LOGINPertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira.
Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air. Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di mana itu sebenarnya tugas Susi. Namun entah mengapa, akhir-akhir ini selalu saja dia yang diminta untuk melakukan semuanya. Asih berjalan pelan menyusuri ruang demi ruang di rumah mewah itu dalam cahaya temaram. Keheningan membuatnya tersenyum pilu, karena saat seperti itu, berbagai pikiran mendadak berlomba untuk muncul dalam benak. (Itu siapa? ) Asih mengeryit, coba untuk memperjelas penglihatannya. Lalu menarik kembali tangan yang siap menutup pintu kaca itu. Naas, tatapannya justru bertemu dengan orang di tepi kolam yang kini menatap dan melambai —meminta Asih untuk mendekat. Dengan ragu, Asih mendekat. Dia yang saat itu memakai baju tidur panjang berwarna lembut, membuat Bayu semakin tersenyum lebar. "Kamu belum tidur, As?" Asih masih berdiri kaku di dekat Bayu. Kemudian, laki-laki itu bangkit dan mengajak Asih ke kursi yang ada di sana. Bayu kembali mengulang pertanyaannya dan Asih, menjawab dengan wajah menunduk. Sadar akan itu, Bayu cepat-cepat meraih baju dan mengenakannya. "Maaf, As. Tadi panas banget." Bayu tertawa kecil untuk mencairkan ketegangan di antara mereka, dan lanjut berkata, "udah nggak usah nunduk terus, nggak ada duit jatuh kok." Wanita itu mengangkat wajah dan cepat memalingkannya saat tatapan mereka kembali bertemu. "Asih, gimana kabar keluargamu? Di mana Aryo sekarang?" Bayu membuka obrolan, sedangkan Asih terlihat tak nyaman. Namun dia tetap menjawab, meski suaranya lirih. Bayu merasa ada sesuatu yang ditutupi, namun dia tak ingin menanyakan lebih lanjut. Dia mengalihkan topik, membahas keseharian mereka dan entah siapa yang memulai, pembahasan itu merembet sampai ke masa lalu. "Andai dulu aku lebih cepat ya, As. Mungkin, sekarang kamu di sini, jadi istriku," tutur Bayu dengan mata menerawang. Asih diam sesaat, menatap sekilas pada wajah yang dulu menemaninya dan membuka suara. "Sekarang aku juga di sini, Mas. Toh takdir tak ada yang tahu. Mau sekuat apa kita mengelak, takdir selalu berjalan sesuai perintah-Nya." Keduanya bergeming, sibuk dengan isi pikiran masing-masing. "Maaf, Mas. Sudah malam, aku kembali ke kamar dulu. Mas juga istirahat, jaga kesehatan," ucap Asih yang berdiri dan menjauh. Meninggalkan Bayu sendiri dengan setitik bahagia yang membuatnya tersenyum cerah. Dia mengikuti perintah itu, beranjak pergi dan kembali ke kamarnya di lantai atas. * Keesokan harinya, Bayu sengaja tidak berangkat ke kantor. Dia ingin di rumah, menatap wajah Asih yang terus mengusik hidupnya selama ini. Dering ponsel terdengar nyaring. Dengan malas, Bayu meraih benda pipih itu dan menerima panggilan. (Bayu, kamu kenapa nggak datang? Kamu sakit?) Laki-laki itu menarik ponsel dari telinga, menatap layar lalu menggerutu tak jelas. Dia tak menjawab, namun suara Bella kembali terdengar, kali ini dengan sedikit paksaan. (Kamu kenapa? Aku akan ke sana sekarang.) Belum sempat dijawab, panggilan itu terputus. Bayu melempar ponselnya ke tempat tidur, lalu mengacak rambutnya dengan wajah memerah. Dia menoleh saat pintu kamar diketuk seseorang. "Siapa?" Bayu berteriak dari tempatnya, sementara balasan dari luar, membuat dia lekas membenahi penampilan dan berjalan membuka pintu. Asih berdiri di sana dengan nampan berisi sarapan untuknya. "Masuk, As. Letakkan di meja, nanti aku makan. Kamu udah sarapan?" tanya Bayu dengan wajah cerah. Asih mengangguk dan berniat untuk keluar kamar. Bayu cepat menahan, dia mencekal tangan Asih dan berbisik. "Temani aku sarapan ya, jangan menolak." "Maaf, Mas. Tapi ...." Kata-kata menggantung di udara, karena Bayu sudah menariknya untuk duduk di samping laki-laki itu. "Aku yang akan bilang ke Bi Sumi. Tenang aja." Sementara di dapur, Susi mencari-cari keberadaan Asih. Beberapa temannya ditanya, namun mereka tak menjawab. Susi menggertakkan giginya. Tangan terkepal kuat, matanya nyalang, mengamati setiap sudut rumah dan berhenti saat menatap ujung tangga atas. Mulutnya terbuka, tak percaya akan apa yang dilihatnya. Dengan cepat, dia merogoh kantong seragamnya dan mengeluarkan ponsel dari sana. Susi bersembunyi di dekat guci besar, mengarahkan kamera pada dua sosok yang berdekatan di ujung tangga. Susi menyeringai dan balik badan, berniat pergi sebelum ada yang melihat. Namun naas, karena terburu-buru, tangannya menyenggol guci besar itu dan benda itu roboh ke lantai, hancur berkeping. Bayu dan Asih terkejut, keduanya menatap ke bawah, di mana Susi terjerembab di sana dan pelayan lain pun berdatangan untuk membantu. "Maaf, Mas. Aku ke bawah dulu." Asih berlari kecil menuruni anak tangga, menanyakan apa yang terjadi pada temannya. "Kamu ngapain berduaan sama Tuan? Dasar perempuan gatal, aku laporkan kamu ke Tuan besar!" Susi menatap tajam pada Asih. Dia menepis tangan Asih yang siap membantunya berdiri. "Laporkan saja." Suara dingin namun terdengar bagai petir di telinga Susi. Wanita itu menunduk, "maaf, Tuan," balasnya pelan lalu bergegas pergi. Sementara yang lain, cepat membereskan sisa pecahan di lantai. Sejak saat itu, Asih menjadi bulan-bulanan Susi dan beberapa temannya. Mereka menatap Asih dengan sorot tajam, penuh kebencian yang berkobar di dalam sana. Hanya bi Sumi dan Rani yang datang mendekati dan membesarkan hatinya. "Aku ke sini untuk kerja, Bi. Aku butuh uang untuk bisa pulang kampung, menjenguk pusara anakku. Dan aku, sama sekali nggak ada hubungan apa pun dengan Tuan." Asih duduk tegak, menatap kedua wajah di hadapannya. Dari balik dinding dapur, Bayu mendengar semua itu dengan hati terluka. Laki-laki itu berjalan menjauh, menaiki tangga menuju kamarnya. Di dalam, dia kembali merenung, merasakan kesedihan dari setiap kata yang baru saja didengarnya. (Aku akan bantu kamu agar bisa datang ke makam buah hatimu, As. Dan aku, tak akan mengambil yang bukan milikku —setidaknya untuk saat ini.) ***Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.
Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang
Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S
"Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S
Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana
"As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl







