Detak jam meja yang lembut bisa terdengar jelas di ruang kerja raja. Entah sudah berapa menit. Teh yang dihidangkan pelayan juga pasti dingin.
Cahaya yang menyusup dari jendela telah berwarna jingga. Hari sudah mulai sore. Namun Raja Ditrian dan Sir Kedrick belum bicara apapun. Meskipun Raja Ditrian telah meminta Sir Kedrick untuk beristirahat, tetapi di saat seperti ini pun, pria itu bertanggung jawab pada majikannya untuk melapor.
Wajah Sir Kedrick tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Pria itu terlihat tak berdaya. Hanya duduk beku. Tatapannya kosong seperti melihat sumur yang tak terhingga dalamnya.
Padahal saat perang melawan orang-orang Galdea dulu, dia yang paling gagah berani untuk menerima semua anak panah musuh.
Hari
Ditrian berdecak kesal. Ia mengalami hari yang buruk belakangan ini. Tidak butuh dikuliahi atau diteriaki seperti itu. "Jika tidak ada keperluan, pergilah. Kembali ke kamarmu," ucap Ditrian setengah mabuk. Sheira semakin dongkol. Ia berbalik dan menyibak dengan kasar setiap tirai di ruangan itu. Cahaya siang masuk membuat Ditrian menyipit dan menggunakan tangan kanan untuk menghalau sinar ke matanya. Kini ruang kerja raja menjadi terang benderang. Dia menuju ke kursi kerja Ditrian dan menamparnya dengan secepat kilat. Ditrian tak sempat menghindar. Ia terhenyak. Mulutnya menganga dan seluruh kesadarannya pulih. "Hey! Untuk apa kau lakukan itu?!" "Apa kau sudah gila?! Untuk apa k
"Wajah?" tanya Ditrian lirih. Sir George mengangguk pelan. "Lalu salah satu prajurit mulai berteriak-teriak. Dari kabut yang tebal, kami bisa mendengar langkah seseorang di atas rumput liar. Semakin lama, semakin banyak. Lalu kami merasa ada sesuatu yang bergerak di semak-semak. Kami pikir, kami diserang. Kami pun waspada. Lalu ...." Sir George menutupi matanya dan tertunduk takut. Ia mulai mengucap kalimat-kalimat doa pada dewa dengan lirih, dengan tergesa. "Lalu ... apa?" Ditrian dan Sheira menunggu. Perasaan ngeri dan penasaran memenuhi benak keduanya. Setelah Sir George selesai dengan doanya, ia menurunkan tangannya untuk menatap mereka berdua. Ia benar-benar tenang meski dengan wajah yang takut.
"Hantu? Hm. Selama aku hidup, aku tidak pernah melihatnya. Mereka bilang, roh-roh orang yang sudah mati akan bersama para dewa.""Lalu ... bagaimana kau akan menjelaskan cerita Sir George?"Sheira meliriknya. Ia bisa melihat wajah Ditrian yang tegang di kegelapan. Wanita itu terkekeh."Kau takut pada cerita Sir George? Hahaha.""A-aku tidak takut .... Hanya saja ... aku belum bisa menemukan hal logis pada ucapan Sir George."Sheira kembali menatap langit-langit."Kuyakin ini bukan pertama kalinya kau mendengar cerita hantu, bukan?" Ditrian menggeleng. "Lalu kenapa kau takut pada yang ini?"
Baru saja Ditrian benar-benar mengamati rumah ini. Langit-langitnya tinggi. Ada lukisan para dewa dan malaikat di atas sana. Lampu gantungnya pun mewah. Dibuat dari perunggu dan permata. Bahkan ada banyak benda-benda aneh dan unik yang tidak ada di istana. Yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Sepanjang keliling rumah, tunangan barunya itu tak melepas gandengannya. Dia memeluk lengan Ditrian sampai mau mati rasa. Lalu menunjuk-nunjuk benda-benda kecil. "Ayah membelinya dari Kerajaan Arnius. Dan aku paling suka lukisan ini," tunjuk Evelina pada sebuah lukisan sekumpulan kuda putih yang sedang berlari. Ya kira-kira begitulah dia mengenalkan ornamen-ornamen di sana. Bahkan yang kecil-kecil juga dibahas.'Oh! Ini membosanka
Sama saja? Bagaimana Sheira bisa berkata dia sama saja dengan si brengsek itu? Ditrian tak bisa berkata apa-apa lagi setelahnya. Dia hanya pergi dan bilang, "Terserah kau saja!"Sungguh ini perdebatan paling kekanakan yang pernah ia alami selama menjadi raja. Keesokan harinya, Ditrian langsung menyurati Lady Evelina agar bisa mendampinginya menemui Putra Mahkota Kekaisaran Revendel. Tentu saja ini membuat Lady Evelina berjingkrak di mansionnya yang mewah. Ia bahkan berlari-lari dengan mengibar-kibarkan surat itu.Tidak tahu bagaimana hiruk pikuknya para pelayan di kediaman Monrad. Yang jelas, gadis itu sudah cantik dan mewah membahana di samping Ditrian. Mengenakan baju biru pastel yang mahal. Ada hiasan batu permata di bagian dada dan roknya. Ditrian juga tak kalah rapi dan elegan. Baju resmi raja berwarna biru tua dengan lencana-lenca
"Kita bertemu lagi ... Tuan Putri. Kau terlihat jauh lebih baik sekarang," ucap Pangeran Alfons seusai mengecup tangan Sheira. 'Mereka sudah pernah bertemu?'Ditrian membatin. "Ah ... betapa tidak sopannya aku. Kau sedang sakit. Duduklah," bahkan Pangeran Alfons menarikkan kursi untuk Sheira. Tepat di samping kursi miliknya. Luar biasa. Mungkin baru pertama kali Ditrian melihatnya bersikap baik pada orang lain. "Terimakasih atas kebaikan Yang Mulia Putra Mahkota. Tapi ... sebaiknya saya kembali. Saya tidak ingin mengusik kenyamanan Yang Mulia," ucap Sheira masih menatap lantai. Suaranya agak bergetar. Ditrian mengernyit heran. Wanita itu adalah orang yang tidak aka
Wajah memuakkan Alfons kini sangat dekat pada hidungnya. Sheira bisa mencium bau parfum mewah beradu dengan bau tanaman obat. Ia mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati bibir merah muda Sheira. 'Tidak! Hentikan! Kau monster! Bejat!'kata-kata itu hanya bisa ia teriakkan dalam hati. Tubuhnya masih tersenyum sambil menatap kosong. "Pa-pangeran ...," lirih Peter takut-takut. Alfons berhenti. Ia tersenyum licik pada Peter. "Kunci pintunya rapat-rapat," perintahnya. Dengan tergagap, Peter mengunci pintu kayu mewah pohon ek itu. Ia lalu menoleh ke arah mereka berdua lagi.
Paviliun rumah kaca hari itu cukup tenang. Raja Ditrian dan tunangannya, Lady Evelina masih berpakaian rapi. Bekas menyambut Putra Mahkota Kekaisaran Revendel, Pangeran Alfons tadi pagi.Mereka duduk berhadapan di meja bundar di gazebo putih paviliun rumah kaca. Teh hangat dan camilan ada di sana."Bagaimana Ditrian?" tanya Evelina. Ditrian tersentak."Ah. Oh. Ya ... itu bagus," gumam Ditrian asal. Dia bahkan tidak tahu apa yang gadis itu bicarakan. Evelina murung. Wajahnya cemberut."Kau tidak menyimak, apa kau memikirkan hal lain?" tanya Evelina setengah merajuk.Ya. Sebenarnya pikiran Ditrian sedang melayang. Menerka-nerka apa yang terjadi dengan Sheira. Ramuan apa itu tadi? Dan .