"Heboh amat, kenapa lo?" sahut perempuan berambut ikal, perempuan yang sedari tadi menemani Desry di dalam kamar.
"Gue tanya lo ya, Dandeliona Sufina. Lo bakal heboh enggak, kalau tahu ada cowok dewasa lagi ajarin anak kecil memainkan kelaminnya?" tanya Vina kian menekankan kata demi kata yang diucapkan, "enggak sangka kan lo?" lanjutnya setelah melihat ekspresi Desry dan temannya yang disebut sebagai Dandeliona."L-lo tahu darimana?" tanya Desry dengan kegugupan yang terdengar jelas dari suaranya, hal wajar jika mengingat dirinya yang baru saja diintip saat mandi."Itu dua bocah yang tadi jemput kak Erina, mereka lihat langsung ada cowok lagi ajarin bocah kayak gitu," jawab Vina disambut anggukan setuju oleh dua teman laki-lakinya, dua orang yang sempat diperintahkan Afrian untuk menjemput Erina karena keberadaan pria botak."Biar apa?" pungkas Liona melihat tanda keseriusan dari teman-temannya."Jangan-jangan, rumor itu benar," gumam Desry dengan kegelisahan yang tidak dapat ia sembunyikan."Rumor apaan? Dari awal kita sepakati buat ke sini, lo selalu bahas rumor," oceh Afrian tanpa ada niat tertera untuk menenangkan anggota kelompoknya yang bersitegang dalam pikiran kecamuk."Di artikel yang pernah banyak dibahas, katanya kan Desa Metanoia itu dipimpin pembunuh, budayanya melebihi arti patriarki," tutur perempuan dengan anting magnet yang menjadi ciri khas penampilannya."Des ... kan itu sudah dikonfirmasi perilis artikelnya sendiri, kalau itu cuma halusinasi dia saja. Itu ditulis karena keheranannya tahu ada desa yang enggak mau diteliti, didatangi, dan dibantu," ujar Afrian yang tidak mendapat tanggapan apapun, sampai kesunyian melingkupi enam insan dari berbagai jurusan itu.Belum ada dua puluh empat jam sejak kedatangan mereka, tetapi sudah banyak keanehan yang dialami. Dari perilaku pemangku adat tiba-tiba bilang bahwa dia yang menelepon mahasiswa, aroma tidak mengenakkan di sekitar gudang terlarang milik kepala desa, kecanggungan Erina, perilaku melecehkan yang tidak mendapat sanksi, sampai ajaran buruk yang diberikan pada anak-anak."Penulis artikelnya siapa, Des?" tanya Vina memecahkan keheningan, sontak seluruh mata tertuju padanya.Ketiadaan jaringan membuat mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, dari memainkan laptop, membaca komik, mencoret-coret kertas tanpa alasan, atau sekadar memejamkan mata dengan tetap menjaga kesadaran. Desry menyipitkan matanya dan kembali menatap Vina dengan tegas, "kalau gue enggak salah ingat, namanya Gadis. Gue bisa ingat samar karena menurut gue aneh saja, penulisan dan klarifikasi yang dirilisnya berbeda.""Gadis?" sentak Afrian cepat yang langsung mendapat anggukan kepala dari Desry, "lo yakin?""Yakin tapi ragu, bingung gue juga," jawab perempuan dari jurusan perfilman itu sambil terkekeh canggung, "kagak ada jaringan sih di sini, makin bingung dah.""Kenapa, Af?" tanya seorang pria bersuara berat dengan laptop di pangkuannya."Aneh saja bisa ada yang ingat nama penulis artikel enggak resmi," jawab Afrian tanpa berniat bertukar tatap dengan temannya, justru dirinya langsung menundukkan kepala dan memutuskan obrolan begitu saja."Oh iya, jadi program kerja kita apa?" tanya Liona mengembalikan bahan obrolan, memecahkan hening, sekaligus mengingatkan kembali fokus dan tujuan mereka berada di desa."Toilet, ajarin mereka bikin lubang pembuangan yang besar, biar toiletnya kagak kocak begitu," kata Desry tanpa memberi penjelasan spesifik kondisi toilet yang dimaksudnya."Kocak gimana? Kalau ngomong dijaga, Des. Belum apa-apa saja lo sudah jadi korban pelecehan," imbuh Liona mengingatkan perilaku dan mulut Desry dalam mengutarakan pendapat."Gue tanya saja dah. Toilet buat buang air, kan? Gimana bisa lo buang air, kalau cuma berupa lubang yang panjang ke bawah dan lo jongkok di antara tumpukan pasir? Terus maksudnya, selesai buang air dan cebok itu sebagian pasir kita jatuhin ke bawah buat tutupin kotoran? Kalau sudah penuh gimana?" ceracau Desry yang tidak diindahkan oleh rekan kelompoknya."Gue paham," ucap Afrian tiba-tiba yang tentu saja menghasilkan tatapan aneh dari teman-temannya, "tapi gimana konyolnya kita nanti presentasi program kerja bikin saluran wadah pembuangan?" lanjutnya bertanya pada Desry yang tersenyum canggung, cukup menjelaskan bahwa Desry tidak membayangkan hal ke depannya."Ada ide lain?" tanya si ketua kelompok sambil mengamati coretan dan tulisan dari Desry di lembar denah yang digambarnya , "ide dari Desry bagus, urusan presentasi begitu doang bisa lancar kalau kita bisa komunikasi sama warga desanya.""Buat bendungan untuk listrik," usul Liona yang tidak mendapat komentar apapun, bahkan hanya ditanggapi dengan anggukan dari teman sekelompoknya. Walau begitu, Liona tahu bahwa memang tidak ada yang perlu diperjelas dari tujuan, manfaat, dan urgensi dibangunnya bendungan untuk listrik."Kita buat sekolah juga enggak, sih? Tadi saat bimbing kita buat tahu jalan di desa, Erina bilang enggak tahu huruf dan angka, kan?" usul Vina namun diajukan dengan pertanyaan, cukup menyiratkan bahwa dirinya memiliki keraguan tentang itu."Dari pada gituan, mending kita sosialisasi buat menggalakkan pentingnya pendidikan dan pernikahan tepat pada waktunya," usul pria yang sedari tadi memangku laptop tanpa dimainkannya, "kita buat sekolah juga gue yakin bakal percuma, kalau mereka enggak tahu pentingnya pendidikan tanpa pandang gender," lanjutnya yang disetujui oleh Vina dari senyum simpulnya."Oke, sudah ada tiga ide. Gue rasa cukup, kita komunikasikan saja dulu ke kepala desa, pemangku adat, dan warga," ujar Afrian yang mendapat jawaban hanya dengan deham kecil dari masing-masing anggota kelompoknya.Tok ... tok ... tok."Siapa?""Sudah lo kunci kan, Af?""Kita buka saja gimana?""Afrian! Lo jangan bengong disaat kayak begini dong, itu pola ketukannya aneh banget di telinga gue.""Berisik lo semua," gerutu Afrian bergegas keluar kamar dan menuju ruang utama, lorong yang tidak begitu jauh dari pintu kamar terpojok, masih memberikan ruang untuk para mahasiswa melihat Afrian, "siapa?"Sontak ketegangan semakin menguat, "kebanyakan nonton horor, belum gelap tapi baru dengar ketukan berpola saja sudah hampir kejang-kejang," ceracau pria berambut kribo dengan komik di tangannya."Enggak jelas si wibu," ketus Vina menyahuti, sahutan yang ternyata terdengar lelucon bagi pria itu. Karena tanggapan demikian, Vina pun keluar kamar lalu mendekati Afrian, "siapa?" tanya Vina yang masih mendapati bayangan di antara celah pintu kayu itu, yang berarti bahwa masih ada orang di teras rumah kayu ini."Erina," jawab orang yang sedari tadi mengetuk pintu, "buka pintunya dong."Mendengar hal itu, Vina langsung membuka pintu dan membiarkan Erina masuk lalu duduk. Melihat kehadiran Erina, para mahasiswa itu pun keluar dari kamar dan duduk membentuk lingkaran untuk mencari kenyamanan diri masing-masing di ruang tamu rumah ini."Aku cuma mau tanya ke Vina sama Afrian, tadi pas aku dijemput. Si botak ngomong apa saja ke kalian?"Kecemasan terlihat jelas di matanya yang sudah sendu dengan kantung mata menghitam, ditambah dengan kekusaman wajah dan komedo yang membludak di area hidung. Menjadikan ekspresi Erina sangat mewakilkan perasaannya kini, yaitu penuh penderitaan dan tekanan, "dia enggak bilang apa-apa, kak."Jawaban Vina yang langsung diucapkan begitu saja, tentu membuat Afrian sontak menoleh dan melihat ke arah Vina. Pria dengan rambut cepak itu tersenyum masam dan kembali mengumpulkan fokusnya pada Erina, untuk segala hal terkait memang harus segera dibahas empat mata bersama Vina."Dia enggak ngomong apa-apa?" tanya Erina memastikan jawaban Vina, pertanyaan yang segera mendapat anggukan dengan senyum simpul penuh keyakinan, "ya sudah kalau begitu."Baru saja Erina hendak berdiri, niatnya harus diurungkan saat pria berambut kribo dengan komik di pangkuannya berkata, "Kak, untuk makan atau konsumsi kita selama di sini gimana?"Tidak ada sahutan yang seiras dari sesama mahasiswa, tetapi pertanyaannya cukup mewakilkan, "oh ... itu bisa langsung ke rumahku kalau kalian lapar, bisa dibawa juga kalau malas bolak-balik," jawab Erina yang mendapat dehaman panjang dari enam mahasiswa itu, "kamu namanya siapa?" lanjut Erina bertanya pada pria berambut kribo itu."Erwin Widianto, panggil Erwin atau
Langit telah gelap dengan taburan bintang di angkasa luas yang hanya bisa dipandang, bersama cahaya bulan purnama yang lebih dominan menarik perhatian, lima mahasiswa beriringan jalan menuju rumah. Cahaya ponsel yang tidak seberapa cukup membantu penglihatan, setidaknya mereka harus sudah mulai membiasakan diri dari terbatasnya akses listrik.Baru sampai di depan pohon mahoni yang berada dekat penginapan, Afrian terhenti dan memutar arah tubuhnya untuk melihat ke anggota kelompok yang ia pimpin. Sedari tadi, memang Afrian berjalan di paling depan, "Kemana Angga?" tanya pria itu langsung menimbulkan kecemasan dari anggota kelompoknya, apalagi mengingat Angga sore tadi berpamitan untuk mencari sinyal di dekat tiang pemancar sinyal, tiang yang jelas berada tidak jauh dari gudang terlarang milik kepala desa."Masih di tiang sinyal kali," celetuk Erwin menjawab."Ya sudah ayo kita jemput, yang cewek masuk duluan saja," tukas Afrian menyerahkan kunci ke Vina, lalu menarik lengan Erwin untuk
Kegelapan gulita memaksa mata untuk dapat melihat dalam gelap meski hampir mustahil rasanya, hanya kepekaan diri yang menguatkan kesadaran. Vina kembali menyalakan ponselnya dan menjulurkan tangan sambil memperhatikan sekitar, hanya dengan bekal melalui cahaya ponsel temaram."Gue punya ide," bisik Vina yang terdengar jelas oleh lima temannya, bisikan yang terasa seperti ucapan akibat keheningan, "kita ikuti mereka, tadi gue lihat ada kayak cahaya lentera. Gimana?""Ngapain?" sahut Desry langsung membuat tangan Vina yang memegang ponsel untuk terjulur ke depan wajahnya."Gue enggak mau basa-basi. Yang mau ikut ya ayo, yang enggak mau ikut silakan tidur," tukas Vina mematikan ponselnya lalu terasa wanita itu berdiri, getaran tipis dari lantai kayu cukup menyuratkan ketegasan wanita itu."Vin ... Vin," panggil Afrian yang tidak lagi menjaga intonasi suaranya, "jangan gegabah," lanjutnya dengan bantuan sorotan senter ponsel dari empat anggota kelompok.Sesaat langkah Vina terhenti, namun
Ufuk timur telah mengintip dengan sinar jingga dan berkas cahaya ungu yang turut menyinar samar, tidak ada bunyi ayam berkokok atau lalu lalang kendaraan yang khas para mahasiswa dengar setiap harinya. Hari kedua telah dimulai, setelah segala kegilaan mereka lewati kini harus kembali berhadapan dengan wajah kepalsuan, layaknya maling yang tidak mengetahui sandi brankas penyimpanan barang berharga.Tangan direnggangkan ke atas sambil menguap lebar, mengabaikan wajah yang mungkin terlihat aneh dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih terpejam. Sensasi mager alias malas gerak adalah hal biasa yang dirasakan orang-orang setiap paginya, orang yang hanya sudah mengetahui rutinitas monoton atau rutinitas yang tidak diketahui. Rasa yang tentu saja tidak bisa dimiliki oleh orang yang sudah menunggu hari, merencanakan sesuatu, atau memang menunggu hal tertentu.Baru saja mata mengerjap untuk menyesuaikan segala yang hendak dilihat, senyuman konyol menyapa satu sama lain di antara tiga wanit
"Oke kak sampai jumpa lagi," ujar enam mahasiswa itu serempak sambil melambaikan tangannya tanda perpisahan sementara.Melihat Erina sudah menjauh dari area rumah sementara, kelompok itu pun bergegas masuk dan berkumpul lagi di kamar terpojok, "jadi yang suruh Agus? Lo tahu cowok itu?""Suami Erina," jawab Angga atas pertanyaan Vina pada Afrian, "gue dengar namanya dipanggil saat gue lihat dia ajarin anak kecil buat memainkan kelaminnya demi kepuasan, gue juga dengar namanya semalam saat kita amati rumah itu," lanjutnya yang langsung mendapat jentikkan jari dari Vina."Benar, gue lupa!" ucap sang wakil ketua kelompok sambil tersenyum masam."Jadi kita juga diawasin dong?" tanya Desry sambil mengganti baterai kameranya dengan baterai cadangan."Wajar, semua tamu juga diawasin pemilik rumah," sahut Afrian menyiratkan bahwa, wajar baginya bila mahasiswa diawasi warga desa saat proses KKN."Tapi apa harus sampai suruh orang buat ke rumah ini cuma buat kasih penjelasan kayak intimidasi begi
Duduk di tanah kering yang telah menjadi pijakan depan rumah, tiga mahasiswi dan para wanita desa berkumpul di rumah Erina. Seperti biasa saat hendak membersihkan, merapikan dan mengikat sayuran yang dipanen, rumah Erina yang terbilang memiliki halaman cukup luas tentu menjadi tempat berkumpul."Kamu anak cantik, yang pakai anting depan belakang kuping, siapa namanya?" tanya Muniroh pada Desry yang sesaat terdiam memikirkan omongan wanita paruh baya itu.Sejanak Desry berpikir bahwa kalimat yang digunakan Muniroh sangat berantakan dan membingungkan, namun sekejap kemudian dia menyadari bahwa wanita di desa tidak mendapat izin untuk belajar, "Icasia Desry Putri, panggil Desry saja ya bu," jawabnya dengan kesopanan yang palsu."Oh Desry," timpal wanita itu yang hanya ditanggapi senyum canggung, "kamu jangan kayak teman-teman kamu itu ya, enggak ada sopannya sama orang tua. Sudah berbuat salah, kurang ajar, kupingnya budek kalau dibilangin, enggak minta maaf juga," lanjutnya yang tentu s
Desis dengan rasa sakit mendampingi tiga mahasiswi dan seorang wanita muda dari desa, keterampilan sederhana tangan Vina menepukkan kapas basah di kaki Erina, "tahan ya, nanti agak perih," ucap wakil ketua kelompok itu pada pasien dadakannya.Meneteskan obat merah untuk membunuh kuman sekaligus mencegah infeksi, ringis pelan dengan desis terdengar jelas dalam keheningan ini. Memasangkan plester khusus luka dan pengobatan sederhana selesai, Vina tersenyum kecil pada Erina yang mengulum senyum lebih dulu."Mau tolong aku urus sayur lagi, enggak? Biar besok bisa dijual Agus ke kota," kata Erina yang ternyata menambah kebungkaman bagi para mahasiswi.Ada begitu banyak pertanyaan, ketakutan, dan kegelisahan yang mahasiswi simpan membuat mulut mereka terbungkam serentak. Tak disangka, Erina kembali berucap, "Kalian takut sama mereka? Seharusnya kalian takut sama Danang si kepala desa sama Agus suamiku.""Hah?" tukas ketiganya serentak."Sudah ah, mau tolong aku enggak?" tegas Erina membuat
Diam, canggung, dan bingung hinggap dalam benak Vina dan tiga teman lainnya. Tatapan tajam Erina tidak kunjung mereda, bahkan semakin menajam saat tak kunjung dapat jawaban dari pria itu."Erwin, duduk dulu sini," kata Liona memecahkan hening di antara mereka berlima.Dalam kecanggungan sekaligus seberkas rasa takut, Erwin mendekati tiga teman wanitanya sambil tertunduk sebab pandangan Erina masih terus tertuju pada Erwin.Kegelisahan menghampiri perasaan pria dengan karet rambut di kepalanya, "lo tadi bilang apa, Win?" tanya Liona memancing pembicaraan."Hm ... Enggak ada," jawab Erwin setelah berdeham panjang."Tadi kamu bilang kalau bapak dan anak aku dibunuh," sahut Erina cepat memotong niat Liona untuk berbicara, "aku tanya, siapa yang bilang begitu ke kamu?"Liona berdecak saat rencananya untuk membuat topik pembicaraan baru dengan mengalihkan yang ada pun gagal, ketangkasan dengan fokus Erina sungguh mengkhawatirkan, "memangnya kenapa, Kak?" tanya Liona mencoba cara lain, berha