로그인Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya.
"Asih." Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam. "Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita mau ke mana? Di rumah masih banyak kerjaan, aku nggak enak sama yang lain." Asih menatap jalanan di depan lalu menoleh ke arah Bayu yang tetap tenang mengendalikan kemudi. Tak lama, mobil melambat. Memasuki area parkir di perkebunan. Asih masih tak percaya, entah di mana, dia tak tahu arah. Sampai kaca di sampingnya diketuk pun, dia tak sadar. Bayu berdiri di luar, tangannya menahan pintu mobil dan memanggil lirih. Seakan tak ingin menyadarkan wanita itu dari lamunan. "Oh, maaf, Tuan." Asih tergagap dan keluar mobil dengan kedua pipi bersemu merah. Bayu hanya tersenyum. Asih mengedarkan pandangan. Matanya disuguh dengan warna hijau yang membentang luas, udara di sana juga terasa segar, sangat berbeda dengan kota yang mereka tinggali. "Kamu suka, As?" tanya Bayu, sesaat setelah mereka duduk berdua. Sementara beberapa wanita dengan caping lebar dan keranjang besar di punggungnya, beriringan dan mulai beraktivitas di tengah hamparan hijau di sana. Bayu memalingkan wajah dari para pemetik teh, kembali menatap Asih yang terdiam dengan tatapan kosong. "Asih? Jangan ngelamun di sini. Nanti kerasukan ulet teh lho." Mendengar itu, Asih menoleh dan tersenyum. Ada genangan air yang dia tahan sejak tadi. Bayu merogoh saku kemeja, mengeluarkan sapu tangan dan memberikan pada wanita di sampingnya. "Maaf, baru sekarang aku bisa menepati janjiku dulu, As. Aku pernah bilang kan, mau ajak kamu ke kebun teh. Dan baru sekarang ini kesampaian." Bayu tersenyum getir, dia merasakan desakan halus yang tiba-tiba hadir di hatinya. Sedangkan Asih mengangguk tanpa suara, kepalanya penuh dengan berbagai tanya dan pikiran lain yang belum sempat dia utarakan. Bayu terlihat bimbang, tangannya berusaha menyentuh Asih, namun batinnya berbisik. (Dia istri orang, jangan banyak tingkah.) Laki-laki itu kembali menarik lengan dan menatap ke depan dengan senyum yang dia paksakan. "Maaf, Tuan. Saya tidak pernah kepikiran soal janji itu, dan saya mohon tolong jauhi saya, Tuan. Saya masih istri Mas Aryo, Anda juga pastinya punya kekasih yang setara. Saya tidak mau ada yang salah paham soal kita." Asih menunduk, mengusap air mata dengan sapu tangan dan menengadah, menatap sekeliling dengan hati yang terasa pedih. Asih bangkit, "Tuan, ayo kita pulang. Masih banyak kerjaan di rumah. Tuan juga harus ke kantor bukan?" Wanita itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Bayu yang kemudian berlari menyusulnya. Selama perjalanan, tak ada yang membuka percakapan. Baru setelah mobil memasuki komplek perumahan, Bayu menatap Asih dengan rasa sayang yang masih ada di dalam hatinya. "As, aku akan turuti apa maumu. Tapi tolong, jangan pergi dariku, lagi. Cukup sekali dulu, aku ditinggalkan. Sekarang kamu bisa anggap aku sebagai Kakakmu, dan aku pun siap membantu, apa pun itu. Asal bukan menjauh darimu." Mobil berhenti di halaman, dua orang satpam menatap heran melihat Asih ada di sana. Namun mereka tak berani untuk bertanya, dan tetap menjalankan tugas masing-masing. Asih yang hendak membuka pintu, kalah cepat oleh gerakan Bayu dari luar. Sontak, pemandangan itu membuat satpam dan tukang kebun, saling tatap dengan kening berkerut. Tanpa bicara, Asih cepat berlalu masuk dari pintu samping. Sementara Bayu melangkah santai ke arah ruang tamu. Baru sampai di dapur, Asih disambut dengan tatapan sinis dari beberapa kawannya. "Belum lama di sini, udah berani jalan sama majikan. Dasar jal4ng," sindir Susi sembari melirik dan menghentakkan kaki, tepat di depan Asih. "Asih, sini bantu Bibi." Akhirnya, Bi Sumi menyelamatkan Asih dari para pembenci. Dia mengajak Asih ke ruangan lain, menjauh dari tatapan dengki itu. "Makasih, Bi," bisik Asih dengan kedua tangan sibuk mengatur makanan di meja. Hari ini, Tuan dan Nyonya Wijaya akan datang dari luar negeri. Dan orang pertama yang diberi tahu adalah Sumi, bukan Bayu yang notabene anak mereka. Tepat selesai dhuhur, sebuah mobil memasuki halaman. Dua orang muncul dengan senyum. Nyonya Wijaya memeluk Sumi dengan hangat, dia menoleh ke arah Asih dan kembali menatap Sumi, mencari jawaban. "Dia Asih, Nyonya. Baru satu bulan lebih di sini." Sumi menyentuh lengan Asih untuk memperkenalkan diri. "Semoga betah di sini ya, Asih," ucap Nyonya Wijaya yang tersenyum dan menepuk bahu Asih pelan. Sementara itu, Tuan Wijaya sudah lebih dulu masuk dan meminta seorang pelayan memanggilkan Bayu. Tak berselang lama, Bayu turun dengan kedua mata terbeliak. Kaget bercampur bahagia. Dia bergegas menuruni anak tangga dan menghambur ke pelukan sang ayah. Wijaya menyingkir saat istrinya menarik lengan Bayu dan membawanya dalam dekapan. "Anak Mama. Nggak ke kantor kamu, Nak?" Bayu menggeleng, dia membawa kedua orang tuanya untuk duduk. Laki-laki itu menanyakan keadaan mereka selama di negeri orang dan meluapkan rasa rindu yang selama ini dia simpan. Asih datang dengan nampan berisi minuman. "Silakan, Tuan, Nyonya," ujarnya dengan kepala menunduk, lalu bersiap pergi. "Sebentar, As. Kamu ... sudah menikah?" Asih terdiam sesaat, suara kedua orang itu masih menggantung di udara. Sementara Bayu menatap lekat pada puncak kepala Asih, penuh harap. "Sudah, Nyonya." Asih memaksakan senyum sebaik mungkin, meskipun dia melihat wajah muram yang diam-diam menatapnya. Wijaya menyentuh lengan istrinya sembari melirik ke arah Bayu. Asih segera berlalu setelah menjawab pertanyaan majikannya. Dia melangkah ke dapur dan suara Rani membuatnya menatap tajam. "Cie, abis interview calon mantu nih? Udah lah, As. Kan suamimu juga nggak waras, apalagi mertuamu. Gas aja yang ini. Aku siap dukung sampai sah." Rani mengacungkan kedua ibu jarinya dengan tawa yang semakin membuat Asih kesal. ***Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.
Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang
Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S
"Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S
Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana
"As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl







