Sementara itu sampailah rombongan Nala di tepi hutan di sekitar kediaman nenek Lintri. Mereka hanya menemukan keadaan yang berantakan dan 3 jasad prajurit Majapahit. Nala memeriksa jasad prajurit yang mati "Ini jasad prajurit Araraman anak buah Ra Kembar, sepertinya telah terjadi pertempuran di sini. Kita harus segera pergi dari sini mengejar rombongan Ra Kembar," ujar Nala. Tiba-tiba terdengar suara teriakan salah satu prajuritnya "Hei kamu...jangan pergi kami mau bertanya!" Nala menoleh dan terlihat salah satu anak buahnya menangkap seorang pemuda yang tampak ketakutan. Prajurit itu kemudian membawa pemuda itu menghadap Nala "Mpu Nala, pemuda ini mungkin bisa memberitahu kita keberadaan Ra Kembar sekarang." Nala menatap tajam pada pemuda di depannya, pemuda itu tampak ketakutan melihat Nala dan anakbuahnya. "Ampun...ampun Ndoro, jangan bunuh saya." "Kami tidak akan membunuhmu asalkan kamu bersedia membantu kami," tukas Nala, "Ya ya ya pasti saya akan membantu anda sekalian,
Dini hari menjelang subuh, seorang prajurit melaporkan kedatangan telik sandi yang diutus ke Sadeng pada Ra Kembar. Para Telik Sandi itu melaporkan hasil penyelidikan mereka. Pemimpin Telik Sandi kemudian melaporkan hasil penyelidikan mereka."Gusti Kembar, kami telah berhasil menemukan tempat penyimpanan benda pusaka Wirota. Pusaka itu disimpan di dalam kamarnya. Bahkan kami melihat sendiri kehebatan Tombak pusaka itu." Ra Kembar terkejut, dengan antusias dia bertanya "Benarkah? Bagaimana kalian bisa melihat sendiri kehebatan pusaka itu?" "Saat kami datang, ternyata seseorang telah mendahului kami menyusup ke dalam rumah Wirota." Ra Kembar terkejut, ternyata ada pihak lain yang berkepentingan. Dia mulai kuatir jangan-jangan penyusup itu menginginkan juga pusaka yang dimiliki Wirota. Sial, ternyata ada yang mendahuluiku. Tapi siapa yang melakukannya? pikir Ra Kembar. "Apaa...ada orang yang juga menyusup ke kediaman Wirota? Siapa dia? Berhasilkah dia membawa pusakanya pergi?" Ra
Seketika Ra Kembar tersentak. Dia seolah mendapatkan energi baru."Blaaar...blaar...blaaar!"Suara ledakan dari hulu meriam rampasan dari pasukan Mongol, menembakan pelurunya ke arah dinding benteng. Setelah beberapa kali menembakan peluru meriam, benteng batu bata setinggi 10 meter itupun tak lama kemudian roboh. Beberapa prajurit yang berdiri di dekat tembok benteng seketika tertimbun reruntuhan batu tembok.Terdengar teriakan pasukan Majapahit menyerbu kota. Ra Kembar dengan semangat baru menghajar pasukan Tigangjuru yang mencoba mendekatinya dengan cambuknya. Beberapa prajurit Tigangjuru yang terkena sabetan cambuknya yang berujung pisau tajam terlempar dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka. ujung-ujung pisau itu telah dilumuri ramuan racun. Sehingga dalam sekejap para prajurit itu sekarat dan gugur."Ha ha ha ha sekarang kalian sudah terkepung seperti tikus sawah yang digropyok petani!" Ra Kembar berseru sambil menyabetkan cambuknya ke segala arah.Celaka, mereka membawa meria
Malam itu di padepokan Macan Kumbang Lamajang, Wirota seorang bocah yatim piatu berumur 10 tahun sedang mengantarkan kendi air ke kamar gurunya Lembu Ampal. Wirota ketika masih berumur lima tahun ditemukan oleh Lembu Ampal di kota Paguhan saat mengungsi karena letusan gunung Kampud. Anak itu menangis sendirian dan tampak kebingungan tanpa ada orang yang peduli. Karena merasa kasihan, Lembu Ampal, mengambil Wirota dan mengungsi ke Lamajang.Selama lima tahun mereka hidup tenang di kota Lamajang, namun suatu hari ketenangan itu terusik kembali.“Guru, ini minumannya,” ucap Wirota sambil meletakan kendi di meja.“Terima kasih Wirota, setelah ini jangan lupa menutup gerbang di depan ya,” perintah Lembu Ampal.“Baik, Guru.”Wirota kemudian bergegas ke depan rumah untuk menutup gerbang. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika melihat lima orang laki-laki bersenjata sudah berada di depan rumah mereka. Tatapan mereka tampak tak bersahabat, hawa membunuh tergambar di wajah mereka.“Di mana
Melihat Wirota berani menghina mereka, spontan para preman itu marah dan mulai menghajar Wirota. Anak remaja itu berusaha melawan, namun jumlah mereka lebih banyak dan tubuh mereka lebih besar. Sehingga akhirnya para preman itu berhasil merampok uang Wirota dan meninggalkannya di pojok teras pasar dalam keadaan babak belur. Wirota menggigil ketakutan bercampur rasa sakit yang meliputi seluruh tubuhnya. Cukup lama dia rebahan di pojok teras sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Beberapa saat kemudian hujanpun turun. Dari kejauhan seorang laki-laki berumur 40 tahunan berlari menghindari hujan namun langkahnya tampak sempoyongan karena mabuk, mendatangi emper pasar sambil membawa bumbung tuak, kemudian duduk di dekat Wirota. Mulutnya terus menggerutu dan mengomel tidak jelas, tampaknya orang itu sedang mabuk berat.Wirota ketakutan melihat orang itu dan beringsut menghindarinya. Dari kejauhan Wirota melirik ke arah pemabuk itu dengan takut-takut, ingin rasanya dia berlari ke
Apa yang dikatakan Jayendra terbukti sudah, hanya dalam waktu tidak sampai 10 menit, ayam jago itu keok dan mati terkena taji tajam ayam jago merah. Orang-orang yang memasang taruhan untuk ayam hitam memaki kesal karena ayamnya kalah. Banyak orang di situ terlanjur memasang taruhan dalam jumlah besar untuk ayam hitam. Salah seorang diantara mereka ada yang tidak terima ayam jago hitam kalah ditambah lagi dia sedang dalam keadaan mabuk. Maka mengamuklah dia bagai banteng yang terluka. Terjadilah keributan di sekitar lokasi judi itu, orang-orang saling baku hantam hanya karena ayam jago. Melihat keributan di lingkungan adu ayam jago yang semakin runyam, bandar judi itu segera mengumpulkan uang taruhan penonton dan lari tunggang langgang menyelamatkan diri bersama komplotannya. Ketika kerusuhan mereda, beberapa orang hendak menuntut haknya sebagai pemenang adu ayam, barulah mereka menyadari bandar judi itu sudah kabur dengan membawa uang mereka. Tetapi semua sudah terlambat, tida
Wirota mengambil sikap kuda-kuda."Kalau kuda-kudamu seperti itu, kau akan mudah di jatuhkan lawan," ejek Jayendra."Ah, mana bisa Paman, kuda-kudaku ini cukup kuat dan menurutku tidak ada yang bisa menjatuhkanku," kata Wirota dengan yakin.Jayendra tidak menanggapi namun tubuhnya berkelebat dan kakinya menyapu kuda-kuda Wirota. "Bumm!" Wirota jatuh terlentang."Aduuuh Paman, sakit sekali!" kata Wirota sambil meringis menahan sakit."Ha ha ha tadi kau bilang kuda-kudamu sudah kuat dan tak mudah dijatuhkan. Mana buktinya, hanya sekali sapu saja kuda-kudamu sudah rontok!"Wirota hanya tertunduk malu ketika Jayendra mengejeknya. Ternyata memiliki ilmu silat yang handal tidaklah semudah yang dibayangkan. Seseorang harus memiliki fisik dan mental yang kuat jika ingin berhasil."Sekarang buat lagi kuda-kudamu," perintah Jayendra.Wirota kembali membuat kuda-kuda, lalu Jayendra meletakan cawan berisi air di paha. bahu dan kepalanya."Nah sekarang kau sudah menerapkan posisi kuda-kuda yang
Kini Wirota telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan, dia mengikuti jejak Jayendra menjadi seorang maling dan penjudi yang handal. Malam hari usai merampok, Wirota biasanya mampir ke rumah-rumah orang miskin dan membagikan uang dengan diam-diam. Uang itu seperti biasa diletakan di dalam tempayan tempat beras atau hanya disorongkan di bawah pintu.Satu hal yang selalu diingatnya dari Jayendra, dia melarangnya merampok orang miskin, bahkan mewajibkan Wirota membagikan sebagian hasil rampokannya kepada rakyat miskin. Sungguh berbeda dengan ilmu yang didapatnya dari Lembu Ampal gurunya yang selalu melarangnya melakukan kejahatan seperti mencuri, merampok, berjudi. Namun lama kelamaan Wirota menganggapnya sebagai hal biasa, bagaimanapun juga dia harus bertahan hidup dan hanya dengan cara menjadi maling itulah Wirota bisa bertahan hidup.Larasati lama kelamaan mengetahui profesi Wirota yang sebenarnya, dalam hati kecilnya dia merasa sedih,marah dan kecewa, sosok yang dianggapnya s