Share

Stasiun

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-31 00:50:50

Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung.

"Kenapa buru-buru sekali, As?"

Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya.

"Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai."

Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya.

Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak.

Brak!

"Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong."

Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara.

Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu.

"Kau, sini!"

Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras.

"Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ...."

"Diam! Apa kau buta? Jelas-jelas kau berdiri di sana, tepat setelah Asih masuk. Apa yang kau cari? Siapa yang memintamu jadi intel gadungan, Hah?"

Wajah Bayu memerah, tangannya terkepal kuat, memperjelas buku-buku jarinya yang semakin memutih.

Bayu menekan angka di layar ponselnya dan berbicara beberapa saat. Kemudian, pintu kembali terbuka dengan seorang pria berseragam hitam, berdiri di sana dengan sikap siap. Dia mengangguk pada Bayu dan meminta Susi untuk mengikutinya.

Pintu kembali tertutup, menyisakan Bayu dan Asih yang masih saling diam untuk beberapa saat.

"Baiklah, aku akan turuti apa maumu, As. Tapi, aku akan antar ke sana agar kamu aman," tutur Bayu yang segera mendapat respons dari lawan bicaranya.

"Maaf, Tuan. Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri. Saya tidak mau mereka salah sangka dan menilai Anda yang tidak-tidak."

Bayu mengangguk saat menyadari apa yang dikatakan Asih. Laki-laki itu bergerak membuka laci, mengeluarkan sebuah amplop coklat dan memberikannya kepada Asih.

"Ini untuk ongkosmu pulang. Besok, aku akan mengantarmu ke terminal atau stasiun. Tolong jangan menolak. Hanya sampai sana, As."

Akhirnya, Asih mengangguk dan undur diri. Sementara Bayu kembali berkutat di depan layar laptop, berusaha memfokuskan pikirannya. Namun, usahanya tak berhasil. Dia kembali membuka ponsel dan menghubungi seseorang.

Di sisi lain, Asih membantu pelayan lain membersihkan rumah. Tak hanya sekali dua kali, dia mendapat sindiran dari beberapa teman sesama pelayan, termasuk Susi yang ternyata baru keluar kamar, dengan tas besar miliknya.

Asih hanya mengulum senyum, saat Susi melewatinya begitu saja dan berlalu mengikuti langkah pak Udin, menuju halaman.

"Udah, biarin aja. Dia memang begitu. Selalu saja diliputi iri dengki yang membuatnya repot sendiri. Susi sebenarnya anak baik, Bibi yang bawa dia bekerja di sini. Dia beberapa kali gagal menikah karena calon suaminya memilih perempuan lain."

Sumi menjelaskan dengan mata masih mengikuti langkah Susi yang semakin menjauh.

Rani kemudian menanyakan apa yang membuat Asih menghadap majikan mereka.

"Besok, aku mau pulang kampung, Ran. Aku rindu anakku. Setidaknya, aku bisa datang dan memberi bunga di atas pusaranya."

Asih menghentikan gerakan tangannya yang menggenggam kemoceng. Dia menatap sendu pada meja di depannya.

"Oke, itu wajar, As. Tapi ingat, kamu jangan mau dijadikan budak lagi oleh mertua dan antek-anteknya. Aku ikut sakit hati, As."

Rani memeluk Asih dan keduanya kembali disibukkan oleh pekerjaan.

Keesokan harinya, tepat setelah azan subuh berkumandang. Asih sudah bangun. Dia bersiap untuk mendirikan kewajiban sebagai muslim, kemudian ke dapur bersama Bi Sumi dan yang lain.

"Udah, kamu siap-siap aja, As. Biar Bibi yang pegang. Oh ya, sarapan dulu sebelum berangkat ya. Jangan jajan sembarangan."

Bi Sumi mengambil alih sapu di tangan Asih dan mengajaknya duduk.

Tak lama, Rani dan yang lain datang. Mereka duduk di meja khusus di bagian belakang, menikmati teh hangat dan jajanan pasar yang dibeli oleh Rani. Rutinitas itulah yang membuat ikatan mereka semakin hari, semakin erat, melebihi saudara.

"As, udah siap?"

Mereka yang di sana, serentak menoleh ke sumber suara. Bayu, Tuan mereka, sudah berdiri dengan pakaian santai dan kunci mobil di tangan. Mereka menatap majikan dan Asih bergantian, lalu dengan berbisik, Rani mengatakan sesuatu yang membuat kedua pipi Asih bersemu merah.

Asih bangkit, mengambil tasnya di dalam kamar dan melangkah ke arah teman-temannya. Berpamitan. Tangis pecah saat Rani memeluk Asih dengan erat.

"Jangan lupa berkabar ya, As. Kembalilah kalau kamu sudah beres semua urusan. Ingat semua pesanku. Jangan mau dijadikan keset terus, As. Kamu berharga lebih dari apa pun."

Sumi juga turut memberi nasehat, dia membelai lembut kepala Asih dan tersenyum hangat.

"Kamu sudah seperti anakku sendiri, As. Tolong jangan lupakan wanita tua ini ya. Berkabar, tetaplah jadi wanita kuat."

Setelahnya, Asih berlalu bersama Bayu yang terus memaksa untuk membawakan tas miliknya.

"Bi, kayaknya Tuan cinta beneran sama Asih nih, tapi sayang dia masih istri orang. Coba kalau Asih single, pasti udah digas tuh, bawa ke KUA."

Rani tertawa renyah saat bi Sumi menjentikkan jari di keningnya.

"Kerja, nggak usah mikirin cinta-cintaan."

*

Bayu dan Asih saling diam. Perjalanan menuju stasiun terasa lama meskipun jalanan belum terlalu ramai.

Merasa tak nyaman, Bayu membuka obrolan. Dia menoleh sekilas dan kembali menghadap jalanan di depannya.

"As, janji ya jangan membenciku juga Papa Mama soal pertanyaan mereka tempo hari. Pintu rumah selalu terbuka untukmu, termasuk pintu hatiku," ujar Bayu yang melirihkan kalimat terakhirnya. Meski begitu, Asih tetap mendengar dan menoleh.

"Tolong, jangan bahas soal itu lagi, Tuan. Status kita berbeda dan saya masih menjadi istri orang."

Bayu mengangguk, dia sama sekali tak menjawab dan lebih memilih fokus ke arah jalanan.

Menit berganti, akhirnya mobil masuk ke area stasiun. Bayu tetap memaksa untuk membawakan tas milik Asih, sementara wanita itu hanya bisa pasrah dan melangkah menuju loket.

Asih menghentikan langkah saat Bayu turut serta di belakangnya menuju antrian di gate.

"Tuan, kenapa ikut?"

Namun Bayu hanya tersenyum. Dia mengikuti alur yang tersedia dan melangkah menuju peron bersama para penumpang lain.

"Tuan, tolong. Pulanglah, saya bisa pulang sendiri ," bisik Asih dengan perasaan tak nyaman.

Beberapa wanita menatap Asih dan Bayu, lalu berbisik. Tanpa disangka, Bayu justru menyentuh lengan Asih dan menggenggam telapak tangannya. Laki-laki itu sedikit menunduk, mendekatkan bibirnya ke telinga Asih. "Panggil aku seperti awal kita bertemu, As. Atau panggil sayang juga boleh kok."

Kata-kata itu sukses membuat semburat merah di pipi Asih semakin menyebar.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Pulang kampung

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kereta memasuki stasiun terakhir. Asih memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, lalu bersiap turun.Angin malam menerpa wajahnya, tepat setelah Asih menginjakkan kaki di peron. Dia melangkah ke arah pintu keluar dan mencari kendaraan menuju kampung halaman.Ponsel di saku jaketnya berdering nyaring. Asih berhenti dan duduk di sebuah bangku halte, membuka layar dan tersenyum melihat si pemanggil. Dia menggeser tombol hijau dan muncullah wajah Bayu di sana."Udah sampai, As? Baru turun ya? Itu masih di stasiun bukan?"Bayu melihat lalu lalang orang dengan tas dan koper di tangan. Asih mengangguk, menanyakan keadaan lawan bicaranya yang terlihat masih di area peron."Iya, aku lagi nunggu kereta ini. Nggak jadi nginep. Om Toni nyuruh balik. Kamu hati-hati ya, As. Inget, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jangan sungkan."Asih tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bersiap menutup panggilan."Sebentar, As. Satu lagi, jangan panggi

  • KINASIH   Stasiun

    Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung. "Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ....""Diam! Apa kau buta? J

  • KINASIH   Interview

    Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya. "Asih."Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam."Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita

  • KINASIH   Amarah

    "Yo, kenapa kamu belum urus juga?"Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama."Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit

  • KINASIH   Perempuan gatal

    Pertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira. Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air.Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di

  • KINASIH   Ibu kota

    "Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status