Share

Amarah

Author: Bulbin
last update Last Updated: 2025-10-27 22:26:19

"Yo, kenapa kamu belum urus juga?"

Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja.

Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama.

"Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok.

Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko.

"Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam."

Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama.

"Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit, bebet, bobotnya. Malah milih perempuan mandul itu. Mana? Mana yang katanya kalian akan bahagia, hah? Hidupmu masih sama, ekonomi juga segini aja nggak ada kemajuan, anak nggak ada. Apa yang kamu tunggu dari dia, Yo?"

Yatmi turut membuka suara, memberi bumbu dan percikan bensin dengan semangat yang menyala.

"Bener kata Bapakmu. Kalau saja kamu mau dengerin perkataan kami, hidupmu akan enak. Istri cantik, kaya, ke mana-mana pakai mobil. Nggak kaya Asih, dandan aja nggak pernah, pake baju juga itu-itu terus, kerjaannya di rumah nunggu tukang paket. Gitu terus tiap hari. Nggak bosen apa, mbokyo cari kerjaan di pabrik biar ngasilin duit. Nggak buang duit terus."

Aryo tak lagi mampu menahan amarah. Dia berdiri, menggebrak meja, membuat kopi dalam cangkirnya sedikit terpercik keluar. Sontak, Jatmiko dan istrinya terkejut, mereka menatap Aryo dengan wajah penuh tanya.

"Cukup! Sehina itu Asih di mata kalian? Apa Bapak, Ibu nggak sadar? Asih banyak membantu kalian, membantu ekonomi keluarga ini. Bahkan, aku jarang kasih dia uang karena belum gajian. Tapi apa? Setiap hari, kita semua bisa makan, keperluan rumah juga selalu cukup, bahkan, susu dan pempers juga Asih yang jatah setiap minggu. Apa kalian nggak sadar? coba lihat sekarang, mau makan aja bingung, Rani juga bingung susu dan pempers, Bapak nggak ngopi sama rokok kalau nggak aku yang beli. Asih memang belum ada momongan, tapi perannya di rumah ini sangat besar. Bahkan demi dapur Ibu selalu ngebul, dia kerja jualan online, anter ke sana kemari. Apa Ibu nggak sadar?"

Aryo menghela napas kasar. Wajahnya penuh peluh dan terasa hawa panas yang mulai menjalar. Dia berlalu pergi, membuka pintu kamar dan kembali menutupnya dengan hati yang terbakar.

Sementara itu, di kursi kayu depan televisi, Jatmiko dan Yatmi hanya bisa diam. Keduanya saling pandang, tak berani menatap pintu kamar Aryo yang telah tertutup rapat. Dan dari kamarnya, Rani duduk memeluk bayinya dengan air mata yang semakin deras.

Wajah kakak iparnya muncul dalam benak, membawa serpih kenangan yang membuat Rani semakin sakit.

Seakan tahu perasaan sang ibu, bayi di pangkuan Rani menangis. Tangis yang kini membuat Rani semakin frustasi.

"Kamu bisa diem nggak! Aku stres!"

Rani berteriak, membuat tangis bayinya semakin melengking. Jatmiko dan Yatmi bergegas masuk dengan wajah khawatir dan wanita itu segera membawa cucunya dalam dekapan.

"Kamu apa-apaan! Punya anak tapi kelakuan kaya bocah!" bentak Jatmiko dengan wajah garang. Yatmi sudah membawa pergi cucunya, sedangkan Rani menangis, meraung seperti orang kesetanan.

"DIAM!"

Jatmiko melayangkan gantungan baju dari besi, ke lengan anak bungsunya berulang kali.

Meski Rani terus menjerit kesakitan, Jatmiko tak kunjung menghentikan aksinya. Justru, pria itu semakin marah saat Rani mengatakan ingin pisah dari Satrio.

"Heh! Dasar anak nggak tahu diri. Udah untung kamu dinikahi dia yang jelas-jelas kaya tujuh turunan."

Jatmiko melempar benda di tangan ke sembarang arah, lalu menekankan telunjuknya di kening Rani yang masih menangis.

Perempuan itu diam, menatap tajam ke wajah bapaknya dan berkata dengan suara bergetar.

"Cukup, Pak. Satrio nggak sebaik yang Bapak katakan, dan dia nggak sedermawan yang orang lain lihat. Bahkan untuk membeli susu anak pun, selalu saja ada alasan."

"Diam kamu! Kamu masih bocah, nggak tahu apa-apa. Besarkan saja anakmu itu, jadikan dia pewaris tunggal di keluarga Satrio. Jangan sampai dia punya istri selain kamu. Ingat! Anakmu adalah aset berharga."

Jatmiko berlalu, membanting pintu di belakangnya dan pergi entah ke mana. Meninggalkan Rani yang semakin menjadi karena perkataan bapaknya.

*

Sementara itu nun jauh di Ibu kota, Asih bekerja seperti biasa. Merapikan rumah, membantu Bi Sumi memasak lalu mengantarkan keperluan majikannya ke kamar.

Saat ini Asih menolak dengan halus perintah Bi Sumi, yang meminta mengantar sarapan Tuan mereka ke kamarnya. Wanita itu mengatakan akan pergi membeli pulsa di depan, sementara tanpa diminta pun, Susi lebih dulu meraih nampan dan melenggang ke arah tangga.

"Kamu kenapa, As? Itu kan tugasmu. Tuan yang minta seperti itu. Nanti kalau dia ngamuk gimana?"

Bi Sumi melirik ke arah Susi yang semakin dekat dengan ujung tangga atas.

"Aku mau beli pulsa dulu, Bi. Nggak papa, nanti aku yang bilang ke Tuan ... aku pergi dulu ya, Bi."

Asih berlalu pergi, namun Sumi berteriak memanggil.

"Diantar Mang Asep nggak?"

"Nggak usah, aku jalan aja," balas Asih yang berhenti tepat di depan garasi.

Di dalam kamarnya, Bayu sudah bersiap. Kemeja hitam dipadu celana berwarna senada, arloji dan sepatu hitam mengkilat, membuat dia terlihat gagah dengan postur tubuh proporsional. Di depan cermin, Bayu mematutkan penampilannya dan tersenyum cerah saat pintu kamar diketuk seseorang.

"Buka aja, As. Nggak dikunci," sahut Bayu dengan garis indah yang menghiasi bibirnya.

"Tuan, ini sarapannya."

Susi meletakkan nampan di meja. Dia melirik ke arah pria yang masih berdiri di depan cermin, lalu mengulum senyum.

Bayu yang terkejut melihat Susi, segera mengalihkan pandangnya kembali ke cermin.

"Mana Asih, kenapa bukan dia yang antar."

Bayu berkata dingin dan tegas, membuat Susi dengan cepat menunduk.

"Asih pergi, Tuan. Tadi keluar rumah entah ke mana, dia pergi tanpa pamit," tutur Susi dengan harapan besar, Tuannya akan marah.

Namun nihil, Bayu hanya diam dan meminta Susi untuk segera keluar kamarnya. Pria itu menghela napas, mengamati layar ponsel yang terhubung dengan cctv rumah.

Bayu meraih tas dan berlalu pergi, tanpa menyentuh makanan di meja.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KINASIH   Pulang kampung

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kereta memasuki stasiun terakhir. Asih memastikan barang bawaannya tak ada yang tertinggal, lalu bersiap turun.Angin malam menerpa wajahnya, tepat setelah Asih menginjakkan kaki di peron. Dia melangkah ke arah pintu keluar dan mencari kendaraan menuju kampung halaman.Ponsel di saku jaketnya berdering nyaring. Asih berhenti dan duduk di sebuah bangku halte, membuka layar dan tersenyum melihat si pemanggil. Dia menggeser tombol hijau dan muncullah wajah Bayu di sana."Udah sampai, As? Baru turun ya? Itu masih di stasiun bukan?"Bayu melihat lalu lalang orang dengan tas dan koper di tangan. Asih mengangguk, menanyakan keadaan lawan bicaranya yang terlihat masih di area peron."Iya, aku lagi nunggu kereta ini. Nggak jadi nginep. Om Toni nyuruh balik. Kamu hati-hati ya, As. Inget, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jangan sungkan."Asih tersenyum dan mengucapkan terima kasih, bersiap menutup panggilan."Sebentar, As. Satu lagi, jangan panggi

  • KINASIH   Stasiun

    Setelah beberapa bulan bekerja, akhirnya Asih meminta cuti untuk pulang kampung. "Kenapa buru-buru sekali, As?" Bayu meletakkan dokumen di meja dan menatap lurus pada wanita yang menunduk di hadapannya. "Saya ... rindu anak, Tuan. Tolong, saya janji akan kembali setelah urusan di kampung selesai." Asih meremas kedua tangan dengan tatapan tak lepas dari lantai marmer di bawah kakinya. Hening menyelimuti mereka. Detak jarum jam terdengar bagai bom waktu yang siap meledak. Brak! "Ma-maaf, Tuan. Saya kira kosong." Susi berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, terlihat tubuhnya yang bergetar dan ekspresi takut yang kentara. Bayu menoleh, pun dengan Asih yang terkejut melihat Susi di sana. Dia merasa setiap gerak-geriknya, selalu diikuti oleh perempuan itu. "Kau, sini!" Bayu menyodorkan layar ponsel tepat di depan wajah Susi. Wanita itu tergagap, wajah merahnya kini bercampur dengan keringat yang semakin deras. "Ma-maaf, Tuan. Bukan maksud saya me ....""Diam! Apa kau buta? J

  • KINASIH   Interview

    Asih berdiri di depan sebuah konter pulsa. Mengangguk, mengucap terima kasih dan berlalu pergi. Dia melangkah di trotoar, menuju rumah majikannya. "Asih."Sebuah panggilan menghentikan langkah. Wanita itu menoleh dan mendapati sebuah mobil yang berhenti tepat di belakangnya. Di sana, kaca mobil perlahan turun, wajah Bayu dengan senyum khasnya, terlihat menyembul dari dalam."Mau pulang? Ayo ikut aku." Dengan sedikit memaksa, akhirnya Asih mengikuti perintah. Dia membuka pintu mobil bagian belakang, namun suara Bayu kembali membuat hatinya berdegup cepat. "Kamu pikir, aku sopirmu?" Laki-laki itu menunjuk kursi di sebelahnya dengan tatapan. Asih mengangguk lemah dan membuka pintu depan. Bayu memasangkan seatbelt dan dia merasakan sesuatu di sana. Asih menahan napas selama jarak keduanya terkikis. Momen itu membuat mereka saling diam, canggung. Mobil melaju, tapi bukan ke arah rumah. Melainkan menembus jalanan kota yang padat, dan terus bergerak meninggalkan keramaian. "Tuan, kita

  • KINASIH   Amarah

    "Yo, kenapa kamu belum urus juga?"Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama."Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit

  • KINASIH   Perempuan gatal

    Pertemuan dengan masa lalunya, membuat perasaan Bayu menjadi tak menentu. Dia senang karena dapat melihat kembali, wajah ayu yang selama ini dirindukan. Namun, bayang penolakan di malam itu, diikuti senyum bahagia Asih dan Aryo di acara pernikahan mereka, membuat dada Bayu seketika lara, pedih tak terkira. Bayu terus mondar-mandir di kamarnya. Jam menunjuk pukul sebelas malam dan kantuknya tak kunjung datang. Dia keluar kamar, turun menuju kolam renang di samping rumah. Bukan untuk berenang. Bayu memilih duduk sendiri di tepian kolam, dengan kaki yang terjuntai ke dalam air.Dingin mulai merayap naik dari kakinya. Bayu tetap diam, mencoba menghirup udara malam yang tenang dan terang oleh cahaya bulan. Sementara itu di dalam kamarnya, Asih gelisah. Dia bangkit perlahan, meninggalkan tempat tidur dan berjalan mengendap ke arah pintu. Tak ingin mengganggu yang lain, Asih membukanya dengan hati-hati. Dia berjalan melewati dapur dan teringat sesuatu, dia belum mengunci pintu samping, di

  • KINASIH   Ibu kota

    "Asih, tolong antar baju ini ke kamar Tuan," titah Sumi -kepala pelayan di keluarga Wijaya.Asih mengangguk, meraih baju yang tergantung rapi dan membawanya ke lantai atas. Sementara itu, sepasang mata menatapnya penuh kebencian. Dia kembali berkutat di dapur bersama pelayan yang lain. Setelah satu bulan bekerja, baru kali ini Asih diminta untuk keperluan pribadi sang majikan. Dia menaiki anak tangga dengan beban di kedua lengannya dan berdiri dengan hati berdebar, tepat di depan pintu kamar. Wanita itu menghirup napas dalam, lalu mengetuk daun pintu dan mencoba tersenyum. Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat dan suara kunci diputar. "Ya, ada apa, Bi?" Asih terkejut, namun berusaha meredamnya. Tatapan mereka saling beradu, hampir saja beban di tangannya terjatuh. "Asih?" Wanita itu hanya bisa diam. Dia merasa keheningan yang menjalar, dia tak mampu membuka mulut untuk beberapa saat. Entah mimpi apa dia semalam, laku-laki itu kembali hadir, tepat di depan wajahnya. Asih me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status