Share

Mencari Bukti!

Part 2 (Mencari Bukti!)

Aku mengikuti mobil Mas Iden menggunakan taksi, meminta pak sopir menjaga jarak agar kami tidak ketahuan.

Dua puluh limat menit perjalanan, mobil yang Mas Iden kemudikan berhenti di depan rumah.

Ini bukan rumah Ibu?

Apa jangan-jangan ini rumah wanita bernama Sheri itu?

"Pak tolong jaga jarak, jangan sampai ketahuan," ucapku sambil menepuk punggung pak sopir.

Tatapan mataku tak bisa lepas dari mobil milik Mas Iden.

Pria berstatus suamiku itu turun dari mobil. Tiba-tiba saja seorang wanita membuka pintu rumah, ia langsung berlari memeluk suamiku.

Dada ini bergemuruh hebat, ingin sekali aku turun dan melabrak mereka. Namun, bagaimana jika Mas Iden tidak mau mengaku, dan justru terus membohongiku dengan sandiwara yang ia buat. Apalagi aku tidak punya bukti yang memperlihatkan adanya hubungan di antara mereka.

Aku mengeluarkan ponselku, mengambil potret kemesraan itu.

Beberapa menit mereka saling bercengkrama, entah apa yang mereka berdua obrolkan. Yang jelas setelah itu mereka berdua masuk ke dalam rumah tersebut.

Tetangga rumah ini lewat, aku akan turun untuk mengorek informasi.

"Bapak tunggu sebentar, saya mau keluar. Kalau saya lama, bapak tinggalkan saja." Selesai berpamitan pada sopir, aku melangkah keluar dari taksi.

"Ibu-ibu, tunggu." Aku memanggil mereka, dan lekas menghampiri. Ketiga Ibu-ibu itu berhenti dan berbalik badan.

"Ada apa Mbak?" tanya salah satu diantara mereka.

"Maaf Bu, saya mau numpang nanya." Mereka saling melempar tatapan. Kemudian menganggukkan kepala.

"Tanya apa Mbak?"

"Gini Bu, Ibu kenal pemilik rumah itu?" Aku menunjuk kearah rumah yang tadi Mas Iden masuki.

Sebelah alis Ibu berambut panjang itu terangkat. "Kenal Mbak, itu rumah Sheri. Mbak ada urusan sama dia?" tanya Ibu itu.

"Kalau pria yang tadi sama dia itu siapa?"

"Itu suaminya, mereka nikah 10 bulan yang lalu kalau gak salah. Ahh, saya lupa Mbak." Aku terbelalak, benar dugaanku.

"Gosip yang beredar, dulu mereka itu pernah pacaran Mbak, terus putus. Dan sekarang menikah, terus gak lama punya anak. Kalau jodoh, gak bakalan kemana." Begitu lah penjelasan dari Ibu-ibu ini. Aku beringsut mundur, menahan sesak yang menghimpit dadaku. Jadi Mas Iden menikahi mantannya.

"Jadi dulu mereka pacaran? Apa Ibu tahu kalau pria itu sudah memiliki istri sebelum menikah lagi?" Mereka nampak terkejut, bukan mereka saja. Aku jauh lebih terkejut.

Kalau Mas Iden menikah dengan mantannya, kenapa ia tidak pernah jujur. Kenapa harus bermain di belakangku. Aku begitu bod*h, bisa-bisanya aku baru tahu sekarang. Seperti apa sih mantannya sampai ia rela bermain api.

"Loh, jadi Pak Iden itu udah nikah sebelum nikah sama Sheri, begitu?"

"Berarti itu perempuan pelakor dong,"

"Apa pak Iden minta ijin pas mau nikah lagi?"

"Kayaknya gak, kalau minta ijin pasti istri pertamanya ada di pelaminan waktu itu." Ibu-ibu ini malah asyik bergosip. Aku mengusap wajahnya, harus apa aku ini.

Apa aku labrak saja mereka sekarang?

Tapi, bagaimana jika Mas Iden berkelit. Bukti ini tidak cukup, aku butuh yang akurat.

"Mbak." Lamunanku buyar, aku seketika menatap mereka.

"Mbak ini siapa? Apa jangan-jangan Mbak ini istri pertamanya Pak Iden?" tanyanya.

"Iya, saya istrinya."

"Duh, yang sabar Mbak. Lebih baik Mbak samperin saja mereka! Itu pelakor harus di kasih pelajaran!" usul salah satu Ibu.

Aku diam beberapa detik, menghirup oksigen melalui rongga hidung.

Tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di depan rumah Sheri. Dari plat mobilnya aku mengenal mobil itu.

Itu bukannya Ibu dan Meli.

Mereka ke sini juga?

"Itu mertuanya, Mbak!"

"Itu juga mertua saja,"

"Samperin Bu, jangan mau diinjak-injak."

"Boleh tidak saya minta tolong,"

"Minta tolong apa?"

"Ibu-ibu ini kan tahu kalau suami saya dan Sheri itu menikah—" Aku belum selesai dengan penuturanku. Namun, Ibu Endah memotongnya.

"Aku punya foto pernikahan mereka Mbak, waktu itu aku diundang, dan sempat foto juga." Bu Endah mengeluarkan ponselnya, ia menunjukkan foto Mas Iden dan Sheri di pelaminan.

"Kira-kira ini bukti cukup meyakinkan?"

"Menyakinkan kalau Ibu aja Bu Endah, dia kan datang di acara itu. Kalau saya diundang tapi gak datang. Bu Dina diundang gak?"

"Saya diundang, tapi gak sempat foto-foto sama penggantinya," jawab Bu Dina.

"Udah kelamaan, Mbak langsung datangi itu mereka. Dulu saya pernah di giniin sama suami saya yang dulu, tapi Alhamdulillah. Suami saya yang sekarang itu bener,"

"Jadi dulu suami ibu gak bener?"

"Iya, dia suka kasar dan main tangan. Udah gitu main perempuan, saya tinggali langsung. Hidup sekali ngapain numpuk penyakit hati. Lepas aja, pasti diganti sama Tuhan yang lebih baik." Cerita Bu Endah.

Aku menggigit bibir bawahku, lalu mematikan rekaman suara pada ponsel ini.

"Kalau begitu terima kasih ya Bu, informasi dari kalian sangat membantu saya." Setelah itu aku mempercepat langkah. Ibu-ibu itu justru mengikutku dari belakang.

Aku menoleh, Ibu-ibu itu mendekatiku. "Ada apa Bu?"

"Ini, aku kirimi foto-fotonya Mbak."

Aku memberi Bu Endah nomor Waku. Tak lama, notifikasi masuk.

"Ini fotonya sudah saya kirim."

"Makasih ya Bu."

"Sama-sama, semangat Mbak!"

Sepandai-pandainya dia menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga. Aku ingin tahu, seperti apa Sheri itu. Selama ini Mas Iden tidak pernah menyinggung soal mantannya, tidak tahu jika mereka ternyata kembali menjalin hubungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status