LOGINSetelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung.
"Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ...." "Diam! Apa kau buta? Jelas-jelas kau berdiri di sana, tepat setelah Asih masuk. Apa yang kau cari? Siapa yang memintamu jadi intel gadungan, Hah?" Wajah Bayu memerah, tangannya terkepal kuat, memperjelas buku-buku jarinya yang semakin memutih. Bayu menekan angka di layar ponselnya dan berbicara beberapa saat. Kemudian, pintu kembali terbuka dengan seorang pria berseragam hitam, berdiri di sana dengan sikap siap. Dia mengangguk pada Bayu dan meminta Susi untuk mengikutinya. Pintu kembali tertutup, menyisakan Bayu dan Asih yang masih saling diam untuk beberapa saat. "Baiklah, aku akan turuti apa maumu, As. Tapi, aku akan antar ke sana agar kamu aman," tutur Bayu yang segera mendapat respons dari lawan bicaranya. "Maaf, Tuan. Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri. Saya tidak mau mereka salah sangka dan menilai Anda yang tidak-tidak." Bayu mengangguk saat menyadari apa yang dikatakan Asih. Laki-laki itu bergerak membuka laci, mengeluarkan sebuah amplop coklat dan memberikannya kepada Asih. "Ini untuk ongkosmu pulang. Besok, aku akan mengantarmu ke terminal atau stasiun. Tolong jangan menolak. Hanya sampai sana, As." Akhirnya, Asih mengangguk dan undur diri. Sementara Bayu kembali berkutat di depan layar laptop, berusaha memfokuskan pikirannya. Namun, usahanya tak berhasil. Dia kembali membuka ponsel dan menghubungi seseorang. Di sisi lain, Asih membantu pelayan lain membersihkan rumah. Tak hanya sekali dua kali, dia mendapat sindiran dari beberapa teman sesama pelayan, termasuk Susi yang ternyata baru keluar kamar, dengan tas besar miliknya. Asih hanya mengulum senyum, saat Susi melewatinya begitu saja dan berlalu mengikuti langkah pak Udin, menuju halaman. "Udah, biarin aja. Dia memang begitu. Selalu saja diliputi iri dengki yang membuatnya repot sendiri. Susi sebenarnya anak baik, Bibi yang bawa dia bekerja di sini. Dia beberapa kali gagal menikah karena calon suaminya memilih perempuan lain." Sumi menjelaskan dengan mata masih mengikuti langkah Susi yang semakin menjauh. Rani kemudian menanyakan apa yang membuat Asih menghadap majikan mereka. "Besok, aku mau pulang kampung, Ran. Aku rindu anakku. Setidaknya, aku bisa datang dan memberi bunga di atas pusaranya." Asih menghentikan gerakan tangannya yang menggenggam kemoceng. Dia menatap sendu pada meja di depannya. "Oke, itu wajar, As. Tapi ingat, kamu jangan mau dijadikan budak lagi oleh mertua dan antek-anteknya. Aku ikut sakit hati, As." Rani memeluk Asih dan keduanya kembali disibukkan oleh pekerjaan. Keesokan harinya, tepat setelah azan subuh berkumandang. Asih sudah bangun. Dia bersiap untuk mendirikan kewajiban sebagai muslim, kemudian ke dapur bersama Bi Sumi dan yang lain. "Udah, kamu siap-siap aja, As. Biar Bibi yang pegang. Oh ya, sarapan dulu sebelum berangkat ya. Jangan jajan sembarangan." Bi Sumi mengambil alih sapu di tangan Asih dan mengajaknya duduk. Tak lama, Rani dan yang lain datang. Mereka duduk di meja khusus di bagian belakang, menikmati teh hangat dan jajanan pasar yang dibeli oleh Rani. Rutinitas itulah yang membuat ikatan mereka semakin hari, semakin erat, melebihi saudara. "As, udah siap?" Mereka yang di sana, serentak menoleh ke sumber suara. Bayu, Tuan mereka, sudah berdiri dengan pakaian santai dan kunci mobil di tangan. Mereka menatap majikan dan Asih bergantian, lalu dengan berbisik, Rani mengatakan sesuatu yang membuat kedua pipi Asih bersemu merah. Asih bangkit, mengambil tasnya di dalam kamar dan melangkah ke arah teman-temannya. Berpamitan. Tangis pecah saat Rani memeluk Asih dengan erat. "Jangan lupa berkabar ya, As. Kembalilah kalau kamu sudah beres semua urusan. Ingat semua pesanku. Jangan mau dijadikan keset terus, As. Kamu berharga lebih dari apa pun." Sumi juga turut memberi nasehat, dia membelai lembut kepala Asih dan tersenyum hangat. "Kamu sudah seperti anakku sendiri, As. Tolong jangan lupakan wanita tua ini ya. Berkabar, tetaplah jadi wanita kuat." Setelahnya, Asih berlalu bersama Bayu yang terus memaksa untuk membawakan tas miliknya. "Bi, kayaknya Tuan cinta beneran sama Asih nih, tapi sayang dia masih istri orang. Coba kalau Asih single, pasti udah digas tuh, bawa ke KUA." Rani tertawa renyah saat bi Sumi menjentikkan jari di keningnya. "Kerja, nggak usah mikirin cinta-cintaan." * Bayu dan Asih saling diam. Perjalanan menuju stasiun terasa lama meskipun jalanan belum terlalu ramai. Merasa tak nyaman, Bayu membuka obrolan. Dia menoleh sekilas dan kembali menghadap jalanan di depannya. "As, janji ya jangan membenciku juga Papa Mama soal pertanyaan mereka tempo hari. Pintu rumah selalu terbuka untukmu, termasuk pintu hatiku," ujar Bayu yang melirihkan kalimat terakhirnya. Meski begitu, Asih tetap mendengar dan menoleh. "Tolong, jangan bahas soal itu lagi, Tuan. Status kita berbeda dan saya masih menjadi istri orang." Bayu mengangguk, dia sama sekali tak menjawab dan lebih memilih fokus ke arah jalanan. Menit berganti, akhirnya mobil masuk ke area stasiun. Bayu tetap memaksa untuk membawakan tas milik Asih, sementara wanita itu hanya bisa pasrah dan melangkah menuju loket. Asih menghentikan langkah saat Bayu turut serta di belakangnya menuju antrian di gate. "Tuan, kenapa ikut?" Namun Bayu hanya tersenyum. Dia mengikuti alur yang tersedia dan melangkah menuju peron bersama para penumpang lain. "Tuan, tolong. Pulanglah, saya bisa pulang sendiri ," bisik Asih dengan perasaan tak nyaman. Beberapa wanita menatap Asih dan Bayu, lalu berbisik. Tanpa disangka, Bayu justru menyentuh lengan Asih dan menggenggam telapak tangannya. Laki-laki itu sedikit menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Asih. "Panggil aku seperti awal kita bertemu, As. Atau panggil sayang juga boleh kok." Kata-kata itu sukses membuat semburat merah di pipi Asih semakin menyebar. ***Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.
Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang
Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S
"Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S
Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana
"As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl







