"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring sembari mengedipkan sebelah mata.
"Akting? Maksudmu?"
"Yaa akting, Bang. Pura-pura. Masa gitu aja enggak ngerti." Aku terkekeh dan duduk di lantai sembari menghapus sisa-sisa air mata.
"Jadi, yang tadi itu beneran cuma bohongan?"
"Ya iyalah, Bang. Masa iya aku harus nangis mohon-mohon cuma gara-gara kehilangan Abang. Tadi itu, aku cuma praktekin adegan yang ada di sinetron kalau tahu suaminya nikah lagi atau selingkuh."
Bang Leon jatuh terduduk. Tatapan itu terlihat kecewa. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau semua yang kulakukan tadi hanya sebatas pura-pura.
Aku memasang raut wajah santai, lalu berdiri kembali.
"Ckckck, laki-laki di dunia ini enggak cuma kamu, Bang. Masih banyak di luaran sana yang pastinya mau menerimaku dengan tulus dan setia. Toh, aku juga masih seksi dan cantik biarpun sudah melahirkan Alva," ucapku untuk memanas-manasinya.
"Candaanmu itu enggak lucu, Dek." Dia menatapku tajam.
"Masa? Buatku lucu, tuh," sahutku cuek, lalu berdiri membelakanginya.
Tak lama kemudian, aku terkejut saat lengan ini ditarik kasar hingga kembali menghadapnya.
"Sakit, Bang," ringisku sembari berusaha melepaskan cekalannya.
"Kamu enggak boleh mempermainkan perasaan orang begitu!" geramnya.
"Terus, Abang sendiri gimana? Apa Abang enggak sedang mempermainkan perasaanku? Enggak lagi mempermainkan janji suci pernikahan kita dulu, hm?" balasku dengan senyum sinis.
"Jadi, benar kamu udah enggak cinta sama aku?" tanyanya, lalu mengatupkan rahang keras. Cekalannya di lengan pun semakin terasa menguat.
"Coba saja Abang tebak. Apa menurut Abang aku ini masih cinta, hm?" Aku balik bertanya dengan satu alis terangkat naik.
Bang Leon diam dan menatapku tajam.
"Kamu enggak mencintaiku lagi, Dek." Dia menatapku serius.
"Hm, begitulah," jawabku santai sembari mengedikkan bahu dan menahan sakit cekalannya.
"Secepat itukah rasamu hilang?" Pertanyaannya sontak membuatku tertawa miris.
"Apa aku harus tetap cinta setelah apa yang dilakukan olehmu, Bang?" Aku balik menatapnya dingin. "Apa masih pantas cintaku ini diberikan untuk pria pengkhianat sepertimu? Meskipun masih ada, tapi Abang enggak perlu khawatir. Kupastikan enggak lama lagi semua itu akan terkikis habis! Terkubur dalam-dalam bersama semua kenangan masa lalu kita. Puas?"
Cekalan Bang Leon mengendur. Hingga akhirnya, tangan itu berhasil kutepis. Aku mundur sembari mengusap-usap lengan yang sudah memerah.
"Kamu nyakitin aku, Bang. Sakit!" keluhku dengan tatapan tajam.
Dia menatapku dengan sorot mata sendu, lalu mendekat.
"Maaf, Dek. Aku tadi—"
"Jangan sentuh!" Aku menepis tangannya kasar, lalu mundur menjauh ke ujung balkon. "Kalau enggak ada yang mau dibicarakan lagi, pergilah sana. Istri barumu itu pasti sudah menunggu. Ini malam pertama kalian, kan?" sindirku dengan senyum meremehkan.
"Secepat itu kamu menyerah dengan pernikahan kita?" tanyanya tanpa menggubris sindiranku barusan.
Aku kembali menoleh dan menatap sinis.
"Ya! Sejak mengetahui pengkhianatanmu itu, sudah kuputuskan untuk menyerah, Bang. Rasa cintaku sudah berubah menjadi kekecewaan yang teramat sangat sampai rasanya hati ini beku. Rumah tangga itu butuh kerja sama. Untuk apa bertahan jika hanya aku yang berjuang? Sesuatu yang enggak layak dipertahankan, wajib untuk dilepaskan!" ujarku sungguh-sungguh.
"Abang tahu? Mencintaimu itu bagai menggenggam bara api, Bang. Terluka saat melepaskan, tapi teramat sakit bila dipertahankan. Menggenggam Bara api hanya akan membuatku terbakar sendiri. Lebih baik kulepaskan dengan goresan luka daripada harus bertahan, tapi mati perlahan."
Kami saling menatap dalam diam. Ingin kuperlihatkan melalu sorot mata ini kalau aku sungguh-sungguh kecewa.
"Maaf," ucap Bang Leon pada akhirnya.
"Aku enggak butuh maafmu. Memaafkan itu mudah, tapi melupakan yang sulit," sahutku, lalu membuang muka.
"Dengar, Dek. Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah menceraikanmu. Kita perbaiki semua dari awal, Dek. Kasih sayangku untukmu dan Alva enggak akan berkurang biarpun sudah ada Mira."
Mata ini mulai memanas seiring desir perih di hati. Kuhela napas panjang seraya mengerjap-ngerjapkan mata cepat. Hingga akhirnya, air mata ini surut kembali setelah aku berhasil menguasai diri.
Aku kembali memasang raut wajah dingin di hadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah. Bang Leonlah yang harus terluka dan menyesal atas semua yang terjadi. Bukan aku!
"Enggak masalah. Aku yang akan mengajukan gugatan cerainya," ujarku sembari memasang senyum sinis.
"Ok, silakan! Tapi kamu enggak akan dapat sepeser pun kalau nekat bercerai dariku!" gertaknya sembari berjalan mendekat.
"Itu artinya kamu dzalim, Bang. Apa kamu lupa, rumah ini dibeli dengan uang siapa, hm?" Satu alisku terangkat naik menatapnya. "Ada hak-ku di sini! Kita beli rumah ini bukan hanya dengan uangmu, Bang. Tapi juga dengan uang penjualan tanah peninggalan orangtuaku di kampung!"
"Aku tahu. Makanya itu kita enggak boleh bercerai!" sahutnya cepat dan tegas, "aku tahu kamu yang sudah menemaniku dari nol. Makanya, aku enggak akan pernah menceraikanmu, Dek. Kita akan berjuang bersama-sama lagi. Kalau aku berniat melepasmu, sudah dari dulu hal itu kulakukan saat Mira memintanya."
Apa? Jadi, sudah dari awal perempuan itu memintanya agar menceraikanku? Benar-benar harus diberi pelajaran!
"Dengan hadir orang ketiga di rumah tangga kita? Enggak akan pernah!" tegasku dengan tatapan dingin.
"Terserah! Silakan ajukan gugatan cerai kalau kamu siap kehilangan segalanya." Dia balas menatap dingin.
"Abang lupa, ya, kalau sertifikat rumah ini atas nama kita berdua? Aku yakin akan memenangkan gugatan ini dan harta kita akan dibagi rata," ujarku dengan santai.
"Coba saja kalau bisa." Dia tersenyum. Senyum sinis yang baru pertama kali ditunjukkannya padaku selama kami menikah. "Sepuluh tahun kita sudah bersama, tapi ternyata kamu kalah, Dek. Kamu dengan mudahnya ingin mengakhiri pernikahan ini."
Oalah, Bwambang! Apa dia ini perlu kaca seukuran rumah supaya sadar diri?
Aku tersenyum angkuh dan menatap berani Bang Leon dengan kedua tangan bersedekap di dada.
"Ckck, bukan aku yang kalah. Tapi kamu yang sudah kalah, Bang! Wanita diuji saat laki-laki enggak punya apa-apa, dan aku lulus melewati ujian itu. Aku menemanimu dari nol! Aku juga rela mengubah posisiku sebagai tulang rusuk menjadi tulang punggung! Apa Abang lupa, hm?" cecarku dengan tatapan tajam.
Bang Leon bungkam. Tatapannya tak beralih sedikit pun dariku dengan jakunnya yang terlihat bergerak naik turun.
"Sementara, laki-laki itu diuji saat memiliki segalanya dan Abang ...." Aku mengetuk-ngetukkan telunjuk ini tepat di dadanya. "Abang sudah gagal melewati ujian itu. Abang gagal menjadi pemimpin rumah tangga ini. Kapal kita sudah karam saat Abang melanggar sumpah dan janji suci pernikahan kita!" tegasku dengan suara rendah, tapi penuh penekanan. "Akulah pemenangnya di sini, bukan Abang!" imbuhku, kemudian berlalu pergi, tapi tanganku justru dicekalnya.
"Kamu enggak akan bisa hidup tanpa aku, Dek. Kamu enggak bisa memenuhi kebutuhanmu dan Alva seorang diri," ujarnya dengan tatapan mengintimidasi.
"Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Abang lupa, pernah sesusah apa aku dulu saat ekonomi kita jatuh? Aku enggak pernah pilih-pilih pekerjaan biarpun harus menjadi buruh cuci."
"Tapi kamu enggak akan bisa kerja dengan adanya Alva yang masih bayi!" debatnya tidak mau kalah.
Aku tersenyum miring. "Tenang saja. Aku enggak akan mengorbankan putraku demi pekerjaan. Uang akan datang padaku dengan sendirinya. Meskipun kita berpisah, aku enggak akan pernah membiarkan Alva kekurangan suatu apa pun!"
"Bagaimana bisa?" Dia tertawa mengejek.
"Itu urusanku. Sepuluh tahun kita menikah, tapi Abang belum mengenalku seutuhnya."
"Jangan bilang kalau kamu dapat uang dari mantan bosmu itu!" tudingnya dengan tatapan tajam.
Kutepis tangannya dengan kasar. "Pantang bagiku menengadahkan tangan pada orang lain selama bisa mencari sendiri. Aku bukan benalu! Ingat itu!"
🌸🌸🌸
Bang Leon sempat terdiam memandangku, tapi hanya sebentar."Ooh ...." Bang Leon tersenyum mengejek sembari mengangguk-angguk. "Jangan-jangan, kalian ini memang ada hubungan spesial, ya? Kamu ngotot minta cerai begini karena mau nikah sama duda itu, 'kan? Ngaku aja!" sergahnya sembari mengikis jarak di antara kami. Sorot penuh amarah dan cemburu itu terlihat jelas di matanya."Jangan munafik kamu, Dek! Selama ini, kamu bersikeras kalau kalian enggak ada hubungan apa-apa. Tapi kenyataannya semua itu bohong, 'kan? Kalian diam-diam menusukku dari belak—"Wajah Bang Leon berpaling saat tamparan keras berhasil mendarat di pipi kanan. Saking kerasnya sampai telapak tanganku terasa panas dan bergetar. Ini pertama kalinya aku memukul pria yang saat ini masih berstatus suami."Jaga bicaramu, Bang!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan. "Jangan samakan aku denganmu yang gampang mengobral cinta! Aku bukan Abang yang dengan mudahnya mengingkari janji suci pernikahan! Tega sekali Abang memfitnahku b
Pagi Hari aku sudah rapi, begitu juga dengan Alva. Kuciumi wajahnya sambil bermain di atas ranjang. Sengaja tak turun lebih dulu. Biarkan saja istri barunya itu yang sibuk berkutat di dapur.Pukul setengah tujuh pagi, aku baru turun. Aku melongo tak percaya saat melihat suasana rumah masih sepi. Kamar pengantin baru pun masih tertutup rapat. Kulihat Bang Leon masih tertidur pulas di sofa dengan mulutnya yang sedikit terbuka. Bahkan, televisi pun dibiarkan menyala.Kayaknya asyik, nih, dikerjain. Kalau aku masukin garam ke mulutnya pasti seru! Tapi jangan, deh. Kasihan juga. Pasti Bang Leon baru bisa tidur menjelang pagi. Sukurin!Kubuka semua tirai yang masih tertutup rapat, lalu mendudukkan Alva di karpet di depan televisi. Mengambilkannya banyak mainan dan memutar acara kartun. Biasanya, dia akan tenang jika menonton acara kesukaan."Main yang anteng, ya, Sayang. Mama mau siapin sarapan dulu." Kukecup kepalanya, lalu pergi ke dapur.Aku sibuk menyiapkan bumbu nasi goreng sambil sese
Aku masih berada di kamar menyusui Alva. Buah cintaku bersama Bang Leon yang sama sekali dia tak ingat bagaimana perjuangan kami agar Alva terlahir selamat ke dunia ini. Begitu pentingnya istri baru itu sampai-sampai setiap perkataannya seolah tak peduli sedikit pun dengan perasaanku.Bukankah aku Lusi? Wanita yang tegar dan kuat meski dikhianati?Namun, bulir bening yang susah payah ditahan ini masih tetap luruh juga. Aku tak pernah terpikirkan jika pernikahan kami akan mengalami ujian seberat ini. Tak pernah menyangka akan hadir sosok wanita lain di rumah tangga kami. Hati ini sakit membayangkan bayi yang tidak berdosa ini sebentar lagi akan mendapatkan kasih sayang yang pincang.Aku merasa begitu jahat, tapi ini juga demi kesehatan mental. Diriku bukanlah wanita super sabar di luaran sana yang rela membagi cinta dan keringat suaminya. Aku hanya ingin tetap waras supaya bisa membesarkan Alva tanpa derita dan luka. Tidak ingin lumpuh karena luka itu hingga akhirnya mati perlahan.Kuu
Usai dimandikan, Alva tertidur pulas. Kubuka kotak ponsel baru, lalu memindahkan kartu dan semua nomor penting dari ponsel lama. Ponsel yang sudah bertahun-tahun tidak pernah berganti. Tak hanya RAM yang minim, tapi layarnya yang sudah retak di sana-sini terkadang cukup menyulitkanku.Jauh berbeda dengan Bang Leon. Dalam setahun ini, dia sudah tiga kali mengganti ponsel. Meski aku mengingatkan agar jangan terlalu menghamburkan uang, tapi dia selalu menganggap enteng semua itu. Padahal, tak selamanya hidup akan enak terus seperti sekarang.Dulu, kami pernah berada di titik terendah. Sekarang keadaan jauh lebih baik, tapi bukan berarti selamanya akan terus seperti ini karena roda kehidupan berputar. Meskipun, aku berdoa kami tak akan mengalami kepahitan itu lagi.Terbayang kenangan dulu, pagi-pagi aku berkeliling jualan donat. Selesai berjualan, aku pergi menjadi buruh cuci. Terkadang jualan jajanan anak-anak juga di depan rumah. Sementara, Bang Leon sendiri selalu murung dan uring-urin
Aku tengah menyiapkan surat-surat kelengkapan untuk mengajukan proses perceraian. Selain membeli ponsel baru, sengaja tadi siang menyempatkan diri untuk memfotokopi beberapa berkas. Rencananya, besok pagi aku baru akan mengurus ini ke pengadilan agama.Namun, suara ketukan di pintu membuyarkan fokusku. Memang pintu kamar ini tadi sengaja dikunci. Setelah merapikan kembali surat-surat tersebut dan menyimpannya di lemari, segera kuayunkan kaki menuju pintu.Bang Leon sudah berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan yang terlihat gelisah dan gusar."Ada apa?""Ada yang perlu kubicarakan," ujarnya pelan."Oh, iya. Aku lupa. Baiklah. Abang duluan saja turun. Sebentar lagi kususul."Bang Leon mengangguk pelan, lalu berbalik dan pergi. Sesaat sebelum menuruni tangga, dia kembali menoleh. Memandang dengan tatapan yang sulit kuartikan, lalu kembali melanjutkan langkahnya."Ayo, Sayang! Kita turun dulu temui papamu." Aku menggendong Alva yang sedang bermain di atas ranjang dengan bola-bola kecil
Alva merengek melihatku terisak sembari menggendongnya. Kubaringkan dia perlahan dan segera menyusuinya. Aku sudah mencoba mengontrol perasaan, tapi air mata ini tidak bisa diajak kompromi.Aku pernah mendambakan keluarga yang harmonis seperti Ibu dan Ayah. Mereka tetap setia sampai maut memisahkan, tapi aku? Aku gagal meraih impian itu. Alva harus kehilangan papanya di usia yang masih hitungan bulan."Maafin mama, Nak." Kukecup kepalanya lembut. "Bukan mama enggak sayang, tapi mama ingin merawat dan menjagamu dengan penuh senyuman, bukan tangisan. Mama akan terus terluka jika bertahan," lirihku seraya mengucek mata yang buram karena air mata."Saat kamu besar nanti, kuharap kamu bisa mengerti keputusan mama ini. Belajarlah dari kesalahan papamu, Nak. Belajarlah untuk memahami bahwa kesetiaan itu penting."Aku menyeka air mata saat menyadari ponsel bergetar. Nanny memanggil.Dia memang sahabat terbaik. Selalu tahu saat-saat di mana aku butuh sandaran."Assalamu'alaikum," sapanya setel
Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun facebook. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini g
Setelah pembicaraan kami tadi, Mira tidak keluar kamar lagi. Aku yang merasa jenuh pun mengirim pesan pada Bang Leon akan pergi ke taman dan dia mengizinkan.Kuayunkan kaki menuju taman yang tidak begitu jauh. Cuaca cerah sore hari dengan semilir angin ini lebih mampu menentramkan pikiran. Jauh lebih baik daripada terus berada di rumah dan mendengarkan Mira yang terkadang terdengar melempar barang di kamar. Sepertinya, dia benar-benar kesal dan kecewa dengan Bang Leon.Itulah resikonya karena sudah berani mengganggu rumah tanggaku. Tak hanya dia yang akan terbakar sendiri, tapi Bang Leon juga. Mereka berdua pasti akan sangat menyesalinya tanpa aku harus membalas dengan perbuatan jahat.Alva tersenyum riang melihat banyak anak kecil bermain di taman. Dia meronta-ronta ingn turun, tapi jelas aku tetap menggendongnya. Kubawa Alva menuju ayunan di pojok taman karena area lain sudah diisi banyak pengunjung.Alva semakin senang saat ada penjual balon mendekat. Tangan mungilnya menunjuk-nunj