Share

Bab 7

Author: Nn_Effendie
last update Last Updated: 2025-08-02 22:17:55

Diana meronta sekuat tenaga. Kakinya menendang liar ke udara, sesekali menyentak tubuhnya ke kiri dan kanan. Surya dan Bagas kelabakan, tubuh Diana yang ramping justru terasa seperti bara hidup yang sulit dikendalikan.

Brak!!

Surya terpelanting, dadanya terkena tendangan telak dari Diana hingga tubuhnya menghantam lantai.

Bagas buru-buru bergerak mendekat, namun Diana sigap. Ia bergerak mundur ke pojok ruangan. Tangannya meraba-raba lantai, mencari apa pun yang bisa dijadikan senjata.

Gotcha!

Jari-jarinya menyentuh sesuatu berbentuk bundar, terasa berat dan dingin. Matanya melirik sekilas, sebuah piring keramik, mungkin bekas makan Reza.

Diana menggenggam benda itu erat di tangan kanannya, meski detak jantungnya berdegup nyaris tak terkendali. Nafasnya tersengal, matanya menatap penuh siaga.

Gunadi melangkah maju. Bayangan tubuh tambunnya menyatu dengan cahaya redup lampu gantung, menciptakan siluet menakutkan seperti monster yang merayap dari mimpi buruk.

"Duhai... ternyata perempuan ini tak semudah itu dikendalikan, ya?" suara Gunadi terdengar berat dan penuh nada ancaman. Tawanya kecil, serak, namun cukup membuat bulu kuduk berdiri.

"Dia kuat banget, Bos!" Surya meringis sambil menekan dadanya yang nyeri. Matanya menyipit menatap Diana yang terpojok dengan dalaman yang tak sempurna kusut tak karuan.

Senyum licik muncul di bibir para pria itu. Seolah sedang menikmati pemandangan langka, seorang wanita tangguh yang menurut mereka tetap tak punya jalan keluar selain menyerahkan diri.

"Lihat, Bos. Sebanyak apa pun dia melawan, tetap saja... kalah." Surya tergelak, diikuti tawa jahat Bagas dan Gunadi yang tersenyum miring.

Diana semakin ciut. Tangannya menggenggam piring erat hingga buku-buku jarinya memutih. Namun, ia tahu itu tak akan cukup. Sekujur tubuhnya bergetar, bukan karena lelah, tapi ketakutan.

Ia menyesal kenapa selama ini tak pernah menyimpan benda tajam di rumah sebagai pelindung diri?

Jika keadaan seperti ini ia harus meminta tolong pada siapa? Bahkan Reza. Suaminya sendiri masih santai duduk di atas sofa matanya sibuk menghitung uang receh, bukannya menyelamatkan nyawanya.

"Hahaha... adik manis," suara Gunadi berubah mesum, menjijikkan. "Ketangguhanmu hanya membuatku makin penasaran, seperti apa rasanya kau di bawahku dan mengerang nikmat."

Diana ingin muntah. Matanya membelalak ngeri saat menyadari tak ada seorang pun yang akan menolongnya. Air mata menggenang. Bukan hanya karena takut, tapi karena hancurnya kepercayaan. Hatinya mencelos, kecewa yang mengakar jauh melebihi rasa ngeri yang membekap tubuhnya.

“Percayalah, Reza,” batinnya menggigil dalam amarah yang terbungkus tangis. Ia menatap penuh dendam pada Reza. “Jika aku selamat malam ini, aku akan membuatmu membayar lebih dari neraka.”

Sreet!!

Brak!!

Surya menyeret kaki Diana dengan kasar. Tubuhnya tersungkur, terhempas ke lantai. Menyadari Diana lengah Gunadi duduk di atas dadanya. Nafas pria itu memburu, matanya menyala penuh nafsu saat menatap tubuh Diana yang hampir sepenuhnya terbuka.

“Aahh... milikmu sungguh indah." Bisiknya sambil mengelus dada Diana. Tatapannya seperti binatang buas yang baru mencium aroma darah segar.

Dalam kepanikan, Diana menekan rasa jijik sentuhan itu ia mengayunkan tangannya sekuat tenaga.

Prangkk!!

Piring keramik itu pecah menghantam kepala Gunadi. Pecahannya berhamburan, dan darah segar menetes dari pelipis pria itu, membasahi kulit Diana yang dingin.

Diana membuka matanya lebar-lebar, syok melihat darah yang jatuh di perutnya. Gunadi memegangi kepalanya yang berdarah, meringis namun masih berdiri.

“Sial! Wanita ini nyaris membunuhku,” geramnya. Namun, ia tak mundur. Amarahnya justru membara.

“Surya! Bagas! Pegang dia sekarang juga!”

Bagas dan Surya langsung menyambar tubuh Diana. Kedua kakinya ditarik paksa ke arah berlawanan, terbuka dan tak berdaya.

Diana menjerit, memukul, menggeliat, namun sia-sia.

Gunadi kembali menindih dadanya. Tangannya mengunci kedua tangan Diana ke atas kepala. Nafas Diana tercekik, tubuhnya sepenuhnya terperangkap.

“Perempuan keras kepala sepertimu,” desis Gunadi di dekat telinganya, “tak pantas diperlakukan lembut.”

Suasana seketika mencekam.

Dunia terasa mengecil. Ruangan itu seperti kuburan yang menyekap Diana hidup-hidup. Ketakutan bukan hanya menyelimuti tubuhnya, tapi menjerat jiwanya. Ia menatap ke langit-langit yang penuh bayangan, berharap keajaiban datang.

Namun Tuhan tak mengabulkan.

Gunadi mengapit hidung Diana hingga wanita itu tak bisa bernafas. dengan gerakan cepat ia memasukan kejantanan miliknya yang entah sejak kapan terbuka dari kurungnya.

Diana membelalak, tubuhnya bergerak tak beraturan ingin melepaskan diri namun cengkeraman di kedua kaki membuatnya tak mampu bergerak, belum lagi tubuh besar Gunadi yang menindih dadanya.

"Aahh...sayang. Bahkan hanya bibirmu rasanya senikmat ini." Gunadi mendongak, erangan demi erangan lolos dari bibirnya yang tebal, tubuh bawahnya menyentak senjatanya di mulut Diana dengan kasar.

Diana ingin menjerit, namun tubuhnya tak mampu bekerja. Hatinya berdenyut nyeri bersama air mata yang lolos tanpa ijin. Rasa mual menggerogoti lambungnya saat benda sebesar pisang raja terus bergerak dengan kasar membungkam mulutnya.

"Lihat, Sur...gila bodynya indah banget." Di bawah Bagas dan Surya tak mampu menahan tatapan matanya yang lapar. pemandangan tubuh bawah Diana yang terbuka memancing hasrat besar dari dua kacung Gunadi itu.

Surya yang tak tahan melihat kaki mulus Diana, perlahan tanganya berjalan pelan di atas kulit yang putih pucat. Tak mau kalah, Bagas mengikuti jejak Surya. Tanganya membelai kaki Diana dan menciumnya penuh nafsu.

Diana menangis, hatinya serasa ingin menjerit saat tubuh atas dan bawahnya di jelajahi pria yang bukan suaminya. Tangisnya menjadi-jadi saat saat Gunadi dengan rakus melumat bibir Diana, satu tangan pria itu meremas kuat dadanya yang besar.

"Hmpp..."

Diana menggoyangkan kepalanya ke kiri ke kanan, berusaha menghindari Gunadi, namun tenaga pria tua itu ternyata melebihi Reza yang juga lelaki.

"Ahhh...oh sayang dirimu begitu nikmat. Aku jadi tak sabar mencicipi bawah milikmu." Tangan kasar dan penuh kapal Yang sudah keriput itu membelai wajah Diana yang Simbah air mata, tak ada rasa iba sedikitpun bahkan saat melihat bibir Diana yang merah bercampur darah.

Gunadi menoleh ke belakang, matanya melotot penuh amarah saat dua kacungnya menjilati tubuh molek Diana bagian bawah. Celana dalam hitam yang sudah pudar tak terpasang sempurna menampilkan bibir bersih yang mengintip.

Plak!!

plak!!

"Siapa yang suruh kalian mencicipnya hah?!!" Bentakan kuat itu mengejutkan Surya dan Bagas. Dua pria itu meringis menahan takut di tatap murka bos mereka.

"A-anu bos kit...kita cuma icip dikit kok." Bagas menjawab kikuk. kemudian kembali memegang kuat kaki Diana di ikuti Surya.

Gunadi kembali menatap Diana, bukan untuk melepaskan melainkan mengikat tangan wanita itu dengan gesper miliknya, tatapanya berpindah pada bibir indah yang mengintip di bawah membuatnya tergoda.

"Sangat indah, sayang...." Gunadi menunduk, mengelus lembut gundukan yang mengintip dibalik segitiga kecil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 18

    "Lagipula tanganku akan gatal jika menyentuh recehan tak berarti itu."Mata Diana melebar. Kata-kata itu menghantam seperti cambuk.Amarah menyeruak, napasnya naik turun tak teratur. Namun di balik gejolak itu, sisi lain dirinya seperti tertampar.Tak berarti?Recehan itu mungkin tak bernilai bagi Bram. Tapi baginya, recehan itu bagai urat nadi. Nafas. Jalan hidup. Ia hidup karena recehan itu.Apakah harus menghina sedalam itu?Ia memang miskin , iya. Tapi ia tidak pernah berhutang. Lebih baik dirinya memeras keringat hingga kering daripada makan dari uang orang. Bukan hasil kerjanya."Lalu harus kubayar dengan apa, jika tidak dengan recehan Kumal itu?" tanyanya pelan. Suaranya serak, rendah, hampir patah.Ia bangkit perlahan mendekati Bram namun tetap memberikan jarak di antara mereka, seolah garis tipis tak kasat mata terbentang diantara mereka. Dan Diana tahu sekali ia melewatinya, dirinya bisa terjerumus ke dalam jurang yang gelap.Bram menoleh, hanya sedikit. Sorot matanya dingin

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 17

    "Karena Tuan ingin membalasnya sendiri. Pria itu juga mengambil harta berharga yang selalu Tuan jaga baik-baik.""Ck! jelaskan yang detail apa tidak bisa? kau sama saja dengan majikanmu itu." Gerry menggerutu kesal sambil menenggak wine langsung dari botol. Ia bahkan tidak tahu siapa pemilik minuman itu, tapi rasanya cukup segar untuk sedikit meredakan amarahnya.Giyo tidak langsung menjawab. Tatapanya bergeser pada Bram, seolah meminta restu untuk melanjutkan cerita."Ceritakan saja," sahut Bram datar, "asal anjing itu berhenti menggonggong."Gerry yang sejak tadi meneguk minuman sontak tersedak. Matanya melotot pada Bram."Kau menyebutku apa? Anjing? Sialan kau, Bram!"Bram tak menanggapi umpatan itu. Ia memilih berbalik dan melangkah pergi, menyisakan Gerry dan Giyo yang kini saling berhadapan."Lanjutkan," desis Gerry, menahan kesal di dadanya.Giyo mengangguk pelan."Seperti yang anda tahu, kematian Nyonya karena dua pembunuh itu. Satu sudah mati, tersisa satu lagi." Ia menarik

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 16

    "Lakukan saja tugasmu."Bram kemudian menoleh kearah Maria. "Panggil saya jika sudah selesai." Usai mengatakan itu Bram meninggalkan ruangan yang masih tegang. Gerry masih menatap tanganya yang penuh darah, sedangkan Giyo diam tak tahu harus apa. Namun akhirnya, Maria buka suara. "Tadi, Tuan datang menggendong wanita itu dalam keadaan tak sadar." Maria mendekat, menatap penuh prihatin Diana. "Wanita itu sudah seperti itu, ketika saya membersihkan tubuhnya ia nampak seperti habis di lecehkan, karena..." "Karena apa?" Gerry menyela ucapan Maria, penasaran. Maria ragu, juga bingung untuk menyampaikan kebenaran, hingga satu tarikan napas di iringi kalimat lain menggemparkan keadaan. "Celana Wanita itu tak terpasang sempurna, Dok. Resleting rusak dan kaos yang dikenakan penuh darah dan tanah. Selain itu juga robek." Giyo dan Gerry saling pandang, Kemudian kompak menatap Diana. Wanita itu bahkan tak terbangun saat di bicarakan secara langsung, dan suara mereka juga tak kecil. "Kepala

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 15

    "Dokter Gerry, sejak kapan anda disana?" Giyo dan Bram serempak menoleh ke arah pria necis lengkap seragam dokter melekat di tubuhnya. Bersandar pada kusen pintu, bersedekap dada. "Sejak kalian menyebut wanita itu." Dokter Gerry mendekat. "Siapa wanita sial yang terjebak dalam dendam-mu itu Bram?' Dokter Gerry menjatuhkan diri di sofa, mendesah panjang saat rasa empuk menyapa tubuhnya. Bram yang melihat itu mendengus. "Bukan urusanmu." "Dokter, bukankah anda masih ada jadwal operasi pasien? mengapa sudah ada di sini?" tanya Giyo kebingungan. Sebagai seorang ahli bedah. Gerry seringkali dibuat kelimpungan karena banyaknya pasien yang harus di tangani. Sedangkan beberapa saat lalu ia mengkonfirmasi tak bisa datang cepat. Namun kini pria itu telah berada di tempat bosnya daripada menyelamatkan pasien. "Hmm. Aku ingat pernah hampir mati kehilangan nyawa karena telat 5 menit saat itu. Aku tidak mau mengulang kejadian serupa." Dokter Gerry menatap Bram dengan alis terangkat. Pria di

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 14

    Setibanya Bram di kamar. Ia membaringkan tubuh Diana yang kurus kering menyisakan tulang dan kulit ke atas ranjang. Tubuh wanita itu terasa dingin di pelukannya. Mungkin karena kehabisan cukup banyak darah. Jarinya menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah tirus itu, sedikit sulit karena lengket bercampur darah yang mengering. Bram terpaku pada wanita yang kini terbaring kayaknya mayat. Sedikitpun tak ada pergerakan bahkan jika tak di lihat dengan jeli orang akan mengira wanita itu telah mati. Tok Tok. Ketukan pintu mengalihkan atensi. Ia menatap kearah kepala pelayan yang datang membawa baskom air dingin dan p3k. "Masuk." Maria, Wanita renta yang telah bekerja berpuluh tahun denganya itu sedikit menunduk, meletakan baskom diatas nakas. Lalu berdiri di samping Bram menunggu perintah. "Kau sudah memanggil Dokter Gerry?" "Sudah Tuan. Tetapi Dokter Gerry tidak bisa segera datang karena..." "Apa?" Maria ragu untuk menjawab namun akhirnya membuka suara. "Dokter Gerry masih a

  • KU BAYAR HUTANG SUAMIKU dengan TUBUHKU   Bab 13

    Malam itu udara dingin menusuk, tapi Bram berkendara dengan jendela sedikit terbuka. Bau aspal basah dan knalpot bercampur dalam hidungnya. Kantuk membuat pandangannya sedikit kabur, namun setir tetap ia genggam mantap.Setelah seharian penuh berkutat dengan laptop dan berkas tak ia tahu Jam melingkar indah di pergelangan tangan telah menunjukan pukul 21.54. Tanda memasuki malam yang lebih gelap.Tiga hari tanpa tidur. Ototnya nyeri, matanya berat, kepalanya berdenyut, dan tubuhnya terasa remuk redam. sesekali ia menggerakan tubuhnya ke kanan dan ke kiri saat pegal dan tak nyaman terus datang hingga terdengar ketekan tukang.Namun, sebuah gerakan di jalan menangkap matanya.Sosok perempuan, jeans lusuh dan kaos putih sederhana berlari tergesa. napasnya tersengal, rambutnya terurai kacau. Di belakangnya, dua pria bertampang preman kaos hitam lusuh, wajah kotor, dan tatapan beringas mengejar seperti anjing.Bram memicingkan mata untuk memastikan. Begitu wajah perempuan itu terlihat jela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status