Share

Part 3–Bukan Benalu

last update Last Updated: 2022-05-21 20:06:52

"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring sembari mengedipkan sebelah mata.

"Akting? Maksudmu?"

"Yaa akting, Bang. Pura-pura. Masa gitu aja enggak ngerti." Aku terkekeh dan duduk di lantai sembari menghapus sisa-sisa air mata.

"Jadi, yang tadi itu beneran cuma bohongan?"

"Ya iyalah, Bang. Masa iya aku harus nangis mohon-mohon cuma gara-gara kehilangan Abang. Tadi itu, aku cuma praktekin adegan yang ada di sinetron kalau tahu suaminya nikah lagi atau selingkuh."

Bang Leon jatuh terduduk. Tatapan itu terlihat kecewa. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau semua yang kulakukan tadi hanya sebatas pura-pura.

Aku memasang raut wajah santai, lalu berdiri kembali.

"Ckckck, laki-laki di dunia ini enggak cuma kamu, Bang. Masih banyak di luaran sana yang pastinya mau menerimaku dengan tulus dan setia. Toh, aku juga masih seksi dan cantik biarpun sudah melahirkan Alva," ucapku untuk memanas-manasinya.

"Candaanmu itu enggak lucu, Dek." Dia menatapku tajam.

"Masa? Buatku lucu, tuh," sahutku cuek, lalu berdiri membelakanginya.

Tak lama kemudian, aku terkejut saat lengan ini ditarik kasar hingga kembali menghadapnya.

"Sakit, Bang," ringisku sembari berusaha melepaskan cekalannya.

"Kamu enggak boleh mempermainkan perasaan orang begitu!" geramnya.

"Terus, Abang sendiri gimana? Apa Abang enggak sedang mempermainkan perasaanku? Enggak lagi mempermainkan janji suci pernikahan kita dulu, hm?" balasku dengan senyum sinis.

"Jadi, benar kamu udah enggak cinta sama aku?" tanyanya, lalu mengatupkan rahang keras. Cekalannya di lengan pun semakin terasa menguat.

"Coba saja Abang tebak. Apa menurut Abang aku ini masih cinta, hm?" Aku balik bertanya dengan satu alis terangkat naik.

Bang Leon diam dan menatapku tajam.

"Kamu enggak mencintaiku lagi, Dek." Dia menatapku serius.

"Hm, begitulah," jawabku santai sembari mengedikkan bahu dan menahan sakit cekalannya.

"Secepat itukah rasamu hilang?" Pertanyaannya sontak membuatku tertawa miris.

"Apa aku harus tetap cinta setelah apa yang dilakukan olehmu, Bang?" Aku balik menatapnya dingin. "Apa masih pantas cintaku ini diberikan untuk pria pengkhianat sepertimu? Meskipun masih ada, tapi Abang enggak perlu khawatir. Kupastikan enggak lama lagi semua itu akan terkikis habis! Terkubur dalam-dalam bersama semua kenangan masa lalu kita. Puas?"

Cekalan Bang Leon mengendur. Hingga akhirnya, tangan itu berhasil kutepis. Aku mundur sembari mengusap-usap lengan yang sudah memerah.

"Kamu nyakitin aku, Bang. Sakit!" keluhku dengan tatapan tajam.

Dia menatapku dengan sorot mata sendu, lalu mendekat.

"Maaf, Dek. Aku tadi—"

"Jangan sentuh!" Aku menepis tangannya kasar, lalu mundur menjauh ke ujung balkon. "Kalau enggak ada yang mau dibicarakan lagi, pergilah sana. Istri barumu itu pasti sudah menunggu. Ini malam pertama kalian, kan?" sindirku dengan senyum meremehkan.

"Secepat itu kamu menyerah dengan pernikahan kita?" tanyanya tanpa menggubris sindiranku barusan.

Aku kembali menoleh dan menatap sinis.

"Ya! Sejak mengetahui pengkhianatanmu itu, sudah kuputuskan untuk menyerah, Bang. Rasa cintaku sudah berubah menjadi kekecewaan yang teramat sangat sampai rasanya hati ini beku. Rumah tangga itu butuh kerja sama. Untuk apa bertahan jika hanya aku yang berjuang? Sesuatu yang enggak layak dipertahankan, wajib untuk dilepaskan!" ujarku sungguh-sungguh.

"Abang tahu? Mencintaimu itu bagai menggenggam bara api, Bang. Terluka saat melepaskan, tapi teramat sakit bila dipertahankan. Menggenggam Bara api hanya akan membuatku terbakar sendiri. Lebih baik kulepaskan dengan goresan luka daripada harus bertahan, tapi mati perlahan."

Kami saling menatap dalam diam. Ingin kuperlihatkan melalu sorot mata ini kalau aku sungguh-sungguh kecewa.

"Maaf," ucap Bang Leon pada akhirnya.

"Aku enggak butuh maafmu. Memaafkan itu mudah, tapi melupakan yang sulit," sahutku, lalu membuang muka.

"Dengar, Dek. Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah menceraikanmu. Kita perbaiki semua dari awal, Dek. Kasih sayangku untukmu dan Alva enggak akan berkurang biarpun sudah ada Mira."

Mata ini mulai memanas seiring desir perih di hati. Kuhela napas panjang seraya mengerjap-ngerjapkan mata cepat. Hingga akhirnya, air mata ini surut kembali setelah aku berhasil menguasai diri.

Aku kembali memasang raut wajah dingin di hadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah. Bang Leonlah yang harus terluka dan menyesal atas semua yang terjadi. Bukan aku!

"Enggak masalah. Aku yang akan mengajukan gugatan cerainya," ujarku sembari memasang senyum sinis.

"Ok, silakan! Tapi kamu enggak akan dapat sepeser pun kalau nekat bercerai dariku!" gertaknya sembari berjalan mendekat.

"Itu artinya kamu dzalim, Bang. Apa kamu lupa, rumah ini dibeli dengan uang siapa, hm?" Satu alisku terangkat naik menatapnya. "Ada hak-ku di sini! Kita beli rumah ini bukan hanya dengan uangmu, Bang. Tapi juga dengan uang penjualan tanah peninggalan orangtuaku di kampung!"

"Aku tahu. Makanya itu kita enggak boleh bercerai!" sahutnya cepat dan tegas, "aku tahu kamu yang sudah menemaniku dari nol. Makanya, aku enggak akan pernah menceraikanmu, Dek. Kita akan berjuang bersama-sama lagi. Kalau aku berniat melepasmu, sudah dari dulu hal itu kulakukan saat Mira memintanya."

Apa? Jadi, sudah dari awal perempuan itu memintanya agar menceraikanku? Benar-benar harus diberi pelajaran!

"Dengan hadir orang ketiga di rumah tangga kita? Enggak akan pernah!" tegasku dengan tatapan dingin.

"Terserah! Silakan ajukan gugatan cerai kalau kamu siap kehilangan segalanya." Dia balas menatap dingin.

"Abang lupa, ya, kalau sertifikat rumah ini atas nama kita berdua? Aku yakin akan memenangkan gugatan ini dan harta kita akan dibagi rata," ujarku dengan santai.

"Coba saja kalau bisa." Dia tersenyum. Senyum sinis yang baru pertama kali ditunjukkannya padaku selama kami menikah. "Sepuluh tahun kita sudah bersama, tapi ternyata kamu kalah, Dek. Kamu dengan mudahnya ingin mengakhiri pernikahan ini."

Oalah, Bwambang! Apa dia ini perlu kaca seukuran rumah supaya sadar diri?

Aku tersenyum angkuh dan menatap berani Bang Leon dengan kedua tangan bersedekap di dada.

"Ckck, bukan aku yang kalah. Tapi kamu yang sudah kalah, Bang! Wanita diuji saat laki-laki enggak punya apa-apa, dan aku lulus melewati ujian itu. Aku menemanimu dari nol! Aku juga rela mengubah posisiku sebagai tulang rusuk menjadi tulang punggung! Apa Abang lupa, hm?" cecarku dengan tatapan tajam.

Bang Leon bungkam. Tatapannya tak beralih sedikit pun dariku dengan jakunnya yang terlihat bergerak naik turun.

"Sementara, laki-laki itu diuji saat memiliki segalanya dan Abang ...." Aku mengetuk-ngetukkan telunjuk ini tepat di dadanya. "Abang sudah gagal melewati ujian itu. Abang gagal menjadi pemimpin rumah tangga ini. Kapal kita sudah karam saat Abang melanggar sumpah dan janji suci pernikahan kita!" tegasku dengan suara rendah, tapi penuh penekanan. "Akulah pemenangnya di sini, bukan Abang!" imbuhku, kemudian berlalu pergi, tapi tanganku justru dicekalnya.

"Kamu enggak akan bisa hidup tanpa aku, Dek. Kamu enggak bisa memenuhi kebutuhanmu dan Alva seorang diri," ujarnya dengan tatapan mengintimidasi.

"Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Abang lupa, pernah sesusah apa aku dulu saat ekonomi kita jatuh? Aku enggak pernah pilih-pilih pekerjaan biarpun harus menjadi buruh cuci."

"Tapi kamu enggak akan bisa kerja dengan adanya Alva yang masih bayi!" debatnya tidak mau kalah.

Aku tersenyum miring. "Tenang saja. Aku enggak akan mengorbankan putraku demi pekerjaan. Uang akan datang padaku dengan sendirinya. Meskipun kita berpisah, aku enggak akan pernah membiarkan Alva kekurangan suatu apa pun!"

"Bagaimana bisa?" Dia tertawa mengejek.

"Itu urusanku. Sepuluh tahun kita menikah, tapi Abang belum mengenalku seutuhnya."

"Jangan bilang kalau kamu dapat uang dari mantan bosmu itu!" tudingnya dengan tatapan tajam.

Kutepis tangannya dengan kasar. "Pantang bagiku menengadahkan tangan pada orang lain selama bisa mencari sendiri. Aku bukan benalu! Ingat itu!"

🌸🌸🌸

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi istri jgn kebanyakan drama bodoh ketika suami mendua. selamatkan hak2 anakmu supaya nanti dia tidak sengsara ketika kau mengambil keputusan tolol. ada kantor polisi koq memilih menye2
goodnovel comment avatar
Isabella
dasar laki laki omdo brengsek itu sih pelakor minta enaknya aja
goodnovel comment avatar
Hui Tjhin
pernikahan yg penuh konflik ,tp ini istri yg kuat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 129–Forever and Ever

    Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 128–Menjauhlah dari Kami

    Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 127–Panas?

    Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 126–Kerikil Kecil

    "Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 125–Sebuah Rencana

    "Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s

  • KETIKA SUAMIKU MEMBAWA PULANG ISTRI BARU   Part 124–Peresmian

    "Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status