LOGIN"Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.
Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih mengulurkan lengan, memberikan pakaian itu dan dengan cepat berlalu pergi. "Tunggu!" Langkahnya terhenti, dia tak berani menoleh. Sedangkan laki-laki di belakangnya, menarik Asih dan ... memeluknya. Asih berusaha lepas dan berlalu pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. "Kamu kenapa, As? Wajahmu merah. Kamu sakit?" Rani mengulurkan segelas air putih, lalu keduanya duduk. "Heh! Yang nyuruh kalian ngobrol siapa? Bukannya kerja, malah enak-enakan di sini!" Susi berkacak pinggang dengan wajah merah. Karena gerakannya itu, bajunya sedikit terangkat, membuat Asih dan Rani dapat melihat sesuatu di sana. "Apa lihat-lihat? Kerja!" Dia melempar serbet makan dari pundaknya, ke wajah Asih dan berlalu pergi. Di dalam kamar. Bayu tak henti tersenyum. Dia merasa sesuatu miliknya, kembali hadir, tanpa dia mencari, lagi dan lagi. "Aku nggak nyangka, kita akan ketemu di sini, As." Bayu bergumam sembari membuka dompet dan menatap lekat pada foto gadis yang tersimpan di sana. Ponsel di meja berdering, Bayu meraihnya dan cepat bersiap setelah panggilan selesai. Dia keluar kamar, menuruni anak tangga dan berlalu pergi tanpa sempat mencari keberadaan wanita itu di rumahnya. Mobil melaju, membelah padatnya lalu lintas kota di pagi hari. Terus berjalan hingga tibalah dia di parkiran sebuah gedung. Setelah menaiki lift, mereka sampai di tujuan. Pria berbaju hitam membukakan pintu, mempersilakan Bayu untuk segera masuk. "Bayu Wijaya, senang sekali akhirnya Anda dapat datang ke sini. Silakan duduk, tak perlu sungkan." Seorang pria bertubuh tambun, berdiri dengan senyum lebar. Dia menjabat tangan tamunya dan membahas hal yang mereka rencanakan. Sepuluh menit berlalu, Bayu berdiri dan membungkuk. Dia berlalu pergi dengan ekspresi yang tetap tenang. "Jadi, bagaimana, Pak. Apakah proyek ini akan diterima?" Wildan mengamati wajah atasannya yang masih terdiam di belakang kemudi. Hingga beberapa saat, dia belum juga mendapat jawab. Mobil mereka juga masih di tempat dengan mesin yang belum dinyalakan. Wildan menepuk lengan Bayu, mengingatkan laki-laki itu untuk mulai berlalu pergi. "Bisa santai nggak? Kalau kamu nggak bisa sabar, kamu bisa pergi sendiri!" Seruan Bayu membuat Wildan menatapnya heran. "Santai? Sabar? Bapak kenapa?" tanyanya dan menawarkan diri untuk menggantikan di balik kemudi. "Kamu kira aku nggak bisa nyetir? Ah! pulanglah sendiri. Aku ada perlu di tempat lain." Bayu menatap pintu di samping kiri, dan pria di kursi penumpang segera beranjak tanpa menunggu titah kedua kalinya. Selepas Wildan pergi, Bayu memeluk kemudi, lalu tanpa sadar memukul kepalanya dengan kedua tangan. Bayu masih di posisinya dengan isi kepala yang berisik. Kenangan masa lalu bersama Asih, kembali hadir dan terlihat jelas di benaknya. [Maaf, Mas. Aku rasa, kita cukup sampai di sini. Aku ... aku sudah dilamar seseorang, dan kami akan menikah minggu depan.] Kalimat Asih kala itu masih teringat jelas di kepala Bayu. Dia merasa dunia semakin menghimpit, sementara cincin di saku tak sempat dia ambil dan serahkan pada wanita pujaan hatinya. Dia yang bekerja siang malam demi meminang Asih, justru mendapat kenyataan yang tak pernah dia bayangkan. Asih bersanding dengan Aryo, sahabat sekaligus musuh dalam selimut yang tega membuatnya trauma, hingga saat ini. Bayu selalu menolak setiap wanita yang diajukan kedua orang tuanya. Dia sama sekali tak tertarik untuk membina rumah tangga -setelah penolakan di malam itu. "Papa Mama hanya punya kamu, Nak. Mau sampai kapan kamu hidup sendiri?" Bayu hanya berlalu tanpa memberi jawab apa pun. Membuat Andi Wijaya dan istrinya, menggeleng dan menghela napas pasrah. Sedangkan jauh dari Ibu kota, tepatnya di suatu perkampungan. Aryo baru saja selesai mencari rumput. Dia berteduh di sebuah gubuk sembari meminum bekal air yang dia bawa. "Mas Aryo? Baru beres? Wah, dapat banyak tuh," seru seseorang bercaping yang baru saja datang. Aryo sedikit beringsut agar pria tersebut dapat duduk di sampingnya. Mereka saling bertukar cerita, hingga tiba-tiba saja, Aryo terdiam saat orang tersebut menanyakan istrinya. "Mbak Asih ke mana, Mas? Lama banget nggak pernah kelihatan. Apa bener dia pulang ke rumah orang tuanya?" Aryo sedikit bimbang, namun dia menjawab dengan nada yang meyakinkan. "Iya, Pakde. Mertua saya, lagi sakit. Jadi untuk sementara, Asih di sana dulu ...." "Mertua? Maaf, bukannya Asih yatim piatu ya, Mas?" balas laki-laki itu dengan tatapan tak percaya. Seketika, Aryo kehilangan muka. Dia malu dan entah harus menjawab apa lagi setelah ketahuan berbohong. Tahu jika lawan bicaranya mati kutu, pria tersebut pamit pergi dengan karung terlipat di tangannya. Aryo pulang. Sepanjang jalan, dia memikirkan Asih yang satu bulan lebih tak ada kabar. Dia sama sekali tak bisa menghubungi wanita itu. Untuk menyusul ke sana, dia tak punya nyali, mengingat dirinya sendiri yang meminta Asih untuk pergi. "Yo, Ibu nanti malam mau arisan. Kamu punya duit kan? Ibu minta untuk setoran. Lima puluh aja." Yatmi mengulurkan tangan, tepat setelah matanya menangkap siluet sang anak yang memasuki halaman. Laki-laki itu terus berlalu menuju kandang ternak di belakang rumah. Hatinya bergemuruh, ingin marah, namun teringat kata-kata Asih dulu. [Jangan membentak orang tua, Mas. Tanpa mereka, kamu nggak ada di dunia ini.] Aryo mulai membagikan rumput pada kambing dan sapinya. Dia menyesali langkah yang diambil, tanpa pernah memikirkannya lebih dulu. Suara sang ibu kembali terdengar, kali ini disusul jerit tangis bayi dan omelan adiknya. Aryo duduk di bawah pohon pisang, mengipas wajah dengan handuk kecil yang melingkari lehernya. (Asih, ternyata rumah ini memang tak cocok untuk kita.) ***Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.
Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang
Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S
"Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S
Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana
"As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl







