Share

Ibu kota

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-22 08:17:11

"Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.

Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain.

Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar.

Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum.

Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar.

"Ya, ada apa, Bi?"

Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh.

"Asih?"

Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya.

Asih mengulurkan lengan, memberikan pakaian itu dan dengan cepat berlalu pergi.

"Tunggu!"

Langkahnya terhenti, dia tak berani menoleh. Sedangkan laki-laki di belakangnya, menarik Asih dan ... memeluknya.

Asih berusaha lepas dan berlalu pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Kamu kenapa, As? Wajahmu merah. Kamu sakit?"

Rani mengulurkan segelas air putih, lalu keduanya duduk.

"Heh! Yang nyuruh kalian ngobrol siapa? Bukannya kerja, malah enak-enakan di sini!"

Susi berkacak pinggang dengan wajah merah. Karena gerakannya itu, bajunya sedikit terangkat, membuat Asih dan Rani dapat melihat sesuatu di sana.

"Apa lihat-lihat? Kerja!"

Dia melempar serbet makan dari pundaknya, ke wajah Asih dan berlalu pergi.

Di dalam kamar. Bayu tak henti tersenyum. Dia merasa sesuatu miliknya, kembali hadir, tanpa dia mencari, lagi dan lagi.

"Aku nggak nyangka, kita akan ketemu di sini, As."

Bayu bergumam sembari membuka dompet dan menatap lekat pada foto gadis yang tersimpan di sana.

Ponsel di meja berdering, Bayu meraihnya dan cepat bersiap setelah panggilan selesai. Dia keluar kamar, menuruni anak tangga dan berlalu pergi tanpa sempat mencari keberadaan wanita itu di rumahnya.

Mobil melaju, membelah padatnya lalu lintas kota di pagi hari. Terus berjalan hingga tibalah dia di parkiran sebuah gedung.

Setelah menaiki lift, mereka sampai di tujuan. Pria berbaju hitam membukakan pintu, mempersilakan Bayu untuk segera masuk.

"Bayu Wijaya, senang sekali akhirnya Anda dapat datang ke sini. Silakan duduk, tak perlu sungkan."

Seorang pria bertubuh tambun, berdiri dengan senyum lebar. Dia menjabat tangan tamunya dan membahas hal yang mereka rencanakan.

Sepuluh menit berlalu, Bayu berdiri dan membungkuk. Dia berlalu pergi dengan ekspresi yang tetap tenang.

"Jadi, bagaimana, Pak. Apakah proyek ini akan diterima?"

Wildan mengamati wajah atasannya yang masih terdiam di belakang kemudi. Hingga beberapa saat, dia belum juga mendapat jawab. Mobil mereka juga masih di tempat dengan mesin yang belum dinyalakan.

Wildan menepuk lengan Bayu, mengingatkan laki-laki itu untuk mulai berlalu pergi.

"Bisa santai nggak? Kalau kamu nggak bisa sabar, kamu bisa pergi sendiri!"

Seruan Bayu membuat Wildan menatapnya heran.

"Santai? Sabar? Bapak kenapa?" tanyanya dan menawarkan diri untuk menggantikan di balik kemudi.

"Kamu kira aku nggak bisa nyetir? Ah! pulanglah sendiri. Aku ada perlu di tempat lain."

Bayu menatap pintu di samping kiri, dan pria di kursi penumpang segera beranjak tanpa menunggu titah kedua kalinya.

Selepas Wildan pergi, Bayu memeluk kemudi, lalu tanpa sadar memukul kepalanya dengan kedua tangan.

Bayu masih di posisinya dengan isi kepala yang berisik. Kenangan masa lalu bersama Asih, kembali hadir dan terlihat jelas di benaknya.

[Maaf, Mas. Aku rasa, kita cukup sampai di sini. Aku ... aku sudah dilamar seseorang, dan kami akan menikah minggu depan.]

Kalimat Asih kala itu masih teringat jelas di kepala Bayu. Dia merasa dunia semakin menghimpit, sementara cincin di saku tak sempat dia ambil dan serahkan pada wanita pujaan hatinya. Dia yang bekerja siang malam demi meminang Asih, justru mendapat kenyataan yang tak pernah dia bayangkan. Asih bersanding dengan Aryo, sahabat sekaligus musuh dalam selimut yang tega membuatnya trauma, hingga saat ini.

Bayu selalu menolak setiap wanita yang diajukan kedua orang tuanya. Dia sama sekali tak tertarik untuk membina rumah tangga -setelah penolakan di malam itu.

"Papa Mama hanya punya kamu, Nak. Mau sampai kapan kamu hidup sendiri?"

Bayu hanya berlalu tanpa memberi jawab apa pun. Membuat Andi Wijaya dan istrinya, menggeleng dan menghela napas pasrah.

Sedangkan jauh dari Ibu kota, tepatnya di suatu perkampungan. Aryo baru saja selesai mencari rumput. Dia berteduh di sebuah gubuk sembari meminum bekal air yang dia bawa.

"Mas Aryo? Baru beres? Wah, dapat banyak tuh," seru seseorang bercaping yang baru saja datang. Aryo sedikit beringsut agar pria tersebut dapat duduk di sampingnya.

Mereka saling bertukar cerita, hingga tiba-tiba saja, Aryo terdiam saat orang tersebut menanyakan istrinya.

"Mbak Asih ke mana, Mas? Lama banget nggak pernah kelihatan. Apa bener dia pulang ke rumah orang tuanya?"

Aryo sedikit bimbang, namun dia menjawab dengan nada yang meyakinkan.

"Iya, Pakde. Mertua saya, lagi sakit. Jadi untuk sementara, Asih di sana dulu ...."

"Mertua? Maaf, bukannya Asih yatim piatu ya, Mas?" balas laki-laki itu dengan tatapan tak percaya.

Seketika, Aryo kehilangan muka. Dia malu dan entah harus menjawab apa lagi setelah ketahuan berbohong.

Tahu jika lawan bicaranya mati kutu, pria tersebut pamit pergi dengan karung terlipat di tangannya.

Aryo pulang. Sepanjang jalan, dia memikirkan Asih yang satu bulan lebih tak ada kabar. Dia sama sekali tak bisa menghubungi wanita itu. Untuk menyusul ke sana, dia tak punya nyali, mengingat dirinya sendiri yang meminta Asih untuk pergi.

"Yo, Ibu nanti malam mau arisan. Kamu punya duit kan? Ibu minta untuk setoran. Lima puluh aja."

Yatmi mengulurkan tangan, tepat setelah matanya menangkap siluet sang anak yang memasuki halaman.

Laki-laki itu terus berlalu menuju kandang ternak di belakang rumah. Hatinya bergemuruh, ingin marah, namun teringat kata-kata Asih dulu.

[Jangan membentak orang tua, Mas. Tanpa mereka, kamu nggak ada di dunia ini.]

Aryo mulai membagikan rumput pada kambing dan sapinya. Dia menyesali langkah yang diambil, tanpa pernah memikirkannya lebih dulu.

Suara sang ibu kembali terdengar, kali ini disusul jerit tangis bayi dan omelan adiknya.

Aryo duduk di bawah pohon pisang, mengipas wajah dengan handuk kecil yang melingkari lehernya.

(Asih, ternyata rumah ini memang tak cocok untuk kita.)

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Pulang kampung

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kereta memasuki stasiun terakhir. Asih memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, lalu bersiap turun.Angin malam menerpa wajahnya, tepat setelah Asih menginjakkan kaki di peron. Dia melangkah ke arah pintu keluar dan mencari kendaraan menuju kampung halaman.Ponsel di saku jaketnya berdering nyaring. Asih berhenti dan duduk di sebuah bangku halte, membuka layar dan tersenyum melihat si pemanggil. Dia menggeser tombol hijau dan muncullah wajah Bayu di sana."Udah sampai, As? Baru turun ya? Itu masih di stasiun bukan?"Bayu melihat lalu lalang orang dengan tas dan koper di tangan. Asih mengangguk, menanyakan keadaan lawan bicaranya yang terlihat masih di area peron."Iya, aku lagi nunggu kereta ini. Nggak jadi nginep. Om Toni nyuruh balik. Kamu hati-hati ya, As. Inget, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jangan sungkan."Asih tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bersiap menutup panggilan."Sebentar, As. Satu lagi, jangan panggi

  • KINASIH   Stasiun

    Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung. "Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ....""Diam! Apa kau buta? J

  • KINASIH   Interview

    Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya. "Asih."Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam."Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita

  • KINASIH   Amarah

    "Yo, kenapa kamu belum urus juga?"Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama."Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit

  • KINASIH   Perempuan gatal

    Pertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira. Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air.Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di

  • KINASIH   Ibu kota

    "Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status