Sejak hari pernikahannya dengan Amara, Geo diam-diam menyimpan harapan: bahwa sebagian ingatannya yang hilang akan kembali perlahan. Ia ingin sekali bisa merasakan lagi potongan memori hangat, terutama saat-saat bersama Amara yang dulu katanya penuh cinta.Namun kenyataan pahit menamparnya. Dua tahun berlalu, dan tetap saja kosong. Tak ada seberkas ingatan pun yang kembali.Jika pun ada, hanyalah fragmen samar-samar, tapi anehnya, tidak pernah benar-benar tentang Amara.Geo sering duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap foto pernikahan mereka yang terpajang di dinding. Wajahnya muram.“Kenapa… aku merasa ada yang hilang, tapi bukan sama dia?” gumamnya lirih.Kehidupan rumah tangga mereka pun jauh dari kata bahagia. Amara berusaha bersikap sebagai istri yang baik, selalu tampak sabar di depan Geo. Namun di balik senyumnya, ada kegelisahan besar. Karena ia sadar, pernikahan itu sendiri sebenarnya lahir dari sebuah perjanjian.Semua ini hanyalah syarat. Syarat yang dulu diberikan oleh
Sejak menerima penghargaan di sekolah, Blue dan Grey jadi sering diundang mengikuti berbagai lomba—mulai dari olimpiade anak, kompetisi sains, sampai festival literasi. Tak hanya di dalam kota, tapi juga ke luar kota.Bianca dengan sabar mendampingi mereka, meski jadwalnya padat sebagai konsultan. Kadang, jika ia harus menghadiri pertemuan online yang tak bisa ditinggal, Billy ikut turun tangan menemani si kembar.Hubungan paman-keponakan itu sangat dekat, sehingga Blue dan Grey nyaman bersama Billy layaknya dengan daddy sendiri.Setiap kali lomba, keduanya hampir selalu membawa pulang medali atau sertifikat penghargaan. Nama Blue and Grey mulai dikenal di kalangan orang tua murid sebagai “anak-anak ajaib.”Namun, semakin sering tampil di publik, semakin banyak juga komentar dan bisik-bisik yang muncul.Suatu hari, saat Bianca menunggu anak-anak selesai lomba, ia mendengar percakapan sekelompok ibu-ibu di belakangnya.“Pintar sekali ya anak-anak itu. Kembar, ganteng, berbakat lagi.”
Tiga tahun sudah berlalu sejak Bianca melahirkan si kembar. Kehidupannya berubah total. Dari seorang istri kontrak yang dulu sering direndahkan, kini ia menjelma menjadi sosok mandiri dan disegani.Di ruang kerjanya yang elegan namun tetap hangat, Bianca sibuk dengan laptop, headset, dan papan tulis digital di belakangnya. Nama usahanya kini sudah dikenal banyak klien: Blue and Grey Consultant.Sebuah nama yang ia pilih bukan tanpa alasan—diambil dari nama sayang untuk kedua anaknya, sebuah pengingat bahwa semua kerja kerasnya adalah demi mereka.Yang membuat banyak orang kagum, Bianca tidak pernah menampakkan identitas aslinya. Semua presentasi dan konsultasi ia lakukan secara online dengan branding profesional, suara yang lembut namun tegas, dan strategi keuangan yang terbukti berhasil.Banyak perusahaan besar mengira bahwa “Blue and Grey” adalah tim konsultan dengan pengalaman bertahun-tahun—padahal di balik layar hanyalah Bianca seorang diri.Dan kejeniusannya itu ternyata diwaris
Di ruang bersalin yang bercahaya putih terang, suara detak monitor jantung berpadu dengan napas terengah Bianca. Billy berdiri di sisi tempat tidur, menggenggam tangannya erat, sementara Windy berada di sisi lain, mengelap keringat di dahinya.“Sedikit lagi, Bianca! Tarik napas… dorong!” suara dokter memberi arahan dengan tegas namun penuh semangat.Tangisan pertama pecah, memenuhi ruangan. Seorang bayi lelaki mungil, kulitnya kemerahan, diangkat tinggi sebentar sebelum dibersihkan.“Selamat, ini bayi pertamanya! Lelaki!”Air mata mengalir di pipi Bianca, tapi ia belum sempat memeluk putra pertamanya ketika rasa sakit kembali menyerang. Hanya beberapa menit kemudian, tangisan kedua terdengar—bayi kembar lelaki keduanya lahir dengan suara tangis yang lebih lantang, seolah dunia harus tahu ia sudah datang.Keduanya diletakkan di pelukan Bianca. Hangat, kecil, namun terasa begitu nyata. Bianca menatap wajah mereka bergantian… dan jantungnya berdetak tak karuan. Garis rahang mungil itu, h
Bianca sesekali melirik ke samping. Billy sedang latihan berjalan menggunakan tongkat. Langkahnya semakin jauh, dan ia sangat senang melihat perkembangan tersebut.Apalagi, setelah mereka pindah, Billy semakin semangat berlatih. Terapis hanya datang dua kali seminggu, namun Billy latihan setiap hari.Bianca mengacungkan jempol kala bertatapan dengan Billy. Ia bertepuk tangan saat melihat sang kakak perlahan menghampirinya.“Yeayy... berhasil!” Bianca kembali bertepuk tangan lebih keras kala Billy mencapai mejanya.“Huufhht. Capek juga.” Billy terkekeh lalu menjatuhkan bokongnya di sofa.Bianca memberikan segelas air dingin yang langsung ditenggak Billy. Sambil bersandar pada punggung sofa, Billy melirik layar laptop sang adik.“Belum ada yang cocok pekerjaannya?”Kepala Bianca menggeleng. Ia memperlihatkan layarnya pada Billy.“Hampir semua perusahaan besar ada korelasinya dengan perusahaan Willson.”“Willson itu banyak bidang usaha, Bi. Apalagi, kalau kamu mencari pekerjaan di bidang
Tuhan memang maha baik. Kepindahan Bianca berjalan lancar. Mereka mendapat rumah atas referensi Windy.Rumah di pinggir kota dengan halaman asri. Windy bilang penduduk di sana tidak suka mencampuri urusan orang lain. Jadi, tidak akan ada yang membicarakan kenapa Bianca memiliki anak tanpa seorang suami.“Kok Bil-Bil bisa tau Windy menjual rumah ini, sih?”“Kalau sedang nemenin aku, Windy banyak cerita tentang kotanya ini. Ia juga punya rumah keluarga di sini.”Bianca mengangguk. “Iya. Saat aku tanya, Windy bilang ia juga akan resign sebagai perawat karena neneknya sakit dan ia diminta merawat neneknya itu.”“Betul. Windy itu baik banget.”Bianca memandang sang kakak yang sedang berlatih beban dengan mengangkat barbel seberat masing-masing dua kilo di kedua tangannya. Tetapi, bukan latihannya yang membuat Bianca heran.Ekspresi Billy seperti... entah. Sulit diungkapkan. Saat bicara tentang Windy, rasanya Billy senyum-senyum sendiri.“Bil-Bil suka Windy, ya?”Billy terlihat kelabakan. I