Share

Interview

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-29 19:51:31

Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya.

"Asih."

Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam.

"Mau pulang? Ayo ikut aku."

Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat.

"Kamu pikir, aku sopirmu?"

Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan.

Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung.

Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian.

"Tuan, kita mau ke mana? Di rumah masih banyak kerjaan, aku nggak enak sama yang lain."

Asih menatap jalanan di depan lalu menoleh ke arah Bayu yang tetap tenang mengendalikan kemudi.

Tak lama, mobil melambat. Memasuki area parkir di perkebunan.

Asih masih tak percaya, entah di mana, dia tak tahu arah. Sampai kaca di sampingnya diketuk pun, dia tak sadar.

Bayu berdiri di luar, tangannya menahan pintu mobil dan memanggil lirih. Seakan tak ingin menyadarkan wanita itu dari lamunan.

"Oh, maaf, Tuan."

Asih tergagap dan keluar mobil dengan kedua pipi bersemu merah. Bayu hanya tersenyum.

Asih mengedarkan pandangan. Matanya disuguh dengan warna hijau yang membentang luas, udara di sana juga terasa segar, sangat berbeda dengan kota yang mereka tinggali.

"Kamu suka, As?" tanya Bayu, sesaat setelah mereka duduk berdua. Sementara beberapa wanita dengan caping lebar dan keranjang besar di punggungnya, beriringan dan mulai beraktivitas di tengah hamparan hijau di sana.

Bayu memalingkan wajah dari para pemetik teh, kembali menatap Asih yang terdiam dengan tatapan kosong.

"Asih? Jangan ngelamun di sini. Nanti kerasukan ulet teh lho."

Mendengar itu, Asih menoleh dan tersenyum. Ada genangan air yang dia tahan sejak tadi. Bayu merogoh saku kemeja, mengeluarkan sapu tangan dan memberikan pada wanita di sampingnya.

"Maaf, baru sekarang aku bisa menepati janjiku dulu, As. Aku pernah bilang kan, mau ajak kamu ke kebun teh. Dan baru sekarang ini kesampaian."

Bayu tersenyum getir, dia merasakan desakan halus yang tiba-tiba hadir di hatinya.

Sedangkan Asih mengangguk tanpa suara, kepalanya penuh dengan berbagai tanya dan pikiran lain yang belum sempat dia utarakan.

Bayu terlihat bimbang, tangannya berusaha menyentuh Asih, namun batinnya berbisik.

(Dia istri orang, jangan banyak tingkah.)

Laki-laki itu kembali menarik lengan dan menatap ke depan dengan senyum yang dia paksakan.

"Maaf, Tuan. Saya tidak pernah kepikiran soal janji itu, dan saya mohon tolong jauhi saya, Tuan. Saya masih istri Mas Aryo, Anda juga pastinya punya kekasih yang setara. Saya tidak mau ada yang salah paham soal kita."

Asih menunduk, mengusap air mata dengan sapu tangan dan menengadah, menatap sekeliling dengan hati yang terasa pedih.

Asih bangkit, "Tuan, ayo kita pulang. Masih banyak kerjaan di rumah. Tuan juga harus ke kantor bukan?"

Wanita itu berjalan lebih dulu, meninggalkan Bayu yang kemudian berlari menyusulnya.

Selama perjalanan, tak ada yang membuka percakapan. Baru setelah mobil memasuki komplek perumahan, Bayu menatap Asih dengan rasa sayang yang masih ada di dalam hatinya.

"As, aku akan turuti apa maumu. Tapi tolong, jangan pergi dariku, lagi. Cukup sekali dulu, aku ditinggalkan. Sekarang kamu bisa anggap aku sebagai Kakakmu, dan aku pun siap membantu, apa pun itu. Asal bukan menjauh darimu."

Mobil berhenti di halaman, dua orang satpam menatap heran melihat Asih ada di sana. Namun mereka tak berani untuk bertanya, dan tetap menjalankan tugas masing-masing.

Asih yang hendak membuka pintu, kalah cepat oleh gerakan Bayu dari luar. Sontak, pemandangan itu membuat satpam dan tukang kebun, saling tatap dengan kening berkerut.

Tanpa bicara, Asih cepat berlalu masuk dari pintu samping. Sementara Bayu melangkah santai ke arah ruang tamu.

Baru sampai di dapur, Asih disambut dengan tatapan sinis dari beberapa kawannya.

"Belum lama di sini, udah berani jalan sama majikan. Dasar jal4ng," sindir Susi sembari melirik dan menghentakkan kaki, tepat di depan Asih.

"Asih, sini bantu Bibi."

Akhirnya, Bi Sumi menyelamatkan Asih dari para pembenci. Dia mengajak Asih ke ruangan lain, menjauh dari tatapan dengki itu.

"Makasih, Bi," bisik Asih dengan kedua tangan sibuk mengatur makanan di meja.

Hari ini, Tuan dan Nyonya Wijaya akan datang dari luar negeri. Dan orang pertama yang diberi tahu adalah Sumi, bukan Bayu yang notabene anak mereka.

Tepat selesai dhuhur, sebuah mobil memasuki halaman. Dua orang muncul dengan senyum.

Nyonya Wijaya memeluk Sumi dengan hangat, dia menoleh ke arah Asih dan kembali menatap Sumi, mencari jawaban.

"Dia Asih, Nyonya. Baru satu bulan lebih di sini."

Sumi menyentuh lengan Asih untuk memperkenalkan diri.

"Semoga betah di sini ya, Asih," ucap Nyonya Wijaya yang tersenyum dan menepuk bahu Asih pelan. Sementara itu, Tuan Wijaya sudah lebih dulu masuk dan meminta seorang pelayan memanggilkan Bayu.

Tak berselang lama, Bayu turun dengan kedua mata terbeliak. Kaget bercampur bahagia. Dia bergegas menuruni anak tangga dan menghambur ke pelukan sang ayah.

Wijaya menyingkir saat istrinya menarik lengan Bayu dan membawanya dalam dekapan.

"Anak Mama. Nggak ke kantor kamu, Nak?"

Bayu menggeleng, dia membawa kedua orang tuanya untuk duduk. Laki-laki itu menanyakan keadaan mereka selama di negeri orang dan meluapkan rasa rindu yang selama ini dia simpan.

Asih datang dengan nampan berisi minuman. "Silakan, Tuan, Nyonya," ujarnya dengan kepala menunduk, lalu bersiap pergi.

"Sebentar, As. Kamu ... sudah menikah?"

Asih terdiam sesaat, suara kedua orang itu masih menggantung di udara. Sementara Bayu menatap lekat pada puncak kepala Asih, penuh harap.

"Sudah, Nyonya."

Asih memaksakan senyum sebaik mungkin, meskipun dia melihat wajah muram yang diam-diam menatapnya.

Wijaya menyentuh lengan istrinya sembari melirik ke arah Bayu.

Asih segera berlalu setelah menjawab pertanyaan majikannya. Dia melangkah ke dapur dan suara Rani membuatnya menatap tajam.

"Cie, abis interview calon mantu nih? Udah lah, As. Kan suamimu juga nggak waras, apalagi mertuamu. Gas aja yang ini. Aku siap dukung sampai sah."

Rani mengacungkan kedua ibu jarinya dengan tawa yang semakin membuat Asih kesal.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Pulang kampung

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kereta memasuki stasiun terakhir. Asih memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, lalu bersiap turun.Angin malam menerpa wajahnya, tepat setelah Asih menginjakkan kaki di peron. Dia melangkah ke arah pintu keluar dan mencari kendaraan menuju kampung halaman.Ponsel di saku jaketnya berdering nyaring. Asih berhenti dan duduk di sebuah bangku halte, membuka layar dan tersenyum melihat si pemanggil. Dia menggeser tombol hijau dan muncullah wajah Bayu di sana."Udah sampai, As? Baru turun ya? Itu masih di stasiun bukan?"Bayu melihat lalu lalang orang dengan tas dan koper di tangan. Asih mengangguk, menanyakan keadaan lawan bicaranya yang terlihat masih di area peron."Iya, aku lagi nunggu kereta ini. Nggak jadi nginep. Om Toni nyuruh balik. Kamu hati-hati ya, As. Inget, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jangan sungkan."Asih tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bersiap menutup panggilan."Sebentar, As. Satu lagi, jangan panggi

  • KINASIH   Stasiun

    Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung. "Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ....""Diam! Apa kau buta? J

  • KINASIH   Interview

    Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya. "Asih."Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam."Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita

  • KINASIH   Amarah

    "Yo, kenapa kamu belum urus juga?"Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama."Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit

  • KINASIH   Perempuan gatal

    Pertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira. Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air.Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di

  • KINASIH   Ibu kota

    "Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status