Share

Capek (2)

Penulis: Mutiara Sukma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-12 16:57:28

"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari.

"Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian."

"Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu." 

Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.

Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam.

"Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar.

"Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham.

"Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepan Ibu! Kamu membuat harga diriku seakan tak ada artinya! Pinter kamu ya! setiap hari mengeluh padaku apa tak cukup!" suaraku mulai meninggi. 

Tari tampak terkejut. Keningnya berkerut seakan tak tahu apa yang terjadi.

"Maksud kamu, kedatangan Ibu kesini karena aku yang minta?" tanyanya lagi.

"Sudahlah, jangan pura-pura. Kamu pikir aku bo doh? mengerjakan tugas rumah ini adalah kewajiban kamu, Dek. Lakukan dengan ikhlas. Jangan apa-apa dijadikan beban. Sehingga semuanya terasa berat. Buat apa kamu seharian di rumah jika pekerjaan kamu, orang lain yang lakukan? dan aku harus bayar upah mereka."

Mata Tari mulai berkaca-kaca. Kenapa dia harus menangis? seharusnya dia meminta maaf padaku. Telah mempermalukan aku di depan ibunya.

"Baiklah, Mas. Jika keluhanku padamu itu kamu anggap sebuah hal yang salah. Mulai saat ini aku tak akan mengeluh lagi padamu, Mas!"

"Bagus. Seharusnya dari dulu kamu mengerti kondisiku. Aku seharian lelah bekerja di kantor.  Sampai di rumah aku butuh istirahat. Bukan mendengar keluhanmu yang membosankan itu."

Tari mulai terisak. Bahunya turun naik. Perempuan itu kemudian merebahkan diri disamping Abrar yang sudah terlelap.

"Kalau kamu bisa mencari uang sendiri, kamu boleh ambil pembantu dan membayarnya sendiri. Tapi, kalau pakai uangku, kamu jangan harap. Aku tak punya budget lebih untuk itu." ujarku dengan nada sudah biasa. Rasanya puas telah memberikan pelajaran hidup yang berharga untuk Tari. 

***

Pagi pagi, sarapan sudah tersedia. Alif dan Ammar baru saja bangun dan langsung dimandikan oleh Tari. Kehebohan mereka terdengar di kamar mandi. Tapi, tak masalah bagiku.

"Pa, Alif mau beli mobil mobilan. Punya Alif rodanya dipatahkan Ammar." adu Alif yang baru saja selesai mandi dan masih menggunakan handuk.

"Iya, nanti kalau gajian, Papa belikan, ya."

Alif tampak senang. Ammar sendiri sudah masuk kamar sepertinya sedang memakai baju dengan mamanya. 

Tak lama bocah itu keluar dengan rambut rapi dan pakaian yang sudah berganti. 

"Papa, Ammar kemarin dibelikan jajanan yang banyak sama Nenek." Ammar mendekatiku dengan sebuah biskuit ditangannya.

"Oh ya? beli dimana?" tanyaku sambil terus menyuap sarapan di hadapanku.

"Di warung Mbak Lela." sahutnya yang mulai membuka bungkus biskuit itu.

Aku mengusap rambut basah Ammar. Anak ini begitu tampan. Wajahnya perpaduan wajahku dengan Tari. Tak lama Alif pun keluar dengan membawa jajanan yang sama. 

Saat anak itu hendak duduk di kursi tanpa sengaja tangannya menyentuh gelas yang berisi susu yang sudah disiapkan Tari untuknya. Hingga gelas itu jatuh ke lantai mengeluarkan suara kencang akibat kaca yang pecah berderai.

"Astaghfirullah, Alif ..." pekik Tari.

"Jangan turun, Sayang. Biar dibersihkan Mama belingnya." aku menahan Alif yang hendak turun dari kursi.

"Maafkan Alif, Ma." lirih Alif melihat wajah tari yang memelas.

"Sudah lah, Dek. Cepat bersihkan. Nanti pecahan kacanya mengenai kaki anak anak." titahku. Dengan bahu lemas, Tari ke belakang lalu kembali membawa ember juga kain pel ditangannya. 

Melihat hal ini hatiku semakin tak baik baik saja. Aku meraih tas kerja kemudian berlalu.

"Papa, papa mau kemana? sarapannya kan belum habis,"seru Alif membuat langkahku terhenti.

"Papa berangkat kerja dulu, ya. Sudah siang, Papa takut telat," sahutku kemudian kembali melanjutkan langkah.

***

"Ar, istri kamu kebangetan ya joroknya. Masa rumah kotor dimana-mana. Cucian belum dijemur. Kerjanya apa sih?"  Adu mama dari seberang sana.

"Apa sih, Ma? tiba-tiba telpon ngomel ngomel kayak gitu?" semburku tapi masih dengan memberikan tawa kecil, meledek Mama.

"Itu istri kamu! tadi Mama mampir, niatnya mau main sama Abrar, tapi liat rumah kamu seperti kapal pecah, Mama jadi urung. Geli aja lihat rumah berantakan begitu." Aku dapat membayangkan ekspresi Mama yang terdengar jijik.

"Namanya punya anakk kecil, Ma." aku mencoba membela Tari, meski kesal juga perempuan itu tak pernah berubah menjadi lebih bersih sedikit saja.

"Halah, Mama dulu punya kamu, rumah mama ga pernah kotor. Alasan aja tuh si Tari. Emang dasarnya malas."

Aku menghela nafas panjang. Entah apa yang harus aku lakukan pada Istriku itu. Kalau sudah begini aku pun malu sama Mama.

Setelah sambungan telepon berakhir, aku segera menelepon Tari.

"Halo, Mas ..."

"Dek ... kamu ngapain sih dirumah?" sentakku. 

"Apa Mas? ga kedengaran. Anak anak rewel," sahutnya. Dari arah belakang memang terdengar suara Alif dan Ammar yang sedang teriak-teriakan entah kenapa. Begitu juga suara tangisan Abrar terdengar jelas di telingaku. Kemungkinan bayi itu sedang digendong oleh Tari.

"Tari ... Dek ...!"suara kegaduhan makin memekakan telinga.

"Arrgh ..! ga becus kamu menjadi ibu, tari! hal begituan saja kamu ga mampu menangani." bentakku lalu langsung memutuskan sambungan secara sepihak. 

Ibu macam apa dia? tak ada yang bisa diandalkan dari perempuan itu. Apa aku ceraikan saja dia?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Hapsah
............suka dengan cara tari membalas suaminya yg pelit
goodnovel comment avatar
Hapsah
mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Suriani
bunga kehidupan rumah tangga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 98

    Sudah hampir tiga minggu sejak Gian melamar Aleeya. Cincin sederhana dengan mata kecil berbentuk daun masih terpasang manis di jari manis Aleeya. Tapi meski hati mereka sudah yakin satu sama lain, jalan menuju pelaminan ternyata tidak semudah harapan.“Aku pengen nikah sederhana aja,” ucap Aleeya suatu malam, sambil rebahan di sofa bersama Gian. “Yang penting sah, ada keluarga, udah cukup.”Gian tersenyum. “Tapi kamu juga berhak bahagia, Lee. Kalau bisa kita rayain bareng-bareng, kenapa nggak?”Aleeya mendesah. “Aku takut ribetnya, Gian. Takut… malah jadi momen penuh tekanan.”Gian menggenggam tangan Aleeya erat. “Kalau kamu capek, aku yang hadapin semua. Tapi aku mau hari itu jadi hari paling bahagia buat kamu. Hari yang bisa kamu kenang, sampai tua nanti.”Aleeya menatap mata Gian lama-lama, lalu tersenyum.“Aku tuh beruntung banget nemuin kamu, tahu nggak?”“Tahu dong. Tapi kamu juga beruntung. Soalnya aku tampan, sabar, dan—”Aleeya melempar bantal ke wajah Gian sambil tertawa. Su

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 97

    Hari ke-14 dalam program. Alisa sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit kecil di sekitar perutnya. Tapi yang tak terbiasa adalah… rasa takut. Takut gagal. Takut berharap.Pagi itu, ia duduk termenung di ruang keluarga. Hanan sedang memanaskan air, sementara televisi menyiarkan berita ringan.“Sayang,” Hanan datang membawa dua gelas jahe hangat. “Kamu masih pucat. Gimana kalau kita istirahat dulu dari suntikan?”Alisa menggeleng. “Aku takut kalau berhenti, nanti… gagal lagi.”Hanan memegang wajah istrinya dengan lembut. “Kamu nggak gagal, Sa. Kamu kuat. Bahkan saat kamu nangis diam-diam malam-malam... kamu tetap perempuan paling kuat yang aku tahu.”Alisa tak kuasa menahan tangisnya.Hanan mendekapnya erat.“Aku ingin kamu hidup. Bahagia. Bukan cuma ngotot punya anak dan ngelupain dirimu sendiri.”Alisa mengangguk dalam tangis. Hari itu mereka memutuskan break dua minggu dari terapi. Hanya untuk berlibur. Menikmati waktu berdua, tanpa target.**ALEEYA & GIANDi sisi lain kota, Aleeya d

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 96

    Siap! Kita lanjutkan kisah Aleeya & Gian serta Alisa & Hanan secara paralel, dengan alur yang mengalir, drama rumah tangga yang menyentuh, emosional, dan pastinya lebih panjang. Di bab ini, dua saudara perempuan itu menjalani fase hidup berbeda—yang satu mencoba memperbaiki hati, yang lain berjuang menanti hadirnya buah hati.**Malam semakin larut di studio Gian. Aleeya masih duduk di sofa kecil sambil menggenggam cangkir teh hangat, matanya sembab karena terlalu lama menahan tangis dan malu.“Kamu tahu,” ujar Gian pelan, “aku bahkan sempat mikir kamu benci aku.”Aleeya menunduk. “Aku nggak benci kamu. Aku benci diriku sendiri... karena nggak percaya sama kamu.”Gian tersenyum kecil. Ia melangkah ke arah lukisan di sudut ruangan—lukisan wajah Aleeya yang belum selesai.“Aku terus lanjutin ini, meski kita udah nggak bicara. Karena aku tahu... cinta itu bukan soal status. Tapi keberanian buat bertahan.”Aleeya memandang lukisan itu. Sebagian warna sudah memudar, seperti kisah mereka ya

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 95

    “Ngidam?”Alisa diam saja sambil terus menatap layar ponsel.Hanan mengangkat alis, meletakkan gelas susu hangat di meja kecil dekat tempat tidur. “Lis, kamu denger nggak? Kamu ngidam ya?”“Hmm…” Alisa bergumam tanpa menoleh. “Aku lagi nonton video ibu-ibu melahirkan.”Hanan refleks mengerutkan dahi. “Kok kamu… ya Allah, kenapa sih nonton kayak gitu sekarang? Bukannya malah makin parno?”Alisa meletakkan ponsel. Wajahnya datar tapi matanya berkaca. “Han, itu perjuangan. Aku ngerasa terharu aja. Mereka semua nangis… suaminya cium kening… anaknya digendong. Aku juga pengen kayak gitu.”Hanan duduk di samping istrinya, mengusap rambut Alisa perlahan. “Dan kamu bakal ngalamin itu juga. Tapi pelan-pelan ya, jangan semua ditonton sekarang. Nanti kamu keburu takut duluan.”Alisa mengangguk pelan. Tapi ia tetap diam. Hanan tahu, diamnya Alisa bukan karena tenang. Tapi karena ada begitu banyak hal yang sedang dipikirkan istrinya.**Beberapa hari kemudian…Mual mulai datang di pagi hari. Kadan

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 94

    "Udah telat seminggu," ucap Alisa pelan sambil duduk di tepi tempat tidur, memandangi test pack kosong yang belum ia buka.Hanan keluar dari kamar mandi, rambutnya basah, handuk melilit di leher. Ia menatap istrinya yang tampak cemas, lalu duduk di sampingnya."Tes aja, Sayang."Alisa menggeleng. "Takut.""Takut kenapa?""Takut kecewa. Kayak bulan lalu."Hanan menghela napas dan menggenggam tangan istrinya. “Kita udah sepakat jalanin ini bareng, kan? Kalau hasilnya negatif, kita coba lagi. Kalau positif… kita sujud syukur sama-sama.”Alisa akhirnya mengangguk.Tangannya gemetar saat membuka bungkus test pack, lalu masuk ke kamar mandi. Lima menit yang terasa seperti seabad.Begitu ia keluar lagi, wajahnya datar. Tak bersuara. Ia menyerahkan alat itu ke Hanan.Hanan melihat—garis satu.Lagi-lagi.Alisa langsung duduk dan menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku capek…”Hanan menariknya dalam pelukan. Tak banyak kata, hanya keheningan yang penuh empati. Pelukannya erat, seakan ingin meng

  • KETIKA ISTRIKU BERHENTI MENGELUH    Season 3 bab 93

    Hujan turun perlahan di malam itu. Udara kosan Aleeya berembus dingin, membuat aroma tanah basah menyusup masuk lewat jendela yang sedikit terbuka.Aleeya belum beranjak dari tempat tidurnya sejak sore. Kalung liontin pena pemberian Gian masih tergenggam erat. Matanya bengkak, tubuhnya lemas, dan pikirannya kacau.“Aku benci ini,” gumamnya pelan.Benci karena rindu. Benci karena harapannya tak bisa ia matikan begitu saja, meski ia mencoba keras menutup semua celah untuk lelaki itu.Tiba-tiba suara pintu diketuk. Pelan, tapi cukup jelas."Aleeya, aku di luar. Buka pintunya, ya…"Suara Alisa.Aleeya malas menjawab. Tapi Alisa sudah memutar gagang pintu dan masuk dengan wajah cemas.“Kamu ngapain diem aja di kamar? Kamu belum makan apa-apa dari siang, Leeya.”Aleeya menutup wajah dengan bantal. “Aku nggak pengen ngomong sama siapa-siapa.”Alisa duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya menyentuh bahu kakaknya dengan lembut."Aku tahu kamu lagi mikirin Gian. Dan aku… aku minta maaf."Aleey

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status