Share

Part 3–Bukan Benalu

"Apa aktingku tadi sangat bagus, Bang?" Aku tersenyum miring sembari mengedipkan sebelah mata.

"Akting? Maksudmu?"

"Yaa akting, Bang. Pura-pura. Masa gitu aja enggak ngerti." Aku terkekeh dan duduk di lantai sembari menghapus sisa-sisa air mata.

"Jadi, yang tadi itu beneran cuma bohongan?"

"Ya iyalah, Bang. Masa iya aku harus nangis mohon-mohon cuma gara-gara kehilangan Abang. Tadi itu, aku cuma praktekin adegan yang ada di sinetron kalau tahu suaminya nikah lagi atau selingkuh."

Bang Leon jatuh terduduk. Tatapan itu terlihat kecewa. Raut wajahnya seakan tak percaya kalau semua yang kulakukan tadi hanya sebatas pura-pura.

Aku memasang raut wajah santai, lalu berdiri kembali.

"Ckckck, laki-laki di dunia ini enggak cuma kamu, Bang. Masih banyak di luaran sana yang pastinya mau menerimaku dengan tulus dan setia. Toh, aku juga masih seksi dan cantik biarpun sudah melahirkan Alva," ucapku untuk memanas-manasinya.

"Candaanmu itu enggak lucu, Dek." Dia menatapku tajam.

"Masa? Buatku lucu, tuh," sahutku cuek, lalu berdiri membelakanginya.

Tak lama kemudian, aku terkejut saat lengan ini ditarik kasar hingga kembali menghadapnya.

"Sakit, Bang," ringisku sembari berusaha melepaskan cekalannya.

"Kamu enggak boleh mempermainkan perasaan orang begitu!" geramnya.

"Terus, Abang sendiri gimana? Apa Abang enggak sedang mempermainkan perasaanku? Enggak lagi mempermainkan janji suci pernikahan kita dulu, hm?" balasku dengan senyum sinis.

"Jadi, benar kamu udah enggak cinta sama aku?" tanyanya, lalu mengatupkan rahang keras. Cekalannya di lengan pun semakin terasa menguat.

"Coba saja Abang tebak. Apa menurut Abang aku ini masih cinta, hm?" Aku balik bertanya dengan satu alis terangkat naik.

Bang Leon diam dan menatapku tajam.

"Kamu enggak mencintaiku lagi, Dek." Dia menatapku serius.

"Hm, begitulah," jawabku santai sembari mengedikkan bahu dan menahan sakit cekalannya.

"Secepat itukah rasamu hilang?" Pertanyaannya sontak membuatku tertawa miris.

"Apa aku harus tetap cinta setelah apa yang dilakukan olehmu, Bang?" Aku balik menatapnya dingin. "Apa masih pantas cintaku ini diberikan untuk pria pengkhianat sepertimu? Meskipun masih ada, tapi Abang enggak perlu khawatir. Kupastikan enggak lama lagi semua itu akan terkikis habis! Terkubur dalam-dalam bersama semua kenangan masa lalu kita. Puas?"

Cekalan Bang Leon mengendur. Hingga akhirnya, tangan itu berhasil kutepis. Aku mundur sembari mengusap-usap lengan yang sudah memerah.

"Kamu nyakitin aku, Bang. Sakit!" keluhku dengan tatapan tajam.

Dia menatapku dengan sorot mata sendu, lalu mendekat.

"Maaf, Dek. Aku tadi—"

"Jangan sentuh!" Aku menepis tangannya kasar, lalu mundur menjauh ke ujung balkon. "Kalau enggak ada yang mau dibicarakan lagi, pergilah sana. Istri barumu itu pasti sudah menunggu. Ini malam pertama kalian, kan?" sindirku dengan senyum meremehkan.

"Secepat itu kamu menyerah dengan pernikahan kita?" tanyanya tanpa menggubris sindiranku barusan.

Aku kembali menoleh dan menatap sinis.

"Ya! Sejak mengetahui pengkhianatanmu itu, sudah kuputuskan untuk menyerah, Bang. Rasa cintaku sudah berubah menjadi kekecewaan yang teramat sangat sampai rasanya hati ini beku. Rumah tangga itu butuh kerja sama. Untuk apa bertahan jika hanya aku yang berjuang? Sesuatu yang enggak layak dipertahankan, wajib untuk dilepaskan!" ujarku sungguh-sungguh.

"Abang tahu? Mencintaimu itu bagai menggenggam bara api, Bang. Terluka saat melepaskan, tapi teramat sakit bila dipertahankan. Menggenggam Bara api hanya akan membuatku terbakar sendiri. Lebih baik kulepaskan dengan goresan luka daripada harus bertahan, tapi mati perlahan."

Kami saling menatap dalam diam. Ingin kuperlihatkan melalu sorot mata ini kalau aku sungguh-sungguh kecewa.

"Maaf," ucap Bang Leon pada akhirnya.

"Aku enggak butuh maafmu. Memaafkan itu mudah, tapi melupakan yang sulit," sahutku, lalu membuang muka.

"Dengar, Dek. Sampai kapan pun, aku enggak akan pernah menceraikanmu. Kita perbaiki semua dari awal, Dek. Kasih sayangku untukmu dan Alva enggak akan berkurang biarpun sudah ada Mira."

Mata ini mulai memanas seiring desir perih di hati. Kuhela napas panjang seraya mengerjap-ngerjapkan mata cepat. Hingga akhirnya, air mata ini surut kembali setelah aku berhasil menguasai diri.

Aku kembali memasang raut wajah dingin di hadapannya. Aku tidak ingin terlihat lemah. Bang Leonlah yang harus terluka dan menyesal atas semua yang terjadi. Bukan aku!

"Enggak masalah. Aku yang akan mengajukan gugatan cerainya," ujarku sembari memasang senyum sinis.

"Ok, silakan! Tapi kamu enggak akan dapat sepeser pun kalau nekat bercerai dariku!" gertaknya sembari berjalan mendekat.

"Itu artinya kamu dzalim, Bang. Apa kamu lupa, rumah ini dibeli dengan uang siapa, hm?" Satu alisku terangkat naik menatapnya. "Ada hak-ku di sini! Kita beli rumah ini bukan hanya dengan uangmu, Bang. Tapi juga dengan uang penjualan tanah peninggalan orangtuaku di kampung!"

"Aku tahu. Makanya itu kita enggak boleh bercerai!" sahutnya cepat dan tegas, "aku tahu kamu yang sudah menemaniku dari nol. Makanya, aku enggak akan pernah menceraikanmu, Dek. Kita akan berjuang bersama-sama lagi. Kalau aku berniat melepasmu, sudah dari dulu hal itu kulakukan saat Mira memintanya."

Apa? Jadi, sudah dari awal perempuan itu memintanya agar menceraikanku? Benar-benar harus diberi pelajaran!

"Dengan hadir orang ketiga di rumah tangga kita? Enggak akan pernah!" tegasku dengan tatapan dingin.

"Terserah! Silakan ajukan gugatan cerai kalau kamu siap kehilangan segalanya." Dia balas menatap dingin.

"Abang lupa, ya, kalau sertifikat rumah ini atas nama kita berdua? Aku yakin akan memenangkan gugatan ini dan harta kita akan dibagi rata," ujarku dengan santai.

"Coba saja kalau bisa." Dia tersenyum. Senyum sinis yang baru pertama kali ditunjukkannya padaku selama kami menikah. "Sepuluh tahun kita sudah bersama, tapi ternyata kamu kalah, Dek. Kamu dengan mudahnya ingin mengakhiri pernikahan ini."

Oalah, Bwambang! Apa dia ini perlu kaca seukuran rumah supaya sadar diri?

Aku tersenyum angkuh dan menatap berani Bang Leon dengan kedua tangan bersedekap di dada.

"Ckck, bukan aku yang kalah. Tapi kamu yang sudah kalah, Bang! Wanita diuji saat laki-laki enggak punya apa-apa, dan aku lulus melewati ujian itu. Aku menemanimu dari nol! Aku juga rela mengubah posisiku sebagai tulang rusuk menjadi tulang punggung! Apa Abang lupa, hm?" cecarku dengan tatapan tajam.

Bang Leon bungkam. Tatapannya tak beralih sedikit pun dariku dengan jakunnya yang terlihat bergerak naik turun.

"Sementara, laki-laki itu diuji saat memiliki segalanya dan Abang ...." Aku mengetuk-ngetukkan telunjuk ini tepat di dadanya. "Abang sudah gagal melewati ujian itu. Abang gagal menjadi pemimpin rumah tangga ini. Kapal kita sudah karam saat Abang melanggar sumpah dan janji suci pernikahan kita!" tegasku dengan suara rendah, tapi penuh penekanan. "Akulah pemenangnya di sini, bukan Abang!" imbuhku, kemudian berlalu pergi, tapi tanganku justru dicekalnya.

"Kamu enggak akan bisa hidup tanpa aku, Dek. Kamu enggak bisa memenuhi kebutuhanmu dan Alva seorang diri," ujarnya dengan tatapan mengintimidasi.

"Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Abang lupa, pernah sesusah apa aku dulu saat ekonomi kita jatuh? Aku enggak pernah pilih-pilih pekerjaan biarpun harus menjadi buruh cuci."

"Tapi kamu enggak akan bisa kerja dengan adanya Alva yang masih bayi!" debatnya tidak mau kalah.

Aku tersenyum miring. "Tenang saja. Aku enggak akan mengorbankan putraku demi pekerjaan. Uang akan datang padaku dengan sendirinya. Meskipun kita berpisah, aku enggak akan pernah membiarkan Alva kekurangan suatu apa pun!"

"Bagaimana bisa?" Dia tertawa mengejek.

"Itu urusanku. Sepuluh tahun kita menikah, tapi Abang belum mengenalku seutuhnya."

"Jangan bilang kalau kamu dapat uang dari mantan bosmu itu!" tudingnya dengan tatapan tajam.

Kutepis tangannya dengan kasar. "Pantang bagiku menengadahkan tangan pada orang lain selama bisa mencari sendiri. Aku bukan benalu! Ingat itu!"

🌸🌸🌸

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
dasar laki laki omdo brengsek itu sih pelakor minta enaknya aja
goodnovel comment avatar
Hui Tjhin
pernikahan yg penuh konflik ,tp ini istri yg kuat
goodnovel comment avatar
Nadia Nureen
bagus dong rasa kan la siapa suruh curang dan menikah siri kau fikir kami sebagai perempuan tidak boleh hidup tampa lelaki ............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status