya.
Melihat hal ini hatiku semakin tak baik baik saja. Aku meraih tas kerja kemudian berlalu.
"Papa, papa mau kemana? sarapannya kan belum habis,"seru Alif membuat langkahku terhenti.
"Papa berangkat kerja dulu, ya. Sudah siang, Papa takut telat," sahutku kemudian kembali melanjutkan langkah.
***
"Ar, istri kamu kebangetan ya joroknya. Masa rumah kotor dimana-mana. Cucian belum dijemur. Kerjanya apa sih?" Adu mama dari seberang sana.
"Apa sih, Ma? tiba-tiba telpon ngomel ngomel kayak gitu?" semburku tapi masih dengan memberikan tawa kecil, meledek Mama.
"Itu istri kamu! tadi Mama mampir, niatnya mau main sama Abrar, tapi liat rumah kamu seperti kapal pecah, Mama jadi urung. Geli aja lihat rumah berantakan begitu." Aku dapat membayangkan ekspresi Mama yang terdengar jijik.
"Namanya punya anakk kecil, Ma." aku mencoba membela Tari, meski kesal juga perempuan itu tak pernah berubah menjadi lebih bersih sedikit saja.
"Halah, Mama dulu punya kamu, rumah mama ga pernah kotor. Alasan aja tuh si Tari. Emang dasarnya malas."
Aku menghela nafas panjang. Entah apa yang harus aku lakukan pada Istriku itu. Kalau sudah begini aku pun malu sama Mama.
Setelah sambungan telepon berakhir, aku segera menelepon Tari.
"Halo, Mas ..."
"Dek ... kamu ngapain sih dirumah?" sentakku.
"Apa Mas? ga kedengaran. Anak anak rewel," sahutnya. Dari arah belakang memang terdengar suara Alif dan Ammar yang sedang teriak-teriakan entah kenapa. Begitu juga suara tangisan Abrar terdengar jelas di telingaku. Kemungkinan bayi itu sedang digendong oleh Tari.
"Tari ... Dek ...!"suara kegaduhan makin memekakan telinga.
"Arrgh ..! ga becus kamu menjadi ibu, tari! hal begituan saja kamu ga mampu menangani." bentakku lalu langsung memutuskan sambungan secara sepihak.
Ibu macam apa dia? tak ada yang bisa diandalkan dari perempuan itu. Apa aku ceraikan saja dia?
Hari ketiga sejak kejadian di warung seafood. Aleeya belum benar-benar keluar dari kamar kosnya. Tirai jendela masih tertutup, skripsi terbengkalai, dan nasi bungkus yang dikirim Alisa hanya disentuh sedikit. Tubuhnya sehat, tapi jiwanya terasa patah dalam keheningan yang asing.Aleeya bukan perempuan lemah. Ia biasa hidup mandiri, tangguh menghadapi kerasnya perkuliahan dan jarak dari keluarga. Tapi luka karena pengkhianatan? Itu urusan lain. Luka ini bukan soal Gian dan Alisa saja. Tapi tentang kepercayaan yang ia tanam dengan penuh harap—ternyata memiliki akar yang rapuh.Seseorang mengetuk pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.“Leeya, ini aku, Windi. Buka dong, please…”Suara sahabat kosnya yang selama ini jadi teman curhat. Dengan malas, Aleeya bangkit dan membuka pintu. Windi langsung masuk dengan sebungkus roti sobek dan satu kotak susu UHT.“Kalau kamu terus kayak gini, Mas Gian bisa mati penasaran.”Aleeya tidak menjawab. Ia hanya duduk di pinggir kasur.“Dia nyariin kamu ke ma
Langit Bandung sore itu mendung. Hujan belum turun, tapi angin sudah bicara. Dari balik jendela kosannya yang kecil namun rapi, Aleeya duduk di depan laptop, mencoba fokus menyusun skripsi revisi bab 4. Namun, pikirannya terbang ke tempat lain.Ke Gian.Lelaki yang beberapa bulan ini hadir bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai teman, tempat sandaran, bahkan belahan hati yang entah sejak kapan, mulai membentuk definisi baru tentang rumah.Denting notifikasi HP memecah lamunan. Satu pesan dari Gian.> “Aku nyampe depan kos. Bawa kamu makan enak. Keluar yuk!”Aleeya tersenyum. Ada hangat yang mekar di dadanya. Ia mengenakan kerudung, menyesuaikan sedikit bedaknya, lalu turun. Gian menunggunya dengan jas hujan tergantung di motor, wajahnya cerah meski langit kelabu.“Laper?” tanya Gian sambil menyodorkan helm.Aleeya mengangguk. “Banget. Tapi jangan mie ayam ya. Bosan.”Mereka berdua tertawa. Tidak ada janji berlebihan, tidak ada rencana muluk-muluk. Tapi kebersamaan mereka terasa rin
Sudah tiga minggu sejak Alisa mengetahui bahwa dirinya hamil. Dan sejak itu, rumah kecil mereka berubah. Tidak dalam bentuk, tapi dalam suasana. Ada nuansa baru lebih hati-hati, lebih penuh perhatian, tapi juga… lebih mudah meledak.“Sayang, kamu yakin masih mau makan mi instan?” tanya Hanan dari balik dapur, dengan wajah panik.Alisa duduk di sofa sambil memeluk bantal. Wajahnya sedikit pucat. “Aku ngidam, Mas. Cuma satu mangkok…”“Tapi dokternya bilang kamu harus jaga makanan.”Alisa mengerucutkan bibir. “Tapi kamu juga bilang mau nurutin semua yang aku pengen…”Hanan menghela napas. Ia memang bilang itu. Tapi dia juga membaca artikel-artikel tentang kehamilan yang membuatnya lebih panik dari seharusnya.Akhirnya, dia menuruti saja. Memasak mi instan… dengan sayur dan telur rebus, tanpa bumbu penuhnya, lalu menyajikannya seperti sedang mengikuti lomba masak sehat.Alisa tersenyum lemah. “Kamu lebay, tapi aku suka.”Mereka makan bersama, meski Alisa tak habis. Sejak hamil, perutnya c
Sudah hampir delapan bulan sejak Alisa dan Hanan menikah. Rumah kecil di pinggiran kota yang mereka tempati terasa hangat. Dindingnya masih polos, furniturnya sederhana, dan halaman belakang masih berupa tanah merah yang belum sempat ditanami apa pun.Tapi di dalamnya… ada dua hati yang sedang belajar saling memahami.Pagi itu, Alisa berdiri di dapur dengan daster lusuh dan rambut yang diikat asal. Tangan kanannya memegang spatula, sementara tangan kirinya sesekali mengelus perutnya yang masih rata. Program hamil yang mereka jalani memang belum menunjukkan hasil, tapi setiap pagi, Alisa selalu berharap.Hanan datang dari belakang, memeluknya dengan kedua tangan.“Wangi banget…” gumam Hanan seraya mencium pundak istrinya.Alisa tersenyum kecil. “Telur dadar doang, Mas. Bukan parfum mahal.”“Ya tapi yang masak istriku. Jadi wangi.”Hanan memang bukan tipe romantis berlebihan, tapi sejak menikah, Alisa mulai menemukan sisi Hanan yang lembut—sisi yang dulu tertutup oleh kenakalannya semas
Sejak menerima pesan ancaman dari Reyna, Aleeya jadi lebih sering menyendiri. Ia menghindari membuka media sosial, bahkan mulai menjaga jarak dengan Gian. Bukan karena rasa cintanya memudar, tapi karena ketakutan—ketakutan akan kehilangan lagi, seperti dulu saat harus merelakan Raka pergi karena masa lalunya.“Aleeya,” suara Gian di ujung telepon terdengar lembut. “Aku bisa datang? Kita ngobrol baik-baik. Aku nggak suka digantung kayak gini…”Aleeya terdiam di balik tirai kamarnya, menatap hujan yang mengguyur kaca jendela. Lalu menjawab, “Datanglah.”Tak sampai satu jam kemudian, Gian sudah di ruang tamu rumah besar peninggalan Tari. Aleeya duduk di seberangnya dengan wajah lelah.“Reyna itu masa lalu aku, Leeya. Dia pernah jadi tunangan, iya. Tapi aku nggak pernah cinta dia. Hubungan kami penuh tuntutan keluarga.”Aleeya menatap Gian dengan mata berkaca. “Tapi kamu juga nggak pernah cerita tentang dia…”“Aku takut kamu kabur. Sama kayak kamu kabur dari Raka waktu itu.”Deg.“Aku buk
Sudah dua bulan sejak pernikahan Alisa dan Hanan. Rumah kecil di pinggir kota yang mereka tinggali penuh dengan canda tawa dan ketulusan. Hanan yang dulu terlihat canggung, kini makin percaya diri menjadi suami yang tangguh dan sabar. Alisa pun tak lagi mudah marah seperti dulu. Ada kelembutan baru dalam sikapnya, mungkin karena cinta yang kini benar-benar dirasakan tanpa paksaan, tanpa luka masa lalu.Namun di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang belum mereka bicarakan: keinginan Alisa untuk punya anak secepatnya.“Aku pengen langsung isi, Han,” ucap Alisa suatu malam sambil menyisir rambutnya di depan cermin.Hanan yang sedang membaca buku di kasur menoleh. “Nggak buru-buru juga, Sayang. Kita baru mulai. Nikmati dulu masa berdua, ya?”“Tapi… aku ngerasa Bunda bakal seneng kalau lihat kita punya bayi. Aku pengen kasih kabar itu ke keluarga. Buat mereka bangga.”Hanan mendekat dan memeluk dari belakang. “Kita usahain, ya. Tapi pelan-pelan. Kamu nggak sendiri sekarang. Ada aku.”Ali