LOGIN
"Me-menikah dengan kakak angkatmu? Kamu gila?!" Terbata, Bianca menyuarakan keterkejutannya.
Bagaimana mungkin kekasihnya sendiri memintanya untuk menikahi kakaknya?
"Begini, Bi. Kamu tau sendiri kakak angkatku sudah hampir satu tahun ini koma. Keluargaku sangat khawatir suatu saat ia tidak bisa bertahan."
Bianca tetap tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan kekasihnya—Taylor.
"Kenapa harus aku?" tanya gadis itu dengan suara menahan amarah.
"Keluarga memintaku mencari wanita baik-baik untuk melahirkan penerus kakakku itu. Kamu satu-satunya wanita yang kupercaya, Bi."
Lagi-lagi, Taylor memandang Bianca dengan tatapan memohon. Suaranya terdengar memelas dan putus asa.
Bianca balas menatap sang kekasih. Ia berusaha mencari-cari kebohongan di mata itu. Namun, sekali lagi, kepalanya menggeleng pelan.
"Kamu rela kekasihmu menikah dengan kakakmu? Kekasih macam apa kamu ini?" Bianca bertanya lirih, tapi suaranya terdengar kesal.
"Pernikahan ini hanya sebagai status semata, Bi. Kamu mengandung anak kakakku pun melalui inseminasi. Aku hanya berniat membantumu dan kakakku."
Taylor menghampiri Bianca. Mengusap pelan lengan atas sang kekasih dan berkata dengan lirih.
"Tolong pikirkan, ya? Kamu butuh uang banyak untuk pengobatan kakakmu yang sakit, bukan? Penawaran ini bisa menjadi jalan keluar dari masalahmu,” katanya sambil menatap Bianca lembut. “Aku pulang dulu.”
Bianca memandang punggung Taylor yang menjauh hingga sosok itu menghilang di balik pintu.
Dengan mata terpejam, Bianca menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Udara di apartemen kecilnya ini jadi terasa semakin menyesakkan dada.
Tiga milyar untuk melahirkan keturunan pewaris keluarga bilioner di negara mereka. Tawaran yang datang saat ia benar-benar membutuhkan uang.
‘Hanya sampai kamu melahirkan anak pewaris itu. Setelahnya, kamu dan kakak angkatku bisa bercerai. dan kita menikah.’
Pernyataan Taylor terngiang kembali di telinga. Meski begitu, hatinya masih sangat bimbang. Menikahi kakak angkat dari kekasihnya sendiri masih terdengar tidak masuk akal baginya.
Tak ingin larut dalam bimbang, malam harinya Bianca memutuskan pergi ke apartemen Taylor. Ia harus tahu dengan detail bagaimana kontrak pernikahan ini, sekaligus ia ingin mengajukan beberapa syarat.
Bianca menekan password pintu apartemen Taylor. Ia masuk dan langsung mengerutkan kening saat melihat beberapa potongan pakaian bertebaran di lantai.
Kepalanya menoleh saat mendengar desahan dari kamar. Dengan jantung berdebar, Bianca mendekati pintu dan mengintip dari balik celahnya yang tidak tertutup rapat.
Sontak, Bianca menutup mulut. Jantungnya mencelos saat melihat Taylor seperti baru selesai bercinta dengan wanita yang dikenal Bianca sebagai sekretarisnya.
Baru akan melabrak kekasihnya, ia mendengar namanya disebut-sebut. Bianca berdiri mematung sambil menajamkan pendengaran.
"Kamu harus meyakinkan Bianca lagi untuk menikahi kakak angkatmu, Sayang."
"Ternyata wanita bodoh itu tidak tergiur oleh uang banyak." Taylor mendengus.
Bianca mengepalkan tangan erat. Wanita bodoh katanya?!
"Jangan-jangan dia memang sudah jatuh cinta betulan denganmu." Sekretaris Taylor itu terbahak-bahak. "Dasar wanita tolol."
Bianca mendengar nada jijik dalam suara Taylor saat berkata, "Masa bodoh dengan perasaannya. Yang jelas, aku tidak akan jatuh cinta pada gadis polos seperti dia. Kamu tau aku mendekatinya karena kecerdasannya yang bisa kumanfaatkan di kantor."
"Sekarang, mari kita manfaatkan rahimnya untuk melahirkan anak kita," sahut si sekretaris.
Bianca tidak bisa mempercayai telinganya sendiri.
Jadi ini ….
Inilah tujuan Taylor yang sebenarnya.
"Bayangkan. Jika anak kita lahir dan mereka mengira itu anak kakakku. Anak itu akan menjadi pewaris tunggal. Kita akan kaya raya!"
Gelak tawa kedua manusia jahaman itu mengiringi langkah Bianca keluar dari apartemen.
Selama ini ternyata Taylor telah menipunya. Bahkan kedua makhluk busuk itu berencana mengganti benih kakak angkat Taylor dengan benih mereka.
Bianca berjalan tak tentu arah. Ia hanya berputar-putar dengan otaknya yang bekerja cepat.
"Jangan menangis!" Bianca memperingati dirinya sendiri, meski hatinya luluh lantak dengan kenyataan yang baru saja menamparnya dengan keras.
Gadis itu dengan cepat mengusap kasar pipinya yang basah oleh air mata.
Setelah mengembuskan napas beratnya berkali-kali, Bianca mengangguk tegas.
"Oke, Taylor. Aku ikuti permainanmu sekarang!"
**
Bianca berdiri di samping ranjang hidrolik. Seorang lelaki berbaring dengan kulit pucat dan rambut yang panjangnya tidak lebih dari dua centimeter.
Geoff Hamlet Willson—pengusaha muda berusia pertengahan tiga puluhan itu adalah kakak angkat Taylor.
“Geo, ini calon istrimu. Kami akan menikahkanmu hari ini.”
Marissa—ibu Geo—seorang wanita yang masih terlihat cantik dan elegan di usianya yang senja mengelus kepala Geo.
Tentu saja tidak ada reaksi.
Bianca menatap wajah datar itu dengan rasa penasaran. Apa yang membuatnya betah koma berbulan-bulan? Padahal dokter mengatakan organ penunjang hidupnya telah berangsur pulih setelah mengalami kecelakaan fatal.
Bianca lalu melirik Taylor yang bicara dengan ibu angkatnya. Marissa terdengar mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Taylor karena merelakan Bianca menikah dengan Geo.
“Aku rela, Ma. Aku juga ingin Kak Geo memiliki keturunan dari wanita baik-baik. Kak Geo juga selama ini mengenal Bianca sebagai wanita pekerja keras.”
Ingin rasanya Bianca muntah mendengar ucapan Taylor. Pintar sekali lelaki itu membual!
Marissa terlihat mengangguk. “Semoga saja proses inseminasi bayi Geo berjalan lancar, jadi kita memiliki pewaris darinya.”
Proses pernikahan berlangsung cepat. Marissa yang menyisipkan cincin emas polos di jari manis Bianca.
Tidak ada pesta ataupun ucapan selamat yang didapat Bianca. Ia hanya benar-benar sebagai alat resmi untuk mencetak bayi penerus marga keluarga bilioner.
Keluarga masih berbincang di ruangan setelah pernikahan. Bianca melirik lelaki yang telah menjadi suaminya. Ia mengerutkan kening saat melihat bola mata Geo yang tertutup terlihat bergerak-gerak.
“Umm... Auntie Marissa?”
Bukan hanya Marissa yang menoleh. Semua orang yang masih berada di ruangan menatap Bianca.
“Ada apa?” Marissa menjawab tanpa menghampiri Bianca.
“Pu-putra Anda ….” Bianca memandang Geoff dengan tatapan ngeri. “Putra Anda membuka matanya!”
Haiii ... ReyReaders. Ketemu lagi di novel baru. Semoga suka ya. Terima kasih banyak buat yang masih lanjut baca buku-buku Rey. Aku terharuu. Semoga sehat-sehat selalu, dimudahkan dan dilancarkan segala urusan serta diberi kelapangan rezeki. Aamiin. Luv semuanya.
Geo keluar dengan wajah memberengut. Persis anak kecil yang baru kena omel ibunya. Di depan pintu kamar, ia terpaku sejenak, bingung mau ke mana.Ke kamar Blue dan Grey tidak mungkin. Dua anak jenius itu pasti bertanya dan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang tuanya bertengkar. Dan yang pasti, si kembar sulung akan membela mommy-nya.Kamar Sky dan Luna juga tidak bisa karena setiap dua jam sekali, akan ada suster yang masuk dan memeriksa keadaan Sky dan Luna.Kamar tamu? Geo menggeleng. Pelayan akan mengadu ke Mommy Marissa bahwa ia minta disiapkan kamar. Sudah pasti, Mommy dan Daddy jadi tau bahwa Bianca tidak mau tidur dengannya malam ini.Akhirnya Geo melangkah ke ruang kerja. Paling tidak ada sofa di sana. Ia akan mengunci pintu seolah sedang bekerja lembur.“Kak Geo?”Geo berhenti. Taylor mendekatinya dengan wajah bingung. “Mau ke mana, Kak?”“Mau tidur di ruang kerja.” Geo membalas lemah.Taylor menaikkan alis. “Kakakku diusir dari kamar sendiri?” tanyanya sambil menahan tawa.
Geo sampai menyewa suster pribadi untuk membantu Dini. Paling tidak ada yang menemani wanita yang terlihat masih shock itu. Juga agar Geo dapat membawa pulang Taylor.“Aku di sini saja, Kak.” Taylor masih tampak enggan pergi.“Pulang!” Geo menyahut tegas. “Kita bicarakan di mansion.”Akhirnya Taylor berpamitan pada Dini. Dengan langkah berat, lelaki itu mengikuti Geo yang mempercepat langkah ke mobil.Keluarga Willson duduk melingkar di ruang keluarga, suasananya menegang meski lampu chandelier memancarkan cahaya lembut. Taylor duduk di hadapan mereka, masih dengan pakaian kencan yang agak berantakan.“Aku kebetulan sedang jalan-jalan setelah makan malam dengan Denita. Ada kerumunan orang di pinggir jalan, pikirku cuma keributan biasa. Tapi waktu dengar ada anak kecil jadi korban tabrak lari, aku ikut lari ke sana. Baru sadar kalau itu Alika setelah melihat wajahnya.”“Dan kamu langsung bantu bawa ke rumah sakit?” tanya Marissa.Taylor mengangguk. “Ya. Dokternya bilang dia kehilangan
Taylor keluar dari restoran dan memilih berjalan-jalan. Di sekitarnya ada banyak pertokoan mewah dengan brand-brand internasional. Karena ingin membeli perlengkapan mandi, Taylor masuk ke salah satu tokoTak butuh lama, Taylor menemukan produk yang biasa ia gunakan. Tetapi, kemudian ia melihat lorong perlengkapan mandi anak-anak.“Aku beli untuk keponakan-keponakan sekalian aja untuk mereka mandi di pondok.” Taylor memfoto produk-produk di rak pada Geo karena tidak tau yang mana yang cocok untuk Blue, Grey, Sky dan Luna.Saat sedang berbalas pesan, di luar terdengar suara keramaian. Orang-orang tampak berkerumun di sisi jalan, dan lampu mobil yang berhenti berderet membuat suasananya tampak kacau.“Ada apa?” Salah satu pelayan toko bertanya pada orang yang lewat.“Tabrak lari. Kasihan, korbannya anak kecil.”Jantung Taylor mencelos. Awalnya ia berniat tak ikut campur. Sudah banyak orang di sana, pikirnya.Tapi kalimat anak kecil membuat langkahnya tak bisa berhenti. Entah mengapa, hat
“Jalani saja apa yang ada sekarang.”Kalimat itu yang menjadi senjata Taylor jika keluarga Willson menyinggung tentang hubungannya dengan wanita. Selalu tersenyum tipis dan tampak pasrah. Sama sekali tidak ada rasa kesal dengan pertanyaan tersebut.Taylor sendiri mengaku sangat ingin berumahtangga. Terutama jika melihat dan berinteraksi dengan keponakan-keponakannya. Membayangkan ada yang menemani berkebun, pasti menyenangkan.“Tapi, wanita modern mana yang suka dengan lelaki yang lebih memilih menjadi petani ketimbang duduk di kursi pimpinan? Apalagi dengan masa lalu rumit sepertiku ini.”Jawaban itu membuat keluarga hanya bisa menarik napas panjang. Tetapi tentu saja mereka tidak menyerah.Lalu, Marissa mulai rutin membuat pertemuan untuk Taylor. Wanita mulai dari selebriti, influencer, model, pekerja kantoran hingga guru, ia pasangkan dengan putra angkatnya.Setiap minggu, Taylor wajib datang ke mansion. Marissa akan mendandani dan mengantar ke tempat pertemuan dengan salah satu an
“Kamu ngobrol apa sama Nina, Sayang? Kayanya tegang banget?” Geo bertanya kala mereka sudah berada di mobil.“Ngomongin Taylor.”“Terus? Apa ada kemungkinan mereka berbaikan?”Bianca menggeleng. “Mungkin selama ini, Nina itu hidupnya lurus banget kali, ya. Tidak pernah ada masalah berat hingga mendengar kisah Taylor, dia jadi shock berat.”Geo mendengus. “Gimana kalo dia dengar kisahmu? Bisa pingsan kali. Tapi, aku yakin setiap orang yang memiliki masa kecil berat, saat dewasa bisa lebih matang pemikirannya.”Mereka terdiam sejenak. Bianca memainkan cincin pemberian Geo di jari manisnya. Geo benar, kalau dipikir-pikir, masa lalunya sangat berat dan ia ternyata bisa melewatinya.“Oh ya, terus Nina kaya kaget gitu pas aku bilang keluarga Willson mau jodohin Taylor sama seseorang.”Geo tergelak. “Gimana sih Nina itu. Jelas masih suka tapi baperan banget.”“Iya. Ribet sih kalau diterusin.”Selama perjalanan pulang, Geo sering kali menoleh menatap Bianca dan tersenyum. Sesekali, tangannya
Bianca menutup berkas di mejanya. Ia mengangguk puas pada tim yang bekerja. Matanya berkaca-kaca terharu melihat perkembangan perusahaannya sendiri.“Teman-teman,” ucapnya sambil menatap seluruh ruangan. “Tahun ini kita berhasil menutup kontrak dengan tiga perusahaan besar, termasuk salah satu jaringan ritel internasional.”Tepuk tangan langsung menggema. Beberapa karyawan saling melakukan tos, yang lain bersorak pelan dengan raut bangga.Bianca melanjutkan dengan suara bergetar lembut. “Usaha ini awalnya aku lakukan sendiri. Tidak kusangka bisa berkembang seperti sekarang. Semua karena kerja keras kalian juga. Terima kasih, ya.”Ia lalu mengambil beberapa amplop putih dari meja. “Mulai bulan ini, seluruh tim akan menerima bonus performa — dan ini bukan yang terakhir. Aku ingin Blue and Grey Consultant jadi tempat di mana kerja dan prestasi setiap orang dihargai.”Sorakan semakin riuh. Salah satu karyawan, bahkan meneteskan air mata.Bianca tersenyum, matanya ikut berkaca. “Selamat me







