Share

Part 4–Jaga Bicaramu!

Bang Leon sempat terdiam memandangku, tapi hanya sebentar.

"Ooh ...." Bang Leon tersenyum mengejek sembari mengangguk-angguk. "Jangan-jangan, kalian ini memang ada hubungan spesial, ya? Kamu ngotot minta cerai begini karena mau nikah sama duda itu, 'kan? Ngaku aja!" sergahnya sembari mengikis jarak di antara kami. Sorot penuh amarah dan cemburu itu terlihat jelas di matanya.

"Jangan munafik kamu, Dek! Selama ini, kamu bersikeras kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenyataannya semua itu bohong, 'kan? Kalian diam-diam menusukku dari belak—"

Wajah Bang Leon berpaling saat tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan. Saking kerasnya sampai telapak tanganku terasa panas dan bergetar. Ini pertama kalinya aku memukul pria yang saat ini masih berstatus suami.

"Jaga bicaramu, Bang!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan samakan aku denganmu yang gampang mengobral cinta! Aku bukan Abang yang dengan mudahnya mengingkari janji suci pernikahan! Tega sekali Abang memfitnahku begitu. Aku semakin yakin kalau keputusan untuk bercerai itu seratus persen benar!" sergahku dengan dada bergemuruh menahan emosi.

Bisa-bisanya Bang Leon memutarbalikkan fakta seperti itu. Dia yang berkhianat, tapi dirinya juga yang melempar kesalahan pada orang lain!

"Dek ...." Dia maju, tapi aku mundur.

"Jangan sentuh aku!" desisku dengan tatapan benci, lalu berbalik membelakangi dan pergi.

"Maaf, Dek. Maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung kamu." Dia mengejar dan berhasil menghalangi langkahku.

"Minggir, Bang! Aku mau istirahat. Pembicaraan kita sudah selesai!"

Bang Leon menggeleng. "Kita selesaikan semuanya atau Mira akan terus marah dan melarangku masuk kamar."

Aku melongo tak percaya. Tak berselang lama, aku tertawa miris sembari membuang pandangan ke arah lain.

Jadi, dia memohon-mohon seperti tadi bukan demi hubungan kami? Bukan karena dia masih cinta dan takut kehilanganku? Benar-benar miris! Ternyata, itu semua hanya demi istri barunya dan demi malam pertama mereka!

"Itu bukan urusanku. Awas, Bang!"

Aku mencoba mencari celah, tapi dia selalu menghalangi. Ikut bergerak ke mana pun aku melangkah.

"Maumu apa, sih, Bang?" sentakku kesal.

"Aku hanya mau kamu terima Mira! Berikan izinmu untuk kami menikah resmi. Dan kupastikan kalian akan bahagia bersama!" Dia tetap bersikeras dengan keinginannya itu tanpa peduli perasaanku.

Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa dulu aku jatuh cinta pada pria seperti ini?

Ah, iya. Aku lupa kalau sejak mengenal cinta untuk istri keduanya, pria ini sudah berubah. Tak lagi lembut dan penyayang seperti dulu, tapi menjadi egois dan pemaksa.

"Masih adakah sedikit kasih sayang yang tersisa untuk aku dan Alva, Bang?"

"Tentu saja. Aku sayang pada kalian. Itulah kenapa aku tetap ingin mempertahankanmu, Dek."

"Abang masih ingat bagaimana perjuanganku melahirkan Alva?" tanyaku dengan suara yang mulai bergetar.

Bang Leon diam.

"Abang sampai hampir pingsan waktu aku kritis karena kehilangan banyak darah. Abang juga menangis terharu waktu kami berdua akhirnya selamat dan bisa pulang. Apa Abang lupa itu?"

Bang Leon menggeleng pelan sembari memijat pelipisnya.

"Alva susah payah kita dapatkan, Bang. Kita berjuang sekian tahun menghadapi nyinyiran tetangga yang mengatai kita berdua ini mandul. Berjuang melahirkannya ke dunia ini meskipun kesehatanku memburuk. Lalu, di mana perasaan Abang saat menjalin cinta dengan wanita lain, hm? Enggak ingat sama sekalikah dengan semua perjuangan itu, Bang?"

Bang Leon masih bungkam.

Konyol! Tentu saja dia tidak ingat atau berpura-pura tak ingat. Kalau orang tengah gila dimabuk cinta, dia pasti lupa akan segalanya termasuk keluarga.

"Abang tega mencampakkan anak dan istri demi bunga baru. Bunga yang belum tentu akan seindah bunga lama setelah kalian bersama nanti."

"Siapa bilang aku mencampakkan?" Keningnya berkerut dalam menatapku. "Aku masih di sini bersama kalian. Kamunya aja yang terlalu keras kepala minta bercerai. Kamu enggak bisa percaya sama suamimu sendiri. Kamu meragukanku yang berjanji akan bersikap adil!"

Aku tersenyum miris sembari mengeleng, lalu kembali menatapnya sinis.

"Ckckck, jangan berani bicara soal kepercayaan denganku, Bang! Tahu kenapa? Karena itu terdengar seperti lelucon!" cicitku lalu tertawa kecil mengejeknya. "Abang sendirilah yang sudah menodai kepercayaan dengan hal menyakitkan. Jadi, simpan saja semua janji dan bualanmu itu untuk Mira. Mungkin dia masih bisa percaya, tapi aku enggak." Aku mengedikkan bahu santai.

"Abang tahu? Tanpa perlu obat darimu atau siapa pun, luka ini akan sembuh sendiri," imbuhku, kemudian menggeser tubuhnya dengan paksa, dan bergegas pergi menuju kamar saat mendengar tangisan Alva. 

Sesaat sebelum pintu tertutup, aku kembali melongokkan kepala keluar kamar.

"Dengar, Bang! Sampai kapan pun, keputusanku akan tetap sama. Kita bercerai! Kita jual rumah ini sama-sama dan bagi dua hasilnya. Soal mobil, aku enggak akan mempermasalahkan itu. Biar saja itu menjadi milikmu asalkan kembalikan apa yang menjadi hak-ku! Pikirkan itu baik-baik!" tegasku, lalu menutup pintu sedikit kencang dan langsung menguncinya.

Enak saja mau mengajariku kepercayaan. Aku bahkan lebih tahu dan bisa menjaga itu daripada dirinya sendiri.

Dasar!

🌸🌸🌸

Alva sudah duduk di atas kasur sambil menangis. Melihatku datang, dia merangkak pelan, tapi dengan cepat aku berlari menuju ranjang.

"Uuh, Sayang. Kenapa, hm? Haus, ya?" Aku mengecup pipinya, lalu kembali membaringkan dan memberi ASI.

Alva menatapku dengan tangan mungilnya yang bergerak menepuk-nepuk pipi ini pelan. Terkadang, jemari mungil itu hendak menusuk lubang hidung, tapi kutahan sambil tertawa.

"Jangan, Sayang! Nanti tangannya kotor," kataku sembari mencium telapak tangan itu, lalu meniup-niupnya hingga berbunyi.

Alva tertawa geli, lalu kembali meminum ASI dengan matanya yang lagi-lagi terlihat mengantuk.

"Tidur yang nyenyak, Sayang. Pasti kamu ikut merasakan hati mama yang sempat kacau tadi, ya? Maaf. Papamu yang keras kepala itu memang berhasil memancing emosi. Padahal, mama sudah sebisa mungkin menahan diri."

Aku tersenyum melihat Alva sudah kembali tertidur. Kulepas perlahan mulutnya, lalu memeluk dan menyelimuti.

Aku juga butuh istirahat. Tak hanya harus siap mental, tapi fisikku juga harus kuat demi menghadapi kenyataan dan rintangan di depan mata.

🌸🌸🌸

Aku menggeliat, lalu mengucek mata sebelum melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ternyata mata ini baru terpejam sekitar satu jam-an. Aku bangun untuk minum, tapi air di gelas kosong. Terpaksa aku pergi keluar kamar, lalu berjalan santai menuju dapur.

Tepat ketika mencapai anak tangga terakhir, aku terlonjak kaget karena mendengar bunyi seperti benda terjatuh atau sesuatu yang dilempar ke dinding. Arah suaranya dari kamar pengantin baru itu.

Ada apa? Apa ada perang dunia ketiga? Rasanya tidak mungkin Bang Leon bermain sehebat itu sampai benda-benda di sana berterbangan.

Aku cekikikan sendiri membayangkan sesuatu yang buruk terjadi di malam pertama mereka.

Apa Mira sekarang sudah tahu, ya?

Aku mengedikkan bahu, lalu kembali melangkah santai menuju dapur. Sempat terhenti sejenak saat melihat pintu kamar itu akhirnya terbuka. Bang Leon keluar dengan tampang yang sangat kusut. Hampir saja aku tertawa melihatnya yang bermuram durja, tapi sebisa mungkin kutahan.

"Kusut amat pengantin baru," sindirku saat berjalan melewatinya yang mematung di depan kamar mereka.

"Mau ke mana?"

"Ke empang," sahutku asal.

Sudah tahu bawa gelas dan jalan ke dapur, pakai segala nanya mau ke mana lagi. Basi banget, Alejandro!

Kupikir Bang Leon akan pergi ke ruang keluarga, ternyata dia malah menyusul ke dapur. Duduk dalam diam dengan mata yang selalu mengamati gerak-gerikku yang tengah mengupas apel, lalu memakannya dengan santai. Aku bersikap tak acuh seolah tak melihat keberadaannya di sini.

"Kupasin satu, Dek."

Aku berpura-pura menoleh kaget.

"Eh? Abang ternyata ikut ke sini, toh. Kenapa enggak di kamar, Bang? Malam pertama, lho, ini. Sana, belah duren muda," sindirku dengan tawa kecil.

Bang Leon mendecak sebal, lalu mengambil apel dan merebut pisau dari tanganku. Mengupasnya dengan kesal seraya memasang wajah cemberut.

Kuhela napas pelan, kemudian mengambil apel dan pisau dari tangannya lagi. Ternyata, aku masih punya rasa kasihan dan peduli pada pria ini. Tapi hanya rasa kasihan. Bukan perasaan lebih apalagi untuk kembali bersama. Tidak akan!

"Mau dibuatin kopi?" Aku meliriknya sekilas.

"Kalau enggak ngerepotin." Bang Leon tersenyum.

"Ngerepotin, sih, emang," sahutku yang langsung membuat senyumnya lenyap seketika. "Canda kali, Bang. Serius amat pengantin baru." Aku tertawa, lalu berjalan menuju kompor untuk memasak air.

"Enggak usah sebut-sebut pengantin baru terus bisa 'kan, Dek?" protesnya.

"Emangnya ada yang salah? Kalian 'kan memang pengantin baru," sahutku dengan posisi membelakanginya. "Atau jangan-jangan ... kalian itu sudah belah duren dari sebelum menikah, ya?"

"Dek!" tegurnya dengan suara tegas.

"Syukurlah kalau enggak," sahutku cuek, lalu kembali menghampirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaan Bang Leon.

"Kayaknya malam ini Abang bakal begadang sendirian. Nikmatilah dengan senyuman lebar, Bang. Jangan cemberut begitu!" ucapku sembari menepuk pundaknya, dan tersenyum penuh arti dengan satu alis sedikit terangkat naik. Setelahnya, aku berlalu pergi dengan membawa segelas air tanpa menoleh lagi.

"Dek!" panggilnya yang membuat langkah ini terhenti kembali. "Malam ini aku tidur sama kalian dulu, ya!"

Aku terdiam sejenak dengan senyum tertahan.

"Ruang tamu sama ruang keluarga masih lega kali, Bang.

🍁🍁🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status