LOGIN"Yo, kenapa kamu belum urus juga?"
Yatmi melirik anak sulungnya yang tetap tenang dengan secangkir kopi di meja. Aryo tak menoleh, pun sama sekali tak membuka suara. Dia ingin pergi, namun hatinya selalu menolak dengan alasan yang sama. "Kamu bisa kawin lagi, Yo. Di sini juga banyak janda, tinggal pilih yang mana. Tapi saran Bapak mah, mending Jubaedah. Dia janda kaya, nggak punya anak pula. Jadi nggak perlu repot ngurusin anak orang," tutur Jatmiko, sembari menyalakan rokok. Anak laki-lakinya menoleh dengan rahang mengeras, sorot mata tajam menghunjam kedua manik Jatmiko. "Pak, Bu. Sing eling. Aku masih sah suami Asih, jangan bikin masalah ini semakin runyam." Jatmiko tak terima bantahan Aryo. Telunjuknya mengarah tepat ke wajah sang anak. Dengan suara berat penuh kebencian, pria itu mulai mengungkit luka lama. "Gara-gara kamu nikah sama perempuan nggak jelas itu, Bapak gagal jadi ketua RT gantiin Pak Joko. Kamu tahu kan? Pak Joko, bapaknya Lasmi. Perempuan yang udah jelas bibit, bebet, bobotnya. Malah milih perempuan mandul itu. Mana? Mana yang katanya kalian akan bahagia, hah? Hidupmu masih sama, ekonomi juga segini aja nggak ada kemajuan, anak nggak ada. Apa yang kamu tunggu dari dia, Yo?" Yatmi turut membuka suara, memberi bumbu dan percikan bensin dengan semangat yang menyala. "Bener kata Bapakmu. Kalau saja kamu mau dengerin perkataan kami, hidupmu akan enak. Istri cantik, kaya, ke mana-mana pakai mobil. Nggak kaya Asih, dandan aja nggak pernah, pake baju juga itu-itu terus, kerjaannya di rumah nunggu tukang paket. Gitu terus tiap hari. Nggak bosen apa, mbokyo cari kerjaan di pabrik biar ngasilin duit. Nggak buang duit terus." Aryo tak lagi mampu menahan amarah. Dia berdiri, menggebrak meja, membuat kopi dalam cangkirnya sedikit terpercik keluar. Sontak, Jatmiko dan istrinya terkejut, mereka menatap Aryo dengan wajah penuh tanya. "Cukup! Sehina itu Asih di mata kalian? Apa Bapak, Ibu nggak sadar? Asih banyak membantu kalian, membantu ekonomi keluarga ini. Bahkan, aku jarang kasih dia uang karena belum gajian. Tapi apa? Setiap hari, kita semua bisa makan, keperluan rumah juga selalu cukup, bahkan, susu dan pempers juga Asih yang jatah setiap minggu. Apa kalian nggak sadar? coba lihat sekarang, mau makan aja bingung, Rani juga bingung susu dan pempers, Bapak nggak ngopi sama rokok kalau nggak aku yang beli. Asih memang belum ada momongan, tapi perannya di rumah ini sangat besar. Bahkan demi dapur Ibu selalu ngebul, dia kerja jualan online, anter ke sana kemari. Apa Ibu nggak sadar?" Aryo menghela napas kasar. Wajahnya penuh peluh dan terasa hawa panas yang mulai menjalar. Dia berlalu pergi, membuka pintu kamar dan kembali menutupnya dengan hati yang terbakar. Sementara itu, di kursi kayu depan televisi, Jatmiko dan Yatmi hanya bisa diam. Keduanya saling pandang, tak berani menatap pintu kamar Aryo yang telah tertutup rapat. Dan dari kamarnya, Rani duduk memeluk bayinya dengan air mata yang semakin deras. Wajah kakak iparnya muncul dalam benak, membawa serpih kenangan yang membuat Rani semakin sakit. Seakan tahu perasaan sang ibu, bayi di pangkuan Rani menangis. Tangis yang kini membuat Rani semakin frustasi. "Kamu bisa diem nggak! Aku stres!" Rani berteriak, membuat tangis bayinya semakin melengking. Jatmiko dan Yatmi bergegas masuk dengan wajah khawatir dan wanita itu segera membawa cucunya dalam dekapan. "Kamu apa-apaan! Punya anak tapi kelakuan kaya bocah!" bentak Jatmiko dengan wajah garang. Yatmi sudah membawa pergi cucunya, sedangkan Rani menangis, meraung seperti orang kesetanan. "DIAM!" Jatmiko melayangkan gantungan baju dari besi, ke lengan anak bungsunya berulang kali. Meski Rani terus menjerit kesakitan, Jatmiko tak kunjung menghentikan aksinya. Justru, pria itu semakin marah saat Rani mengatakan ingin pisah dari Satrio. "Heh! Dasar anak nggak tahu diri. Udah untung kamu dinikahi dia yang jelas-jelas kaya tujuh turunan." Jatmiko melempar benda di tangan ke sembarang arah, lalu menekankan telunjuknya di kening Rani yang masih menangis. Perempuan itu diam, menatap tajam ke wajah bapaknya dan berkata dengan suara bergetar. "Cukup, Pak. Satrio nggak sebaik yang Bapak katakan, dan dia nggak sedermawan yang orang lain lihat. Bahkan untuk membeli susu anak pun, selalu saja ada alasan." "Diam kamu! Kamu masih bocah, nggak tahu apa-apa. Besarkan saja anakmu itu, jadikan dia pewaris tunggal di keluarga Satrio. Jangan sampai dia punya istri selain kamu. Ingat! Anakmu adalah aset berharga." Jatmiko berlalu, membanting pintu di belakangnya dan pergi entah ke mana. Meninggalkan Rani yang semakin menjadi karena perkataan bapaknya. * Sementara itu nun jauh di Ibu kota, Asih bekerja seperti biasa. Merapikan rumah, membantu Bi Sumi memasak lalu mengantarkan keperluan majikannya ke kamar. Saat ini Asih menolak dengan halus perintah Bi Sumi, yang meminta mengantar sarapan Tuan mereka ke kamarnya. Wanita itu mengatakan akan pergi membeli pulsa di depan, sementara tanpa diminta pun, Susi lebih dulu meraih nampan dan melenggang ke arah tangga. "Kamu kenapa, As? Itu kan tugasmu. Tuan yang minta seperti itu. Nanti kalau dia ngamuk gimana?" Bi Sumi melirik ke arah Susi yang semakin dekat dengan ujung tangga atas. "Aku mau beli pulsa dulu, Bi. Nggak papa, nanti aku yang bilang ke Tuan ... aku pergi dulu ya, Bi." Asih berlalu pergi, namun Sumi berteriak memanggil. "Diantar Mang Asep nggak?" "Nggak usah, aku jalan aja," balas Asih yang berhenti tepat di depan garasi. Di dalam kamarnya, Bayu sudah bersiap. Kemeja hitam dipadu celana berwarna senada, arloji dan sepatu hitam mengkilat, membuat dia terlihat gagah dengan postur tubuh proporsional. Di depan cermin, Bayu mematutkan penampilannya dan tersenyum cerah saat pintu kamar diketuk seseorang. "Buka aja, As. Nggak dikunci," sahut Bayu dengan garis indah yang menghiasi bibirnya. "Tuan, ini sarapannya." Susi meletakkan nampan di meja. Dia melirik ke arah pria yang masih berdiri di depan cermin, lalu mengulum senyum. Bayu yang terkejut melihat Susi, segera mengalihkan pandangnya kembali ke cermin. "Mana Asih, kenapa bukan dia yang antar." Bayu berkata dingin dan tegas, membuat Susi dengan cepat menunduk. "Asih pergi, Tuan. Tadi keluar rumah entah ke mana, dia pergi tanpa pamit," tutur Susi dengan harapan besar, Tuannya akan marah. Namun nihil, Bayu hanya diam dan meminta Susi untuk segera keluar kamarnya. Pria itu menghela napas, mengamati layar ponsel yang terhubung dengan cctv rumah. Bayu meraih tas dan berlalu pergi, tanpa menyentuh makanan di meja. ***Di desa tempat tinggal Asih, suasana pagi cukup ramai. Kursi plastik berjajar di halaman, orang-orang berdatangan ke rumahnya. Bendera kuning terpasang di depan pagar, menandakan suatu kepergian -selamanya. Asih duduk di dekat jenazah kakeknya dengan tatapan kosong. Dia masih tak percaya akan apa yang telah terjadi pada orang tua itu. Setelah kejadian beberapa hari lalu, sang kakek masih sempat tertolong. Namun ternyata, Tuhan punya rencana terbaik untuk keluarga mereka. Sehari setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Paijo menghembuskan napas terakhir di pangkuan istrinya. Asih yang kala itu menemani mereka di kamar, menjerit panik melihat sang kakek yang semakin kesulitan bernapas. Dia siap berlari meminta bantuan, namun tangan kakeknya berusaha menahan.Paijo masih sempat tersenyum, melirik Asih dan menggenggam tangan cucunya. Bibirnya bergerak dengan suara lemah. Asih mendekatkan telinga, menangkap setiap kata yang susah payah diucapkan kakeknya. "Asih, Akung titip Uti ya.
Rosma terisak sebelum menjawab, dia menunjuk lemari pakaian di kamarnya, lalu kembali menangis. Kali ini suaranya semakin kencang, menyayat. Para polisi segera mendekati benda tersebut. Sepintas tak ada yang aneh -sebuah lemari pakaian tanpa kunci menggantung di sana. Mereka mulai mengetuk, namun tak ada balasan apa pun. Seorang polisi mendekati Mariana, berbisik dan setelahnya, wanita itu memeluk Rosma yang masih menangis. Sementara Siska memalingkan wajah, terlihat raut kesal yang teramat jelas di sana. Setelah dibujuk, Rosma mengatakan yang sebenarnya tanpa menyebutkan nama. Polisi cepat bertindak membuka lemari tersebut dan terkejut saat sesosok pria ada di dalamnya dengan posisi duduk dan tubuh yang lemah. Polisi memanggil ambulans, mengeluarkan pria itu, membaringkannya di tempat tidur. Awalnya Mariana hanya melirik sekilas, hingga akhirnya seorang polisi yang berdiri di samping ranjang, menyingkir untuk mengecek tempat kejadian. Saat itulah, Mariana terpaku. Tubuhnya tegang
Pintu kamar mandi perlahan terbuka. Tak ada siapa pun di sana. Rosma sudah berdiri dengan tubuh bergetar, takut bila anaknya menemukan Wijaya di sana. Dengan beringas, gadis itu membukanya semakin lebar. Suara daun pintu beradu dengan dinding, membuat Rosma terperanjat di tempat. Siska masuk, menarik tirai tipis di hadapannya dengan kasar, hingga benda itu luruh ke lantai yang sedikit basah. Siska menatap ibunya dengan mata terbelalak, dia melangkah keluar, menabrak tubuh wanita yang telah melahirkannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Rosma terjatuh, namun dia segera bangkit, menahan tubuh anaknya yang terus memberontak. Kedua tangan Siska berusaha meraih benda-benda di sekitar dan membantingnya. Suara pecahan porselen beradu dengan lantai, diikuti benda lain yang melayang dan membuat seisi ruangan porak poranda. Siska bagai kesetanan, luka karena kehilangan sang ayah masih basah di hatinya, belum lagi kata-kata Mariana yang membuat dirinya bagai tak bermuka di hadapan wanita itu. S
"Oh ya, Tante. Asih di mana ya sekarang?" Mariana mengeryit heran, merasa ada sesuatu dari pertanyaan tersebut. Namun Siska cepat tersenyum, menatap tuan rumah lalu berkata dengan suara yang terasa kaku. "Anu, Tante. Kan Bayu nggak di rumah, masa iya si Asih di sana sendiri. Apa nggak takut? Bukan dia, tapi keluarga Tante. Ya kan kita semua sudah tahu, dia hamil nggak jelas sama siapa. Takutnya, rumah Bayu sepi, malah jadi kesempatan orang luar bebas masuk," terang Siska tanpa rasa bersalah sedikit pun di wajahnya. Mariana hanya tersenyum simpul, tanpa menanggapi kalimat yang menghakimi satu pihak. Entah mengapa, Mariana sendiri merasa dekat dan selalu ingin melindungi Asih, meski wanita itu telah mengusirnya tempo hari. Tak lama, Sumi datang membawa sebuah nampan berisi dua cangkir minuman. Dengan sopan, wanita itu meletakkan di meja, lalu mengangguk dan berlalu pergi. Sebelumnya, dia sempat mendengar kalimat Siska yang membuat Sumi kembali teringat Asih.Ke mana dia sekarang? S
Mariana baru saja keluar dari kantor polisi. Matanya masih basah dengan hidung memerah. Dia berjalan pelan menuju mobil yang terparkir di halaman. Tangannya bergetar saat membuka pintu mobil, duduk di belakang kemudi dan menatap kosong ke depan. Untuk beberapa saat, wanita itu hanya diam. Kata-kata sang anak masih terngiang jelas di kedua telinganya. Setelah beberapa bulan dipenjara, Bayu terlihat berubah. Tubuh yang biasa segar dan wangi, kini tampil sederhana dengan pakaian khas yang cukup kontras dengan warna kulitnya. Bayu yang selalu rapi, kini tidak lagi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tak terurus, membuat Bayu semakin terlihat lebih tua, jauh dari usia sebenarnya. Sebagai seorang ibu, tentu saja itu membuat Mariana menangis. Meskipun dia tak setuju atas apa yang dilakukan sang anak. Beberapa menit ke belakang, Mariana duduk berhadapan dengan putranya dengan sebuah jeruji yang menjadi pembatas dan polisi yang menjaga di belakangnya. Tangis sang ibu pecah menatap penampilan ana
"As, apa benar yang kemarin datang itu keluarga Wijaya?" bisik Tika yang sukses membuat Asih terperanjat. Tak segera menjawab, Asih justru menatap dalam pada wajah di hadapannya. "As, Asih, kok malah bengong?" Tika menyentuh lengan Asih dan menepuknya perlahan. Wanita itu terkejut, apalagi bayinya kini menangis. Asih memberi kode karena ternyata sang anak pup dan akan menggantinya di dalam. Dia bangkit, melangkah menuju pintu rumah. Tika mengikuti setelah menitipkan kedua anaknya pada sepasang lansia di halaman. Sampai di kamar, Tika menatap punggung Asih yang sibuk mengganti popok anaknya. Sesekali dia mendengar senandung lembut yang keluar dari bibir wanita itu untuk anaknya. "As, Arya tuh gemoy banget ya. Masih full asi, kan?" tanya Tika sembari mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Matanya mengamati sekeliling, dia melirik Asih saat melihat sebuah pigura foto kecil di atas meja. Asih selesai dengan kerjaannya, lalu meraih Arya dan membawa anak itu ke atas pangkuan. Bayi itu terl







