LOGINDiana meronta sekuat tenaga. Kakinya menendang liar ke udara, sesekali menyentak tubuhnya ke kiri dan kanan. Surya dan Bagas kelabakan, tubuh Diana yang ramping justru terasa seperti bara hidup yang sulit dikendalikan.
Brak!! Surya terpelanting, dadanya terkena tendangan telak dari Diana hingga tubuhnya menghantam lantai. Bagas buru-buru bergerak mendekat, namun Diana sigap. Ia bergerak mundur ke pojok ruangan. Tangannya meraba-raba lantai, mencari apa pun yang bisa dijadikan senjata. Gotcha! Jari-jarinya menyentuh sesuatu berbentuk bundar, terasa berat dan dingin. Matanya melirik sekilas, sebuah piring keramik, mungkin bekas makan Reza. Diana menggenggam benda itu erat di tangan kanannya, meski detak jantungnya berdegup nyaris tak terkendali. Nafasnya tersengal, matanya menatap penuh siaga. Gunadi melangkah maju. Bayangan tubuh tambunnya menyatu dengan cahaya redup lampu gantung, menciptakan siluet menakutkan seperti monster yang merayap dari mimpi buruk. "Duhai... ternyata perempuan ini tak semudah itu dikendalikan, ya?" suara Gunadi terdengar berat dan penuh nada ancaman. Tawanya kecil, serak, namun cukup membuat bulu kuduk berdiri. "Dia kuat banget, Bos!" Surya meringis sambil menekan dadanya yang nyeri. Matanya menyipit menatap Diana yang terpojok dengan dalaman yang tak sempurna kusut tak karuan. Senyum licik muncul di bibir para pria itu. Seolah sedang menikmati pemandangan langka, seorang wanita tangguh yang menurut mereka tetap tak punya jalan keluar selain menyerahkan diri. "Lihat, Bos. Sebanyak apa pun dia melawan, tetap saja... kalah." Surya tergelak, diikuti tawa jahat Bagas dan Gunadi yang tersenyum miring. Diana semakin ciut. Tangannya menggenggam piring erat hingga buku-buku jarinya memutih. Namun, ia tahu itu tak akan cukup. Sekujur tubuhnya bergetar, bukan karena lelah, tapi ketakutan. Ia menyesal kenapa selama ini tak pernah menyimpan benda tajam di rumah sebagai pelindung diri? Jika keadaan seperti ini ia harus meminta tolong pada siapa? Bahkan Reza. Suaminya sendiri masih santai duduk di atas sofa matanya sibuk menghitung uang receh, bukannya menyelamatkan nyawanya. "Hahaha... adik manis," suara Gunadi berubah mesum, menjijikkan. "Ketangguhanmu hanya membuatku makin penasaran, seperti apa rasanya kau di bawahku dan mengerang nikmat." Diana ingin muntah. Matanya membelalak ngeri saat menyadari tak ada seorang pun yang akan menolongnya. Air mata menggenang. Bukan hanya karena takut, tapi karena hancurnya kepercayaan. Hatinya mencelos, kecewa yang mengakar jauh melebihi rasa ngeri yang membekap tubuhnya. “Percayalah, Reza,” batinnya menggigil dalam amarah yang terbungkus tangis. Ia menatap penuh dendam pada Reza. “Jika aku selamat malam ini, aku akan membuatmu membayar lebih dari neraka.” Sreet!! Brak!! Surya menyeret kaki Diana dengan kasar. Tubuhnya tersungkur, terhempas ke lantai. Menyadari Diana lengah Gunadi duduk di atas dadanya. Nafas pria itu memburu, matanya menyala penuh nafsu saat menatap tubuh Diana yang hampir sepenuhnya terbuka. “Aahh... milikmu sungguh indah." Bisiknya sambil mengelus dada Diana. Tatapannya seperti binatang buas yang baru mencium aroma darah segar. Dalam kepanikan, Diana menekan rasa jijik sentuhan itu ia mengayunkan tangannya sekuat tenaga. Prangkk!! Piring keramik itu pecah menghantam kepala Gunadi. Pecahannya berhamburan, dan darah segar menetes dari pelipis pria itu, membasahi kulit Diana yang dingin. Diana membuka matanya lebar-lebar, syok melihat darah yang jatuh di perutnya. Gunadi memegangi kepalanya yang berdarah, meringis namun masih berdiri. “Sial! Wanita ini nyaris membunuhku,” geramnya. Namun, ia tak mundur. Amarahnya justru membara. “Surya! Bagas! Pegang dia sekarang juga!” Bagas dan Surya langsung menyambar tubuh Diana. Kedua kakinya ditarik paksa ke arah berlawanan, terbuka dan tak berdaya. Diana menjerit, memukul, menggeliat, namun sia-sia. Gunadi kembali menindih dadanya. Tangannya mengunci kedua tangan Diana ke atas kepala. Nafas Diana tercekik, tubuhnya sepenuhnya terperangkap. “Perempuan keras kepala sepertimu,” desis Gunadi di dekat telinganya, “tak pantas diperlakukan lembut.” Suasana seketika mencekam. Dunia terasa mengecil. Ruangan itu seperti kuburan yang menyekap Diana hidup-hidup. Ketakutan bukan hanya menyelimuti tubuhnya, tapi menjerat jiwanya. Ia menatap ke langit-langit yang penuh bayangan, berharap keajaiban datang. Namun Tuhan tak mengabulkan. Gunadi mengapit hidung Diana hingga wanita itu tak bisa bernafas. dengan gerakan cepat ia memasukan kejantanan miliknya yang entah sejak kapan terbuka dari kurungnya. Diana membelalak, tubuhnya bergerak tak beraturan ingin melepaskan diri namun cengkeraman di kedua kaki membuatnya tak mampu bergerak, belum lagi tubuh besar Gunadi yang menindih dadanya. "Aahh...sayang. Bahkan hanya bibirmu rasanya senikmat ini." Gunadi mendongak, erangan demi erangan lolos dari bibirnya yang tebal, tubuh bawahnya menyentak senjatanya di mulut Diana dengan kasar. Diana ingin menjerit, namun tubuhnya tak mampu bekerja. Hatinya berdenyut nyeri bersama air mata yang lolos tanpa ijin. Rasa mual menggerogoti lambungnya saat benda sebesar pisang raja terus bergerak dengan kasar membungkam mulutnya. "Lihat, Sur...gila bodynya indah banget." Di bawah Bagas dan Surya tak mampu menahan tatapan matanya yang lapar. pemandangan tubuh bawah Diana yang terbuka memancing hasrat besar dari dua kacung Gunadi itu. Surya yang tak tahan melihat kaki mulus Diana, perlahan tanganya berjalan pelan di atas kulit yang putih pucat. Tak mau kalah, Bagas mengikuti jejak Surya. Tanganya membelai kaki Diana dan menciumnya penuh nafsu. Diana menangis, hatinya serasa ingin menjerit saat tubuh atas dan bawahnya di jelajahi pria yang bukan suaminya. Tangisnya menjadi-jadi saat saat Gunadi dengan rakus melumat bibir Diana, satu tangan pria itu meremas kuat dadanya yang besar. "Hmpp..." Diana menggoyangkan kepalanya ke kiri ke kanan, berusaha menghindari Gunadi, namun tenaga pria tua itu ternyata melebihi Reza yang juga lelaki. "Ahhh...oh sayang dirimu begitu nikmat. Aku jadi tak sabar mencicipi bawah milikmu." Tangan kasar dan penuh kapal Yang sudah keriput itu membelai wajah Diana yang Simbah air mata, tak ada rasa iba sedikitpun bahkan saat melihat bibir Diana yang merah bercampur darah. Gunadi menoleh ke belakang, matanya melotot penuh amarah saat dua kacungnya menjilati tubuh molek Diana bagian bawah. Celana dalam hitam yang sudah pudar tak terpasang sempurna menampilkan bibir bersih yang mengintip. Plak!! plak!! "Siapa yang suruh kalian mencicipnya hah?!!" Bentakan kuat itu mengejutkan Surya dan Bagas. Dua pria itu meringis menahan takut di tatap murka bos mereka. "A-anu bos kit...kita cuma icip dikit kok." Bagas menjawab kikuk. kemudian kembali memegang kuat kaki Diana di ikuti Surya. Gunadi kembali menatap Diana, bukan untuk melepaskan melainkan mengikat tangan wanita itu dengan gesper miliknya, tatapanya berpindah pada bibir indah yang mengintip di bawah membuatnya tergoda. "Sangat indah, sayang...." Gunadi menunduk, mengelus lembut gundukan yang mengintip dibalik segitiga kecil.Keributan terjadi di klub Viper, kekalahan Reza membuat pria itu tak terima. Ia memukul siapapun yang ada di dekatnya membuatnya di pukul balik oleh pengunjung lain. Kericuhan yang ia timbulkan membuatnya di seret satpam keluarBahkan rencana malam bersama Camilla, sang pelacur mahal harus gagal total sebelum mencicipi tubuh molek wanita itu.Langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa remuk hingga ia memutuskan pulang. Kehilangan uang tak sedikit kembali membuatnya kesal dan marah namun apa daya, amarah hanya bisa ia telah, kecewa hanya bisa ia rasakan.Ia tak menyangka Dragon sehebat itu, ia sudah berlatih berkali-kali dan berkali-kali juga telah memenangkan pertaruhan namun kali ini ia gagal dalam satu putaran."Sial...pria itu Aku akan membunuhnya lain kali."Reza mendorong pintu rumahnya, matanya menangkap seorang wanita yang sangat di kenalinya.Diana.Wanita itu nampak sibuk menghitung lembaran merah yang sangat banyak, ia terkejut namun berusaha terlihat biasa saja.Perlahan ia mend
Suara teriakan dan desahan bercampur, menyatu dengan asap rokok dan tumpukan alkohol. Tak sedikit sepasang pria dan wanita memadu kasih dengan panas. Di sudut klub, sebuah meja melingkar dengan beberapa pria duduk di kursinya. Ketegangan meraup wajah mereka ketika dua kali putaran tak sekalipun meraup keuntungan. Namun lain hal dengan Reza, malam ini adalah malam keberuntungan, dalam dua kali putaran itu ia telah memenangkan dua ratus juta. Ia congkak, menatap remeh lawan-nya yang nampak panik dan marah. Celotehan-celotehan penonton dan pendukung semakin membuatnya besar kepala dan bangga. Sesekali mengecup singkat bibir sang wanita di pangkuan semakin menunjukan bahwa ialah rajanya malam ini. "Hahaha....kau hebat Reza. Malam ini kau sangat beringas, dua kali putaran kau selalu menang hahaha..." "Ya benar, aku tak menyangka anak muda sepertimu bisa melawan kami yang sudah lebih dari lima puluh tahun bermain judi." Reza semakin menaikan dagunya, tersenyum pongah. Dadanya
“Ada apa?”Diana menolehkan wajahnya ke arah suara. Seorang pria yang beberapa hari terakhir mengacaukan hidupnya berdiri tenang, kedua tangan terselip di saku celana.Tatapan datar dengan alis terangkat menjadi penyambutnya. Sejenak ia gugup untuk mengutarakan apa maksud kedatangannya.Setelah beberapa hari merenung, pada akhirnya Diana nekat kembali datang ke rumah mewah yang kini ia pijak. Untuk apa lagi selain mencari informasi tentang liontin yang harus ia cari.Bram yang melihat keterdiaman Diana perlahan mendekat. Langkahnya tenang dan hening hingga wanita yang biasanya menatap sinis itu tak menyadarinya.“Apa kau merindukan sentuhanku hingga kembali datang kemari?”Sebuah suara menyapa telinga Diana. Serak dan berat membuatnya tersentak, matanya melebar saat menyadari ujung sepatu pantofel mengkilap menabrak kakinya yang tak terbungkus apa pun.“Bu-bukan…a..aku...” ujarnya gugup. Tangannya bergerak gelisah berusaha menolak pertanyaan itu.Bram tak bereaksi lebih, namun tubuhny
"Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh







